Kamis, 28 Agustus 2008

Once Upon A Time In Solo-Jogja*


Yogyakarta memasuki musim hujan. Pagi yang indah. Langit yang cerah. Penduduk Jogja mulai beraktifitas dengan penuh semangat. Begitu juga aku.

Aku melangkah menuju kampus tercinta, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, dengan langkah penuh antusias. Fakultas Agama dan Filsafat yang berada di sebelah utara kampus begitu aku cintai.

Aku bayangkan masa-masa kuliah ini begitu indah dan penuh barokah. Mata kuliah Tafsir, Hadis, Sejarah Islam, Filsafat, dan lain sebagainya selalu aku ikuti dengan antusias. Niat yang tulus, dan teman-teman yang saling mendukung menyempurnakan pencarian ilmu ini di kampus tercinta. Semuanya menjadi cahaya dalam jiwa.


Jadwal kuliah hari ini pada jam pertama adalah Tafsir yang diampu oleh Prof. Dr. Hamim Ilyas, M.A. aku begitu khusyuk mendengarkan penjelasannya:

”Wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Muhammad adalah ”Iqro”, yang artinya

”bacalah”. Oleh karena itu amat sangat jelas bahwa Allah menghendaki kita seorang muslim untuk membaca. Membaca dalam artian, membaca apa saja, bukan hanya alqur’an. Membaca dengan kata lain bahwa kita disuruh untuk senantiasa belajar. Membaca adalah salah satu aktifitas belajar, dengan mempelajari sesuatu agar kita tahu. Oleh karena itu orang yang berpengetahuan adalah orang yang sangat dicintai oleh Allah. Dalam ayat alquran disebutkan,
يرفع الله الذين امنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات

Artiinya: ”Allah akan mengangkat derajatnya orang yang beriman dan berilmu”

Juga dalam banyak ayat kita temukan seruan Allah kepada manusia untuk berilmu dengan beberapa redaksi kata seperti: ulil albab, ulil abshor, dan ulin nuha...”

Kuliah Tafsir pada kali ini aku mendapatkan penjelasan mengenai kata ”iqro”, sebagai ayat yang pertama kali diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Penjelasan Prof. Dr. Hamim Ilyas, M.A. begitu menggetarkan jiwaku. Semangat mencari ilmu semakin menjadi-jadi.
* * *

Matahari tepat di atas kepalaku. Sinarnya yang panas begitu menyengat kulitku. Aku berjalan meninggalkan kampus menuju kosku. Letaknya berada di belakang kampus. Ah, lega rasanya sudah sampai di kosku. Seteguk air ku minum menghilangkan dahagaku. Alhamdulillah. Setelah makan siang aku kembali membuka buku yang hendak kuterjemahkan yang belum rampung dari kemarin. Buku yang berjudul الشباب وأقات الفراغ (pemuda dan waktu luang) harus kuselesaikan pada bulan ini juga, mengingat uangku sudah semakin menipis dan untuk bayar kos bulan depan juga.

Hidupku memang penuh perjuangan dan pengorbanan. Itulah yang aku rasakan. Aku, seorang mahasiswa yang berasal keluarga tidak mampu, yang hanya bermodalkan doa orangtua dan keinginan yang membaja saja untuk pergi ke Jogja, kuliah di UIN Sunan Kalijaga. Aku tidaklah seperti kebanyakan mahasiswa-mahasiswa lainnya, yang mempunyai waktu luang dan fasilitas lengkap. Waktuku habis untuk bekerja dan mengerjakan tugas, jika ada tugas kuliah. Kemampuan yang aku bisa hanyalah bahasa arab dan bahasa inggris. Dua bahasa itu kudapat sewaktu aku nyantri dekat rumahku dulu. Dengan kemampuan itu aku sering mencari proyek ke penerbit-penerbit yang ada di Yogyakarta ini. Dari pekerjaan inilah aku bisa membiayai kuliahku. Tak terasa 4 tahun sudah kulewati masa-masa kuliah. Sungguh, aku sangat bersyukur.
* * *

Bulan telah berganti. Alhamdulillah, sesuai dengan harapan, terjemahanku sudah selesai dan telah kuserahkan pada penerbit tadi siang. Hasil jerih payahku pun terbalas sudah. Uang itu cukup untuk bayar kos, beli buku, untuk bahan skripsi, dan biaya kebutuhan sehari-hari. Penerbit juga menyerahkan buku lainnya untuk aku terjemahkan. Aku baca sepintas buku itu. Mataku sudah 5 watt. Aku ingin tidur.

Badanku lelah seharian mengedit terjemahan, dan langsung ke penerbit di jalan Kaliurang. Baru saja aku berniat menutup mataku, tiba-tiba HP-ku berbunyi. Aku mengangkatnya.

”Assalamu’alaikum” ujarku.

”Wa’alaikum salam. Apa kabar mas Dawam? Ini aku, Muttaqin”

”Alhamdulillah baik. Oh, pak Taqin, apa kabar juga?”

”Baik. Maaf ya ganggu. Masih sibuk kuliah atau sudah garap skripsi?”

”Ada 3 mata kuliah semester ini, tapi sambil garap skripsi juga”.

”Anu, mas Dawam. Besok punya waktu luang gak?”

”Besok, aku tidak ada kuliah, paling-paling cuma garap terjemahan, seperti biasa.”

”Begini mas, di STAIN kami akan mengadakan Workshop pelatihan penerjemahan. Kami ngin mengundang mas Dawam menjadi pemateri. Saya kira mas Dawam sudah waktunya membagi ilmunya kepada teman-teman, baik para dosen maupun mahasiswa yang ada di STAIN Surakarta. Bagaimana mas, bisa kan?”

Mendengar tawaran dari pak Muttaqin membuatku bingung. Antara siap dan tidak.

”Bagaimana ya, rasanya saya belum pantas untuk mengisi pelatihan itu, Pak. Ilmu saya dalam menerjemah belum seberapa. Mungkin pak Muttaqin bisa cari orang lain dulu, nanti kalau tidak ada, baru saya yang mengisinya.”

”Saya tidak punya waktu lagi mas. Waktunya tinggal saat ini, besok acaranya. Saya mohon mas Dawam bersedia!”

Aku terus didesak oleh Pak Muttaqin. Sampai aku tak bisa mengelaknya.

”Baiklah, Pak. Saya menyanggupinya. Tapi saya harap Pak Muttaqin tidak kecewa dengan saya yang ilmunya belum seberapa ini.”

”Saya percaya kepada mas Dawam. Saya kan bukan kemarin sore mengenal mas Dawam.”
Pak Muttaqin kemudian memberi tahu apa saja yang mesti diterangkan, serta time schedul-nya pun ia jelaskan.

Aku tak percaya kalau aku menyanggupi tawaran menjadi pemateri pelatihan penerjemahan ini. Aku harus percaya diri dan yakin dengan kemampuanku. Ya Allah berilah aku kekuatan dan kemampuan untuk mengisi acara pelatihan besok hari.

Pak Muttaqin adalah dosen STAIN Surakarta yang kukenal sejak 3 tahun yang lalu di salah satu penerbit di Solo. Beliau juga seorang penerjemah, tapi hanya dari bahasa inggris saja.
* *

”Saudara-saudara sekalian menerjemah itu gampang-gampang susah. Dibilang gampang ya gampang dibilang susah juga susah. Hal ini tergantung wawasan kita atas teks yang kita terjemahkan. Menerjemah itu seni. Sebuah terjemahan akan bagus kalau kita bisa mempunyai jiwa seni. Dengan kata lain, bagaimana kita dapat merangkai kata-kata menjadi jelas, enak, dan indah, serta mudah dipahami.

”Satu hal lagi, menerjemah juga membutuhkan pengetahuan yang kita kerjakan. Kalau anda ingin menerjemahkan buku-buku kedokteran, maka anda harus paham terlebih dahulu dalam dunia kedokteran. Menerjemah juga bukan hanya memindahkan kata tapi juga memindahkan budaya.”

Para dosen dan mahasiswa begitu antusias mendengar penjelasanku. Aku bersyukur mereka dapat memahami apa yang aku sampaikan. Waktu sudah habis, padahal peserta masih banyak yang hendak bertanya. Begitulah perjalanan pertamaku menjadi pembicara dalam acara pelatihan terjemahan di STAIN Surakarta. Acara berjalan sukses. Tak henti-hentinya aku memanjatkan puji syukur pada Allah SWT. Alhamdulillah.
Kini aku berada di Bis Solo-Jogja, hendak pulang ke Jogja. Aku menempati kursi sebelah kanan yang berderet 2 kursi. Letak kursi itu tepat di tengah-tengah bis. Tak lama kemudian di halte depan banyak yang naik juga. Para penumpang yang baru naik banyak yang tidak kebagian tempat duduk.

Bis Solo-Jogja mulai melaju kencang. Pikiranku masih saja terpusat pada acara tadi. Luar biasa pesertanya begitu banyak. Mereka begitu bersemangat mengikuti pelatihan tersebut. Awalnya aku merasa kikuk, karena yang aku hadapi adalah para dosen dan mahasiswa, bukan anak-anak SMA. Sebuah pengalaman yang begitu berharga buatku. Kelak ini menjadi bekal bagiku untuk lebih baik lagi dalam menerjemah. Bagiku, honor menerjemah sebenarnya lebih dari cukup. Jika dirata-datakan, setiap satu buku yang kuterjemahkan baik dari bahasa arab maupun bahasa inggris honornya mencapai 1-2 juta rupiah. Katakanlah, 1,5 juta jika aku bulatkan. Andai saja aku bisa produktif menerjemah setiap 1 bulan 1 buku, maka satu tahun aku mendapatkan honor 12 juta. 1,5 juta perbulan bagiku lumayan besar. Selama 1 bulan biasa menghabiskan 450 ribu untuk keperluan sehari-hari seperti bayar kos, beli buku, makan, dan keperluan lainnya. 1 juta bisa aku simpan. Cuma masalahnya selama ini aku masih belum produktif menerjemah. 1 buku kadang aku baru menyelesaikan 3 bulan kemudian.

Baiklah, mulai saat ini aku akan berusaha produktif lagi menerjemah. Aku harus rajin, tekun, dan disiplin dalam menerjemah. Targetku menerjemah 1 buku 1 bulan. Itu berarti aku akan bisa menabung 1 juta 1 bulan. Ah, semoga saja aku bisa. Memang sudah saatnya aku menabung untuk masa depanku. Sebentar lagi aku akan selesai kuliah, dan full time dapat bekerja menjadi penerjemah. Nanti tabunganku itu buat modal usahaku kelak dan modal..... menikah. Ah, kenapa aku tiba-tiba berpikir menikah. Tapi mengapa tidak, jika aku sudah siap secara mental dan materi Insya Allah aku tak mau lama-lama menunggu pernikahanku, tapi masalahnya siapa wanita yang mau sama aku...

”Maaf Mas, bisa geser ke kursi sebelah. Kursi ini tidak ada yang menempati kan?”
Aku kaget. Suara itu membuyarkan lamunanku. Untuk memastikan bahwa suara itu ditujukan ke aku, aku menengok ke arah orang tersebut. Mataku beradu dengan mata orang itu. Subhanallah. Tiba-tiba hatiku bergetar. Seorang gadis yang begitu cantik berdiri menghadapku. Gadis itu memakai jilbab putih, berjaket, serta memakai celana panjang jeans yang tidak ketat. Dia terlihat anggun. Matanya yang bening, wajahnya yang putih bersih, serta bibirnya yang mungil, tipis dan kemerah-merahan, melengkapi keindahan wanita itu.

”Mas...?” ujar gadis itu.

”E..iya, silakan, tempat ini kosong kok!” jawab aku tergagap.

Aku pun bergeser, ke kursi yang dekat dengan dinding bis. Gadis itu pun duduk. Hatiku tak karuan. Getaran itu masih saja ada. Ingin rasanya aku kenalan tapi hatiku berdegup kencang. Aku coba menenangkan diri. Aku tak biasa duduk berdampingan dengan gadis, apalagi gadis itu membuatku gemetaran karena terpesona oleh kecantikannya. Keinginan berkenalan dengan gadis itu terhalang oleh dinding rasa maluku.

Aku melihat seorang ibu berdiri di deretan depan di antara orang-orang yang tidak kebagian tempat duduk.

”Bu, ibu yang berdiri, silakan duduk sini menempati tempat dudukku!” ujar aku memanggil ibu tersebut.

Aku pun bergegas dari tempat dudukku yang tepat di sisi gadis itu. Sambil mengucapkan permisi aku lewat di depan gadis tersebut. Ia hanya mengangguk. Ibu itu pun mengucapkan rasa terima kasih kepadaku dan menempati tempat dudukku. Aku kemudian berdiri dan berjalan ke belakang. Ah, baru saja aku ngomong masalah pernikahan, tiba-tiba ada seorang gadis di hadapanku. Anehnya, gadis itu membuat hatiku bergetar.

Tidak sebagaimana mestinya. Mungkinkah ini tanda-tanda dia jodohku? Mungkinkah gadis itu calon istriku kelak? Mungkinkan ini termasuk rencana Tuhan? Ah, tidak mungkin. Aku merasa tidak pantas dengan wanita seperti itu. Dia terlalu cantik bagiku. Lagian, belum tentu juga hatinya cantik. Astaghfirullah, aku tak boleh su’udzon. Ah, sudahlah, aku tak ingin memikirkannya lagi, pusing. Kalau memang Allah menghendaki pasti aku akan bertemu dengannya lagi.

Bis tersebut sudah memasuki Klaten. Kulihat gadis itu turun dari bis. Subhanallah, mengapa hatiku masih saja ada getaran. Mungkinkah...ah, sudahlah.
***

Satu tahun telah berlalu. Puji syukur pada Allah kuliahku telah selesai, tepatnya pada bulan kemarin. Lima tahun kuliah di UIN Sunan Kalijaga adalah waktu yang dianggap standar. Tidak cepat tapi tidak pula lambat. Bagiku lima tahun kuliah sambil bekerja dan biaya sendiri adalah waktu yang wajar. Karena banyak para mahasiswa yang kuliahnya lama hampir tujuh sampai delapan tahun, padahal mereka tidak punya kesibukan apapun. Aku tidak tahu apa saja yang mereka lakukan, sehingga kuliahnya tak rampung-rampung. ”Ngapain cepet-cepet selesai kuliah, wong SPP-nya paling murah sedunia. Jadi, nikmati aja waktu ini.” Begitulah rata-rata jawaban kakak kelasku dulu saat aku tanya mengapa tidak selesai-selesai kuliahnya. Harus diakui oleh siapapun, kalau biaya kuliah per semester saat angkatanku hanya 210 ribu rupiah, tidak ada tambahan apa-apa lagi. Murah, bukan? Apalagi angkatan-angkatan sebelum aku lebih murah lagi. Jadi, wajar saja sih jika mereka mempunyai alasan seperti itu.
Hp-ku berdering. Aku angkat.

”Halo, Assalamualaikum?”

”Wa ’alaikumussalam, apakah ini mas Dawam?”

”Iya betul. Ini siapa?”

”Saya, bekas dosen sampean, Hamim Ilyas”

”Oh, pak Hamim. Tumben nelpon,pak, ada apa ya?”

“Begini, mas Dawam sudah selesai kan kuliahnya? Kalau sudah mas Dawam mau ngajar nggak?”

“Insya Allah mau. Kebetulan saya memang belum punya rencana apa-apa. Di mana pak tempatnya?”

“Pihak rektorat ada program baru, yaitu mencari mahasiswa-mahasiswa yang berprestasi untuk diterjunkan ke masyarakat untuk mengabdi sesuai dengan kemampuannya. Sebagai imbalannya, kami kuliahkan di Pasca Sarjana. Saat mendengar program itu, terus aku ingat kamu yang baru selesai kuliah dan lumayan bahasa Arab dan bahasa Inggrisnya.“

Hatiku berdesir. Subhanallah. Sungguh ini karunia-Mu ya Allah yang diberikan kepadaku.

“I…iya pak, insya Allah saya bersedia mengikuti program itu pak, terima kasih.”

Aku sedikit gugup karena seperti tak percaya. Kuliah S2 adalah impianku yang tadinya aku pikir sangat mustahil, karena biayanya yang mahal. Tapi ternyata Allah memudahkan jalannya. Lakal hamdu wa laka syukru ya Allah.

Setelah aku menyetujuinya, esok pagi aku disuruh ke gedung rektorat dengan rekomendasi dari pak Hamim Ilyas. Di sana aku diberi penjelasan semua prosedur serta apa saja yang mesti kupersiapkan. Hanya dua puluh orang yang diterima program ini.

Dua puluh orang ini disebar ke daerah-daerah pelosok di Jogja dan sekitarnya. Selain di lima kabupaten yang ada di Jogja, di antara kami juga disebar di Prambanan, Klaten, dan Boyolali. Aku adalah satu-satunya yang diutus untuk mengabdi di Boyolali. Esok hari aku akan berangkat.
**

Tak terasa sudah satu bulan aku di Boyolali. Boleh dikatakan satu minggu pertama adalah masa-masa adaptasi dengan masyarakat setempat. Alhamdulillah penduduknya ramah-ramah. Aku ditempatkan di pondok pesantren kecil bernama Zumratut Tholibin pimpinan Kyai Haji Ali Albar. Kyai tersebut adalah temannya pak Hamim Ilyas. Tugas utamaku adalah mengajar bahasa Arab dan Bahasa Inggris bagi para santri dan penduduk luas. Oleh karena itu, aku tidak hanya mengajar di pondok tersebut tetapi juga di sekolah-sekolah yang ada di desa itu.

Bulan pertama telah ku lewati dan hendak menginjak bulan kedua. Secara keseluruhan tidak ada cobaan yang berarti dalam melaksanakan pengabdian di sini. Riak-riak kecil mesti ada, tapi tidak begitu berarti. Jadwal mengajarku di desa ini aku sesuaikan dengan jadwal kuliahku, sehingga tidak berbenturan satu dengan lainnya. Lama-kelamaan aku merasa capek juga, bolak-balik antara Jogja-Boyolali. Tapi saat merasakan kepenatan itu, ku ingat kembali niatku bahwa ini semata-mata lillahi ta’ala, karena Allah semata. Maka aku pun berhasil memompa semangat kembali. Aku nikmati semua aktifitasku ini, yang insya Allah akan dicatat sebagai amal sholeh, amin.

Tiga bulan telah berlalu. Peranku semakin bertambah. Yang tadinya hanya ditugasi sebagai pengajar Bahasa arab dan Inggris, Sekarang aku juga ditugasi mengajar bidang studi lainnya, seperti ulumul qur’an, ulumul hadis, tarikh Islam dan yang lainnya.

Tadinya aku mau menolaknya. Karena aku nanti tak punya waktu untuk menggarap tugas kuliahku, tapi aku tak enak, karena takut mengecewakan. Akhirnya aku terima saja dengan lapang dada. Hitung-hitung mengamalkan ilmuku juga. Dan alhamdulillah baik para santri, siswa, maupun penduduk yang belajar denganku merasa senang dan puas. Mereka begitu semangat belajar.

Saat genap satu tahun, aku menjadi bagian yang seolah tak terpisahkan dari masyarakat tersebut. Suatu hari pak Kyai memanggilku.

“Nak Dawam. Malam jum’at besok tolong isi pengajian di Mesjid Al-Hidayah. Besok saya harus ke Jakarta, ada urusan.”

Sungguh, aku tak ingin beliau kecewa dengan penolakanku. Walau hatiku menolak perintahnya, tapi entah kenapa mulutku mengatakan, “Insya Allah pak, saya akan menjalankan amanat ini.” Betapa berat menanggung beban amanat ini. Diriku telah kupertaruhkan untuk mengisi pengajian rutin malam jum’at yang biasa diisi oleh pak Kyai Ali Albar pimpinan pondok pesantren yang ada di desa ini. Yang menghadiri pengajian ini ratusan orang. Terdiri dari bapak-bapak dan ibu-ibu, dimulai dari ba’da isya’ sampai pukul sembilan. Segalanya telah kupersiapkan. Masih ada dua hari lagi kesempatan untuk mempersiapkan segalanya, terutama bahan-bahan yang akan kusampaikan.

Ya Allah, berilah aku kekuatan dan kemampuan untuk melaksanakan amanah ini, ucapku saat setiap selesai shalat lima waktu. Pak Kyai menyuruhku berarti dia sudah percaya dengan kemampuanku. Oleh karena itu, aku tak boleh menyia-nyiakan amanah yang diberikan kepadaku ini.

Dua hari telah berlalu. Nanti malam adalah jadwal pengajian yang akan aku isi sebagai pengganti kyai Ali Albar. Tadi pagi beliau menelpon aku untuk mengingatkanku lagi menjadi penggantinya nanti malam. Beliau berpesan agar materi yang hendak disampaikan jangan yang berat-berat, dan harus dekat dengan kehidupan masyarakat. Sesaat sebelum beliau menutup telpon, aku meminta do’a restunya agar dilancarkan saat mengisi pengajian nanti.

Adzan maghrib berkumandang. Para penduduk sudah mulai berduyun-duyun melangkahkan kakinya ke mesjid dan mushola-mushola yang dekat dengan rumahnya masing-masing. Aku sendiri seperti biasa shalat berjama’ah bersama para santri. Yang menjadi imam di masjid pondok biasanya para ustadznya. Mereka bergantian. Namun tak jarang aku pun sering ditunjuk oleh pak kyai untuk menjadi imam.

Begitu selesai shalat maghrib, lalu zikir sebentar. Kemudian para jama’ah mengadakan tahlilan sebagaimana biasanya. Aku tidak ikut. Aku langsung bergegas ke kamar, hendak membaca kembali bahan-bahan yang akan kusampaikan di pengajian nanti di mesjid al-Hidayah. Tak terasa adzan isya’ telah dikumandangkan. Bismillah, aku menuju masjid al-Hidayah yang letaknya berada di sebelah utara pondok. Para penduduk mulai berdatangan. Karena ba’da isya’ ada pengajian di mesjid, maka mereka memilih sholat isya’ di mesjid sekalian. Begitu shalat isya’ selesai, seorang ustadz dari pondok melangkah ke depan menuju alat pengeras suara. Dia lalu mengumumkan bahwa pak kyai tidak bisa mengisi pengajian karena ada urusan penting ke Jakarta, namun pak kyai mengutus ustadz Dawam sebagai gantinya, ujar ustadz tersebut. Para jama’ah lalu banyak yang mengarahkan matanya kepadaku. Mereka yang tidak tahu aku bertanya kepada orang yang berada di sebelah kanan atau kirinya.

Setelah selesai bicara, ustadz tersebut mempersilakan aku maju. ”Nuwun sewu, pak” ucapku pada orang-orang yang berada di kanan-kiriku saat aku hendak ke depan.
”Nggih, monggo, monggo” jawab mereka hampir berbarengan.
Saat sampai mimbar kutatap semua jama’ah dari kiri ke kanan, dan dari belakang ke depan. Subhanallah, luar biasa banyaknya jama’ah yang biasa mengikuti pengajian ini.

Aku mengucapkan salam, lalu kususul ucapan syukur dan shalawat. Aku kemudian memohon maaf kepada para jama’ah yang sudah lancang memberi ceramah, yang memang belum pantas untuk berdiri di situ. Jika bukan pak kyai yang menyuruh tentu aku tidak akan mau memberi ceramah ini. Kujelaskan semua kepada para jama’ah. Setelah aku meminta maaf lagi barulah aku masuk pada materi. Aku menjelaskan tentang akhlak dan hakikat hidup dari A sampai Z. Kadang kusisipi kisah-kisah, baik kisah pada zaman Rasul maupun pada zaman sekarang. Para jama’ah begitu khusyu’ menyimaknya. Tidak ada satu pun yang mengantuk atau mengobrol.

”Urip mung mampir ngombe. Begitu pribahasa Jawa seperti yang telah kita ketahui. Artinya bahwa hidup kita ini hanya sementara. Jadi, pergunakanlah hidup kita ini dengan baik. ’Baik’ di sini dalam artian mampu memberikan yang terbaik pada diri kita dan orang lain. Jauhkan sifat hawa nafsu yang ada dalam diri kita, seperti menyakiti tetangga kita, sombong, pelit, iri hati, dengki, dan lain sebagainya. Dan tampilkanlah sikap positif dari diri kita seperti menolong, membantu, menghargai, peduli, dan lain-lainnya.”

Para jama’ah semakin antusias mendengarkan ceramahku, yaitu pada saat aku memasukkan beberapa pribahasa Jawa, pembahasanku ini membuat benar-benar melekat dalam hati mereka. Ketika aku membahas masalah kebaikan, kusisipi kembali pribahasa Jawa yang relevan dengan pembahasan tersebut.

”Di dalam kitab Nasho’ihul ’Ibad, Ibnu Hajar al-Asqolani berkata, ’jika kita ingin ikhlas ada dua hal yang harus diingat dan ada dua hal yang harus dilupakan. Dua hal yang harus diingat itu adalah ingatlah kebaikan orang lain dan lupakan kebaikan diri kita, sebaliknya lupakan kebaikan diri kita terhadap orang lain dan ingatlah kebaikan orang lain. Hal ini selaras dengan pribahasa jawa yang sering kita dengar yaitu ’mikul dhuwur mendhem jero’. Kebaikan dan keburukan itu akan dibalas oleh Allah swt.

Pribahasa jawa yang lain juga mengatakan ’becik ketitik ala ketara’, bahwa kebaikan dan keburukan sama-sama akan nampak terutama di mata gusti Allah swt.”
Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Jam yang ada di dinding mesjid sudah menunjukkan pukul sembilan petanda bahwa aku harus mengakhirinya. Sebelum aku tutup aku sampaikan permohonan maaf kepada para jama’ah jika ada kata-kata yang tidak berkenan di hati para jama’ah.

Begitu selesai mengucapkan salam, banyak para jama’ah menghampiriku. Mereka senang bukan kepalang atas cara penyampaianku. Mengena namun tidak menggurui, ujar mereka. Pengajian itu adalah awal aku menjadi penceramah beberapa kali. Di saat pak kyai berhalangan hadir, mesti beliau maupun para penduduk meminta aku untuk menggantikanya. Aku bersyukur para penduduk dapat menerimaku dengan baik.
* *

Semenjak mengisi pengajian, aku menjadi akrab dengan masyarakat setempat. Jadi bukan saja anak-anaknya, melainkan juga para orangtuanya. Aku sering silaturahmi ke beberapa orang penduduk. Kami mengobrol masalah apa saja. Mulai masalah ekonomi, politik, dan keagamaan. Bahkan masalah keagamaanlah yang sering kami bahas, terutama masalah fiqih. Seperti kenapa penentuan puasa dan lebaran idul fitri berbeda-beda, apa itu ruqyah dan hisab, dan lain-lainnya. Semua jawaban yang aku berikan ternyata sangat memuaskan mereka. Mereka tidak merasa digurui olehku, dan merubah keyakinan mereka.

Di antara penduduk itu, yang paling dekat denganku adalah Pak Syihab. Beliau sering mengajakku ke rumahnya, karena di rumahnya sepi. Cuma ada istrinya saja. Kedua anaknya tidak di rumah. Anak pertama sudah bekerja di RB Klaten. Sedangkan anak keduanya sekolah di pondok pesantren Assalam Surakarta. Secara tidak langsung Pak Syihab seperti menjadikan aku sebagai anaknya.

”Nak Dawam, ngomong-ngomong sudah punya calon istri belum?” tanya Pak Syihab suatu hari saat kami ngobrol masalah usaha mebelnya yang katanya lagi lumayan.

Pertanyaan yang tak kuduga sebelumnya. Ini menyangkut pribadiku. Bagaimana aku harus menjawabnya.

”Belum pak. Saya belum sempat mencarinya. Walaupun mencari, saya gak yakin bakal mendapatkannya. Lelaki seperti saya ini tidak disukai pak.” jawabaku.

”Nak Dawam terlalu merendah. Memangnya belum minat ya menikah? Asal tahu saja, seorang da’i itu harus sudah menikah. Jadi, istilahnya gak asal ngomong saja. Banyak ngomong soal hidup, tentang keluarga, tetapi nak Dawam belum berkeluarga. Lucu kedengarannya. Maaf lho nak Dawam.”

”Tidak apa-apa pak. Tapi betul juga kata bapak. Ee.. sebetulnya saya ingin segera menikah, tapi saya tak punya keberanian pak untuk mendekati wanita. Bukan hanya itu, walaupun nanti ada yang mau, tapi saya kadang ragu apakah saya bisa membahagiakan istri saya kelak.”

”Ketakutan itu wajar nak, tapi mbok ya jangan berlebihan. Eh, ngomong-ngomong di desa ini ada enggak gadis yang menjadi tambatan hati nak Dawam?” tanya pak Syihab dengan senyum.

”Ada sih pak, tapi gak usah saya sebut ya pak, saya malu.” jawabku.

”Lha, kenapa mesti malu. Coba katakan siapa orangnya?”

”Anak pak lurah, kalau tidak salah namanya Indah, ya pak?”

”Iya. Oh itu toh tambatan hatimu. Sebetulnya tidak salah pilih dengan pilihan nak Dawam. Gadis itu sangat baik, berjilbab, taat beragama, sopan, dan keibuan, serta tidak mengikuti pergaulan ala orang-orang kota. Tapi, sayang nak Dawam harus melupakan gadis itu karena dia sudah tunangan dengan anak teman bapaknya. Seperti dijodohkan begitulah. Untuk itu coba cari yang lagi ya!”

Aku menyimaknya dengan serius. Aku tidak terlalu kecewa bila wanita itu sudah tunangan sehingga aku tidak perlu mendekatinya, karena mungkin juga memang bukan jodohku.

”Nak Dawam, saya bertanya masalah ini sebenarnya saya ingin mengenalkan Nak Dawam dengan putriku, kalau nak Dawam mau. Kebetulan putriku meminta aku sebagai Bapaknya untuk mencarikan calon suami yang kira-kira cocok dengan dia, terus akhlaknya baik dan taat beragama. Kebetulan aku mengenal nak Dawam dengan baik, dan memiliki semua kriteria di atas. Sebetulnya putriku satu alumni dan teman dekat dengan si Indah.
Mereka seangkatan waktu SMK. Begitu lulus, keduanya berpisah, si Indah ke AKPER Solo dan Putriku ke AKBID Klaten. Bagaimana nak Dawam, apa mau saya jodohkan dengan putriku?”

Hatiku berkecamuk mendengar tawaran pak Syihab. Antara senang dan ragu. Bukannya aku tak percaya dengan omongan Pak Syihab, tapi apa secepat itu ia menjodohkan aku dengan putrinya.

”Bagaimana ya Pak aku mesti menjawabnya. Aku masih bingung. Bagaimana kalau nanti dia kecewa saat melihatku Pak? Apa baiknya putri Bapak mengenal terlebih dahulu siapa saya?”

”Begini nak, anakku itu sangat kuat memegang prinsipnya. Dalam kamus hidupnya tidak kenal dengan istilah pacaran. Dia tidak mau main-main dengan soal cinta. Kalau memang dia ingin mengekspresikan cintanya, maka dia harus menikah. Begitulah dia. Dan anakku itu saat ini sudah merasa waktunya menikah. Dia menyerahkan semuanya padaku, pada bapaknya. Sebagai bapak, aku pun tak asal mencarinya begitu saja. Beberapa bulan ini aku mencari kesana-kemari lelaki yang pantas buat calon suaminya, dan aku belum menemukannya. Namun saat mengenal nak Dawam, aku kok merasa cocok, bahwa nak Dawam lah yang sepertinya pantas menjadi calon suaminya. Berakhlak, berilmu, dan berkepribadian serta bertakwa. Itulah yang aku lihat di dalam diri nak Dawam. Insya Allah nak Dawam akan dapat membimbing dia di jalan yang lurus. Sehingga aku dan ibunya pun akan tenang.”

Pak Syihab berbicara kepadaku dengan suara bergetar. Matanya berkaca-kaca. Ada kesungguhan dan harapan. Harapan kalau aku dapat menerima tawaran. Subhanallah, maha suci Allah. Bagaimana aku harus menjawabnya. Pak Syihab telah mempercayakan putrinya kepadaku. Kini kartu As ada di tanganku. Aku hanya memilih jawaban ia atau tidak saja. Namun aku hanya memilih...

”Saya akan istikharah dulu pak. Insyaallah tiga hari lagi saya akan memberi jawabannya.”

Aku pun pamitan. Dalam perjalanan menuju ke pondok, pikiranku tak tenang. Aku belum berani mengambil keputusan antara ia dan tidak. Jika kupilih ia, aku khawatir gadis itu akan kecewa kepadaku, karena aku ini tidak punya apa-apa. Dan jika kupilih tidak, berarti aku menyia-nyiakan rizki yang diberikan Allah kepadaku. Dilihat dari cerita bapaknya aku yakin gadis itu solehah. Istri solehah adalah istri yang paling berharga melebihi rizki yang ada dalam semesta ini, begitu sabda Nabi yang pernah kubaca. Biarlah aku endapkan dulu semuanya, aku akan istikharah selama tiga malam berturut-turut. Setelah itu kuputuskan sesuai dengan petunjuk dan keyakinanku.

Alhamdulillah, Allah telah memberikan petunjuk-Nya kepadaku. Sudah tiga kali istikharah dan setiap kali dalam tidur aku bermimpi bahwa aku sedang tadarus al-qur’an, surat ar-rum ayat 21. Aku anggap ini isyarat dari Allah agar aku menikah. Keesokan harinya, sesuai janjiku pada pak Syihab aku memberikan jawabanku, bahwa aku menerima tawarannya. Jawabanku itu memberikan suasana haru pada pak Syihab dan keluarganya. Desa ini rasanya sudah seperti desa sendiri. Penduduknya sudah begitu melekat dalam hatiku. Begitu juga sebaliknya.

”Kalau begitu minggu besok aku akan kasih tahu putriku di Klaten untuk menyampaikan kabar bahagia ini. Sekalian aku suruh pulang untuk diadakan acara ta’aruf.” ujar pak Syihab dengan wajah sumringah.
**

Minggu yang dinanti itu telah tiba. Acara ta’aruf dihadiri oleh sanak saudara dari pihak putri pak Syihab dan pak Kyai Ali Albar serta beberapa santrinya untuk mewakili keluargaku. Pukul sembilan pagi semua telah kumpul di rumah pak Syihab. Aku lihat pak Kyai dan pak Syihab sedang mengobrol, serta yang lainnya pun demikian. Aku hanya bisa menunduk dan berfikir bahwa apakah aku sedang mimpi. Apakah ini semua nyata. Untuk memastikannya kupencet jempol kakiku. Aduh, sakit. Oh, astaghfirullah ternyata aku tidak mimpi. Semua orang yang ada di sekitarku nyata. Tapi…aku belum melihat gadis itu, seperti apa gerangan orangnya. Aku sudah pasrah dan yakin sama pak Syihab bahwa putrinya itu adalah wanita baik dan solehah. Masalah fisik, aku tidak begitu menghiraukan. Itu nomor sekian, yang penting agamanya. Begitulah yang diajarkan Rosulullah dalam memilih kriteria seorang istri.

Acara pun hendak dimulai. Semua yang ada di rumah itu disuruh ke ruang tengah.
“Wulan, keluarlah. Masnya sudah menunggu.” ujar pak Syihab dengan senyum.
Semua orang berbisik-bisik, entah apa yang mereka bisikan.

Hatiku berdegup kencang. Keringat dingin keluar bercucuran. Entah seperti apa mukaku ini. Aku tunduk. Aku tak berani mengangkat wajahku. Malu rasanya jika muka ini yang pucat karena grogi.

Wanita itu pun keluar. Dengan langkah pelan dan muka menunduk. Dia kemudian duduk dekat orang tuanya. Gadis itu persis duduk di depanku dengan jarak sekitar lima meter. Aku masih tak berani mengangkat wajahku. Wanita itu pun masih tunduk. Semua pada senyum-senyum. ’Ah, kalian berdua malu-malu kucing,’ pikir mereka mungkin seperti itu.

”Nak Dawam, ayo tatap calon istrimu itu!” ucap pak Kyai ِAli Albar.

”Kamu juga Wulan, jangan tunduk terus, coba lihat calon suamimu!” ujar pak Syihab.
Kuangkat pelan-pelan wajahku, begitu juga gadis itu. Saat mata kami beradu, kami sama-sama kaget. Subhanallah ... bukankah wanita itu yang pernah kutemui di bis jurusan Solo-Jogja. Ya, wanita yang saat itu membuat hatiku bergetar. Saat itu juga aku lagi melamun tentang pernikahanku dan tiba-tiba wanita itu ada di depanku menanyakan apakah kursi di sebelahku kosong. Lakal hamdu wa laka syukru. Hatiku berbunga-bunga. Perjalanan hidup menemukan belahan jiwaku begitu unik.

Wanita itu senyum padaku, senyum yang begitu menentramkan hati. Kulihat wajahnya putih bersih dengan bibir yang mungil dan tipis. Subhanallah, betapa indahnya dia. Benar sabda Rasul itu. Adakah rizki yang paling berharga melebihi istri solehah nan cantik?

Dalam hati aku tak henti-hentinya berucap syukur kepada Allah. Mungkin inilah buah dari keimanan kepada Allah, ketulusan dan keikhlasan hati dalam berbuat dan mengamalkan ilmu apa yang kita miliki.

Nikmat Tuhan mana yang kamu akan dustakan (S.Ar-Rahman:13)
***
*)untuk mengenang seseorang. Tuhan memberi kita kenangan. Sungguh betapa ajaibnya hidup ini.

2 komentar:

Kuliner Sulawesi Tengah mengatakan...

Mas Bal, kok semua pada gambar Siti Nur Ahsan Haliza? Eh, salah ding...Stephen King On Writing di Palu bandrolnya 49.000 tanpa diskon:-(

Anonim mengatakan...

Untuk Ahsan, habis fotonya gak dikasih sih sama tokoh wanitanya di cerpen tsb, terpaksa deh kucomot gambar Teh Siti:P.Aku beruntung banget dapat buku itu, diskon 50% lho.