Pada suatu hari seorang pemuda sedang berjalan di tengah hutan, tiba-tiba ia mendengar jeritan minta tolong. Ternyata ia melihat seorang pemuda sebaya dengan dia sedang bergumul dengan lumpur yang mengambang. Semakin bergerak malah semakin dalam ia terperosok.
Pemuda yang pertama tadi hendak sekuat tenaga memberikan pertolongannya. Dengan susah payah pemuda yang terperosok itu dapat diselamatkan. Pemuda yang pertama tadi memapah pemuda yang terperosok itu pulang ke rumahnya.
Ternyata si pemuda kedua ini anak orang kaya. Rumahnya sangat bagus, besar dan mewah luar biasa.
Ayah pemuda ini sangat berterimakasih atas pertolongan yang diberikan kepada anaknya dan hendak memberikan uang, tetapi pemuda pertama tadi menolak pemberian tersebut. Ia berkata bahwa sudah selayaknya sesama manusia menolong orang lain yang sedang dalam kesusahan. Sejak kejadian ini mereka menjalin persahabatan.
Si pemuda pertama adalah seorang miskin sedangkan pemuda kedua adalah anak seorang bangsawan kaya raya. Si pemuda miskin mempunyai cita-cita menjadi seorang dokter, namun ia tidak memiliki biaya untuk kuliah. Kemudian ada seorang yang murah hati yang mau memberikan beasiswa untuknya sampai akhirnya meraih gelar dokter. Orang ini tak lain adalah ayah pemuda yang ditolongnya tadi.
Tahukan anda nama pemuda miskin yang akhirnya menjadi dokter ini? Namanya Alexander Flemming, yang kemudian menemukan obat penisilin. Si pemuda bangsawan masuk dinas militer dan dalam suatu tugas ke medan perang ia terluka parah sehingga menyebabkan demam yang sangat tinggi karena infeksi. Pada waktu itu belum ada obat untuk infeksi semacam itu. Para dokter mendengar tentang penisilin penemuan dr.Flemming dan mereka menyuntik dengan penisilin yang merupakan penemuan baru itu. Apa yang terjadi kemudian? Berangsur-angsur demam akibat infeksi itu reda dan si pemuda itu akhirnya sembuh!
Tahukan anda siapa nama pemuda pemuda itu? Namanya adalah Winston Churcill, Perdana Menteri Inggris yang termasyhur itu.
* * *
Dalam cerita di atas telah menceritakan dua tokoh dunia yang terkenal. Pertama, Alxander Fleming, dan kedua, Winston Churchill.
Alexander Fleming dilahirkan di Skotlandia, tepatnya di daerah pertanian Lochfield dekat Darvel di kota Ayrshire pada 6 Agustus 1881. Ketika berusia tiga belas tahun, ia memasuki London. Ia diajak kakaknya untuk melanjutkan sekolah di London. Alexander belajar di Politeknik Regent Street, tempat yang menyediakan kelas-kelas dengan bayaran rendah untuk orang-orang yang ingin belajar. Ketika berusia enam belas tahun itu, Alexander telah lulus.
Setelah itu ia ada tawaran pekerjaan dari perusahaan pelayaran America Line. Pekerjaannya adalah menyalin dokumen dengan tangan, mencatat keuangan, dan perincian-perincian penumpang dan barang muatan. Ia bekerja sangat hati-hati, namun ia merasa pekerjaannya sangat menjemukan.
Pada bulan Oktober 1901 ia bersekolah di sekolah kedokteran Rumah Sakit St. Mary. Berbeda dengan pekerjaannya dulu, sekarang ia harus menyelidiki struktur tubuh manusia, jaringan, dan organ-organnya sampai detail yang sekecil-kecilnya. Ia membedah bisul dan abses (sekumpulan nanah yang merupakan tumpukan bakteri), menjahit dan membalut luka, mencabut gigi, dan mebidai tulang patah. Namun, hanya sedikit dokter yang dapat mengobati kebanyakan penyakit yang mengisi rumah sakit-rumah sakit pada abad itu sebelum ditemukannya penisilin.
Pada Juli 1906, ia lulus ujian akhir kedokterannya. Ia menjadi dokter yang berkualifikasi. Ia terkenal sebagai seorang ahli pada bidang pengobatan dengan vaksin. Pada Februari 1929 Alexander menemukan dan membuat laporan mengenai penisilin. Secara tidak sengaja, ia menumpahkan jamur yang ia bawa kepada cawan yang berisi streptococcus yang sedang diteliti oleh rekan kerjanya ketika bakteri itu akan dibuang. Alhasil, betapa terkejutnya Alex ketika jamur itu menutupi dan menetralkan streptococcus. Akhirnya, dengan tekun ia mencari terus apa gerangan yang ada pada jamur itu. Ilmuwan lain yang ahli soal jamur mengatakan kepadanya bahwa jamurnya itu adalah salah satu kelompok dari kelompok penicillium dan Alex mulai menggunakan nama "penisilin" bagi senyawa pembunuh bakterinya.
Ia menolong Harry Lambert dengan hasil penemuannya (penisilin), yang kemudian membuat dirinya menjadi begitu terkenal dan mendapat penghargaan Nobel pada 1945. Saat Perang Dunia II, penisilin diberikan pada tindakan amputasi pasukan sekutu, menyelamatkan 12-15% nyawa. Sampai sekarang Alexander tetap dikenang sebagi penemu penisilin, obat mujarab untuk mencegah infeksi. Ia wafat pada 11 Maret 1955.
Tokoh kedua yaitu Winston Churchill. Nama lengkapnya adalah Winston Leonard Spencer Churchill. Ia lahir di Blenheim Palace, Inggris, tanggal 30 November 1874. Masa kecilnya ia habiskan di asrama sekolah, Harrow. hal itu sudah lazim pada masanya bagi kalangan atas. Bidang pelajaran yang disukainya adalah bahasa inggris dan sejarah. Churchill kecil begitu mencintai dan mengagumi ibunya. Saat di asrama, ia sering menyempatkan untuk menulis surat; berbagi cerita kesehariannya di asrama dan kerinduan pada ibunya tersebut. Kedekatan dengan ibunya terus terbawa sampai ia dewasa.
Adapun dengan ayahnya, walau tidak sedekat dengan ibunya, ia begitu mengaguminya juga, terutama dalam hal karir. Saking kagumnya, ia pernah berucap, "Ayah saya adalah kanselir keuangan dan satu hari nanti, aku pun akan melakukan hal yang sama."
Begitu lulus di bangku sekolah, ia pun melanjutkan ke akademi militer di Sandhurst. Dan setelah lulus pada umur 20 tahun, Churchill bergabung dengan tentara sebagai Subaltern (pangkat letnan) di regimen kavaleri Hussar IV.
Tahun 1895, ia mendapatkan ijin pergi ke Kuba untuk menjadi pengamat perang antara prajurit Spanyol dan gerilyawan Kuba. Selain itu, ia juga mendapatkan komisi untuk menjadi koresponden surat kabar Daily Graphic. Karirnya dalam militer dan jurnalistik terus menanjak. Churchill juga pernah ditugaskan ke India untuk melawan pemberontakan di sana, sembari menulis artikel untuk surat kabar The Pioneer dan The Daily Telegraph.
Sekembalinya ke Inggris, ia menerbitkan buku pertamanya mengenai konflik di atas berjudul The Story of Malakand Field Force. Pengalaman pertamanya itu, membuat ia ketagihan untuk mencobanya lagi. Ia pun berangkat ke Afrika Selatan bergabung dengan militer sekutu. Adapun perjalanan terakhirnya dalam dunia militer dikirimnya ia ke Sudan. Dan seperti biasa, sebagai hobinya dalam tulis menulis, di sana ia juga menjadi koresponden untuk surat kabar Morning Post. Dan sekembalinya dari sana, ia menuliskan pengalamannya dalam sebuah buku yang diberi judul The River War.
Setelah itu ia mulai merintis di jalur parlemen. Karirnya langsung melejit. Ia menjadi kandidat bagi partai konservatif di Oldham akan tetapi hanya bisa menduduki tempat ketiga dalam pemilihan tersebut, sementara Oldham pada waktu itu hanya mempunyai kuota untuk dua kursi.
Perjalanan karirnya dalam politik begitu berliku, namun eskalasinya terus meningkat. Santai tapi pasti. Karirnya terus melonjak, hingga akhirnya ia menjadi Perdana Menteri. Saat menjabat perdana menteri, suasana dunia barat sedang terjadi perang dunia II.
Keadaan perang tersebut, pernah muncul dari mulutnya, sebuah kata-kata yang inspiratif dan dikenang sampai sekarang. Bunyinya yaitu, "Saya tidak mempunyai apa-apa untuk ditawarkan kecuali darah, kerja keras, air mata, dan peluh…. Kita akan mempertahankan pulau kita, walau apa pun harganya, kita akan bertempur di pantai, kita akan bertempur di tempat pendaratan, kita akan bertempur di padang dan jalan, kita akan bertempur di bukit; kita tidak akan sekali-kali menyerah."
Dalam perjalanan karir politiknya, ia terpilih dua kali menduduki jabatan Perdana Menteri Inggris. Adapun gelar kehormatan yang begitu prestise yaitu mendapat dua gelar, gelar Sir dan hadiah nobel dalam literatur untuk kepakarannya dalam penulisan riwayat dan sejarah serta kepintarannya berorasi dalam mempertahankan nilai kemanusiaan yang tinggi. Ia meninggal pada 24 Januari 1965.
Memang, sejak muda hingga menjabat Perdana Menteri, Churchill tidak pernah lepas dari buku. Segala jenis buku, terutama yang berhubungan dengan sejarah merupakan ”makanan”nya sehari-hari. Bahkan waktu bertugas di medan perang pun (di Kuba, India, Sudan, dan Afrika Selatan), Churchill selalu ditemani dengan buku dan pena. Ia belajar dari buku sejarah, orang-orang sekitar, dan budaya yang ditemuinya. Hasil pemikiran dari buku-buku yang dipelajari dan orang-orang serta budaya sekitar yang diamati dituangkannya dalam bentuk buku-buku yang berharga untuk dipelajari juga oleh orang lain. Oleh karena itu dalam dirinya terkumpul tiga profesi: tentara, penulis, politisi, dan negarawan.
* * *
Saya hendak kembali pada kisah di atas. Dalam kisah tersebut dapat kita lihat hukum menabur dan menuai. Flemming menabur kebaikan dan ia menuai kebaikan pula. Keinginannya terkabul untuk menjadi dokter, bahkan lebih dari itu, ia mendapat penghargaan nobel berkat penemuannya, yaitu menemukan penisilin yang akhirnya menolong jiwa Churcill. Tidak sia-sia bukan beasiswa yang diberikan ayah Churcill.
Satu kalimat kunci yang kita dapatkan dari cerita di atas yaitu MENABUR DAN MENUAI.
Menabur dan menuai adalah dua kata yang saling berkelindan, yang seolah-olah masuk pada hukum kausalitas. Pernahkah Anda merenungkan bahwa hidup ini serba hubungan sebab akibat yang kompleks? Percayakah anda bahwa apa yang kita tabur itulah yang akan kita tuai? Walau kadang sifatnya sederhana dan kadang juga rumit. Semua itu berpulang pada anda sendiri. Saya adalah orang yang percaya dengan hukum sebab akibat.
Hubungan sebab akibat dalam kehidupan kita bisa terjadi secar sederhana. Bila seorang pelajar mempersiapkan diri dengan baik untuk suatu ulangan atau ujian, misalnya, maka tak heran kita lalu mendapatkan nilai yang baik untuk mata pelajaran yang diujikan. Dalam rentang waktu yang lebih panjang, tidak jarang hubungan sebab akibat itu juga dapat dilihat dengan sama jelasnya. Jika kita membesarkan anak dalam kondisi miskin kasih sayang, misalnya juga, itu akan penuh dengan celaan dan caci maki.
Gambaran contoh di atas senada dengan kata-kata yang dilontarkan oleh Dorothy Law Nolte, yang pada hakikatnya menganut hukum sebab-akibat. “Jika Anak dibesarkan dengan celaan, Ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, Ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, Ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan hinaan, Ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, Ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, Ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, Ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, Ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, Ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, Ia belajar menyenangi dirinya. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.”
Sahabat saya pernah mengilustrasikan bahwa kehidupan ini jika ingin bahagia harus seperti koki yang pandai memasak secara profesional. Dalam artian supaya hidup ini senantiasa menghasilkan yang “lezat-lezat”, maka sudah menjadi keharusan menabur sesuatu yang baik-baik dan harus punya “bumbu” serta kiat rahasia. Apa sih “bumbu” dan kiat rahasianya? Bagi dirinya, resepnya adalah cinta, kesungguhan dan keikhlasan. Segala sesuatu yang dilakukan dengan cinta dan kesungguhan akan memberikan hasil yang lebih prima.
Dia lalu memberikan contoh riil, yaitu para pengamen di sebuah bis. Dalam bis tersebut para penumpang dapat menilainya mana pengamen yang menyanyi sekedarnya dan mana yang melakukannya dengan penuh cinta, kesungguhan dan keikhlasan. Penuh cinta dan kesungguhan karena mampu menyajikan lagu dan musik yang indah dan enak didengar. Kepiawaian ini tentunya tidak datang sekonyong-konyong. Ikhlas menyanyi sebagus mungkin walaupun mungkin nanti ternyata tidak ada yang memberi uang. Hasilnya langsung dapat dilihat saat itu juga. Penumpang bis umumnya tidak segan merogoh dompet atau kantongnya untuk memberikan imbalan atas lagu-lagu yang dinyanyikan dengan baik.
Percayakah anda jika kita menabur kebaikan kepada orang lain, maka di kemudian hari tuaian akan terjadi. Bisa kita sendiri yang menuainya, bisa pula keluarga kita. Dan yang pasti, sebagai orang beragama, kebaikan yang kita tabur itu bisa kita tuai baik di bumi, atau di akhirat kelak. Jika tidak terjadi di bumi, di akhirat pasti akan terjadi. Begitulah agama mengajarkan kepada kita.
Hal itu sebetulnya sangat logis, karena menabur kebaikan sesungguhnya sama artinya dengan investasi kehidupan. Lebih sederhananya lagi, bahwa menabur kebaikan sama halnya dengan menanam benih pada taman kehidupan kita. Hidup bermasyarakat adalah ibarat taman luas di mana semua orang dapat menikmatinya. Oleh karena itu, semua individu mempunyai tanggung jawab yang sama untuk memelihara dan merawat taman tersebut. Salah satunya adalah dengan membangun hubungan yang positif (baca: kepedulian) antara satu dengan lainnya. Dengan kepedulian itu pada gilirannya akan dapat membangun dan menguatkan sesama kita yang merupakan tanaman dalam taman kehidupan kita.
Hidup manusia sebenarnya mempunyai misi atau tugas, lebih-lebih keberadaannya di muka bumi ini sebagai wakil Tuhan. Sayangnya banyak dari kita tidak menyadari dan tidak pernah mengetahui apa sebenarnya misi hidup kita di dunia ini. Nah, salah satu misinya adalah menyebarkan kebaikan kepada semua yang ada di muka bumi ini. Entah itu kepada sesama manusia, maupun kepada non-manusia: tanaman, pepohonan, hewan, lingkungan, dan lain sebagainya. Kesadaran seperti itu secara otomatis akan dapat memberi makna dalam mengisi kehidupan kita sendiri.
