Kamis, 28 Agustus 2008

Wanita itu Bernama Suci


Namanya Suci. Hanya itu. Aku tak tahu apa nama panjangnya. Bukan asli penduduk Yogyakarta. Katanya sih, ia berasal dari Boyolali, Jawa Tengah. Semenjak dulu kehidupannya yang loyal dan royal, seperti kehidupan sosialnya, perekonomiannya, pergaulan kesehariannya, pendidikannya, hobinya, sudah tak menarik lagi untuk diperbincangkan. Begitu pun dengan kecantikannya. Semua orang sudah paham itu semua.

Pergaulannya dengan lawan jenis, pendidikannya di AKBID, hobinya belanja, dan lain sebagainya dianggap biasa hingga saat ini jika memang ia masih berperilaku seperti itu. Tetapi kini ia membuat heboh teman-teman sekampusnya maupun para pelanggannya di counter HP yang ia jaga pada malam hari.

Tahu tidak apa yang membuatnya heboh? Yaitu ia mengenakan jilbab dan perilakunya yang santun.

Sejak ia bekerja di counter, tepatnya 1 tahun yang lalu pergaulannya semakin luas. Suci, mahasiswi tingkat akhir di AKBID yang sudah tidak terikat lagi dengan kuliah di dalam ruangan dan kegiatan di asrama memutuskan untuk bekerja di salah satu counter besar di Yogyakarta. Dan ia memilih shift malam. Pergaulan saat di asrama yang terkesan sempit, kaku, dan membosankan, terasa mendapat angin segar saat Suci bergaul di counter dengan para pelanggan dan pegawainya. Kecantikannya yang di atas rata-rata membuat ia percaya diri untuk bergaul dengan siapa pun.

Bermodalkan itu membuat ia tak lama untuk akrab dengan semua orang. Karena semuanya merasa senang saat ngobrol dengannya. Dan tak lama juga ia mendapatkan seorang kekasih.

Seorang pekerja di counter memang dituntut untuk menarik pelanggan, apalagi waktu itu counter-counter lain sudah menjambur di berbagai arah. Tuntutan itu membuat Suci ‘over acting’. Dia bukan hanya pintar menarik pelanggan untuk belanja di situ, tapi mereka juga betah dan mesti ingin belanja ke situ lagi. Begitulah Suci. Dia sudah terkenal dengan hal itu. Keterkenalannya semakin bertambah dan bercabang, yaitu ia sudah terkenal dengan gonta-ganti pacar. Bermodalkan cantik dan pandai menggoda, siapa sih lelaki yang tak bisa diperdaya? Mungkin hanya malaikat. Bulan kemarin ia berpacaran dengan si anu, bulan esok ia berpacaran dengan si itu, dan entah bulan lusanya, siapa yang akan jadi korbannya? Saat ditanya, “Suci, kenapa sih kamu suka gonta-ganti pacar, apa pacar kamu tidak baik?” Suci hanya menjawab dengan enteng, “Pacar itu seperti channel TV! Tidak suka acaranya, raih remotmu, dan ganti saluran.

Beres deh!” Begitulah dunia Suci. Adapun kekasihnya seperti tukang ojek yang sering antar-jemput dirinya antara Klaten dan Jogja.
* * *
Sekali lagi kukatakan, namanya Suci. Usianya 23 tahun. Asli Boyolali. Dia terlahir sebagai anak pertama dari 2 bersaudara. Kehidupan ekonomi orangtuanya yang lumayan waktu ia di bangku SMK, membuat ia tertarik dan dapat dukungan penuh dari orangtuanya, untuk kuliah di AKBID. Di awal-awal kuliah hingga semester 4, orangtuanya masih tak ada masalah untuk membiayai SPP dan biaya hidup dirinya. Namun, setelah 4 semester ke atas usaha orangtuanya mulai bangkrut, dan otomatis memacetkan pula untuk membiayai kuliah Suci. Biaya kuliahnya memang selangit, tak ada apa-apanya dibanding dengan kuliahku waktu S-1. Keadaan ekonomi orangtuanya dan keadaan kuliahnya yang sudah tidak ada mata kuliah lagi, cuma Tugas Akhir, membuat ia berpikir untuk bekerja. Sekitar 1 bulanan ia mencari kerja antara Klaten dan Jogja. Dan akhirnya ia mendapatkannya di Jogja.

Itulah awal mula mengapa ia harus bekerja sambil kuliah. Dengan bekerja, bukan saja ia dapat membiayai kuliahnya, tapi juga dapat mengirim uang ke orangtua dan adiknya yang masih sekolah di SMU. Kisah di atas aku dapatkan dari orangnya langsung saat 3 bulan yang lalu. Ia menceritakan itu semua padaku dengan air mata yang terus bercucuran. Penderitaan dan penyesalan atas apa yang dialaminya dulu semenjak awal-awal di counter membuat ia selalu menangis.

Adalah sebuah hal luar biasa melihat perubahan yang begitu drastis dalam diri Suci. Sungguh tidak mudah merubah kebiasaan yang telah melekat begitu lama, apalagi semua orang sudah mengetahui dan terlanjur mengecapnya. Gosip demi gosip, cerita demi cerita, dan omongan demi omongan tentang dirinya sudah sangat menggelisahkan dirinya. Ia bercerita padaku bahwa ia gelisah dan panas saat orang melihat perubahan dirinya.

Banyak orang bilang, “Suci sekarang sok alim”, “Suci sok muna..”, dan yang semacamnya. Kata-kata itulah yang membuat ia mudah goyah antara keinginan untuk berubah dengan tidak. Ia sering meminta nasihatku dan pendapatku. Waktu aku memberi saran, jika ingin berubah dan tenang dia harus hijrah. Dalam artian, jika ingin berubah ia harus cari lingkungan kerja yang baru, yang mendukung dengan perubahannya itu. Tapi ternyata itu tak mudah baginya, karena berarti ia harus mencari pekerjaan baru. Masalahnya lagi, aku tak bisa mencarikan pekerjaan baru itu.

Aku malu. Ya, aku sangat malu pada Suci dan diriku sendiri yang tidak bisa membantunya. Aku sok sibuk dengan pekerjaanku, yaitu kuliah di pascasarjana ini. Aku menganggap kuliah S-2 ini sebagai pekerjaan karena memang aku digaji oleh kampus, alias mendapat beasiswa. Aku sibuk dengan teman-temanku yang katanya intelek, dan calon cendekiawan, sibuk menulis makalah-makalah, berdiskusi, makan-makan sambil mengadakan bedah buku, dan yang semacamnya. Kami, tepatnya sih aku, melupakan bahkan menutup mata atas realitas yang terjadi di sekelilingku, yang sesungguhnya banyak memohon bantuan dari kami. Salah satunya adalah masalah yang dihadapi Suci, yang terbentur dengan keadaan yang kontradiktif. Satu sisi ia ingin mengubah masa lalunya, namun satu sisi ia tidak kehilangan pekerjaannya. Bagaimana aku harus bersikap?
Masalah Suci adalah masalah kehidupan orang banyak, bahkan banyak yang lebih parah dari dirinya: wanita, keinginan untuk selesai kuliah, dan orangtuanya tidak punya biaya. Begitulah awal kasus semua wanita ‘nakal’. Apalagi di kota-kota besar, semisal Jakarta, Bandung, dan Surabaya, tentu lebih parah lagi. Aku tak ingin Suci seperti itu. Namun ironisnya banyak orang tidak begitu memerhatikan dan tidak ambil pusing masalah ini. Sikap individualisme dan nafsi-nafsi begitu merasuki jiwa-jiwa kita, mudah-mudahan aku tidak termasuk seperti itu.
* * *

Entah kenapa aku ingin selalu mengucapkannya, bahwa wanita itu bernama Suci. Tidak, aku tidak bosan mengucapnya sampai kapan pun. Apalagi sekarang ia mulai mantap memakai jilbab, dan tetap dengan pendiriannya menjadi muslimah kaffah. Tidak mudah baginya untuk memutuskan sebuah ketetapan. Jika ia tetap bertahan dengan jilbabnya dan meninggalkan pekerjaannya detik itu juga, sama saja dengan bunuh diri. Sebab mencari lowongan pekerjaan teramat susahnya zaman sekarang, bagaimana ia bisa membiayai kuliahnya yang hanya sebentar lagi? Untuk sementara ia akan bekerja di situ sambil berjilbab, dan menunggu jawaban lamaran pekerjaan, walau ia akan didera seribu topan badai cemoohan dan ejekan. Suatu saat ia akan pergi dan tidak mau lagi menjadi sumber fitnah. Ada sesungguhnya keinginan untuk menunda pemakaian jilbabnya sampai ada kabar ia diterima di tempat kerja yang lain yang mendukung perubahannya dan agar terjaga keistiqomahannya, tetapi sampai kapan ia menunggu? Sementara ia selalu dingiangi bisikan-bisikan tentang buruknya su’ul khotimah, selain gelayutan rasa penuh dosa di masa-masa silamnya yang mendesak-desak keinginan untuk memakai jilbab secepatnya. Paling tidak dengan jilbab, membuat ia selalu terjaga.

Sebenarnya ada tawaran bekerja di TPA,tetapi entah mengapa ditolaknya. Tidak sreg karena ilmu agamanya belum matang, sebab ia sendiri baru belajar Islam dengan benar, begitu alasannya. Lagi pula ia tidak pantas institusi keagamaan diajar oleh mahasiswi AKBID. Tidak nyambung, katanya. Dan ia pun sudah memasukkan beberapa lamaran ke beberapa Rumah Sakit maupun Rumah Bersalin, tetapi mereka meminta ia lulus dulu, baru bisa diterima bekerja di situ. Akhirnya, Suci pasrah.
* * *

Suci, aku mengenalnya sudah seitar 6 bulanan. Awal pertemuanku di Bis Solo-Jogja, ketika aku dari UMS menghadiri seminar pendidikan. Pertemuan yang tidak disengaja namun mengesankan. Entah mengapa, obrolan kami begitu nyambung dan terbuka satu sama lain. Kami saling percaya atas apa yang dibicarakan. Melihat aku orangnya bisa dipecaya, dan tahu kalau aku kuliah di UIN (Universitas Islam Negeri) Yogyakarta, dia pun membuka diri, atau istilah gaulnya ‘curhat’ mengenai kehidupan pribadinya. Cara menyimak dan memberikan saran padanya, membuat dia ingin lebih kenal dekat denganku, terutama tentang masalah keislaman. Itulah awal mula perkenalanku dengannya. Saat ia kerja di Jogja, sesekali aku pun sering mampir di tempat kerjanya. Semua kehidupannya telah kuketahui.

Harus aku akui, ia memang gadis yang cantik, wajahnya bersih bersinar, matanya indah bulat, dan bibirnya tipis. Kecantikannya semakin sempurna tatkala ia memakai jilbab dan tingkah lakunya yang sopan dan anggun. Ya, semenjak memakai jilbab ia begitu tahu sopan santun dan mengerti norma-norma. Ah, ia memang sudah ‘hanif’ dan ‘kaffah’ saat ini. Sungguh beruntunglah jika ada lelaki yang dapat menjadi suami baginya.
* * *

Alhamdulillah, kini ia sudah lulus kuliah dan bekerja di RB Klaten. Dan kemarin, saat aku selesai tahajud, ia mengirim sms kepadaku. “Mas, demi menjaga imanku, dan demi menyempurnakan agamaku, aku ingin segera menunaikan sunnah rosul yang mulia ini dan berlipat ganjarannya… Aku ingin menikah, mas.”
Lalu ku balas sms-nya.

“Suci, hatimu sudah dipenuhi cahaya Ilahi. Syukurlah, aku mendukung keinginanmu. Semoga jeng Suci segera dapat jodohnya.”

Sesaat setelah aku mengirim sms di atas. Tak lama ia membalasnya, sms-nya membuatku tercenung dan tak tahu harus menjawab apa. Sms itu berbunyi,

“Mas, aku ingin menikah dengan mas”. ***

2 komentar:

Stairway to Heaven mengatakan...

kok gambarnya siti nurhaliza semua? apa elo kagak risih, tu kan dan jadi milik orang. kalau mau menikmati, seperti yang dibilang the corrs, it's only when I sleep, see you in my dream. hahaha. tapi gak apa-apa, teruskan aja.

Luluk mengatakan...

Fans berat siti Nur haliza ya?