Kamis, 28 Agustus 2008

Once Upon A Time In Solo-Jogja*


Yogyakarta memasuki musim hujan. Pagi yang indah. Langit yang cerah. Penduduk Jogja mulai beraktifitas dengan penuh semangat. Begitu juga aku.

Aku melangkah menuju kampus tercinta, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, dengan langkah penuh antusias. Fakultas Agama dan Filsafat yang berada di sebelah utara kampus begitu aku cintai.

Aku bayangkan masa-masa kuliah ini begitu indah dan penuh barokah. Mata kuliah Tafsir, Hadis, Sejarah Islam, Filsafat, dan lain sebagainya selalu aku ikuti dengan antusias. Niat yang tulus, dan teman-teman yang saling mendukung menyempurnakan pencarian ilmu ini di kampus tercinta. Semuanya menjadi cahaya dalam jiwa.


Jadwal kuliah hari ini pada jam pertama adalah Tafsir yang diampu oleh Prof. Dr. Hamim Ilyas, M.A. aku begitu khusyuk mendengarkan penjelasannya:

”Wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Muhammad adalah ”Iqro”, yang artinya

”bacalah”. Oleh karena itu amat sangat jelas bahwa Allah menghendaki kita seorang muslim untuk membaca. Membaca dalam artian, membaca apa saja, bukan hanya alqur’an. Membaca dengan kata lain bahwa kita disuruh untuk senantiasa belajar. Membaca adalah salah satu aktifitas belajar, dengan mempelajari sesuatu agar kita tahu. Oleh karena itu orang yang berpengetahuan adalah orang yang sangat dicintai oleh Allah. Dalam ayat alquran disebutkan,
يرفع الله الذين امنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات

Artiinya: ”Allah akan mengangkat derajatnya orang yang beriman dan berilmu”

Juga dalam banyak ayat kita temukan seruan Allah kepada manusia untuk berilmu dengan beberapa redaksi kata seperti: ulil albab, ulil abshor, dan ulin nuha...”

Kuliah Tafsir pada kali ini aku mendapatkan penjelasan mengenai kata ”iqro”, sebagai ayat yang pertama kali diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Penjelasan Prof. Dr. Hamim Ilyas, M.A. begitu menggetarkan jiwaku. Semangat mencari ilmu semakin menjadi-jadi.
* * *

Matahari tepat di atas kepalaku. Sinarnya yang panas begitu menyengat kulitku. Aku berjalan meninggalkan kampus menuju kosku. Letaknya berada di belakang kampus. Ah, lega rasanya sudah sampai di kosku. Seteguk air ku minum menghilangkan dahagaku. Alhamdulillah. Setelah makan siang aku kembali membuka buku yang hendak kuterjemahkan yang belum rampung dari kemarin. Buku yang berjudul الشباب وأقات الفراغ (pemuda dan waktu luang) harus kuselesaikan pada bulan ini juga, mengingat uangku sudah semakin menipis dan untuk bayar kos bulan depan juga.

Hidupku memang penuh perjuangan dan pengorbanan. Itulah yang aku rasakan. Aku, seorang mahasiswa yang berasal keluarga tidak mampu, yang hanya bermodalkan doa orangtua dan keinginan yang membaja saja untuk pergi ke Jogja, kuliah di UIN Sunan Kalijaga. Aku tidaklah seperti kebanyakan mahasiswa-mahasiswa lainnya, yang mempunyai waktu luang dan fasilitas lengkap. Waktuku habis untuk bekerja dan mengerjakan tugas, jika ada tugas kuliah. Kemampuan yang aku bisa hanyalah bahasa arab dan bahasa inggris. Dua bahasa itu kudapat sewaktu aku nyantri dekat rumahku dulu. Dengan kemampuan itu aku sering mencari proyek ke penerbit-penerbit yang ada di Yogyakarta ini. Dari pekerjaan inilah aku bisa membiayai kuliahku. Tak terasa 4 tahun sudah kulewati masa-masa kuliah. Sungguh, aku sangat bersyukur.
* * *

Bulan telah berganti. Alhamdulillah, sesuai dengan harapan, terjemahanku sudah selesai dan telah kuserahkan pada penerbit tadi siang. Hasil jerih payahku pun terbalas sudah. Uang itu cukup untuk bayar kos, beli buku, untuk bahan skripsi, dan biaya kebutuhan sehari-hari. Penerbit juga menyerahkan buku lainnya untuk aku terjemahkan. Aku baca sepintas buku itu. Mataku sudah 5 watt. Aku ingin tidur.

Badanku lelah seharian mengedit terjemahan, dan langsung ke penerbit di jalan Kaliurang. Baru saja aku berniat menutup mataku, tiba-tiba HP-ku berbunyi. Aku mengangkatnya.

”Assalamu’alaikum” ujarku.

”Wa’alaikum salam. Apa kabar mas Dawam? Ini aku, Muttaqin”

”Alhamdulillah baik. Oh, pak Taqin, apa kabar juga?”

”Baik. Maaf ya ganggu. Masih sibuk kuliah atau sudah garap skripsi?”

”Ada 3 mata kuliah semester ini, tapi sambil garap skripsi juga”.

”Anu, mas Dawam. Besok punya waktu luang gak?”

”Besok, aku tidak ada kuliah, paling-paling cuma garap terjemahan, seperti biasa.”

”Begini mas, di STAIN kami akan mengadakan Workshop pelatihan penerjemahan. Kami ngin mengundang mas Dawam menjadi pemateri. Saya kira mas Dawam sudah waktunya membagi ilmunya kepada teman-teman, baik para dosen maupun mahasiswa yang ada di STAIN Surakarta. Bagaimana mas, bisa kan?”

Mendengar tawaran dari pak Muttaqin membuatku bingung. Antara siap dan tidak.

”Bagaimana ya, rasanya saya belum pantas untuk mengisi pelatihan itu, Pak. Ilmu saya dalam menerjemah belum seberapa. Mungkin pak Muttaqin bisa cari orang lain dulu, nanti kalau tidak ada, baru saya yang mengisinya.”

”Saya tidak punya waktu lagi mas. Waktunya tinggal saat ini, besok acaranya. Saya mohon mas Dawam bersedia!”

Aku terus didesak oleh Pak Muttaqin. Sampai aku tak bisa mengelaknya.

”Baiklah, Pak. Saya menyanggupinya. Tapi saya harap Pak Muttaqin tidak kecewa dengan saya yang ilmunya belum seberapa ini.”

”Saya percaya kepada mas Dawam. Saya kan bukan kemarin sore mengenal mas Dawam.”
Pak Muttaqin kemudian memberi tahu apa saja yang mesti diterangkan, serta time schedul-nya pun ia jelaskan.

Aku tak percaya kalau aku menyanggupi tawaran menjadi pemateri pelatihan penerjemahan ini. Aku harus percaya diri dan yakin dengan kemampuanku. Ya Allah berilah aku kekuatan dan kemampuan untuk mengisi acara pelatihan besok hari.

Pak Muttaqin adalah dosen STAIN Surakarta yang kukenal sejak 3 tahun yang lalu di salah satu penerbit di Solo. Beliau juga seorang penerjemah, tapi hanya dari bahasa inggris saja.
* *

”Saudara-saudara sekalian menerjemah itu gampang-gampang susah. Dibilang gampang ya gampang dibilang susah juga susah. Hal ini tergantung wawasan kita atas teks yang kita terjemahkan. Menerjemah itu seni. Sebuah terjemahan akan bagus kalau kita bisa mempunyai jiwa seni. Dengan kata lain, bagaimana kita dapat merangkai kata-kata menjadi jelas, enak, dan indah, serta mudah dipahami.

”Satu hal lagi, menerjemah juga membutuhkan pengetahuan yang kita kerjakan. Kalau anda ingin menerjemahkan buku-buku kedokteran, maka anda harus paham terlebih dahulu dalam dunia kedokteran. Menerjemah juga bukan hanya memindahkan kata tapi juga memindahkan budaya.”

Para dosen dan mahasiswa begitu antusias mendengar penjelasanku. Aku bersyukur mereka dapat memahami apa yang aku sampaikan. Waktu sudah habis, padahal peserta masih banyak yang hendak bertanya. Begitulah perjalanan pertamaku menjadi pembicara dalam acara pelatihan terjemahan di STAIN Surakarta. Acara berjalan sukses. Tak henti-hentinya aku memanjatkan puji syukur pada Allah SWT. Alhamdulillah.
Kini aku berada di Bis Solo-Jogja, hendak pulang ke Jogja. Aku menempati kursi sebelah kanan yang berderet 2 kursi. Letak kursi itu tepat di tengah-tengah bis. Tak lama kemudian di halte depan banyak yang naik juga. Para penumpang yang baru naik banyak yang tidak kebagian tempat duduk.

Bis Solo-Jogja mulai melaju kencang. Pikiranku masih saja terpusat pada acara tadi. Luar biasa pesertanya begitu banyak. Mereka begitu bersemangat mengikuti pelatihan tersebut. Awalnya aku merasa kikuk, karena yang aku hadapi adalah para dosen dan mahasiswa, bukan anak-anak SMA. Sebuah pengalaman yang begitu berharga buatku. Kelak ini menjadi bekal bagiku untuk lebih baik lagi dalam menerjemah. Bagiku, honor menerjemah sebenarnya lebih dari cukup. Jika dirata-datakan, setiap satu buku yang kuterjemahkan baik dari bahasa arab maupun bahasa inggris honornya mencapai 1-2 juta rupiah. Katakanlah, 1,5 juta jika aku bulatkan. Andai saja aku bisa produktif menerjemah setiap 1 bulan 1 buku, maka satu tahun aku mendapatkan honor 12 juta. 1,5 juta perbulan bagiku lumayan besar. Selama 1 bulan biasa menghabiskan 450 ribu untuk keperluan sehari-hari seperti bayar kos, beli buku, makan, dan keperluan lainnya. 1 juta bisa aku simpan. Cuma masalahnya selama ini aku masih belum produktif menerjemah. 1 buku kadang aku baru menyelesaikan 3 bulan kemudian.

Baiklah, mulai saat ini aku akan berusaha produktif lagi menerjemah. Aku harus rajin, tekun, dan disiplin dalam menerjemah. Targetku menerjemah 1 buku 1 bulan. Itu berarti aku akan bisa menabung 1 juta 1 bulan. Ah, semoga saja aku bisa. Memang sudah saatnya aku menabung untuk masa depanku. Sebentar lagi aku akan selesai kuliah, dan full time dapat bekerja menjadi penerjemah. Nanti tabunganku itu buat modal usahaku kelak dan modal..... menikah. Ah, kenapa aku tiba-tiba berpikir menikah. Tapi mengapa tidak, jika aku sudah siap secara mental dan materi Insya Allah aku tak mau lama-lama menunggu pernikahanku, tapi masalahnya siapa wanita yang mau sama aku...

”Maaf Mas, bisa geser ke kursi sebelah. Kursi ini tidak ada yang menempati kan?”
Aku kaget. Suara itu membuyarkan lamunanku. Untuk memastikan bahwa suara itu ditujukan ke aku, aku menengok ke arah orang tersebut. Mataku beradu dengan mata orang itu. Subhanallah. Tiba-tiba hatiku bergetar. Seorang gadis yang begitu cantik berdiri menghadapku. Gadis itu memakai jilbab putih, berjaket, serta memakai celana panjang jeans yang tidak ketat. Dia terlihat anggun. Matanya yang bening, wajahnya yang putih bersih, serta bibirnya yang mungil, tipis dan kemerah-merahan, melengkapi keindahan wanita itu.

”Mas...?” ujar gadis itu.

”E..iya, silakan, tempat ini kosong kok!” jawab aku tergagap.

Aku pun bergeser, ke kursi yang dekat dengan dinding bis. Gadis itu pun duduk. Hatiku tak karuan. Getaran itu masih saja ada. Ingin rasanya aku kenalan tapi hatiku berdegup kencang. Aku coba menenangkan diri. Aku tak biasa duduk berdampingan dengan gadis, apalagi gadis itu membuatku gemetaran karena terpesona oleh kecantikannya. Keinginan berkenalan dengan gadis itu terhalang oleh dinding rasa maluku.

Aku melihat seorang ibu berdiri di deretan depan di antara orang-orang yang tidak kebagian tempat duduk.

”Bu, ibu yang berdiri, silakan duduk sini menempati tempat dudukku!” ujar aku memanggil ibu tersebut.

Aku pun bergegas dari tempat dudukku yang tepat di sisi gadis itu. Sambil mengucapkan permisi aku lewat di depan gadis tersebut. Ia hanya mengangguk. Ibu itu pun mengucapkan rasa terima kasih kepadaku dan menempati tempat dudukku. Aku kemudian berdiri dan berjalan ke belakang. Ah, baru saja aku ngomong masalah pernikahan, tiba-tiba ada seorang gadis di hadapanku. Anehnya, gadis itu membuat hatiku bergetar.

Tidak sebagaimana mestinya. Mungkinkah ini tanda-tanda dia jodohku? Mungkinkah gadis itu calon istriku kelak? Mungkinkan ini termasuk rencana Tuhan? Ah, tidak mungkin. Aku merasa tidak pantas dengan wanita seperti itu. Dia terlalu cantik bagiku. Lagian, belum tentu juga hatinya cantik. Astaghfirullah, aku tak boleh su’udzon. Ah, sudahlah, aku tak ingin memikirkannya lagi, pusing. Kalau memang Allah menghendaki pasti aku akan bertemu dengannya lagi.

Bis tersebut sudah memasuki Klaten. Kulihat gadis itu turun dari bis. Subhanallah, mengapa hatiku masih saja ada getaran. Mungkinkah...ah, sudahlah.
***

Satu tahun telah berlalu. Puji syukur pada Allah kuliahku telah selesai, tepatnya pada bulan kemarin. Lima tahun kuliah di UIN Sunan Kalijaga adalah waktu yang dianggap standar. Tidak cepat tapi tidak pula lambat. Bagiku lima tahun kuliah sambil bekerja dan biaya sendiri adalah waktu yang wajar. Karena banyak para mahasiswa yang kuliahnya lama hampir tujuh sampai delapan tahun, padahal mereka tidak punya kesibukan apapun. Aku tidak tahu apa saja yang mereka lakukan, sehingga kuliahnya tak rampung-rampung. ”Ngapain cepet-cepet selesai kuliah, wong SPP-nya paling murah sedunia. Jadi, nikmati aja waktu ini.” Begitulah rata-rata jawaban kakak kelasku dulu saat aku tanya mengapa tidak selesai-selesai kuliahnya. Harus diakui oleh siapapun, kalau biaya kuliah per semester saat angkatanku hanya 210 ribu rupiah, tidak ada tambahan apa-apa lagi. Murah, bukan? Apalagi angkatan-angkatan sebelum aku lebih murah lagi. Jadi, wajar saja sih jika mereka mempunyai alasan seperti itu.
Hp-ku berdering. Aku angkat.

”Halo, Assalamualaikum?”

”Wa ’alaikumussalam, apakah ini mas Dawam?”

”Iya betul. Ini siapa?”

”Saya, bekas dosen sampean, Hamim Ilyas”

”Oh, pak Hamim. Tumben nelpon,pak, ada apa ya?”

“Begini, mas Dawam sudah selesai kan kuliahnya? Kalau sudah mas Dawam mau ngajar nggak?”

“Insya Allah mau. Kebetulan saya memang belum punya rencana apa-apa. Di mana pak tempatnya?”

“Pihak rektorat ada program baru, yaitu mencari mahasiswa-mahasiswa yang berprestasi untuk diterjunkan ke masyarakat untuk mengabdi sesuai dengan kemampuannya. Sebagai imbalannya, kami kuliahkan di Pasca Sarjana. Saat mendengar program itu, terus aku ingat kamu yang baru selesai kuliah dan lumayan bahasa Arab dan bahasa Inggrisnya.“

Hatiku berdesir. Subhanallah. Sungguh ini karunia-Mu ya Allah yang diberikan kepadaku.

“I…iya pak, insya Allah saya bersedia mengikuti program itu pak, terima kasih.”

Aku sedikit gugup karena seperti tak percaya. Kuliah S2 adalah impianku yang tadinya aku pikir sangat mustahil, karena biayanya yang mahal. Tapi ternyata Allah memudahkan jalannya. Lakal hamdu wa laka syukru ya Allah.

Setelah aku menyetujuinya, esok pagi aku disuruh ke gedung rektorat dengan rekomendasi dari pak Hamim Ilyas. Di sana aku diberi penjelasan semua prosedur serta apa saja yang mesti kupersiapkan. Hanya dua puluh orang yang diterima program ini.

Dua puluh orang ini disebar ke daerah-daerah pelosok di Jogja dan sekitarnya. Selain di lima kabupaten yang ada di Jogja, di antara kami juga disebar di Prambanan, Klaten, dan Boyolali. Aku adalah satu-satunya yang diutus untuk mengabdi di Boyolali. Esok hari aku akan berangkat.
**

Tak terasa sudah satu bulan aku di Boyolali. Boleh dikatakan satu minggu pertama adalah masa-masa adaptasi dengan masyarakat setempat. Alhamdulillah penduduknya ramah-ramah. Aku ditempatkan di pondok pesantren kecil bernama Zumratut Tholibin pimpinan Kyai Haji Ali Albar. Kyai tersebut adalah temannya pak Hamim Ilyas. Tugas utamaku adalah mengajar bahasa Arab dan Bahasa Inggris bagi para santri dan penduduk luas. Oleh karena itu, aku tidak hanya mengajar di pondok tersebut tetapi juga di sekolah-sekolah yang ada di desa itu.

Bulan pertama telah ku lewati dan hendak menginjak bulan kedua. Secara keseluruhan tidak ada cobaan yang berarti dalam melaksanakan pengabdian di sini. Riak-riak kecil mesti ada, tapi tidak begitu berarti. Jadwal mengajarku di desa ini aku sesuaikan dengan jadwal kuliahku, sehingga tidak berbenturan satu dengan lainnya. Lama-kelamaan aku merasa capek juga, bolak-balik antara Jogja-Boyolali. Tapi saat merasakan kepenatan itu, ku ingat kembali niatku bahwa ini semata-mata lillahi ta’ala, karena Allah semata. Maka aku pun berhasil memompa semangat kembali. Aku nikmati semua aktifitasku ini, yang insya Allah akan dicatat sebagai amal sholeh, amin.

Tiga bulan telah berlalu. Peranku semakin bertambah. Yang tadinya hanya ditugasi sebagai pengajar Bahasa arab dan Inggris, Sekarang aku juga ditugasi mengajar bidang studi lainnya, seperti ulumul qur’an, ulumul hadis, tarikh Islam dan yang lainnya.

Tadinya aku mau menolaknya. Karena aku nanti tak punya waktu untuk menggarap tugas kuliahku, tapi aku tak enak, karena takut mengecewakan. Akhirnya aku terima saja dengan lapang dada. Hitung-hitung mengamalkan ilmuku juga. Dan alhamdulillah baik para santri, siswa, maupun penduduk yang belajar denganku merasa senang dan puas. Mereka begitu semangat belajar.

Saat genap satu tahun, aku menjadi bagian yang seolah tak terpisahkan dari masyarakat tersebut. Suatu hari pak Kyai memanggilku.

“Nak Dawam. Malam jum’at besok tolong isi pengajian di Mesjid Al-Hidayah. Besok saya harus ke Jakarta, ada urusan.”

Sungguh, aku tak ingin beliau kecewa dengan penolakanku. Walau hatiku menolak perintahnya, tapi entah kenapa mulutku mengatakan, “Insya Allah pak, saya akan menjalankan amanat ini.” Betapa berat menanggung beban amanat ini. Diriku telah kupertaruhkan untuk mengisi pengajian rutin malam jum’at yang biasa diisi oleh pak Kyai Ali Albar pimpinan pondok pesantren yang ada di desa ini. Yang menghadiri pengajian ini ratusan orang. Terdiri dari bapak-bapak dan ibu-ibu, dimulai dari ba’da isya’ sampai pukul sembilan. Segalanya telah kupersiapkan. Masih ada dua hari lagi kesempatan untuk mempersiapkan segalanya, terutama bahan-bahan yang akan kusampaikan.

Ya Allah, berilah aku kekuatan dan kemampuan untuk melaksanakan amanah ini, ucapku saat setiap selesai shalat lima waktu. Pak Kyai menyuruhku berarti dia sudah percaya dengan kemampuanku. Oleh karena itu, aku tak boleh menyia-nyiakan amanah yang diberikan kepadaku ini.

Dua hari telah berlalu. Nanti malam adalah jadwal pengajian yang akan aku isi sebagai pengganti kyai Ali Albar. Tadi pagi beliau menelpon aku untuk mengingatkanku lagi menjadi penggantinya nanti malam. Beliau berpesan agar materi yang hendak disampaikan jangan yang berat-berat, dan harus dekat dengan kehidupan masyarakat. Sesaat sebelum beliau menutup telpon, aku meminta do’a restunya agar dilancarkan saat mengisi pengajian nanti.

Adzan maghrib berkumandang. Para penduduk sudah mulai berduyun-duyun melangkahkan kakinya ke mesjid dan mushola-mushola yang dekat dengan rumahnya masing-masing. Aku sendiri seperti biasa shalat berjama’ah bersama para santri. Yang menjadi imam di masjid pondok biasanya para ustadznya. Mereka bergantian. Namun tak jarang aku pun sering ditunjuk oleh pak kyai untuk menjadi imam.

Begitu selesai shalat maghrib, lalu zikir sebentar. Kemudian para jama’ah mengadakan tahlilan sebagaimana biasanya. Aku tidak ikut. Aku langsung bergegas ke kamar, hendak membaca kembali bahan-bahan yang akan kusampaikan di pengajian nanti di mesjid al-Hidayah. Tak terasa adzan isya’ telah dikumandangkan. Bismillah, aku menuju masjid al-Hidayah yang letaknya berada di sebelah utara pondok. Para penduduk mulai berdatangan. Karena ba’da isya’ ada pengajian di mesjid, maka mereka memilih sholat isya’ di mesjid sekalian. Begitu shalat isya’ selesai, seorang ustadz dari pondok melangkah ke depan menuju alat pengeras suara. Dia lalu mengumumkan bahwa pak kyai tidak bisa mengisi pengajian karena ada urusan penting ke Jakarta, namun pak kyai mengutus ustadz Dawam sebagai gantinya, ujar ustadz tersebut. Para jama’ah lalu banyak yang mengarahkan matanya kepadaku. Mereka yang tidak tahu aku bertanya kepada orang yang berada di sebelah kanan atau kirinya.

Setelah selesai bicara, ustadz tersebut mempersilakan aku maju. ”Nuwun sewu, pak” ucapku pada orang-orang yang berada di kanan-kiriku saat aku hendak ke depan.
”Nggih, monggo, monggo” jawab mereka hampir berbarengan.
Saat sampai mimbar kutatap semua jama’ah dari kiri ke kanan, dan dari belakang ke depan. Subhanallah, luar biasa banyaknya jama’ah yang biasa mengikuti pengajian ini.

Aku mengucapkan salam, lalu kususul ucapan syukur dan shalawat. Aku kemudian memohon maaf kepada para jama’ah yang sudah lancang memberi ceramah, yang memang belum pantas untuk berdiri di situ. Jika bukan pak kyai yang menyuruh tentu aku tidak akan mau memberi ceramah ini. Kujelaskan semua kepada para jama’ah. Setelah aku meminta maaf lagi barulah aku masuk pada materi. Aku menjelaskan tentang akhlak dan hakikat hidup dari A sampai Z. Kadang kusisipi kisah-kisah, baik kisah pada zaman Rasul maupun pada zaman sekarang. Para jama’ah begitu khusyu’ menyimaknya. Tidak ada satu pun yang mengantuk atau mengobrol.

”Urip mung mampir ngombe. Begitu pribahasa Jawa seperti yang telah kita ketahui. Artinya bahwa hidup kita ini hanya sementara. Jadi, pergunakanlah hidup kita ini dengan baik. ’Baik’ di sini dalam artian mampu memberikan yang terbaik pada diri kita dan orang lain. Jauhkan sifat hawa nafsu yang ada dalam diri kita, seperti menyakiti tetangga kita, sombong, pelit, iri hati, dengki, dan lain sebagainya. Dan tampilkanlah sikap positif dari diri kita seperti menolong, membantu, menghargai, peduli, dan lain-lainnya.”

Para jama’ah semakin antusias mendengarkan ceramahku, yaitu pada saat aku memasukkan beberapa pribahasa Jawa, pembahasanku ini membuat benar-benar melekat dalam hati mereka. Ketika aku membahas masalah kebaikan, kusisipi kembali pribahasa Jawa yang relevan dengan pembahasan tersebut.

”Di dalam kitab Nasho’ihul ’Ibad, Ibnu Hajar al-Asqolani berkata, ’jika kita ingin ikhlas ada dua hal yang harus diingat dan ada dua hal yang harus dilupakan. Dua hal yang harus diingat itu adalah ingatlah kebaikan orang lain dan lupakan kebaikan diri kita, sebaliknya lupakan kebaikan diri kita terhadap orang lain dan ingatlah kebaikan orang lain. Hal ini selaras dengan pribahasa jawa yang sering kita dengar yaitu ’mikul dhuwur mendhem jero’. Kebaikan dan keburukan itu akan dibalas oleh Allah swt.

Pribahasa jawa yang lain juga mengatakan ’becik ketitik ala ketara’, bahwa kebaikan dan keburukan sama-sama akan nampak terutama di mata gusti Allah swt.”
Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Jam yang ada di dinding mesjid sudah menunjukkan pukul sembilan petanda bahwa aku harus mengakhirinya. Sebelum aku tutup aku sampaikan permohonan maaf kepada para jama’ah jika ada kata-kata yang tidak berkenan di hati para jama’ah.

Begitu selesai mengucapkan salam, banyak para jama’ah menghampiriku. Mereka senang bukan kepalang atas cara penyampaianku. Mengena namun tidak menggurui, ujar mereka. Pengajian itu adalah awal aku menjadi penceramah beberapa kali. Di saat pak kyai berhalangan hadir, mesti beliau maupun para penduduk meminta aku untuk menggantikanya. Aku bersyukur para penduduk dapat menerimaku dengan baik.
* *

Semenjak mengisi pengajian, aku menjadi akrab dengan masyarakat setempat. Jadi bukan saja anak-anaknya, melainkan juga para orangtuanya. Aku sering silaturahmi ke beberapa orang penduduk. Kami mengobrol masalah apa saja. Mulai masalah ekonomi, politik, dan keagamaan. Bahkan masalah keagamaanlah yang sering kami bahas, terutama masalah fiqih. Seperti kenapa penentuan puasa dan lebaran idul fitri berbeda-beda, apa itu ruqyah dan hisab, dan lain-lainnya. Semua jawaban yang aku berikan ternyata sangat memuaskan mereka. Mereka tidak merasa digurui olehku, dan merubah keyakinan mereka.

Di antara penduduk itu, yang paling dekat denganku adalah Pak Syihab. Beliau sering mengajakku ke rumahnya, karena di rumahnya sepi. Cuma ada istrinya saja. Kedua anaknya tidak di rumah. Anak pertama sudah bekerja di RB Klaten. Sedangkan anak keduanya sekolah di pondok pesantren Assalam Surakarta. Secara tidak langsung Pak Syihab seperti menjadikan aku sebagai anaknya.

”Nak Dawam, ngomong-ngomong sudah punya calon istri belum?” tanya Pak Syihab suatu hari saat kami ngobrol masalah usaha mebelnya yang katanya lagi lumayan.

Pertanyaan yang tak kuduga sebelumnya. Ini menyangkut pribadiku. Bagaimana aku harus menjawabnya.

”Belum pak. Saya belum sempat mencarinya. Walaupun mencari, saya gak yakin bakal mendapatkannya. Lelaki seperti saya ini tidak disukai pak.” jawabaku.

”Nak Dawam terlalu merendah. Memangnya belum minat ya menikah? Asal tahu saja, seorang da’i itu harus sudah menikah. Jadi, istilahnya gak asal ngomong saja. Banyak ngomong soal hidup, tentang keluarga, tetapi nak Dawam belum berkeluarga. Lucu kedengarannya. Maaf lho nak Dawam.”

”Tidak apa-apa pak. Tapi betul juga kata bapak. Ee.. sebetulnya saya ingin segera menikah, tapi saya tak punya keberanian pak untuk mendekati wanita. Bukan hanya itu, walaupun nanti ada yang mau, tapi saya kadang ragu apakah saya bisa membahagiakan istri saya kelak.”

”Ketakutan itu wajar nak, tapi mbok ya jangan berlebihan. Eh, ngomong-ngomong di desa ini ada enggak gadis yang menjadi tambatan hati nak Dawam?” tanya pak Syihab dengan senyum.

”Ada sih pak, tapi gak usah saya sebut ya pak, saya malu.” jawabku.

”Lha, kenapa mesti malu. Coba katakan siapa orangnya?”

”Anak pak lurah, kalau tidak salah namanya Indah, ya pak?”

”Iya. Oh itu toh tambatan hatimu. Sebetulnya tidak salah pilih dengan pilihan nak Dawam. Gadis itu sangat baik, berjilbab, taat beragama, sopan, dan keibuan, serta tidak mengikuti pergaulan ala orang-orang kota. Tapi, sayang nak Dawam harus melupakan gadis itu karena dia sudah tunangan dengan anak teman bapaknya. Seperti dijodohkan begitulah. Untuk itu coba cari yang lagi ya!”

Aku menyimaknya dengan serius. Aku tidak terlalu kecewa bila wanita itu sudah tunangan sehingga aku tidak perlu mendekatinya, karena mungkin juga memang bukan jodohku.

”Nak Dawam, saya bertanya masalah ini sebenarnya saya ingin mengenalkan Nak Dawam dengan putriku, kalau nak Dawam mau. Kebetulan putriku meminta aku sebagai Bapaknya untuk mencarikan calon suami yang kira-kira cocok dengan dia, terus akhlaknya baik dan taat beragama. Kebetulan aku mengenal nak Dawam dengan baik, dan memiliki semua kriteria di atas. Sebetulnya putriku satu alumni dan teman dekat dengan si Indah.
Mereka seangkatan waktu SMK. Begitu lulus, keduanya berpisah, si Indah ke AKPER Solo dan Putriku ke AKBID Klaten. Bagaimana nak Dawam, apa mau saya jodohkan dengan putriku?”

Hatiku berkecamuk mendengar tawaran pak Syihab. Antara senang dan ragu. Bukannya aku tak percaya dengan omongan Pak Syihab, tapi apa secepat itu ia menjodohkan aku dengan putrinya.

”Bagaimana ya Pak aku mesti menjawabnya. Aku masih bingung. Bagaimana kalau nanti dia kecewa saat melihatku Pak? Apa baiknya putri Bapak mengenal terlebih dahulu siapa saya?”

”Begini nak, anakku itu sangat kuat memegang prinsipnya. Dalam kamus hidupnya tidak kenal dengan istilah pacaran. Dia tidak mau main-main dengan soal cinta. Kalau memang dia ingin mengekspresikan cintanya, maka dia harus menikah. Begitulah dia. Dan anakku itu saat ini sudah merasa waktunya menikah. Dia menyerahkan semuanya padaku, pada bapaknya. Sebagai bapak, aku pun tak asal mencarinya begitu saja. Beberapa bulan ini aku mencari kesana-kemari lelaki yang pantas buat calon suaminya, dan aku belum menemukannya. Namun saat mengenal nak Dawam, aku kok merasa cocok, bahwa nak Dawam lah yang sepertinya pantas menjadi calon suaminya. Berakhlak, berilmu, dan berkepribadian serta bertakwa. Itulah yang aku lihat di dalam diri nak Dawam. Insya Allah nak Dawam akan dapat membimbing dia di jalan yang lurus. Sehingga aku dan ibunya pun akan tenang.”

Pak Syihab berbicara kepadaku dengan suara bergetar. Matanya berkaca-kaca. Ada kesungguhan dan harapan. Harapan kalau aku dapat menerima tawaran. Subhanallah, maha suci Allah. Bagaimana aku harus menjawabnya. Pak Syihab telah mempercayakan putrinya kepadaku. Kini kartu As ada di tanganku. Aku hanya memilih jawaban ia atau tidak saja. Namun aku hanya memilih...

”Saya akan istikharah dulu pak. Insyaallah tiga hari lagi saya akan memberi jawabannya.”

Aku pun pamitan. Dalam perjalanan menuju ke pondok, pikiranku tak tenang. Aku belum berani mengambil keputusan antara ia dan tidak. Jika kupilih ia, aku khawatir gadis itu akan kecewa kepadaku, karena aku ini tidak punya apa-apa. Dan jika kupilih tidak, berarti aku menyia-nyiakan rizki yang diberikan Allah kepadaku. Dilihat dari cerita bapaknya aku yakin gadis itu solehah. Istri solehah adalah istri yang paling berharga melebihi rizki yang ada dalam semesta ini, begitu sabda Nabi yang pernah kubaca. Biarlah aku endapkan dulu semuanya, aku akan istikharah selama tiga malam berturut-turut. Setelah itu kuputuskan sesuai dengan petunjuk dan keyakinanku.

Alhamdulillah, Allah telah memberikan petunjuk-Nya kepadaku. Sudah tiga kali istikharah dan setiap kali dalam tidur aku bermimpi bahwa aku sedang tadarus al-qur’an, surat ar-rum ayat 21. Aku anggap ini isyarat dari Allah agar aku menikah. Keesokan harinya, sesuai janjiku pada pak Syihab aku memberikan jawabanku, bahwa aku menerima tawarannya. Jawabanku itu memberikan suasana haru pada pak Syihab dan keluarganya. Desa ini rasanya sudah seperti desa sendiri. Penduduknya sudah begitu melekat dalam hatiku. Begitu juga sebaliknya.

”Kalau begitu minggu besok aku akan kasih tahu putriku di Klaten untuk menyampaikan kabar bahagia ini. Sekalian aku suruh pulang untuk diadakan acara ta’aruf.” ujar pak Syihab dengan wajah sumringah.
**

Minggu yang dinanti itu telah tiba. Acara ta’aruf dihadiri oleh sanak saudara dari pihak putri pak Syihab dan pak Kyai Ali Albar serta beberapa santrinya untuk mewakili keluargaku. Pukul sembilan pagi semua telah kumpul di rumah pak Syihab. Aku lihat pak Kyai dan pak Syihab sedang mengobrol, serta yang lainnya pun demikian. Aku hanya bisa menunduk dan berfikir bahwa apakah aku sedang mimpi. Apakah ini semua nyata. Untuk memastikannya kupencet jempol kakiku. Aduh, sakit. Oh, astaghfirullah ternyata aku tidak mimpi. Semua orang yang ada di sekitarku nyata. Tapi…aku belum melihat gadis itu, seperti apa gerangan orangnya. Aku sudah pasrah dan yakin sama pak Syihab bahwa putrinya itu adalah wanita baik dan solehah. Masalah fisik, aku tidak begitu menghiraukan. Itu nomor sekian, yang penting agamanya. Begitulah yang diajarkan Rosulullah dalam memilih kriteria seorang istri.

Acara pun hendak dimulai. Semua yang ada di rumah itu disuruh ke ruang tengah.
“Wulan, keluarlah. Masnya sudah menunggu.” ujar pak Syihab dengan senyum.
Semua orang berbisik-bisik, entah apa yang mereka bisikan.

Hatiku berdegup kencang. Keringat dingin keluar bercucuran. Entah seperti apa mukaku ini. Aku tunduk. Aku tak berani mengangkat wajahku. Malu rasanya jika muka ini yang pucat karena grogi.

Wanita itu pun keluar. Dengan langkah pelan dan muka menunduk. Dia kemudian duduk dekat orang tuanya. Gadis itu persis duduk di depanku dengan jarak sekitar lima meter. Aku masih tak berani mengangkat wajahku. Wanita itu pun masih tunduk. Semua pada senyum-senyum. ’Ah, kalian berdua malu-malu kucing,’ pikir mereka mungkin seperti itu.

”Nak Dawam, ayo tatap calon istrimu itu!” ucap pak Kyai ِAli Albar.

”Kamu juga Wulan, jangan tunduk terus, coba lihat calon suamimu!” ujar pak Syihab.
Kuangkat pelan-pelan wajahku, begitu juga gadis itu. Saat mata kami beradu, kami sama-sama kaget. Subhanallah ... bukankah wanita itu yang pernah kutemui di bis jurusan Solo-Jogja. Ya, wanita yang saat itu membuat hatiku bergetar. Saat itu juga aku lagi melamun tentang pernikahanku dan tiba-tiba wanita itu ada di depanku menanyakan apakah kursi di sebelahku kosong. Lakal hamdu wa laka syukru. Hatiku berbunga-bunga. Perjalanan hidup menemukan belahan jiwaku begitu unik.

Wanita itu senyum padaku, senyum yang begitu menentramkan hati. Kulihat wajahnya putih bersih dengan bibir yang mungil dan tipis. Subhanallah, betapa indahnya dia. Benar sabda Rasul itu. Adakah rizki yang paling berharga melebihi istri solehah nan cantik?

Dalam hati aku tak henti-hentinya berucap syukur kepada Allah. Mungkin inilah buah dari keimanan kepada Allah, ketulusan dan keikhlasan hati dalam berbuat dan mengamalkan ilmu apa yang kita miliki.

Nikmat Tuhan mana yang kamu akan dustakan (S.Ar-Rahman:13)
***
*)untuk mengenang seseorang. Tuhan memberi kita kenangan. Sungguh betapa ajaibnya hidup ini.

Wanita itu Bernama Suci


Namanya Suci. Hanya itu. Aku tak tahu apa nama panjangnya. Bukan asli penduduk Yogyakarta. Katanya sih, ia berasal dari Boyolali, Jawa Tengah. Semenjak dulu kehidupannya yang loyal dan royal, seperti kehidupan sosialnya, perekonomiannya, pergaulan kesehariannya, pendidikannya, hobinya, sudah tak menarik lagi untuk diperbincangkan. Begitu pun dengan kecantikannya. Semua orang sudah paham itu semua.

Pergaulannya dengan lawan jenis, pendidikannya di AKBID, hobinya belanja, dan lain sebagainya dianggap biasa hingga saat ini jika memang ia masih berperilaku seperti itu. Tetapi kini ia membuat heboh teman-teman sekampusnya maupun para pelanggannya di counter HP yang ia jaga pada malam hari.

Tahu tidak apa yang membuatnya heboh? Yaitu ia mengenakan jilbab dan perilakunya yang santun.

Sejak ia bekerja di counter, tepatnya 1 tahun yang lalu pergaulannya semakin luas. Suci, mahasiswi tingkat akhir di AKBID yang sudah tidak terikat lagi dengan kuliah di dalam ruangan dan kegiatan di asrama memutuskan untuk bekerja di salah satu counter besar di Yogyakarta. Dan ia memilih shift malam. Pergaulan saat di asrama yang terkesan sempit, kaku, dan membosankan, terasa mendapat angin segar saat Suci bergaul di counter dengan para pelanggan dan pegawainya. Kecantikannya yang di atas rata-rata membuat ia percaya diri untuk bergaul dengan siapa pun.

Bermodalkan itu membuat ia tak lama untuk akrab dengan semua orang. Karena semuanya merasa senang saat ngobrol dengannya. Dan tak lama juga ia mendapatkan seorang kekasih.

Seorang pekerja di counter memang dituntut untuk menarik pelanggan, apalagi waktu itu counter-counter lain sudah menjambur di berbagai arah. Tuntutan itu membuat Suci ‘over acting’. Dia bukan hanya pintar menarik pelanggan untuk belanja di situ, tapi mereka juga betah dan mesti ingin belanja ke situ lagi. Begitulah Suci. Dia sudah terkenal dengan hal itu. Keterkenalannya semakin bertambah dan bercabang, yaitu ia sudah terkenal dengan gonta-ganti pacar. Bermodalkan cantik dan pandai menggoda, siapa sih lelaki yang tak bisa diperdaya? Mungkin hanya malaikat. Bulan kemarin ia berpacaran dengan si anu, bulan esok ia berpacaran dengan si itu, dan entah bulan lusanya, siapa yang akan jadi korbannya? Saat ditanya, “Suci, kenapa sih kamu suka gonta-ganti pacar, apa pacar kamu tidak baik?” Suci hanya menjawab dengan enteng, “Pacar itu seperti channel TV! Tidak suka acaranya, raih remotmu, dan ganti saluran.

Beres deh!” Begitulah dunia Suci. Adapun kekasihnya seperti tukang ojek yang sering antar-jemput dirinya antara Klaten dan Jogja.
* * *
Sekali lagi kukatakan, namanya Suci. Usianya 23 tahun. Asli Boyolali. Dia terlahir sebagai anak pertama dari 2 bersaudara. Kehidupan ekonomi orangtuanya yang lumayan waktu ia di bangku SMK, membuat ia tertarik dan dapat dukungan penuh dari orangtuanya, untuk kuliah di AKBID. Di awal-awal kuliah hingga semester 4, orangtuanya masih tak ada masalah untuk membiayai SPP dan biaya hidup dirinya. Namun, setelah 4 semester ke atas usaha orangtuanya mulai bangkrut, dan otomatis memacetkan pula untuk membiayai kuliah Suci. Biaya kuliahnya memang selangit, tak ada apa-apanya dibanding dengan kuliahku waktu S-1. Keadaan ekonomi orangtuanya dan keadaan kuliahnya yang sudah tidak ada mata kuliah lagi, cuma Tugas Akhir, membuat ia berpikir untuk bekerja. Sekitar 1 bulanan ia mencari kerja antara Klaten dan Jogja. Dan akhirnya ia mendapatkannya di Jogja.

Itulah awal mula mengapa ia harus bekerja sambil kuliah. Dengan bekerja, bukan saja ia dapat membiayai kuliahnya, tapi juga dapat mengirim uang ke orangtua dan adiknya yang masih sekolah di SMU. Kisah di atas aku dapatkan dari orangnya langsung saat 3 bulan yang lalu. Ia menceritakan itu semua padaku dengan air mata yang terus bercucuran. Penderitaan dan penyesalan atas apa yang dialaminya dulu semenjak awal-awal di counter membuat ia selalu menangis.

Adalah sebuah hal luar biasa melihat perubahan yang begitu drastis dalam diri Suci. Sungguh tidak mudah merubah kebiasaan yang telah melekat begitu lama, apalagi semua orang sudah mengetahui dan terlanjur mengecapnya. Gosip demi gosip, cerita demi cerita, dan omongan demi omongan tentang dirinya sudah sangat menggelisahkan dirinya. Ia bercerita padaku bahwa ia gelisah dan panas saat orang melihat perubahan dirinya.

Banyak orang bilang, “Suci sekarang sok alim”, “Suci sok muna..”, dan yang semacamnya. Kata-kata itulah yang membuat ia mudah goyah antara keinginan untuk berubah dengan tidak. Ia sering meminta nasihatku dan pendapatku. Waktu aku memberi saran, jika ingin berubah dan tenang dia harus hijrah. Dalam artian, jika ingin berubah ia harus cari lingkungan kerja yang baru, yang mendukung dengan perubahannya itu. Tapi ternyata itu tak mudah baginya, karena berarti ia harus mencari pekerjaan baru. Masalahnya lagi, aku tak bisa mencarikan pekerjaan baru itu.

Aku malu. Ya, aku sangat malu pada Suci dan diriku sendiri yang tidak bisa membantunya. Aku sok sibuk dengan pekerjaanku, yaitu kuliah di pascasarjana ini. Aku menganggap kuliah S-2 ini sebagai pekerjaan karena memang aku digaji oleh kampus, alias mendapat beasiswa. Aku sibuk dengan teman-temanku yang katanya intelek, dan calon cendekiawan, sibuk menulis makalah-makalah, berdiskusi, makan-makan sambil mengadakan bedah buku, dan yang semacamnya. Kami, tepatnya sih aku, melupakan bahkan menutup mata atas realitas yang terjadi di sekelilingku, yang sesungguhnya banyak memohon bantuan dari kami. Salah satunya adalah masalah yang dihadapi Suci, yang terbentur dengan keadaan yang kontradiktif. Satu sisi ia ingin mengubah masa lalunya, namun satu sisi ia tidak kehilangan pekerjaannya. Bagaimana aku harus bersikap?
Masalah Suci adalah masalah kehidupan orang banyak, bahkan banyak yang lebih parah dari dirinya: wanita, keinginan untuk selesai kuliah, dan orangtuanya tidak punya biaya. Begitulah awal kasus semua wanita ‘nakal’. Apalagi di kota-kota besar, semisal Jakarta, Bandung, dan Surabaya, tentu lebih parah lagi. Aku tak ingin Suci seperti itu. Namun ironisnya banyak orang tidak begitu memerhatikan dan tidak ambil pusing masalah ini. Sikap individualisme dan nafsi-nafsi begitu merasuki jiwa-jiwa kita, mudah-mudahan aku tidak termasuk seperti itu.
* * *

Entah kenapa aku ingin selalu mengucapkannya, bahwa wanita itu bernama Suci. Tidak, aku tidak bosan mengucapnya sampai kapan pun. Apalagi sekarang ia mulai mantap memakai jilbab, dan tetap dengan pendiriannya menjadi muslimah kaffah. Tidak mudah baginya untuk memutuskan sebuah ketetapan. Jika ia tetap bertahan dengan jilbabnya dan meninggalkan pekerjaannya detik itu juga, sama saja dengan bunuh diri. Sebab mencari lowongan pekerjaan teramat susahnya zaman sekarang, bagaimana ia bisa membiayai kuliahnya yang hanya sebentar lagi? Untuk sementara ia akan bekerja di situ sambil berjilbab, dan menunggu jawaban lamaran pekerjaan, walau ia akan didera seribu topan badai cemoohan dan ejekan. Suatu saat ia akan pergi dan tidak mau lagi menjadi sumber fitnah. Ada sesungguhnya keinginan untuk menunda pemakaian jilbabnya sampai ada kabar ia diterima di tempat kerja yang lain yang mendukung perubahannya dan agar terjaga keistiqomahannya, tetapi sampai kapan ia menunggu? Sementara ia selalu dingiangi bisikan-bisikan tentang buruknya su’ul khotimah, selain gelayutan rasa penuh dosa di masa-masa silamnya yang mendesak-desak keinginan untuk memakai jilbab secepatnya. Paling tidak dengan jilbab, membuat ia selalu terjaga.

Sebenarnya ada tawaran bekerja di TPA,tetapi entah mengapa ditolaknya. Tidak sreg karena ilmu agamanya belum matang, sebab ia sendiri baru belajar Islam dengan benar, begitu alasannya. Lagi pula ia tidak pantas institusi keagamaan diajar oleh mahasiswi AKBID. Tidak nyambung, katanya. Dan ia pun sudah memasukkan beberapa lamaran ke beberapa Rumah Sakit maupun Rumah Bersalin, tetapi mereka meminta ia lulus dulu, baru bisa diterima bekerja di situ. Akhirnya, Suci pasrah.
* * *

Suci, aku mengenalnya sudah seitar 6 bulanan. Awal pertemuanku di Bis Solo-Jogja, ketika aku dari UMS menghadiri seminar pendidikan. Pertemuan yang tidak disengaja namun mengesankan. Entah mengapa, obrolan kami begitu nyambung dan terbuka satu sama lain. Kami saling percaya atas apa yang dibicarakan. Melihat aku orangnya bisa dipecaya, dan tahu kalau aku kuliah di UIN (Universitas Islam Negeri) Yogyakarta, dia pun membuka diri, atau istilah gaulnya ‘curhat’ mengenai kehidupan pribadinya. Cara menyimak dan memberikan saran padanya, membuat dia ingin lebih kenal dekat denganku, terutama tentang masalah keislaman. Itulah awal mula perkenalanku dengannya. Saat ia kerja di Jogja, sesekali aku pun sering mampir di tempat kerjanya. Semua kehidupannya telah kuketahui.

Harus aku akui, ia memang gadis yang cantik, wajahnya bersih bersinar, matanya indah bulat, dan bibirnya tipis. Kecantikannya semakin sempurna tatkala ia memakai jilbab dan tingkah lakunya yang sopan dan anggun. Ya, semenjak memakai jilbab ia begitu tahu sopan santun dan mengerti norma-norma. Ah, ia memang sudah ‘hanif’ dan ‘kaffah’ saat ini. Sungguh beruntunglah jika ada lelaki yang dapat menjadi suami baginya.
* * *

Alhamdulillah, kini ia sudah lulus kuliah dan bekerja di RB Klaten. Dan kemarin, saat aku selesai tahajud, ia mengirim sms kepadaku. “Mas, demi menjaga imanku, dan demi menyempurnakan agamaku, aku ingin segera menunaikan sunnah rosul yang mulia ini dan berlipat ganjarannya… Aku ingin menikah, mas.”
Lalu ku balas sms-nya.

“Suci, hatimu sudah dipenuhi cahaya Ilahi. Syukurlah, aku mendukung keinginanmu. Semoga jeng Suci segera dapat jodohnya.”

Sesaat setelah aku mengirim sms di atas. Tak lama ia membalasnya, sms-nya membuatku tercenung dan tak tahu harus menjawab apa. Sms itu berbunyi,

“Mas, aku ingin menikah dengan mas”. ***

Puisi Abadi


“Seorang guru yang bisa membangkitkan sebuah perasaan untuk berbuat satu kebaikan, untuk menciptakan satu puisi indah, menghasilkan lebih banyak daripada seorang guru yang memenuhi kenangan kita dengan berderet-deret benda nyata, yang digolongkan berdasarkan nama dan bentuk.”
(John Wolfgang Von Goethe)

Aduh, bagaimana ini. Aku grogi bukan main. Kenapa aku menjadi salah tingkah begini, saat pak Dawam menghampiriku. Ia hendak mengembalikan tugas kami, yaitu puisi yang kami buat. Aku tak sabar ingin melihat nilaiku. Harap-harap cemas saat aku hendak melihatnya. Jangan-jangan nilaiku jelek.

Padahal aku sudah berusaha mati-matian membuatnya. Aku bekerja ekstra keras membuat kumpulan puisiku, berbaring di ranjangku setiap malam selama satu bulan, dengan cermat mengukir kata-kataku supaya setiap puisi menyanyi, menari, dan mengalir. Seminggu yang lalu kami disuruh mengumpulkan puisi tersebut. Dan saat ini adalah pengembalian puisinya dengan disertai catatan, komentar dan nilainya.
* * *

Pak Dawam adalah seorang dosen di bidang sastra. Ia sangat cerdas dan bersemangat. Aku sedikit jatuh hati padanya. Selain kedua hal itu, ada satu lagi yang menjadikannya sempurna di mataku, yaitu cara mengajarnya yang luar biasa berwibawa dan berkesan. Aku yakin, ini bukan hanya menurutku saja, teman-temanku yang lain juga bicara seperti itu. Aku sering duduk di belakang jika pada saat jam mata kuliah pak Dawam. Aku malu, walau sebenarnya aku ingin ia memperhatikanku. Ah, aku ini memang mahasiswi yang aneh.

Aku ingin menceritakan beberapa pengalaman yang berkesan pada saat mata kuliah pak Dawam, dimana pertemuan itu adalah awal aku menyukai dunia puisi.
Pengalaman pertama, yaitu saat kami membahas puisi cinta karya Sapardi Djoko Damono. Tak disangka waktu itu tiba-tiba pak Dawam menyuruhku membaca puisi itu. Kontan saja aku kaget, mengapa ia memilihku untuk membacanya padahal aku duduk di belakang? Keringat dingin mulai bercucuran, dan tangan gemetaran. Puisi itu puisi cinta, dan aku tak bisa mengelak untuk membayangkan siapa kekasih itu. Sebelum aku membacanya ia berpesan bahwa agar puisi itu bisa dijiwai maka aku harus membayangkan untuk siapa puisi itu. Teman-teman menyorakiku. Sesaat setelah hening aku pun mulai membacanya dengan sangat memalukan. ”A...a...ku i..nginn mencin...taimu. Aduh pak, aku tak bisa” ujarku. Aku sungguh memalukan melakukan hal sekonyol itu. Semuanya menertawakanku.

Pak Dawam hanya tersenyum. Setelah kelas mulai reda, pak Dawam kemudian memberi contoh bagaimana cara menghayati sebuah puisi. Dia pun membacanya dengan sangat indah.
”Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api
Yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tidak sempat disampaikan awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada”

Ketika selesai membacanya semua mahasiswa bertepuk tangan. Luar biasa. Aku terasa di awang-awang saat pak Dawam membaca puisi itu, seolah-olah puisi itu ditujukan ke aku. Suaranya terdengar sejuk saat mengucapkan puisi tersebut. Lalu aku berandai-andai. Ah, andai saja...

Pengalaman berkesan kedua adalah saat ia menjelaskan karya Khalil Gibran, yaitu Sayap-Sayap Patah, sebuah penjelasan tentang cinta sejati. Aku terpukau dan terpesona dengan paparan pak Dawam.

”Cinta sejati adalah melakukan pengorbanan untuk membahagiakan orang yang dicintainya. Itulah yang dipraktekkan Gibran kepada Salma dalam karyanya Sayap-Sayap Patah. Dalam bab 8 bisa kita lihat, bahwa Gibran meminta kepada Salma, yang mengetahui bahwa dia telah menikah dengan keponakan seorang pendeta, untuk terbang bersamanya ke negara lain sekalipun mungkin akan mendapat dakwaan dari pendeta. Namun, Salma menolak halus tawaran Gibran. Dia mengungkapkan ketidakegoisannya:

’Cinta hanya mengajarkan kepadaku untuk melindungimu bahkan dari aku sendiri. Adalah cinta, yang bebas dari api, yang menahanku dari mengikutimu pergi ke tempat yang jauh. Cinta membunuh hasratku sehingga engkau bisa hidup bebas dan benar. Cinta yang tak terbatas mencari kepemilikan dari orang yang dicintai, namun cinta yang terbatas hanya mencari dirinya!’

Oleh karena itu, mahasiswaku semua, belajarlah dari Salma, yang mengorbankan dirinya demi sang pencinta. Salma ini sesuai dengan definisi yang diberikan Leibniz, seorang filosof abad 18, ’Amorae est gaudere felicitate alterius’ (bahwa mencintai adalah mengupayakan kebahagiaan orang yang dicintainya).”

Begitulah penjelasan pak Dawam. Dan sejak saat itu aku begitu menyukai puisi. Banyak karya-karya puisi para tokoh, terutama dari Indonesia aku baca. Lalu lama kelamaan aku sering membuat sendiri. Dan kupikir bagus juga puisi buatanku. Sejak saat itu aku selalu semangat mengikuti kuliah pak Dawam. Menyukai dosen dan mata kuliahnya adalah dua hal yang jarang sebetulnya aku alami. Jika ada tugas dari pak Dawam aku selalu senang. Dan aku adalah orang yang selalu pertama kali yang mengumpulkan tugasnya di mejanya.

Aku sering bereksperimen menulis puisi dengan susunan yang tak biasa. Karena aku rada bosan dengan gaya-gaya yang monoton yang sering kubaca. Keseringan bereksperimen aku malah keranjingan menulis dengan gaya itu. Dan hasilnya, 2 puisi yang kujadikan tugas pertengahan semester mata kuliah ini adalah hasil eksperimen aku. Aku yakin tidak bakalan ada kedua puisiku ini sama gayanya dengan teman-teman lainnya. Aku jamin itu. Aku menulis puisi ini pada tengah malam saat hatiku terasa sepi. Kuberi judul puisi itu dengan Pada Mulanya Sepi. Inilah bait-baitnya:
Tuhan
Sepi
Tuhan tak mau sepi
Adam jadi
Adam tak mau sepi
Hawa tiba

Kau sepi
Kau tak mau sepi
Aku ada

Aku sepi
Aku tak mau sepi
Kau ada

Jadi dari sepi
Tiba dari sepi
Ada dari sepi
Ada dalam sepi
Kau dan aku
Bertemu
Membagi sepi

Sepi tak bertemu
Sepi tak terbagi
Sepi tak bertepi
Sepi yang sunyi
Sepi yang asasi
Sepi yang aku
Sepi yang aku
Sepi nya kau
Sepi nya kau
K a u
K a u
A ku
Aku

Sedang puisi kedua kubuat ketika banyak persoalan hidup kuadukan pada Tuhan. Judul puisi itu Jadi .
Tidak setiap derita jadi luka
Tidak setiap sepi jadi duri
Tidak setiap tanda jadi makna
Tidak setiap tanya jadi ragu
Tidak setiap jawab jadi sebab
Tidak setiap seru jadi mau
Tidak setiap tangan jadi pegang
Tidak setiap kabar jadi tahu
Tidak setiap luka jadi kaca
Memandang kau
Pada wajahku!

Sungguh, aku merasa puas dengan karyaku itu. Saat ini karyaku yang kujadikan tugas mata kuliah hendak diserahkan kembali kepadaku. Untuk dilihat nilainya. Aku merasa sangat yakin dapat nilai bagus. Aku lihat bisikan dan tawa teman-teman ketika mereka saling memperlihatkan nilainya. Sebagaimana yang sudah kukatakan bahwa pak Dawam bukan hanya mencantumkan nilainya tapi juga menuliskan komentar di samping nilai kami. Aku tak sabar ingin tahu apa pendapatnya tentang puisiku itu.
Jantungku berdebar kencang ketika aku membuka sampul tugasku itu untuk melihat nilaiku. Dan di sanalah di bagian atas halaman—sebuah huruf C. Tidak ada kata-kata, tidak ada penjelasan, hanya huruf C, dalam tinta biru. Tubuhku disengat rasa panas. Aku hampir tak bisa bernapas. Aku harus protes. Ya, aku harus mengadu mengapa aku dapat nilai C. Nanti, setelah semuanya keluar.

Tak lama teman-teman kemudian keluar kelas. Ku hampiri pak Dawam yang sedang memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. ”Permisi pak, ada yang mau saya tanyakan. Saya mendapat nilai C, kira-kira dimana letak kejelekan kedua puisi saya itu?” tanya aku.
”Puisimu itu seperti bukan hasil karyamu. Terlalu bagus bagi penulis pemula. Selain itu, puisimu itu menyimpang dari kaidah-kaidah sastra.” jawab pak Dawam dengan dingin.

Aku tak mengatakan apa-apa lagi. Aku langsung pergi meninggalkan pak Dawam. Sungguh alasan yang tak masuk akal. Bagaimana bisa ia menuduhku bahwa puisiku itu bukan hasil pikiranku. Aku camkan dalam hati, inilah awal kebencianku pada pak Dawam. Kalau dulu aku mengaguminya, sekarang berubah 360 derajat, aku membencinya. Sejak saat itu aku sering menghindar jika aku hendak berpapasan dengannya di kampus. Dan parahnya lagi, aku sudah 2 kali pertemuan tidak masuk mata kuliahnya. Lewat teman-temanku, pak Dawam menanyakan aku, mengapa tidak pernah masuk.

Di kamar saat hendak menulis puisi, tiba-tiba ingat dosen itu. Aku pun tak jadi menulis. Sungguh betapa besar efek kejadian itu pada diriku. Aku jadi benci menulis puisi yang tadinya aku mulai suka. Bagiku, nilai C itu sangat rendah. Tak pernah ada tugas mata kuliah yang kudapatkan nilai C. Paling kecil B. Nilai C adalah istilah dari ’Celaka’, ’Celaan’, ’Cobaan’, dan ’Cacingan’ barangkali.
Tapi, sebentar... sepertinya ada yang salah denganku. Sebuah pikiran dari sudut lain melintas dalam benakku. Jika pak Dawam menganggapnya itu bukan karyaku, berarti puisi-puisiku sangat bagus. Bahkan dia sendiri mengatakan, terlalu bagus bagi penulis pemula, katanya. Wah, sungguh ajaib. Aku berarti punya bakat dalam menulis. Tiba-tiba saja aku diliputi perasaan mampu yang sangat besar.

Orangtuaku selalu mempercayai kemampuanku dan mengatakan bahwa aku bisa menjadi apapun yang kuinginkan, dan kurasa karena itu aku jadi agak mempercayai diriku sendiri. Tapi kali ini lain. Inilah pertama kalinya seseorang yang bukan anggota keluargaku memberitahuku bahwa aku berbakat. Aku yakin pak Dawam tidak bermaksud mengatakan itu. Dan sejak saat itu, nilai C itu merupakan singkatan dari ’Confidence’ (keyakinan).

Saat aku masuk ke kelasnya lagi, pak Dawam menyuruhku untuk ke mejanya setelah selesai materi. Dia ingin tahu alasan aku tidak masuk. Aku pun menceritakan seadanya. Bahwa saat aku mendapatkan nilai C untuk tugas pembuatan puisi itu, jelas aku kecewa dan benci dengannya. Benci karena alasan yang tak masuk akal. Namun aku kemudian sadar, bahwa ada hikmah di situ, ada suatu pesan tersembunyi dari alasan yang tak logis itu. Mendengar penjelasanku pak Dawam tersenyum.

”Sudah kuduga, kamu pasti akan menyadari hal itu. Ulin, aku ingin katakan padamu, bahwa kamu punya bakat dalam menulis puisi. Puisimu begitu indah dan berpotensi mempunyai aliran baru. Aku memberi nilai C agar kamu terus menulis puisi, agar kamu terus melakukan kreatifitas. Aku kuatir jika kuberi nilai A, kamu akan merasa puas, bangga, dan tidak mau lagi menulis puisi. Aku tak ingin kamu seperti penyair Prancis Sully Prudhomme, pemenang nobel sastra pertama pada tahun 1901, setelah mendapat penghargaan ia tidak banyak mencipta puisi lagi. Itulah rahasia mengapa aku memberi nilai C buatmu. Teruslah menulis, aku yakin itu akan bermanfaat buatmu, bahkan buat semua orang sepanjang hayat kamu!”

Kata-kata pak Dawam begitu menggugah. Aku seperti tersengat aliran listrik. Akan kuingat terus kata-kata pak Dawam tersebut sampai kapan pun. Apa pun profesiku kelak, aku tak akan meninggalkan dunia puisi. Akan kutulis puisi sebanyak-banyaknya. Bukan hanya karena bakat, tapi karena sebagai panggilan hidup dan juga persembahanku pada pak Dawam.

Saat aku telah diwisuda, dan dalam fase hidupku selanjutnya beberapa tahun ke depan aku sudah bekerja di sebuah Rumah Sakit. Saat bekerja di RS itu, aku masih tetap menulis puisi. Puisiku sudah sering dimuat di koran-koran dan majalah-majalah. Selain menambah pemasukan, aku pun merasakan kepuasan yang luar biasa dalam hidupku. Dan tentu saja puisi-puisi itu mengabadikan sosok pak Dawam yang begitu melekat dalam hatiku. Ia telah menjadi ilham rahasiaku, meskipun ia tidak menyadari apa yang telah ia lakukan. Pak Dawam mungkin bukan hanya sebagai dosen tetapi juga seorang inspirator dan pembawa perubahan yang besar bagiku. Ah, aku jadi malu bila mengingat saat aku naksir sama dia, ehmm...
* * *

Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Pak Dawam telah meninggal. Seorang teman memberi tahuku. Aku sedih. Air mataku bercucuran. Ini adalah kabar pertama kuketahui semenjak lulus kuliah tentang pak Dawam. Dan ini pula ternyata kabar terakhir yang hendak kuterima mengenai dirinya. Sungguh memilukan. Kabar ini benar-benar membuatku terpukul. Keinginanku untuk memberikan hadiah berupa karyaku di ultah perkawinan pak Dawam tidak kesampaian. Untuk pertama dan terakhir, aku akan ke rumahnya, ta’ziyah. Sebagai penghormatan terakhir padanya. Aku pun minta alamatnya kepada temanku. Keesokan harinya aku pergi menuju rumahnya.

Tak sulit untuk menemukan rumah keluarga pak Dawam. Rumahnya begitu sepi. Sudah tidak ada lagi yang melakukan ta’ziyah. Di rumah itu hanya ada istrinya. Kuperkenalkan diriku pada bu Dawam, dan aku mengucapkan belasungkawa atas meninggal suaminya. Ia mengucapkan terima kasih banyak sudah datang dan mohon dimaafkan jika ada kesalahan yang dilakukan mendiang suaminya saat dia masih mengajar. Mata bu Dawam berkaca-kaca, penuh dengan air mata yang hendak jatuh ke pipinya. Tak lama air mata itu tak terbendung lagi, dan mulai berjatuhan tetes demi tetes. Ah, ingin rasanya aku mengusap air mata itu. Tapi, aku tahan. Aku hanya memegang tangannya, sebagai isyarat bahwa ibu itu harus sabar dan lapang dada. Terus aku tanya sebelum pak Dawam meninggal dia mengidap penyakit apa. Dia pun menceritakan semuanya, bahwa dia mengidap penyakit tipes yang sudah akut. Dia dirawat di RS sekitar 2 minggu, lalu ketika semakin baik, dia dibawa pulang dengan rawat jalan.

”Sekitar 3 hari di rumah semenjak dari Rumah Sakit, penyakitnya seperti sudah mau sembuh. Aku mulai senang. Namun ternyata perkiraanku salah. Keesokan harinya ketika selesai shalat subuh, suamiku dijemput yang Maha Kuasa. Sungguh tak disangka. Mungkin sudah waktunya kali ya.” ucap bu Dawam sedikit bergetar suaranya.

”Begitulah bu kalau Tuhan sudah berkehendak. Dan saya yakin Tuhan menyayangi pak Dawam. Hal itu bisa kita lihat dengan cara melihat kematiannya, yaitu usai shalat subuh.”

”Aku pun berpikir seperti itu. Kematiannya begitu tenang dan ringan. Oh iya ada yang belum aku ceritakan pada nak Ulin. Ketika selesai shalat subuh, ia ingin rebahan sebentar. Saat rebahan itu ia membaca tulisan yang ada di beberapa kertas. Aku tanya apa yang sedang dibacanya, dan ternyata puisi. Kalau tak salah ada dua puisi. Ya, dua puisi yang begitu indah. Terus, ia memintaku untuk membacakan puisi itu untuknya.

Dengan suara pelan dan penuh penjiwaan ku baca puisi itu. Memang, kedua puisi itu begitu indah. Aku pun terpesona dibuatnya. Terus aku tanya Bapakkah yang membuatnya. Dia menggeleng lalu tersenyum. Hanya itu. Setelah itu matanya terpejam, dan ternyata terpejam untuk selama-lamanya.”

Mendengar cerita bu Dawam aku tercengang. Pak Dawam sungguh luar biasa. Aku sangat kagum padanya. Kekaguman yang sesungguhnya sejak dari dulu, sejak di bangku kuliah. Ia begitu mencintai puisi, sampai saat sebelum kematian menjemputnya ia masih sempat ingin dibacakan puisi.

”Kalau boleh tahu, kedua puisi itu boleh saya lihat bu?” tanyaku, karena penasaran puisi seperti apa yang membuat pak Dawam ingin membacanya sebelum ia meninggal.
”Boleh. Saya ambilkan dulu di kamar” jawab bu Dawam sembari berdiri dan melangkah menuju kamarnya. Tak lama ia datang.

”Ini kedua puisi itu. Kertasnya sudah agak buram. Sepertinya ditulis beberapa tahun yang lalu. Sampai sekarang ibu belum yakin pak Dawam sendiri yang menulis kedua puisi itu.”

Bu dawam lalu menyerahkan kedua puisi itu. Alangkah kagetnya saat aku baca kedua puisi itu. Puisi itu adalah puisiku yang dulu kuberikan sebagai tugas mata kuliah sastra. Pak Dawam ternyata masih menyimpannya dengan baik. Dan yang membuatku takjub adalah dia membacanya di saat-saat ajalnya telah tiba. Itu artinya, ia masih mengingatku.

Bu Dawam terheran-heran melihat ekspresiku saat melihat puisi itu.
”Nak Ulin, ada apa? Apa nak Ulin kenal siapa yang membuat kedua puisi itu?” tanya bu Dawam.

Aku menatap teduh bu Dawam, lalu kugelengkan kepala sambil tersenyum. Senyum yang sangat manis yang pernah kulakukan. ***

Belajarlah Ke Cina Wahai Indonesia


Minggu 24 Agustus 2008 adalah penutupan Olimpiade Beijing 2008. Dan Negara Cina adalah juara umumnya. Negara ini telah memenangkan sejumlah cabang atletik yang menghasilkan medali emas.

Negara ini juga ternyata telah meruntuhkan hegemoni dan dominasi Amerika Serikat yang sudah turun-temurun menjadi langganan perolehan emas terbanyak dalam sejarah olimpiade. Medali emas yang dihasilkan para atlet Cina adalah 48, sedangkan Amerika 31.

Tapi, Amerika tidak mau menerima kekalahan begitu saja. Media massa AS bergerak. Hampir semuanya memberitakan bahwa negara mereka berada di peringkat atas.

Acuannya adalah jumlah total medalinya (emas, perak, dan perunggu). Harus diakui, kontingen Amerika memang merebut 109 medali, sedangkan Cina hanya 90 medali.
Tapi alasan dengan acuan seperti itu sungguh tak lazim. Karena, umumnya, dalam penentuan peringkat negara peraih medali adalah dengan melihat jumlah medali emas yang diperolehnya, bukan total secara keseluruhan.

"Anda harus memahami karakter bangsa Amerika. Mereka selalu ingin menjadi nomor satu." Ujar Cui Wenjuan, narasumber CCTV Channel 4. Begitulah gaya Amerika sebagaimana dikatakan Cui tersebut, selalu ingin menang menjadi nomor satu. Dalam kamus hidupnya tidak ada nomor dua. Selain itu, mungkin Amerika merasa "dilecehkan", karena dikalahkan oleh orang-orang Asia, Cina.

Terlepas dari keangkuhan Negeri Abang Sam itu, warga Cina merasa puas. Para atletnya sukses mengungguli negara-negara lain, termasuk negara adi daya, Amerika, dalam hal perolehan medali emas.

Kemenangan Cina sebetulnya tidak hanya dilihat dari situ saja, tetapi juga dilihat dari penyelenggaraannya. Banyak orang mengkhawatirkan akan buruknya kualitas udara selama berlangsungnya olimpiade di Cina-Beijing, sampai-sampai para atlet dianjurkan untuk mengenakan masker penyaring udara. Tetapi ternyata tidak terbukti hal itu. Iklim udara pada waktu penyelenggaraan benar-benar bersih, langit benar-benar biru. Spekulasi lainnya juga tidak terbukti. Aksi teror maupun sabotase (hampir) tidak ada, padahal jauh hari sebelum olimpiade dimulai diramalkan akan ada ancaman-ancaman yang hendak mengganggu jalannya berbagai pertandingan. Atlet, ofisial, wartawan, maupun penonton dapat memerankan tugasnya masing-masing dengan tenang.

Dan sebagaimana kita ketahui, pemerintah Cina saat itu (mungkin sampai saat ini juga), sedang digoncang oleh isu HAM di Tibet, yang (konon) dilakukan tentara Cina. Tapi, bangsa Cina berhasil meredam isu tersebut dengan memfokuskan diri pada olimpiade. Di luar dari masalah itu, Cina patut kita contoh. Mereka benar-benar meniatkan diri secara sungguh-sungguh untuk memberikan yang terbaik atas ajang olimpiade yang diamanahkan kepada mereka itu. Paling tidak, selain hal di atas, dapat kita lihat dari stasiun-stasiun televisi Cina yang tak henti-hentinya menayangkan satu pertandingan ke pertandingan lain selama olimpiade berlangsung.

Jika kita tilik sebelum diadakan olimpiade Beijing 2008, Cina penuh dengan kecaman dan citra negatif. Sebagaimana sudah penulis paparkan di atas, hal itu adalah seperti isu-isu HAM di Tibet serta ketidakamanan dan ketidaknyamanan penyelenggaraan olimpiade. Tapi, persepsi itu dapat dijungkirbalikkan dengan bukti nyata, bahwa penyelenggaraan olimpiade di Beijing benar-benar berjalan lancar. Cina membuktikan kepada dunia bahwa selama 18 hari—dari awal sampai akhir olimpiade—negaranya benar-benar aman dan nyaman. Citra mereka menjadi positif, yang sebelumnya mendapat citra negatif itu. Sambutan hangat dan keterbukaan membuat keadaan mencair di Cina.

Tidak ada lagi imej bahwa orang Cina bersifat kaku atas orang asing di negerinya.
Pemerintah Cina memang sudah menegaskan kepada rakyatnya untuk menyambut baik kepada para duta olahraga, wartawan, dan penonton dari luar Cina. Beberapa wartawan Indonesia mengakui hal itu, bahwa mereka (rakyat Cina) berhasil melaksanakan perannya dengan baik, dengan menyambut dan melayani dengan baik orang-orang asing.

Keberhasilan Cina menyelenggarakan olimpiade di Beijing dibayar setimpal, yaitu dengan sederet prestasi. Hampir di semua lapangan para atlet Cina menguasai pertandingan. Walhasil, mereka pun menjadi peraih emas terbanyak (48 medali emas). Amerika dibuat tak berkutik oleh Cina yang harus puas menjadi runner up. Para duta Paman Sam itu hanya mampu meraih 31 medali emas.

Pada akhirnya, Indonesia harus belajar ke Cina. Mau tidak mau. Karena pada dasarnya tidak ada yang berbeda antara Indonesia dan Cina. Paling tidak sesama Asia-nya. Keberhasilan Cina dalam bidang olah raga telah menambah deretan prestasinya di mana sebelumnya mereka digdaya dalam bidang ekonomi, sebagai pengekspor nomor satu, di atas Amerika dan Jepang.

Bravo Cina! Indonesia belajarlah dari mereka!

Pagi yang Sirna

Kemelut hidup tak pernah luput
dari lingkaran semesta
Rasa aneh membahana dalam jelaga
yang menguntitku kemana aku pergi

o my life limadza taj'alani
Fima dark by dark?
Malam
Malam-malam
Malam lagi
Kemanakah engkau pagi?

Selasa, 26 Agustus 2008

Perjumpaan Dengan Stephen King (Sebuah Takdir)


Semenjak balik ke Jogja, buku pertama yang aku beli adalah karya favoritku yang sudah sejak dulu ingin aku beli tapi belum kesampaian. Alasannya ada dua: Aku tak mampu membelinya dan tak ada anggaran untuknya. Buku tersebut tergolong mahal bagiku, sekitar 30 ribu ke atas (aku lupa diskonnya berapa, kalau harga aslinya 49 ribu rupiah). Selain itu, kertasnya buram. Jadi tidak logis jika buku itu harganya mahal.

Sebetulnya bisa saja sih aku menyisihkan duit beberapa bulan untuk membeli buku tersebut, tapi pada waktu itu kebutuhan membeli buku yang lainnya juga harus aku penuhi, terutama buku-buku yang ada kaitannya dengan pembahasan tesisku. Alhasil, hingga selesai kuliah dan mudik aku nggak bisa membeli buku tersebut Aku mengubur keinginanku sendiri.

Tapi ketika aku kembali ke Jogja, secara tak sengaja aku bertemu dengan buku itu lagi di Social Agency. Pertemuan kali ini dengan buku itu bener-bener membahagiakanku, buku itu memberiku senyum dan mengatakan, "Iqbal aku tahu kamu menginginkan aku, silahkah miliki aku!"

Aku pun tak ragu untuk memiliki buku tersebut. Dengan senang hati, langsung saja aku beli buku itu. Selain memuaskan hasrat rinduku pada buku tersebut, dua alasan di atas benar-benar tak berlaku pada kali ini: Anggaranku sudah ada untuk membelinya dan buku tersebut didiskon 50% (seharga Rp 24.500,-).

Terima kasih Tuhan. Tuan Stephen King, kita memang ditakdirkan untuk bertemu, agar aku bisa banyak belajar menulis dari Anda.

Aku juga membeli buku yang mengulas tentang Stephen King. Hmmm…, lumayan banyak hal yang kudapatkan dari buku itu tentang Stephen King. Kesuksesan menulis novelnya, mengantarkan dirinya terjun ke dunia perfilman.

Kamis, 21 Agustus 2008

Qardhawi dan Al-Ghazali (Pemikiran Tentang Hadis)

Yusuf Qardhawi
Biografi
-Yusuf Qardhawi lahir di desa Shaft Turab, daerah Mahallah Al-Kubra, Mesir, pada 9 September 1926. Pada usia 10 tahun dia sudah hafal Alquran. Pendidikan formalnya ditempuh di Al-Azhar Mesir. Keahliannya adalah dalam bidang Aqidah, Tafsir, dan Hadis. Hal itu didukung oleh pelajarannya di Fakultas Ushuluddin, yang diselesaikannya pada tahun 1960.

- Di antara karya-karyanya adalah Al-Quran & As-Sunnah, As-Sunnah Sebagai Sumber IPTEK & Peradaban, Fiqh Prioritas - Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Quran & Al-Sunnah,dll.

Pemikiran Yusuf Qardhawi Tentang Hadis
- Agar sukses memahami hadis secara benar, Qardhawi menegaskan bahwa kita harus menghimpun Hadis Shahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu. Kemudian mengembalikan kandungan yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang mutlak dengan muqayyad, dan menafsirkan yang ‘am dengan khos. Dengan cara itu, suatu hadis dapatlah dimengerti maksudnya dengan lebih jelas dan tidak dipertentangkan antara hadis yang satu dengan yang lain.

- Mencukupkan diri dengan dengan pengertian lahiriah suatu Hadis saja tanpa memerhatikan hadis-hadis lainnya, dan teks-teks lain yang berkaitan dengan topik tertentu seringkali menjerumuskan orang ke dalam kesalahan, dan menjauhkannya dari kebenaran mengenai maksud sebenarnya dari konteks-konteks hadis tersebut. Misalnya: لا يدخل هذا بيت قوم إلا أدخله الله الذل (“Tidak akan masuk (alat) ini ke rumah suatu kaum, kecuali Allah pasti memasukkan kehinaan ke dalamnya.” (HR Bukhori).

- Pengertian lahiriah hadis ini mengisyaratkan bahwa Rasulullah tidak menyukai pekerjaan bertani sebab akan mengakibatkan kehinaan bagi para pekerjanya. Namun secara lahiriah bertentangan dengan Hadis Shahih lainnya, karena sunnah yang kemudian dirinci dalam fiqih telah banyak menjelaskan tentang hukum-hukum pertanian, pengairan dan penggarapan tanah kosong, serta segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban masing-masing.

- Hadis itu sebenarnya berlaku bagi orang yang berada di dekat daerah musuh, sebab apabila ia menyibukkan dirinya dengan pertanian, ia akan melupakan tugas kewiraan, sehingga musuh menjadi berani. Semestinya orang yang demikian lebih memilih ketrampilan ketentaraan (Pendapat Yusuf Q.).

- Menggabungkan antara dua hadis yang dianggap bertentangan kemudian mentarjihnya (memilih yang paling kuat dan rasional). Contoh: “Nabi saw melaknat wanita-wanita yang menziarahi kubur” (HR At-Turmudzi). Hadis itu bertentangan dengan hadis, “Rasul bersabda, ‘aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, kini berziarahlah’…” .

Muhammad Al-Ghazali
Biografi
- Muhammad Al-Ghazali di sini bukanlah Muhammad Al-Ghazali yang menulis kitab Ihya Ulumuddin.
- Dia lahir pada 1917 M di al-Bahirah, Mesir, kuliah di Al-Azhar Mesir, lulus pada 1941. Dia aktif di organisasi Ikhwanul Muslimin. Dia juga aktif menulis dan berceramah.
- Muhammad Al-Ghazali wafat pada sabtu 9 syawal 1416 H bertepatan dengan tanggal 1996.
- Di antara karya-karyanya adalah As-Sunnah An-Nabawiyyah Baina Ahlul Fiqh wa Ahlul Hadis, Al-Islam Wa Al-Ausa’ Al-Iqtishadiyah, dll.

Pemikiran Hadis Muhammad Al-Ghazali
- Keterhindaran dari syadz dan ‘illat, merupakan persyaratan keshahihan matan. Dia tidak mensyaratkan ketersambungan sanad sebagai salah satu syarat keshahihan sanad hadis.
- Banyak tertuju pada matannya saja. Dia sering mengajukan pertanyaan: Apa gunanya hadis dengan isnad yang kuat tetapi memiliki matan yang cacat?

- Hadis Mutawatir cakupannya sangat luas (aqidah, hukum, dan muamalah). Hadis mutawatir juga akan mendatangkan ketenangan jiwa bagi pengamalnya. Sedang Hadis Ahad hanya menghasilkan dugaan kuat (zann al-‘ilmi), dan cakupannya hanya dalam cabang-cabang hukum syari’ah. Karena itu, dia hanya menerima hadis-hadis mutawatir untuk persoalan dasar Islam, seperti tentang akidah dan hukum.

- Hadis tentang “Orang yang meninggal diazab karena ditangisi yang hidup (baca:keluarganya)”, dari 37 jalur sanad hadis itu hanya dua jalur yang dapat diterima, yaitu yang terdapat dalam Shahih Muslim. Yaitu hanya riwayat dari Aisyah yang dapat diterima, sedang yang lainnya ditolak. Hal ini didasarkan pada Aisyah sendiri yang menolak hadis di atas, karena bertentangan dengan Alquran, “Tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain…” (Al-An’am: 164).

- Hadis berbunyi, “Tidak akan sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan urusannya kepada wanita.” (HR Bukhori). Hadis itu harus dilihat konteksnya. Ketika Nabi SAW mengucapkan hadis itu pasukan persia telah dipaksa mundur dan luas wilayahnya makin menyempit. Sebenarnya masih ada kemungkinan untuk menyerahkan kepemimpinan negara kepada seorang jenderal yang piawai, yang mungkin dapat menghentikan kekalahan demi kekalahan. Namun, paganisme politik tidak menjadikan rakyat dan negara sebagai harta warisan yang diterimakan kepada seorang wanita muda yang tidak tahu apa-apa. Hal itulah yang menandakan bahwa Persia sedang menuju kehancuran total.

- M. Al-Ghazali mengatakan bahwa wanita yang tidak boleh diserahi tugas sebagai pemimpin oleh Nabi Saw adalah wanita yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan, baik dilihat dari segi kepakaran maupun dilihat dari segi budaya setempat. Jadi, Hadis di atas tidak dapat dijadikan sebagai dasar penolakan wanita sebagai pemimpin.

Proses dan Prosedur Penelitian Sanad Hadis (Bagian I)

Al-I'tibar
Setelah dilakukan kegiatan takhrij hadis sebagai langkah awal penelitian maka seluruh sanad dicatat dan dihimpun untuk kemudian dilakukan kegiatan i’tibar.

Al-I’tibar adalah menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja; dan dengan menyertakan sanad-sanad yang tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis dimaksud.

Kegiatan al-i’tibar diperlukan pembuatan skema untuk seluruh sanad bagi hadis yang akan diteliti. Dalam pembuatan skema, ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian, 1)jalur seluruh sanad, 2)nama-nama periwayat untuk seluruh sanad, dan 3) metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat.

Nama-nama periwayat yang ditulis dalam skema sanad meliputi seluruh nama, mulai dari periwayat pertama, yakni sahabat Nabi Saw yang mengemukakan hadis, sampai mukharrij-nya.

Contoh Skema Sanad
Ada 5 hadis tentang perempuan harus sujud kepada suami yaitu dalam Sunan Abu Dawud (1 hadis), At-Turmudzi (1 hadis), Ibnu Majah (2 hadis), dan Ahmad (1 hadis).

Sunan Abu Dawud
حدثنا عمرو بن عون أخبرنا إسحق بن يوسف عن شريك عن حصين عن الشعبي عن قيس بن سعد قال أتيت الحيرة فرأيتهم يسجدون لمرزبان لهم فقلت رسول الله أحق أن يسجد له قال فأتيت النبي صلى الله عليه وسلم فقلت إنى أتيت الحيرةفرأيتهم يسجدون لمرزبان لهم فأنت يا رسول الله أحق أن نسجد لك قال أرأيت لو مررت بقبر أكنت تسجد له قال قلت لا قال فلا تفعلوا لو كنت امرا أحدا أن يسجد لأحد لأمرت النساء أن يسجدن لأزواجهن لما جعل الله لهم عليهن من الحق.

Sunan At-Turmudzi
حدثنا محمود بن غيلان حدثنا النضربن شميل أخبرنا محمد بن عمروعن أبي سلمة عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لو كنت امرا أحدا أن يسجد لأحد لأمرت المرأة أن يسجد لزوجها

Persambungan Sanad yang Diteliti
A. Lambang-Lambang Metode Periwayatan
Periwayatan hadis ada dua macam: Tahammulul hadis (penerimaan hadis), dan ada’ul hadis (penyampaian hadis). Lafal/lambang dalam periwayatan hadis di antaranya sami’tu, sami’na, haddatsani, haddatsana, ‘an, anna, akhbarani, qala lana, dan lain-lain. Sami’tu, sami’na, haddatsani, haddatsana, akhbarani, dan qala lana tingkat akurasinya sangat tinggi, sedang yang lainnya kurang. Walau begitu di antara ulama ada yang tidak sepakat juga.

Sebagian ulama mengatakan bahwa Hadis Mu’an’an, yakni hadis yang sanadnya mengandung lambang ‘an, dan Hadis Mu’annan, yakni hadis yang memakai lambang anna, memiliki sanad yang putus. Tetapi bisa bersambung sanadnya bila dipenuhi syarat-syarat sbb: 1) pada sanad hadis yang bersangkutan tidak terdapat tadlis (penyembunyian cacat), 2) para periwayat yang namanya beriring dan di antara oleh lambang ‘an ataupun anna itu telah terjadi pertemuan, 3) dan periwayat yang menggunakan lambang ‘an atau pun anna itu adalah periwayat yang terpercaya (tsiqoh).

B. Hubungan Periwayat Dengan Metode Periwayatannya
Keadaan periwayat dapat dibagi kepada: tsiqah dan tidak tsiqah. Periwayat yang tsiqah memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan karenanya dapat dipercaya riwayatnya. Bagi periwayat yang tidak tsiqah, perlu terlebih dahulu diteliti letak ketidak-tsiqat-annya, yakni apakah berkaitan dengan kualitas pribadinya ataukah berkaitan dengan kapasitas intelektualnya. Jadi, riwayat yang disampaikan oleh orang yang tidak tsiqah, akurasinya berada di bawah riwayat yang tsiqah.

Dalam hubungannya dengan persambungan sanad, kualitas periwayat sangat menentukan. Walau menerima riwayat dengan metode sami'na, misalnya, tetapi karena yang menyatakan lambang itu adalah orang yang tidak tsiqah, maka informasi yang dikemukakannya itu tetap tidak dapat dipercaya. Ada periwayat yang dinilai tsiqah oleh ulama ahli kritik hadis, namun dengan syarat bila dia menggunakan lambang periwayatan haddasani atau sami'tu, sanadnya terdapat tadlis (penyembunyian cacat). Periwayat yang tsiqah namun bersyarat itu, misalnya 'Abdul Malik bin 'Abdul 'Aziz bin Juraij, Ibn Juraij.

Hubungan antara periwayat dan metode periwayatan yang digunakan perlu diteliti. Karena tadlis masih mungkin terjadi pada sanad yang dikemukakan oleh periwayat yang tsiqah, maka ke-tsiqat-an periwayat dalam menggunakan lambang metode periwayatan perlu dilakukan penelitian secara cermat.

Selasa, 19 Agustus 2008

Hubbi! Hubbi!

Siapakah gerangan di balik tirai cinta itu? Ingin kureguk tapi
Aku tak bisa. Selimut jiwa masih menutup perjumpaan itu.
Wahai angin malam kabarkanlah suatu saat aku akan menemui cinta itu
Meski tak janji. Hidup hanya sebuah fatamorgana, dan
Akhirat adalah keabadian...
Kupersembahkan kasidah cinta pada-Mu
Ratapan makhluk yang buram mengharap belai kasih-Mu
Wahai yang Maha Segalanya
Hidup tidak ada jejak, jika diri
Tak bermakna di mata-Mu
Bukalah hatiku, sinarilah dengan cahaya-Mu
Ya Rahman, Ya Rahim
Hubbi! Hubbi!

Minggu, 17 Agustus 2008

Menulis Fiksi (Cerpen)


Prolog
Menjawab pertanyaan ‘bagaimana menyusun sebuah cerita (fiksi)?’ dan ‘apa saja kiat-kiatnya?’ Tak ada jawaban dan resep yang baku, sebab bercerita adalah sebuah seni. Dan seni menekankan pada subyektifitas. Semuanya tergantung dari kreatifitas tukang cerita untuk menciptakan sebuah cerita yang menarik. Namun demikian ada pola yang selalu kembali pada jenis cerita-cerita yang baik. Inilah pengenalan pada struktur cerita yang pengisiannya amat tergantung pada “seni” penulisnya. Semua cerita memiliki sebuah pola atau struktur bentuknya.

Struktur ini melibatkan berbagai macam unsur yang membentuk suatu kesatuan atau satu keutuhan. Keutuhan itu menggambarkan bentuk artistik dan sekaligus juga memberikan struktur bentuk pengalaman yang digambarkannya (Jakob Sumardjo: 2007). Dan struktur pengalaman tadi biasanya membawakan sebuah nilai. Nilai yang utama adalah nilai keindahan atau artistik, baru kemudian menyusul nilai-nilai lain (moral, religi, politik, sosial, dsb).

Perlu diketahui terlebuh dahulu bahwa niat menulis cerita ada dua macam, pertama: menulis untuk diri sendiri, dan kedua: menulis untuk orang lain. Di sini saya hendak berbicara menulis untuk orang lain. Menulis seperti ini jenisnya sangat banyak, namun paling tidak ada dua sasaran yang hendak kita targetkan di sini, yaitu menulis untuk dimuat di media massa. Hal ini bisa pada surat kabar, majalah, tabloid, dan penerbit.
Motivasi menulis perlu diperhatikan, karena hal ini sangat berpengaruh dalam menjalankan kegiatan ini. Misalnya, motivasi menulis karena hobi, finansial, kewajiban, atau mencari popularitas. Semuanya mempunya implikasi yang berbeda-beda.

Untuk itu silakan anda menentukan motivasi terlebih dahulu sebelum menulis.
Hanya sekadar memberikan pengetahuan kepada Anda dan sedikit memberikan provokasi untuk menulis, bahwa menulis menjanjikan kekayaan juga. Sebut saja misalnya Novel Ayat-Ayat Cinta (2004) karya Habiburrahman El-Shirazy, berhasil mencetak predikat bestseller. Menurut informasi, sampai akhir tahun lalu novel tersebut telah mencatat angka penjualan 240 ribu eksemplar. Dengan harga Rp 46 ribu per eksemplar, dan royalti 10 persen, maka Habiburrahman telah mengantongi royalti hampir Rp 500 juta hanya dalam waktu sekitar dua tahun. Jika dirata-ratakan berarti penghasilan novel ini sekitar Rp 25 juta perbulan.

Langkah-Langkah Konkrit Menulis Cerpen
Pra-produksi
Ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum menulis cerpen:
Mencari dan Menemukan Ide Cerita
Teknik menemukan ide atau bahan cerita: pertama dapat melalui pembatasan setting cerita (kehidupan mahasiswa, remaja, nelayan, buruh, dsb.) kemudian diuraikan bagian-bagian masalahnya dan lantas dicari aspek-aspeknya. Atau cara yang kedua yakni obsesi dasar saudara. Seperti cita-cita, kegelisahan, kritik terhadap realitas, dll.
Ada senjata ampuh untuk bisa menggali ide. Yaitu cara-cara yang biasa digunakan oleh para wartawan; 5 W plus 1 H (where=dimana, when=kapan, why=mengapa, what=apa, who=siapa, how=bagaimana).
Memainkan Hasil Pengamatan, fakta, dan Lamunan/Imajinasi/Fantasi
Agar lamunan menjadi sastra, usaha yang harus dicurahkan untuk pengimajinasikannya harus besar. Agar usaha itu setimpal, lamunan itu haruslah sesuatu yang betul-betul Anda minati. Elizabeth Jolley mengatakan, “penulis berusaha untuk membangun momen kebenaran melalui keajaiban imajinasi”. Anda harus benar-benar tertarik pada hal-hal yang Anda tuliskan.
Dunia imajinasi dibangun dari hal-hal yang kita temukan dalam dunia keseharian. Robin Klein, sang cerpenis dan novelis barat, mengatakan bahwa setiap hari dia mendaftar setidaknya lima hal yang dia “lihat, dengar, atau alami pada hari itu”. Dari bahan mentah hal-hal dalam hidupnya inilah, dia akan memulai membangun karya-karya imajinasinya. Imajinasi Anda memberi Anda kebebasan untuk membangun ulang dunia ini dengan menggunakan, seperti yang disarankan oleh Marquez, yaitu bahan-bahan realitas.
Sembari memainkan imajinasi, hal yang perlu dilakukan juga adalah menggambarkan jalinan ceritanya, yang terbagi pada bagian awal (perkenalan), bagian tengah (klimaks), dan bagian akhir (ending). Paling tidak Anda mempunyai cerita yang semi-utuh. (Hal ini akan dijelaskan secara detil pada bagian produksi-plot)
Membuat Hal Unik Dalam Cerita
Di bagian gaya menulis cerpen, seorang cerpenis akan mempunyai kekhasan, misalnya resep sukses Putu Wijaya terletak pada gaya penulisannya, terutama dalam memberi judul cerita yang cukup dengan satu kata saja dengan plot datar yang mempunyai daya gelitik dongeng yang tinggi. Sedangkan keberhasilan Danarto terletak pada cerita yang dekat dengan dunia santri jawa, bersuasana mistis-religius. Berbeda dengan Hamsad Rangkuti yang beraliran realis dan sederhana, sedang Ahmad Tohari sarat warna lokal yang kuat di setiap latar ceritanya.
Membaca Karya Orang Lain Untuk Melihat Corak/Gaya Penulisannya
Apa yang Anda baca, itulah yang akan Anda tulis. Sebab setiap penulis hanya melanjutkan tradisi yang sudah berjalan. Atau mampukah Anda akan menciptakan corak yang sama sekali berbeda dengan tradisi-tradisi yang sudah ada? Kalaupun Anda ingin merombak tradisi yang sudah ada, maka Anda harus menguasai tradisi-tradisi yang sudah ada. Inilah sebabnya bacaan cerpen seseorang akan ikut menentukan corak tulisannya pula. Memang pada akhirnya seorang pengarang harus menemukan gaya dan tekniknya sendiri. Namun untuk menuju ke sana diperlukan pijakan tradisi terlebih dahulu. Yaitu membaca cerpen-cerpen yang sudah ada sebelumnya. Semakin banyak seorang calon penulis cerpen membaca cerpen-cerpen yang baik dan tersohor, maka makin kuatlah pijakan tradisi menulisnya.
Produksi
“Menulislah—pada saat awal—dengan hati. Setelah itu, perbaiki tulisan Anda dengan pikiran. Kunci pertama dalam menulis adalah bukan berpikir, melainkan mengungkapkan apa saja yang dirasakan”. (William Forrester dalam film Finding Forrester).
Saya kira itulah langkah yang tepat untuk memulai menulis. Tentunya setelah Anda mempraktikan dalam pra-produksi sub a dan b. Sekali lagi saya tegaskan bahwa untuk mengawali sebuah penulisan yang idenya telah ada di kepala Anda diperlukan sebuah pemicu. Pemicunya adalah sebuah keberanian untuk ngawur (berbuat salah). Setelah Anda merasa berani untuk ngawur maka kata demi kata akan segera meluncur hingga membentuk kalimat dan akhirnya menjadi alenia. Usahakan untuk tidak meneliti dahulu tulisan Anda. Fokuskan pada tulisan Anda dan teruslah menulis. Terlampau banyak pertimbangan tentang apa pun akan menghalangi keluarnya tulisan yang akan Anda tulis.

Memulai menulis dapat dilakukan melalui pengamatan intensif. Jika setiap pagi kita melihat pemulung pria setengah baya yang menyeret gerobak berpenumpang dua anak kecil lewat di rumah kita, misalnya, kita bisa memulainya dengan:
Pria berusia paruh baya itu setiap pagi lewat di depan rumah kami. Wajahnya tidak asing lagi, sebab ia satu-satunya pemulung yang menyeret gerobak sampah. Lebih tidak asing lagi, sebab ia selalu membawa serta dua anaknya di atas gerobak itu. Pernah kami berpikir, jangan-jangan ia bukan pemulung sampah, tetapi pemulung anak-anak! (Jakob Sumardjo:2007)

Atau melalui pengalaman Anda. Coba ingat-ingat kembali pengalaman Anda. Cobalah untuk mengingat tiap detil dari kejadian yang menjadi pengalaman Anda tersebut. Lalu angkat tiap detil yang baru Anda ingat itu ke dalam tulisan. Kemudian bumbui dengan fantasi Anda. Dengan menambahkan cerpen Anda dengan bumbu-bumbu dari fantasi Anda, dapat membuat cerita Anda menjadi semakin hidup.

Perlu diingat bahwa dalam menulis cerita yang paling berperan bukan ‘katakan’ tapi ‘tunjukkan’ (to show not to tell). Misalnya kalau ingin menggambarkan kemiskinan seseorang, jangan katakan “orang itu miskin”, tetapi tunjukkan saja gambaran yang menunjukkan bahwa orang itu miskin. Misalnya: “Sering sehari penuh ia tidak makan. Di dalam biliknya, tidak terdapat barang apa pun, kecuali tumpukan baju rombeng untuk sehari-hari mengemis…”.
Kalau mentok memulai sebuah tulisan dengan cara di atas, mulailah dengan “bentuk percakapan” atau kutipan langsung, misalnya:
“Jadi kamu yang membunuh perempuan muda itu, Badri?”
“Aku terpaksa, benar-benar terpaksa, dia menuntutku kawin, aku belum siap.”
“Tetapi kenapa kamu harus membunuhnya?”
“Aku khilaf, aku bingung…”
Alinea berikutnya baru kita masuk ke penggambaran suasana percakapan di atas, menggambarkan siapa pelaku percakapan, dan seterusnya.
Setelah Anda menulis dengan semi-utuh, saatnya Anda melihat unsur-unsur intrinsik dalam cerita (cerpen), di antaranya:
Tema
Tema merupakan pokok persoalan yang menjiwai seluruh cerita. Sebuah tema adalah seperti sebuah tali yang menghubungkan awal dan akhir cerita dimana Anda menggantungkan alur, karakter, setting cerita dan lainnya. Ketika Anda menulis, yakinlah bahwa setiap kata berhubungan dengan tema ini. Tema dibagi dua: tema makro dan tema mikro. Misalnya tentang cinta. Cinta itu tema makro sedang cinta lawan jenis atau cinta orangtua terhadap anak, adalah tema mikro.
Tema sehari-hari yang sederhana saya kira lebih baik dikerjakan oleh para pemula. Sesuatu yang benar-benar telah dikenalnya yang telah diketahuinya secara baik. Kita baru bisa bicara secara jelas dan lengkap kalau masalahnya kita ketahui secara total, seperti kita mengenal diri kita sendiri.
Plot
Plot adalah dasar cerita; pengembangan cerita; atau bentuk cerita. Struktur cerita secara mudah dapat digambarkan: bagian awal, tengah, dan akhir. Dan memang bentuk semua cerita demikian. Pada bagian awal dituturkan tentang apa, siapa, di mana, kapan, dan munculnya konflik. Lebih cepat, tepat, dan ringkas bagian ini lebih baik. Konflik cepat dimunculkan, yakni unsur yang menceritakan timbulnya persoalan cinta. Misalnya konflik batin orang lapar dengan keinginan untuk mencuri, konflik seorang guru dalam menghadapi muridnya yang melawannya, konflik seorang polisi untuk membunuh atau menangkap hidup-hidup penjahat yang dicari-carinya, konflik para petani menghadapi bahaya banjir. Dan lain sebagainya.

Bagian kedua adalah bagian tengah cerita, yakni berisi perkembangan dari konflik yang diajukan pengarang. Dalam hal ini banyak unsur yang menentukan panjang tidaknya, rumit atau sederhananya cerita. Kalau konfliknya besar dan berat, ditambah pemilihan penokohan yang banyak dan rumit karakternya, maka perkembangan cerita ini akan panjang. Sebenarnya inilah yang disebut cerita itu. Bisa saja seorang penulis mengangkat persoalan atau konflik yang sama, tetapi penulis lain mungkin akan memecahkan konflik itu dengan pandangan hidupnya sendiri, sehingga dapat melahirkan cerita yang berbeda. Bagian tengah cerita inilah menantang pengarang untuk unjuk ketrampilannya. Bagian inilah yang menggiring semua bahan cerita menuju suatu klimaks cerita. Dan klimaks ini dicapai dengan serentetan suspense yang disusun pengarang .
Bagian akhir, adalah bagian penutup cerita yang berisi pemecahan konflik atau pemecahan masalah. Apakah, misalnya, penjahat itu akhirnya bertobat, apakah guru itu akhirnya menaklukan si murid, apakah polisi itu dengan susah payah akhirnya menangkap si penjahat untuk diadili.

Agar lebih jelas lagi dan mengingat hal yang penting, saya hendak memberi contoh lagi:
1. awal; pengenalan
Ada raja yang sangat mencintai istrinya. Mereka saling mencintai dan amat bahagia. Rakyat ikut bahagia.
Pada suatu hari permaisuri itu jatuh dari tunggangannya ketika sepasang merpati ini sedang bercengkrama. Tak lama kemudian permaisuri meninggal karena luka-lukanya yang fatal. Raja amat terpukul. Ia kehilangan segalanya.
2. tengah;klimaks
Raja tak bisa mengatasi kesedihannya. Ia mengurung diri dan tak mau makan. Kesehatannya sangat menurun. Lemas dan jatuh sakit. Dalam sakitnya terus mengigau memanggil- memanggil istrinya.
3. akhir: penyelesaian
Raja tak kuat mengatasi kehilangannya. Raja wafat karena merana.
Alur
Alur bisa juga disebut rangkaian cerita. Proses alur bisa maju atau mundur. Cerita dalam sebuah cerpen yang efektif biasanya menampilkan sebuah tempo waktu yang pendek. Hal ini bisa berupa satu kejadian dalam kehidupan sehari atau bahkan satu jam. Pastikan alur Anda lengkap, artinya harus ada pembukaan, pertengahan cerita dan penutup. Jangan membuat “twist ending” (penutup yang tak terduga) yang dapat dibaca terlalu dini, usahakan supaya pembaca tetap menebak-nebak sampai saat-saat terakhir.
Setting
Setting adalah tempat terjadinya cerita. Ini terbagi menjadi:
-setting geografis (tempat di mana kejadian berlangsung)
-setting antropologis (kejadian berkaitan dengan situasi masyarakat, kejiwaan pola pikir, dan adat istiadat).

Penokohan
Dalam cerita ada tokoh utama dan tokoh pembantu. Untuk menjaga efektivitas cerita, sebuah cerpen cukup memiliki sekitar tiga tokoh utama saja, karena terlalu banyak tokoh malah bisa mengaburkan jalan cerita.
Sudut pandang

Sudut pandang adalah hal yang mendasari tema dan tujuan penulisan. Hal ini bisa dilakukan oleh orang pertama atau orang ketiga.
Suasana
Suasana adalah keadaan cerita tersebut yang ditimbulkan suatu konflik. Dengan konflik pengarang berhadapan dengan suasana menyedihkan, mengharukan, menyenangkan, atau memberi inspirasi.

Post-produksi
Setelah Anda menyelesaikan cerpen Anda dan menyesuaikan dengan unsur-unsur intrinsik tersebut, maka tugas Anda kemudian adalah merevisi. Di sinilah disiplin diri sebagai penulis diuji. Ia harus mau mengulangi menuliskannya kembali. Ia harus berani merombak kembali apa yang telah ditulis. Tentunya merombak yang dirasa janggal.
Tidak mudah untuk melakukan kegiatan ini. Selain disebabkan capek dan malas, penulis pun merasa puas menulis karyanya tersebut. Padahal penulis yang baik adalah merevisi kembali apa yang telah ditulis. Paling tidak dibaca kembali beberapa kali. Ketika Anda membaca sekali lagi tulisan Anda, maka Anda akan menemukan kekurangan-kekurangannya, entah dari sisi tanda baca, kekurangan huruf, maupun kejanggalan-kejanggalan jalinan cerita yang Anda buat. Oleh karena itu, jika dipersentasikan tidak berlebihan jika saya katakan kalau menulis itu 40 persen, sedang merevisi 60 persen.
Epilog
Dalam epilog ini, saya hendak menekankan bahwa selain buku-buku penuntun yang benar-benar berisi teori menulis, para pemula hendaknya belajar sendiri dari cerita pendek yang ditulis oleh para pengarangnya. Tidak ada cara yang lebih baik daripada ini. Semua penulis berangkat dari cara ini, yaitu membaca banyak-banyak karya fiksi baik dari Indonesia maupun dari mancanegara.
Buku teori itu baik buat mengontrol karya. Kita tidak bisa berangkat dengan teori. Teori yang kita peroleh dari buku-buku itu hanya berguna setelah kita selesai menulis, yakni untuk mengontrol apakah komposisi sudah rapih, susunan plot sudah tepat, perwatakan sudah logis dan sebagainya.
Maka dalam hal ini, salah satu yang dapat dilakukan agar kita dapat terampil menghidupkan cerita adalah dengan latihan menulis. Seorang petenis, kata Jakob Sumardjo bukan hanya belajar bermain tenis di lapangan, tetapi juga dilatih senam, lari, angkat barbel, dsb. Ini semua kelihatannya tak ada hubungannya dengan main tenis. Tetapi sebenarnya latihan semacam itu amat perlu. Begitu pula dengan ketrampilan menulis cerpen. Perlu ada latihan “di luar” latihan cerpen itu sendiri (Jakob Sumardjo:2007). Dua hal itulah (membaca cerpen orang lain dan menulis cerpen) yang patut diprioritaskan.
Bahasa harus kita latih dan kuasai. “Kalau logika bahasa kita mampet, kalau gramatika kita kacau, kalau keindahan bahasa tidak kita kuasai, dan perbendaharaan bahasa tidak kita punyai, dalam menulis kita hanya akan menjumpai kekeringan belaka.” Begitu yang diucapkan Sindhunata. Sebaliknya, tambahnya lagi, “jika kita terlatih dan kaya akan bahasa, lorong-lorong kepenulisan tiba-tiba membuka dengan sendirinya.”
Lantas, bagaimana menghadapi penolakan dari media atau penerbit saat kita mengirim naskah kita? Sikap kita biasa saja. Terima saja dengan lapang dada. Jadikan penolakan itu sebagai cambuk untuk menulis dengan baik lagi. Jika masih ditolak, kirimkan ke media lain atau penerbit lainnya. Ingat, semua media mempunyai persamaan dan perbedaan dalam standar menerima naskah. Boleh jadi bukan naskah Anda yang buruk tapi medianya tidak sesuai dengan selera Anda.
Sekadar wawasan saja, selama tiga tahun John Grisham—seorang novelis Amerika—datang ke kantornya dari jam lima hingga tujuh pagi selama enam hari per minggu untuk menulis novel pertamanya A Time to Kill. Kerja kerasnya itu ditolak 28 penerbit dan akhirnya ada juga yang menerbitkan. Setelah itu namanya langsung melejit, dan semakin produktif. Hilman Wijaya, penulis Lupus, salah satu karyanya pernah ditolak tidak kurang dari 7 kali. Dan masih banyak lagi. Jadi, Anda tidak sendirian jika karya Anda ditolak. Namun Anda akan sendirian atau malah menjadi anggota orang-orang yang kalah dalam kancah dunia penulisan jika Anda kapok menulis kembali.
Bekerjalah dengan dasar yang tetap, kadang bisa beberapa menit kadang bisa berjam-jam. Mengerjakan proyek ini (cerpen) sekitar 5 menit per hari, misalnya, akan membawa Anda lebih baik dan bahkan lebih cepat proses pembelajaran Anda dari yang Anda bayangkan.
Selamat berimajinasi, menulis, dan terus menulis!
“Pada akhirnya hidup adalah pertaruhan. Apakah Anda lebih mencintai menulis dari kesenangan-kesenangan Anda yang lain?Jika iya, maka teruslah berjuang. Percayalah, setiap usaha pasti ada hasilnya.” (Muhamad Sulhanudin)

*) Dipresentasikan dalam Workshop Penulisan Populer yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) pada hari sabtu tanggal 1-2 Desember 2007

Jumat, 15 Agustus 2008

Takhrij Hadis (Selayang Pandang)

- Takhrij al-Hadis adalah penelusuran/pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan.

- Pentingnya takhrij al-hadis:
a. untuk mengetahui asal usul riwayat hadis
b. untuk mengetahui seluruh riwayat hadis
c. untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid dan mutabi' pada sanad yang diteliti.

- Metode Takhrij ada 2 macam:
1. Bil lafz (kata)
2. Bil maudhu' (tema/topik masalah)

- Kamus hadis untuk M.T. bil lafz: المعجم المفهرس لالفاظ الحديث النبوى (kar. Dr.A.J. Wensinck) memuat 9 kitab hadis (Shahih al-Bukhori, Sunan Abi Daud, Sunan at-Turmudzi, Sunan an-Nasa'i. Sunan Ibnu Majah, Sunan ad-Darimi, Muwatta', dan Musnad Ahmad bin Hambal.

- Rujukan untuk M.T. bil maudhu' : مفتاح كنوز السنة Kar.Dr.A.J. Wensinck, dkk. Memuat 14 kitab hadis (9+5:Musnad Zaid bin Ali, Musnad Abi daud at-Tayalisi, Thabaqat ibn Sa'ad, Sirah ibn Hisyam, dan Maghazi al-Waqidi.

- منتخب كنزالعمل karya Ali bin Hisyam ad-Din al-Mutqi, memuat 20 kitab hadis.
Hal yang dicari takhrij al-Hadis adalah menguji keshahihan sebuah hadis. Adapun unsur-unsur kaidah keshahihan hadis adalah sebagai berikut:

1. Sanad hadis yang bersangkutan harus bersambung mulai dari mukhorrij-nya sampai pada Nabi
2. Seluruh periwayat dalam hadis itu harus bersifat ‘adil dan dhabit
3. Sanad dan matan-nya, harus terhindar dari kejanggalan (syuzuz) dan cacat ('illat).

Ada dua hal yang harus diteliti pada diri pribadi periwayat hadis untuk dapat diketahui apakah riwayat hadis yang dikemukakannya dapat diterima sebagai hujjah ataukah harus ditolak. Kedua hal itu adalah ke’adilan dan ke-dhabit-annya. Ke’adilan berhubungan dengan kualitas pribadi, sedang ke’dhabitannya berhubungan dengan kapasitas intelektual. Apabila kedua hal itu dimiliki oleh periwayat hadis, maka periwayat tersebut dinyatakan sebagai bersifat tsiqah. Istilah tsiqah merupakan gabungan dari sifat ‘adil dan dhabit. Untuk sifat ‘adil dan sifat dhabit, masing-masing memiliki kriteria tersendiri.

Ada empat butir kriteria untuk sifat ‘adil itu: 1. beragama Islam; 2. mukallaf; 3. melaksanakan ketentuan agama; dan 4. memelihara muru'ah.

Muru'ah ialah kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia pada tegaknya kebajikan moral dan kebiasaan-kebiasaan. Hal itu dapat diketahui melalui adat istiadat yang berlaku di masing-masing tempat. Contoh-contoh yang dikemukakan oleh ulama tentang perilaku yang merusak atau mengurangi muru'ah antara lain ialah; makan di jalanan, buang air kecil di jalanan, makan di pasar yang dilihat oleh orang banyak, memarahi istri atau anggota keluarga dengan ucapan kotor, dan bergaul dengan orang yang berperilaku buruk. Bila periwayat hadis tidak memelihara muru'ah, maka dia tidak tergolong sebagai periwayat yang adil dan karenanya, riwayatnya tidak diterima sebagai hujjah.

Berdasarkan kriteria sifat ‘adil yang telah dikemukakan di atas, maka hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang yang suka berdusta, suka berbuat munkar atau sejenisnya, tidak dapat diterima sebagai hujjah. Bila riwayatnya dinyatakan juga sebagai hadis, maka hadisnya adalah hadis yang berkualitas sangat lemah (dha’if), yang oleh sebagian ulama dinyatakan sebagai hadis palsu (hadis maudhu').

Ulama hadis berbeda pendapat dalam memberikan pengertian istilah untuk dhabit, namun perbedaan itu dapat dipertemukan dengan memberi rumusan sebagai berikut:

1. Periwayat yang bersifat dhabit adalah periwayat yang: a). hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya, b). mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain.
2. periwayat yang bersifat dhabit ialah periwayat yang selain disebutkan dalam butir pertama di atas, juga dia mampu memahami dengan baik hadis yang dihafalnya itu.