Siapa menabur kebaikan, ia akan menabur kebaikan pula. Ya, saya tak akan bosan untuk mengucapkan kalimat itu. Karena itu adalah “kalimat kunci” dalam kehidupan jika mendambakan kebaikan dalam hidup. Jika anda mendengarkan sesuatu yang baik, dan anda juga membaca sesuatu yang baik, lalu anda terapkan dalam kehidupan anda, maka anda akan menjadikan pengetahuan itu sebuah tindakan. Setelah itu menjadi sebuah kebiasaan. Nah, kebiasaan inilah yang akan membawa kepada kesuksesan.
Namun satu hal yang perlu diingat bahwa berbuat sesuatu yang baik dan menjadi individu yang baik harus dilandaskan ketulusan. Sungguh tak jarang kita menemukan sebagian di antara kita salah dalam mengartikan makna berbuat sesuatu yang baik dan menjadi individu yang baik dalam hidup ini, entah di dalam hubungan antara dua orang atau lebih, maupun kaitannya dalam pekerjaan, persahabatan sampai bertetangga.
Kenyataan di lapangan memperagakan pada kita bahwa banyak orang yang berusaha menjadi paling baik justru dengan cara-cara tidak baik, seperti mengalahkan, merendahkan, dan bahkan menyingkirkan orang lain. Banyak juga kebaikannya dilakukan dengan ukuran penampilan luar atau materi semata, seperti pakaian glamour, rumah megah, kendaraan mahal, dan lain-lainnya, dan juga dengan ukuran kedudukan seperti jabatan, gelar, pangkat, serta yang lainnya. Bahkan tak jarang kebaikannya disertai dengan kesombongan dan kebanggaan yang sangat berlebihan. Hal itu nampak sekali kita lihat saat orang memberikan sumbangan dan menolong seseorang saat ditimpa kesusahan.
Sebagaimana yang telah saya singgung di atas bahwa melakukan hal baik harus benar-benar tulus, dan satu lagi mengutamakan kepentingan orang lain. Kebaikan kita harus berasaskan manfaat bagi orang lain bukan karena kepentingan diri kita sendiri. Dengan kata lain, bahwa semakin kita berbuat baik dan menjadi lebih baik maka semakin rendah hatilah kita, semakin jujurlah kita, dan semakin ikhlaslah kita. Itulah kebaikan yang sebenarnya. Jadi, bukan sebaliknya, semakin kita berbuat baik malah kita semakin tidak menjadi baik, karena disertai oleh perilaku-perilaku yang tidak baik.
Kebaikan dapat kita lakukan di mana saja, kapan saja, dan dalam peran apa saja. Kalau anda seorang bisnisman, misalnya, jadilah bisnisman yang baik, bahkan lebih baik di antara bisnisman yang lainnya. Begitu juga jika anda seorang pegawai, jadilah pegawai yang baik, dan bahkan yang terbaik di antara yang lain. Sungguh, hal itu dapat dilakukan oleh siapa saja: orangtua; anak; kakek; mertua; suami;istri;mahasiswa;sopir; dan lain-lainnya. Namun satu hal yang perlu diingat bahwa menjalankan kebaikan itu harus dilandasi ketulusan, kejujuran dan mengutamakan kepentingan orang lain. Ada yang mengatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah bermanfaat bagi orang lain. Tidak mudah memang, tapi tak sulit pula sesungguhnya jika kita berkomitmen untuk melakukannya. Ada pribahasa mengatakan, “Menjadi orang baik tidaklah mudah, tapi menjadi orang yang bijaksana lebih sulit lagi”.
Setelah membaca pemaparan di atas, sudahkah anda berbuat baik hari ini? Mudah-mudahan anda sudah mempraktikkannya sekecil apa pun, karena Adam Smith mengatakan, “Jika Anda membuat seseorang bahagia hari ini, anda juga membuat dia berbahagia dua puluh tahun lagi, saat ia mengenang peristiwa itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar