Senin, 11 Agustus 2008

Kebenaran Itu Paralel

Seorang pawang gajah membawa gajahnya ke sebuah pameran di negeri yang belum pernah melihat gajah. Gajah itu kemudian ditempatkan di sebuah ruangan gelap. Dalam kegelapan itu para pengunjung diiizinkan untuk mendekati gajah dan menyentuhnya. Seketika itu juga gajah tersebut dikelilingi para pengunjung. Tidak ada sama sekali ruang untuk mengelilingi gajah tersebut. Masing-masing pengunjung hanya bisa menyentuh gajah tersebut di tempatnya masing-masing.

Salah satu di antara pengunjung berkomentar saat memegang belalai gajah tersebut, “Oh gajah ternyata seperti pipa air.”
Lain halnya bagi orang yang menyentuh kupingnya, “Gajah itu seperti kipas”. Namun bagi orang yang menyentuh kakinya, komentarnya lain juga, “Tidak, gajah itu seperti tiang.”

“Oh, tidak, gajah itu seperti tahta seorang raja,” Ujar orang yang menyentuh punggungnya.

Kesimpulan dari setiap masing-masing yang menyentuhnya lain-lain. Mereka tampaknya berbeda pendapat perihal gajah. Padahal perbedaan yang mereka ributkan hanya satu hal, yaitu tentang ciri-ciri gajah. Karena kegelapanlah mereka menjadi seperti itu.

Kegelapan menimbulkan ketidaktahuan. ketidaktahuan membawa ketidaksadaran. Mereka lupa bahwa mereka berpendapat dalam kegelapan. Jadi, sifat pendapat mereka hanyalah praduga. Andai saja mereka mengedepankan kerjasama bukan ego, tentu mereka akan mendapatkan pengetahuan tentang gajah yang lengkap dan komprehensif.

Begitulah bahayanya jika seseorang berpendapat tentang sesuatu dalam “kegelapan”. Mereka membutuhkan “cahaya” sebelum mereka berpendapat, namun jika tidak ada “cahaya” maka mereka harus saling bekerjasama dan tukar informasi atas apa yang mereka sentuh dalam “kegelapan” tadi. Tentu hasilnya akan sama-sama memuaskan dan mendapatkan kebenaran dari setiap masing-masing orang.

Ilutrasi di atas sering terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam hal apa saja. Mulai dari klaim kebenaran dalam sebuah berita, dalam jual beli, dalam diskusi keilmuan, keagamaan, dan lain sebagainya. Ada banyak peristiwa yang sangat kita sayangkan kejadiannya lantaran seperti kejadian orang yang menyentuh gajah di atas.

Di sekitar kita sering melihat polemik yang berkepanjangan lantaran ego dari setiap pelaku masing-masing. Mereka tak mau mengalah dan mengklaim dirinya yang paling benar.

Hal yang paling mencolok yang bisa kita lihat adalah dalam dua hal saya kira, yaitu dalam masalah persoalan agama, baik itu fikih maupun wacana keagamaan, dan persoalan keilmuan terutama ilmu sosial.

Dalam hal agama, misalnya, tentang fikih, apakah menyentuh wanita yang bukan muhrim, seperti saudara, membatalkan shalat? Apakah haram menggambar sesuatu yang bernyawa? Apakah hukum potong tangan wajib dilakukan? Dan masalah tentang wacana keagamaan misalnya tentang persoalan Syariat Islam, perlu apa tidak secara formal? Sekulerisme, harapan atau ancaman? Dan masih banyak lagi persoalan lainnya dalam bidang agama. Umat Islam selalu berkutat dalam masalah itu, dari dulu hingga kini.

Sedang dalam masalah keilmuan, misalnya tentang sastra, adakah sastra Islami? Apakah batasan sastra Islami tersebut? Apakah novel-novel teenlit atau ceeklit bisa disebut sastra? dan lain-lain. Perdebatan di seputar sastra tak henti-hentinya. Tentunya jika perdebatan itu mengarah kepada hal positif tidak masalah. Positif dalam artian perdebatan itu memberikan perkembangan sastra ke arah yang lebih baik, di antaranya memunculkan karya-karya yang berkualitas, tidak sekadar kuantitas.

Saya khawatir perdebatan itu mengarah kepada hal negatif, seperti menjadikan adanya dua kubu yang saling kontra-produktif. Saling menjatuhkan satu sama lainnya. Sehingga masing-masing di antara kedua kubu itu mengklaim bahwa dirinya atau kelompoknya lah yang benar atau terbaik.

Andai saja kita menyadari bahwa segala yang kita perdebatkan adalah kebenaran yang pararel, mungkin kita tidak akan saling menuding orang lain jelek dan mengklaim diri sendiri paling benar. Pararel dalam artian, bahwa semua pihak sama-sama benar dan saling melengkapi. Kalau pun toh berbeda tapi perbedaan itu tidak dibenturkan, justru dicari persamaannya menuju sesuatu yang lebih baik bagi semua orang.

Dus, kebenaran pararel adalah kebenaran yang sama rata, yaitu sama-sama saling melengkapi kekurangan dari setiap pendapat dan memahami perbedaan tersebut.
Hal yang sering kita dengar adalah kebenaran yang relatif. Kebenaran relatif adalah kebenaran semu bagi saya. Bagaimana bisa kita mengatakan sesuatu yang benar itu relatif. Itu kan namanya membohongi diri sendiri. Jadi, ada dualisme dalam hati kita.

Satu sisi kita mengatakan bahwa sesuatu itu benar, tapi sisi lain kita mengatakan kebenaran kita itu relatif, karena ada orang lain yang tidak sependapat dengan kita, dan orang lain itu juga benar, bagi diri mereka. Melihat sesuatu yang hitam pasti kita akan berpendapat bahwa itu hitam, bukan? itulah kebenaran yang mutlak, bukan relatif.

Maka yang paling tepat adalah kebenaran pararel. Kebenaran melihat sesuatu dari sisi kita adalah benar, dan kebenaran dilihat dari kacamata orang lain juga benar. Karena melihat dari sisi lain itulah kebenaran pararel. Semuanya sejajar, tidak ada yang mengklaim dirinya paling benar dan yang lainnya salah, atau kurang benar.

Satu hal yang harus kita sadari bahwa pendapat yang diutarakan oleh setiap individu atau kelompok itu sangat dipengaruhi oleh masing-masing pengalamannya. Pengalaman sangat berperan dalam mengambil keputusan. Sebut saja misalnya tentang perbedaan orang yang memperjuangkan Khilafah Islamiyah dan memperjuangkan sekulerisme. Orang yang memperjuangkan Khilafah Islamiyah biasanya mempunyai latar belakang pendidikan dan pemahaman ‘ke-Araban’. Dalam arti bacaan dan studi mereka berkiblat ke Timur Tengah (baca: Mesir, Arab Saudi, dan Pakistan). Sedang orang yang memperjuangkan sekulerisme biasanya mempunyai latar belakang pendidikannya barat, dan atau konsumsi bacaan mereka buku-buku pembaharuan (baca:pemikiran baru dan kritis).

Latar pendidikan dan pemikiran Anda saja sudah beda, apalagi pendapat Anda. oleh karena itu, kita mesti saling memahami satu sama lain. Jangan sampai kita menjadi orang yang seperti meraba gajah di kegelapan dengan mengatakan gajah itu seperti kipas, padahal ada orang lain yang mengatakan seperti tahta seorang raja.

Tidak ada komentar: