Senin, 30 November 2015

Menjadi Guru yang Menulis


(Jawa Pos, Rubrik Di Balik Buku, 29/11/2015)

RABU, 25 November 2015, kita merayakan Hari Guru Nasional. Di media sosial hari itu begitu riuh dengan pelbagai ekspresi ucapan selamat kepada para guru. Tentu ucapan itu adalah sebagai rasa terima kasih kita kepada para guru yang telah mengajari kita dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak tahu menjadi tahu. Kita berterima kasih kepada para guru karena melahirkan banyak profesi. Semua belajar dari guru.

Namun, apakah semua guru mempunyai peran yang sama dalam mengantarkan anak didiknya menuju gerbang kesuksesan? Tentu itu patut diuji. Hal ini berkaitan dengan kualitas guru itu sendiri. Tak dapat dipungkiri apabila guru-guru kita masih banyak yang berada di bawah standar kualitasnya. Terlepas dari sebagian nasib guru yang hidupnya masih belum layak—sehingga dapat memengaruhi peran dan tugasnya, seorang guru punya tanggung jawab besar terhadap proses berlangsungnya transmisi pengetahuan.

Salah satunya adalah belum ada kecakapan menulis dalam diri seorang guru. Bisa kita uji kepada para guru yang telah lulus sertifikasi yang notabene-nya telah teruji keprigelan menulis karya ilmiah, apakah mereka sudah tertanam kebiasaan menulisnya? Bagi seorang guru, menulis tidak hanya untuk menulis karya ilmiah, tetapi juga untuk keperluan transfer knowledge-nya juga. Pada umumnya, guru menulis karya ilmiah untuk kepentingan naik pangkat dan tunjangan. Apabila sudah terpenuhi kepentingannya, maka berhenti pula menulisnya. Dari situ terlihat bahwa menulis belumlah menjadi kebiasaan bagi seorang guru.

Menulis sampai tahap kebiasaan memang membutuhkan perjuangan. Karena dituntut kesadaran dan kebutuhan, tentu kemampuan juga. Bagi guru, menulis dan berbicara adalah dua cara untuk berkomunikasi dengan peserta didiknya. Tapi faktanya banyak guru yang hanya menggunakan satu cara saja, yaitu berbicara. Mereka berbicara secara panjang lebar di dalam kelas pada saat menerangkan pelajarannya.

Sedang menulis masih belum mendapat porsi yang setara dengan berbicara pada saat mereka berkomunikasi dengan para siswanya. Keterampilan menulis sangatlah dibutuhkan oleh para guru, karena akan berguna untuk kegiatan pembelajaran, tidak hanya untuk pembuatan karya ilmiah (untuk kenaikan jenjang/pangkat), tetapi juga hal lainnya, seperti untuk materi yang hendak disampaikan, surat kabar, jurnal, buletin, dan lain-lain. 

Guru yang terampil menulis juga akan memperoleh tambahan pemasukan secara finansial.  Tentu hal ini tidak akan didapatkan bagi guru yang tidak suka menulis. Tulisan-tulisan mereka juga akan dibukukan dan diterbitkan. Buku-buku mereka akan menghiasi toko-toko buku. Dus, dengan karya-karya mereka, baik yang tersiar di media massa maupun toko buku, mereka akan dikenal oleh masyarakat. Dan bukan tidak mungkin mereka akan diundang ke pelbagai lembaga pendidikan. Mereka akan diundang ke pelbagai daerah untuk sharing gagasan-gagasan yang ditulisnya, atau pun membagikan ilmu menulisnya kepada para guru lainnya yang seprofesi dengan dirinya.

J. Sumardianta adalah contohnya. Pak Guru (panggilan akrabnya) adalah seorang guru SMA De Britto Yogyakarta. Ia punya keterampilan menulis yang mumpuni. Tulisannya telah tersebar di surat kabar nasional seperti Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, dan lain-lain. Ia kerap menulis tema-tema pendidikan, namun tak jarang pula merambah tema lain, seperti sosial, budaya, bahkan traveling, karena hobinya jungle tracking.

Selain artikel, ia juga menulis beberapa buku. Guru Gokil Murid Unyu (2013) adalah salah satunya. Gaya tulisan dalam bukunya begitu khas dan asyik untuk dinikmati, sehingga tak heran mengalami beberapa kali cetak ulang. Lewat karya-karyanya ia dikenal para pendidik, sastrawan, budayawan, akademisi, bahkan pejabat. Ia sering sekali diundang ke lembaga-lembaga pendidikan maupun lainnya, untuk sharing soal pendidikan, kepenulisan, sastra, dan lainnya.

Beliau adalah contoh nyata bahwa seorang guru yang mempunyai keterampilan menulis akan mendapatkan kejutan-kejutan yang tak terduga. Tentu masih banyak guru-guru lainnya seperti Pak Guru ini. Dan semua guru bisa belajar padanya. Melihat manfaat yang begitu besar dari keterampilan menulis ini, semoga saja para guru mau mempelajari, menggeluti, dan membiasakan menulis, sehingga menjadi tradisi bagi dirinya.

Dari situ kemudian mereka akan memberi inspirasi dan teladan kepada para guru lainnya. Sungguh, dunia pendidikan kita begitu membutuhkan para guru yang mempunyai keterampilan menulis.[]

M. Iqbal Dawami, penulis, editor, dan trainer kepenulisan.    


Kamis, 24 September 2015

Senin, 31 Agustus 2015

Cinderamata dari Tebuireng

 Buku ini memberi teladan kepada lembaga entah lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, sosial, maupun usaha, bahwa sebuah lembaga selayaknya mempunyai buku sejarahnya. Tidak hanya penting tetapi juga mempunyai manfaat yang luas. Letak pentingnya jelas bahwa dengan menuliskan sejarah lembaga tersebut akan “terabadikan” dari masa ke masa. Para pelaku sejarahnya mungkin sudah tidak ada, tetapi rekaman sejarahnya berupa buku tersebut akan tetap ada dan dibaca oleh generasi selanjutnya.

Sedang letak manfaatnya seperti: ajang promosi, rujukan setiap yang mau menuliskannya, cinderamata, dll. Buku profil secara tidak langsung akan menjadi ajang promosi lembaga tersebut. Mereka yang membacanya siapa tahu tertarik dan terbersit untuk melakukan kerjasama. Dengan buku tersebut juga akan dijadikan referensi bagi para peneliti entah itu siswa, mahasiswa, dosen, peneliti, dan siapa saja yang membutuhkannya. Jadi jelas sekali manfaatnya, bukan?

Dan yang tidak kalah penting manfaatnya juga adalah menjadi cinderamata. Ya, buku yang isinya profil lembaga tersebut bisa dijadikan cinderamata bagi para tamu dan relasi. Ketika ada tamu atau relasi yang berkunjung ke lembaga Anda, maka Anda bisa memberikannya sebagai oleh-oleh atau kenang-kenangan. Keren, bukan? Jika saya perhatikan banyak sekali lembaga yang kedatangan tamunya tidak memberikan apa-apa yang bisa dibawa pulang untuk oleh-oleh. Buku profil adalah oleh-oleh yang akan membekas di hati para tamu. Mereka merasa bahagia dan terhormat mendapat bingkisan itu. Tentu itu akan menjadi kredit poin tersendiri bagi lembaga yang bersangkutan.

Saya tersentuh saat mendapatkan cinderamata berupa buku Profil Pesantren Tebuireng ini. Buku ini diberikan saat saya main ke pondok Tebuireng. Memilikinya ada kebanggaan tersendiri. Saya harap lembaga-lembaga lain pun mempunyai buku sejarahnya untuk dijadikan cinderamata bagi tamu yang datang. Terima kasih.

Kamis, 09 Juli 2015

Sekolah Islam Athirah

Waktu itu, di dalam pesawat Makassar – Yogyakarta, tak henti-hentinya mulutku mengucapkan hamdalah sebagai wujud rasa syukur. Syukur akan banyak hal. Saya bukanlah siapa-siapa di depan mereka. Tapi perlakuan mereka membuat saya tersanjung. Mengharukan. Betapa tidak, ada banyak kebaikan yang rasanya saya tidak pantas untuk mendapatkannya.

Ada hal-hal dalam hidup ini yang selalu ingin kuingat. Salah satunya adalah kenangan berkesan pada saat saya menghadiri launching buku Pemimpin Cinta karya Edi Sutarto di Sekolah Islam Athirah, Makassar pada Februari 2015. Saya merasa ada suatu bagian dari diri saya yang tertinggal di sekolah ini. 

Pertama tiba di bandara, aku sudah ditunggu penjemput. Dia membawa mobil sedan. Saat menaikinya aku seperti seorang direktur karena begitu istimewanya mobil tersebut. Di dalam mobil aku disodori parcel dengan aneka panganan khas Makassar. Di dalam parcel terselip ucapan selamat datang untukku. Nyess... hatiku gerimis syahdu. Ucapan itu tertulis di daun kering. Ini penampakannya:




Di mobil itu sudah ada seorang editor Mizan, Fuad Irawan, yang datang setengah jam sebelum saya. Dia berangkat dari Jakarta. Kami berdua dibawa ke hotel dimana kami akan menginap selama dua hari di Makassar. Kami sms Pak Edi, selaku direktur Sekolah Islam Athirah, agar kami menginap di masjid sekolah saja. Beliau hanya mengirim emoticon senyum. Bagi kami hotel bintang lima itu terlalu mewah. Kami selaku jebolan pesantren sudah terbiasa tidur di masjid. Justru kami tidak terbiasa tidur di kamar hotel semewah itu. Serba kikuk. Bahkan cara mengeluarkan pasta gigi saja kami kebingungan, hehe.

Keesokan harinya kami ke sekolah untuk menghadiri launching buku tersebut. Kami dibuat terkagum-kagum dengan konsep launchingnya. Seumur-umur baru kali itu saya menemukan launching yang unik, kreatif, dan menyentuh. Launching buku itu diisi oleh siswa semua. Mulai dari pemandu acara hingga pembicara. Di acara tersebut juga terdapat musikalisasi buku, dimana lirik lagunya diambil dari cuplikan buku yang sedang di-launching. Asyik sekali. Sungguh menggetarkan mendengarnya. Kulihat ada dua grup musik di atas panggung yang saling bergantian menghibur para peserta.

Dua hari kami di Makassar. Dua hari itu pula kami banyak menghabiskan waktu di lingkungan sekolah Islam Athirah. Saya melihat bagaimana sekolah itu tumbuh dengan karakter kuat. Setiap siswa berpapasan dengan guru mereka berucap salam, dan sang guru menjawabnya. Siapa saja yang melihat sampah di dekatnya, mereka langsung memungutnya dan memasukkannya ke tong sampah. Tidak guru, tidak siswa. Sistemnya sudah berjalan dengan sangat baik. Kekompakan para gurunya juga luar biasa. Pengabdiannya pada sekolah begitu militan. Semangat belajarnya untuk tumbuh menyala-nyala. Hal itu saya lihat pada saat kami mengisi pelatihan menulis untuk para guru sekolah tersebut.  

Para pimpinan Sekolah Islam Athirah memang bermental driver, bukan passenger. Masing-masing mereka punya tekad untuk selalu melakukan perubahan. Mereka kompak untuk berkembang bersama. Mereka melakukan pembaruan dan terobosan-terobosan dengan penuh keberanian.

Saya ingin mengucapkan banyak-banyak terima kasih pada semua orang-orang di Sekolah Islam Athirah yang sudah mengundang saya di acara launching buku tersebut. Terima kasih atas segala kebaikannya.

Begitulah kesan dalam ingatan mesra saya pada saat berkunjung ke Sekolah Islam Athirah. Sekolah ini meninggalkan jejak indah di hati saya. Tabe. 

Selasa, 23 Juni 2015

Lakukan dengan Cinta

Lakukanlah sesuatu dengan penuh cinta. Niscaya, engkau akan merasa bahagia pada saat melakukannya. Rasa malas, terpaksa, benci, akan hilang seketika. Dan yang ada hanyalah rasa senang dan bahagia. Dalam pikiran kita akan tertanam bahwa apa yang kita lakukan ini merupakan sebuah ibadah, karena memberikan manfaat bagi orang lain dan diri sendiri. Jadi ingatkan selalu dirimu pada saat melakukan apapun untuk diiringi perasaan cinta. Niscaya bibirmu akan tersenyum, hatimu akan tentram, pikiranmu akan damai, dan perasaan buruk apapun tak akan mendekat.

Pada saat menulis, maka menulislah dengan penuh cinta. Pada saat bicara, bicaralah dengan penuh cinta, pada saat membaca, membacalah dengan penuh cinta, begitu juga dalam aktivitas lainnya. Termasuk pada saat mengetik dan minum kopi. Mengetiklah dengan penuh cinta dan minum kopilah dengan penuh cinta. Rasakan sensasinya.

Pada saat belajar sesuatu, pelajarilah dengan penuh cinta. Maka kedamaian akan menyertaimu selalu. Karena rasa cinta akan memunculkan perasaan syukur.  

Minggu, 21 Juni 2015

Untuk RB

Aku tak dapat menyembunyikan rasa bahagia saat kamu mengatakan bahwa kamu akan kembali ke khittah, jalan yang pernah kita tekuni bersama sewaktu mahasiswa dulu. Waktu itu, lantaran orangtuamu menyuruh pulang kampung, akhirnya membuat kamu putus mata rantai dengan jalan yang kita tekuni itu. Di kampung halaman, kamu merasa jauh dari dunia yang kita geluti itu.

“Dunia buku adalah dunia yang sangat saya cintai, makanya sejak selesai kuliah saya masih sempat membeli buku sampai lebih seribu judul,” ujar kamu. Kamu pun bercerita panjang lebar mengingat masa masa-masa kuliah dulu.

“Saya rela lapar-lapar asal saya membeli buku yang saya suka di emperan-emperan jalan, rasanya setelah memiliki buku saya merasa kenyang. Waktu mahasiswa hampir semua judul buku beserta letak-letaknya saya hafal di deretan rak perpustakaan IAIN, itu karena setiap hari saya ke perpus. Makanya kalau saya kenang kembali dunia yang hilang itu rasanya ada sejumput penyesalan yang maha besar di batin saya. Saya mau kembali start dari titik nol.”

Selamat datang kembali, kawan. Seperti yang sudah kuduga, kemanapun kamu pergi dan apapun yang kamu lakukan, dunia buku adalah hidupmu. Selamat membaca dan menulis, kawan! 

Rabu, 10 Juni 2015

Dosen PTAI Harus Mampu Menulis Populer


Tidak banyak dosen Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang mampu menulis dengan ngepop alias populer. Kebanyakan mereka menulis dengan kaku dan formal. Mungkin sudah terbiasa menulis untuk jurnal, laporan penelitian, dan laporan akhir waktu kuliah seperti skripsi, tesis, dan disertasi. Oleh karena itu saya acungkan jempol apabila ada dosen yang bisa menulis buku-buku keislaman untuk masyarakat umum, karena hampir dipastikan mereka menggunakan penulisan populer.

Kemampuan menulis secara populer sangatlah penting bagi kalangan dosen PTAI. Karena, pengetahuan keislaman yang mereka punyai tentu sangatlah dalam dan komprehensif. Ilmu pengetahuan mereka sangatlah dibutuhkan oleh masyarakat. Masyarakat butuh pengetahuan keislaman yang dalam, multi-perspektif, dan bijak. Tiga hal itu saya pikir dosen PTAI sangat mumpuni. Sebagai alumnus dari PTAI, saya merasakan betul betapa mumpuninya mereka dalam kajian-kajian keislaman.

Masyarakat saat ini butuh bacaan keislaman yang mencerahkan, toleran, santun, dan kaya perspektif. Dosen PTAI yang notabene-nya akrab dengan kajian keislaman tentu harus menjadi ambil bagian dalam hal ini. Jika tidak, buku-buku keislaman tidak ada kemajuan signifikan dari segi mutu dan kualitas. Buku-buku keislaman hanya jalan di tempat, penerbit hanya akan menerbitkan buku keislaman yang ganti judul dan kover saja, dan kontennya mutakarrirah alias mengulang-ulang, tanpa ada gagasan baru.

Coba kalau para dosen PTAI yang menulis, mereka akan menyuguhkan tema-tema keislaman yang dalam, penuh gagasan, dan kaya perspektif. Tentu harus dibarengi dengan keprigelannya dalam mengolah gagasan dan menyajikannya secara populer. Saya yakin buku-buku keislaman akan bergeliat dan memengaruhi para pembaca;  tercerahkan, memahami persoalan, dan mewajarkan perbedaan. Mereka bisa menulis soal fiqih, sejarah Islam, sirah nabawiyah, tasawuf, dll.
Faktanya memang tidak banyak dosen-dosen PTAI yang mau dan mampu menulis keislaman secara populer. Mereka sudah nyaman dengan menulis di jurnal dan laporan penelitian yang dapat dipresentasikan di depan akademisi yang diselenggarakan oleh lembaga sponsornya. Tentu tidak salah, dan ini juga bukan soa benar atau salah. Mungkin soal selera saja. Soal pilihan. Saya cuma menyayangkan saja, kenapa mereka hanya  menulis untuk jurnal dan laporan penelitian saja, tidak menulis buku? Atau walaupun menulis buku mereka menulis dengan bahasa yang mengawang-awang tidak populer? Biasanya sih itu pun buku proyek, atau hasil tesis atau disertasinya.

Bukan apa-apa, kajian keislaman yang tidak ditulis secara populer itu tidak akan sampai kepada pembaca non-akademis, katakanlah pembaca umum. Mereka akan kesulitan membacanya: kalau tidak pusing ya ngantuk. Mereka tidak akan tergerak mengkhatamkannya. Untuk itu mereka harus menuliskannya secara populer. Sungguh, masyarakat membutuhkan bacaan keislaman yang mumpuni. Selama ini buku-buku keislaman populer ditulis oleh para penulis yang tidak otoritatif. Mereka hanya mengambil rujukan-rujukan sekunder yang jelas tidak memadai dalam mengkaji sebuah pembahasan. Tapi mereka menang dalam penulisannya. Ya, mereka menulis dengan gaya populer. Tak aneh kemudian mereka mendapat tempat di hati pembaca. Dan kajian keislaman yang mereka tulis akan memengaruhi pola pikir dan perilaku pembaca juga.

Jadi, tak ada jalan lain (dan tak ada waktu lagi), kini para dosen PTAI harus menulis kajian keislaman dengan gaya populer. Apabila ada dosen yang kesulitan bagaimana cara menulis buku keislaman secara populer, baiknya membaca buku saya ini, hehe... Jika dirasa masih kurang, mereka bisa mengundang saya, itu lebih baik, hehe...


Terima kasih. Wallahu a'lam bisshawab.