Selasa, 05 Agustus 2008

Perempuan Penghuni Terbanyak Di Neraka, Karena Kekurangan Akal Dan Agama, Benarkah?

Ada salah satu Hadis yang “sangar” dan membuat gerah kaum perempuan yang menyatakan bahwa perempuan itu penghuni terbanyak di neraka, karena akal dan agamanya dangkal. Dalam literatur kitab Hadis populer yaitu Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim telah tertulis. Ketertarikan penulis dengan persoalan tersebut, karena masih banyaknya ulama Islam yang memaknai dan memahami Hadis tersebut secara tekstual dan melupakan konteks Hadis. Hal ini bisa dilihat dari hasil interpretasi mereka yang terkesan mendiskreditkan kaum perempuan dan menganggap bahwa akal perempuan adalah separuh dari laki-laki.

Adanya pandangan negatif terhadap perempuan sebenarnya telah ada sejak masa arab jahiliyah. Dalam sejarah disebutkan bahwa perempuan pada waktu itu tidak memiliki hak-hak kemanusiaan dan bahkan dikonotasikan dengan binatang. Meraka dianggap sebagai bencana dan kejahatan serta biang aib dan penderitaan, sehingga apabila seorang ibu melahirkan bayi perempuan seketika itu juga dibunuh atau dikubur hidup-hidup. Kaum perempuan juga tidak menerima warisan sedikit pun dan bahkan menjadi barang warisan apabila suaminya meninggal atau sudah tidak menghendakinya lagi.
Setelah Islam datang, posisi perempuan menjadi terangkat dan dianggap sama dengan laki-laki. Islam berpihak kepada perempuan, bukan melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Kedatangan Islam sesungguhnya untuk menghilangkan tradisi patriarkhi yang pada wakti itu tumbuh subur dalam kehidupan orang Arab.
Adanya Main Stream Patriarchy yang demikian kuat ini sangat dipahami oleh Nabi, sehingga dalam mengucapkan Hadis, seringkali Nabi menggunakan bahasa-bahasa “plastis” yang kemudian banyak disalahpahami oleh umatnya. Hal ini bisa dilihat dalam kasus Hadis-Hadis yang secara tekstual dianggap mendukung pandangan-pandangan ‘misoginis’— yang tidak berpihak dan benci pada kaum perempuan. Kita tahu Hadis telah kita jadikan sumber ajaran kedua setelah Alquran. Oleh karena, pada gilirannya Hadis-Hadis yang tampak ‘misoginis’ tadi mempengaruhi cara pandang kaum muslim yang berujung dengan ketimpangan relasi gender dalam praktek-praktek kehidupan. Karena itu Hadis-Hadis yang dipandang misoginik tadi perlu diteliti validitas dan isinya guna diperoleh pengetahuan dan pandangan baru yang memberi tempat terciptanya keadilan dan keseimbangan dalam pola hubungan lakai-laki dan perempuan sebagaimana dicita-citakan islam.
Kembali pada Hadis di atas disebutkan. Hadis-hadis tentang perempuan memiliki kekurangan akal dan agama ini banyak dijumpai dalam teks-teks keagamaan dan dijadikan argumen oleh para ulama dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran. Di antaranya dapat dijumpai dalam Tafsir Alquran Al-Adzim karya Ibn katsir, Tafsir Ahkam Alquran karya al-Asqalani, Al-Muhalla Bi Al-Isar karya Ibn Jazm, Bidayatul Mujtahid karya Ibn Rusyd dan kitab at-Turuq al-Hukmiyyah karya Ibn al-Qayyim.
Penulis melihat bahwa para ulama tradisional dalam memahami Hadis tentang kekurangan akal dan agama perempuan cenderung tekstual. Hal itu bisa dilihat dari hasil penafsiran-penafsiran mereka yang menonjolkan supremasi laki-laki atas perempuan. Bias laki-laki dalam penafsiran mereka oleh para feminis muslim dikritik karena dianggap bukan doktrin agama akan tetapi merupakan konstruksi sosial-antropologis sehingga diperlukan penafsiran ulang di dunia modern ini.
Masalah seringkali dihadapi dalam memahami Hadis adalah adanya matan-matan hadis yang nampaknya bertentangan, hadis dengan bahas simbolik, Hadis dengan bahasa tamsil, analogi dan sebagainya. Untuk itulah kegiatan kritik matan menjadi sesuatu yang urgen. Sedangkan problem kritik matan adalah masalah metodologis dalam penerapan tolok ukur kaidah kritik matan terhadap Hadis yang sedang diteliti. Hal itu disebabkan oleh butir tolok ukur yang memiliki banyak segi yang harus dilihat. Dalam hal ini, peneliti harus memiliki pengetahuan luas, khususnya berkenaan dengan ajaran Islam, metode ijtihad, liku-liku kapasitas Nabi dalam menyampaikan Hadis dan kearifan Nabi dalam menghadapi audiens dan masyarakatnya.
Paling tidak ada empat tolok ukur dalam menetapkan kesahihan matan yang tidak seragam, yaitu: 1)Tidak bertentangan dengan petunjuk alquran, 2) Tidak bertentangan dengan Hadis-Hadis yang kualitasnya lebih tinggi, 3) Tidak bertentangan dengan akal sehat, panca indra dan fakta sejarah, dan 4) Susunan periwayatannya menunjukkan ciri-ciri kenabian. (Salahuddin al-Adabi: 1403 H, hlm. 237).
Hadis itu berbunyi:
“Hai kaum perempuan, bersedekahlah dan perbanyaklah memohon ampunanj karena aku melihat kamu sekalian menajdi sebagian besar penghuni nereka. Lalu salah seorang perempuan di antara mereka yang cerdas dan kritis bertanya:”Wahai rasulullah, mengapa kami menjadi sebagian besar penghuni nereka?“ rasulullah menjawab:”Kamu sekalian banyak melaknat (mendoakan buruk terhadap orang lain) dan tidak berterima kasih atas kebaikan suami. Saya tidak melihat perempuan-perempuan yang kurang akal dan agamanya yang bisa mengalahkan laki-laki yang berakal, selain kamu.” Perempuan yang kritis itu bertanya lagi:”Apa kekurangan akal dan agama perempuan itu?” Rasulullah menjawab:”Adapun kekurangan akalnya adalah kesaksian dua orang perempuan itu sama dengan kesaksian satu orang laki-laki. Inilah kekurangan akal itu. Dan perempuan itu (haid) berhari-haru dengan tidak shalat dan tidak berpuasa di bulan ramadgan. Inilah kekurangan agama itu.” (HR Ahmad dan Abu Daud).
Dari berbagai pendapat para ulama tradisional dapat ditarik kesimpulan tentang maksud yang terkandung dalam Hadis tersebut, di antaranya:
1.banyak perempuan yang menjadi penghuni neraka karena mereka tidak mensyukuri dan berterima kasih terhadap nafkah yang telah diberikan oleh suami. Mereka juga sering mengumpat dan mencaci maki suami mereka. Ini adalah akibat sifat emosional perempuan yang lebih mendominasi daripada akalnya.
2.beberapa kekurangan yang dimiliki perempuan itu, yang mendorong Rasulullah untuk menasihati kaum wanita agar banyak beristighfar dan bersedekah sehingga dapat menjadi penyeimbang.
3.maksud kekurangan agama menurut ulama tradisional adalah ketika perempuan itu haid dan dia harus meninggalkan shalat dan puasa, maka ini akan mengurangi aktifitas ibadah kaum perempuan.
Begitulah tafsiran yang menjadi pemahaman umum tersebut, sehingga tafsiran tersebut menjadi kebenaran mutlak di masyarakat. Mari kita buat pemahaman baru yang lebih komprehensif, apakah benar demikian makna hadis tersebut. Saya sangat sepakta dengan perkataan Masdar F. Mas’udi bahwa Hadis tersebut harus ditafsirkan atau bahkan ditakwilkannya untuk tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran agama yang muhkam atau qoth’i dan lebih muttafaq ‘alaih. Ia berasumsi apabila Rasul benar-benar mengatakannya, justru Rasul sedang menegaskan kekeliruan anggapan umum yang selalu memandang lemah kaum perempuan. Seolah-olah Rasul sedang menyadarkan kita bahwa sebenarnya perempuan itu sangat kuat, bahkan lebih kuat dibandingkan kaum laki-laki yang teguh sekalipun. (Masdar F. Mas’udi: 1997, hal. 158 – 161)
Penjelasan ini saya hendak berangkat dari misi Rasul sendiri sebagai utusan Allah. Diutusnya Rasul ke bumi mengemban dua misi, pertama, misi untuk meninggikan otoritas Allah sebagai zat yang harus disembah, kedua, misi “emansipasi kemanusiaan”, dan ketiga kelompok masyarakat yang mendesak harus dibebaskan pada waktu itu. Mereka adalah para budak, anak yatim, dan perempuan. Pembebasan budak diupayakan lewat menerapkan denda bagi pelanggaran-pelanggaran syariat Islam dan perkawinan para budak perempuan dengan tuannya. Anak yatim menjadi perhatian utama Islam yang tidak kalah pentingnya dengan para budak. Karena mereka seringkali menjadi obyek perampasan harta disebabkan tidak terlindungi oleh walinya. Sedangkan kaum perempuan pada waktu itu hanyalah dianggap sebagai harta yang dapat diperjualbelikan dan juga dapat dijadikan harta warisan. Kondisi perempuan pada waktu itu betul-betul tidak dimanusiakan. (Lili Zakiyah munir, (ed.): 1999, hlm. 11-17).
Kondisi ini berubah drastis sejak Islam datang. Perempuan dalam Islam menempati beberapa posisi sosial, di antaranya adalah sebagai anak, istri dan ibu. Sejarah telah menunjukkan bahwa kedudukan perempuan pada masa Nabi dipandang sebagai anak manusia yang memiliki kedudukan setara dalam hak dan kewajiban dengan manusia lain di hadapan Tuhan. Rasul pernah menyatakan bahwa kaum perempuan adalah saudara kaum laki-laki. Oleh karena itu Islam sebenarnya menjadi sarana yang tepat untuk mempersatukan misi dan visi kesetaraan laki-laki dan perempuan, dan keuntungan ini tidak dimiliki oleh agama lain.
Nasaruddin umar dalam mengomentari Hadis tersebut mengatakan bahwa kekurangan akal dan agama yang termaktib dalam Hadis itu tidak berarti perempuan secara potensial tidak mampu menyamai atau melampaui kreatifitas akal dan ibadah laki-laki. Hadis ini menggambarkan keadaan praktis kaum laki-laki dan perempuan pada masa nabi. Kaum laki-laki memperoleh otoritas persaksian satu berbanding dua dengan perempuan, karena ketika itu fungsi dan peran publik berada di pundak laki-laki. Sedangkan kata kekurangan “agama” yang terjadi pada diri perempuan karena memang hanya perempuanlah yang menjalani menstruasi. Laki-laki tidak menjalani siklus mentsruasi, karena itu tidak boleh meninggalkan ibadah-ibadah wajib tanpa alasan yang dibenarkan agama. Peniadaan ibadah dalam masa mentruasi, seperti shalat dan puasa adalah dispensasi khusus bagi perempuan dari Allah. Mereka tidak dikenakan akibat apa pun dari Allah karena menjalani proses mentsruasi.
Yang dimaksud dengan “kekurangan akal” dalam Hadis ini adalah keterbatasan penggunaan fungsi akal bagi perempuan karena ada pembatasan-pembatasan budaya di dalam masyarakat. Jadi sifatnya bukan permanen atau alamiah. Demikian pula “kekurangan agama” yang dihubungkan dengan halangan perempuan untuk melakukan sejumlah ibadah karena alasan haid, memerlukan keterangan lebih lanjut karena halangan itu bukan kehendak kaum perempuan tetapi sesuatu yang bersifat alamiah dan merupakan dispensasi dari Allah. Jadi banyaknya perempuan di dalam neraka menurut penglihatan Nabi mungkin saja karena populasi perempuan lebih besar daripada laki-laki, sehingga proporsional kalau perempuan lebih banyak di dalam neraka, sebab persoalan dosa dan neraka sama sekali tidak berkaitan dengan jenis kelamin (Nasaruddin Umar: 1999, hal. 250 – 252).
Zaitunah Subhah mengomentari Hadis tersebut bahwa kurangnya akal dapat diartikan dengan dua pengertian, yaitu kurangnya kemampuan akal dan kurangnya aktifitas akal. Pada masa itu wanita masih sedikit sekali yang berkemampuan, berkreasi, dan ini dapat dimaklumi karena wanita baru mendapat kebebasan untuk hidup (dihargai sebagai manusia), yaitu sejak Muhammad menjadi Rasul utusan Allah.
Sedang Hamim Ilyas menjelaskan situasi makro dari hadis tersebut. Hamim mengatakan bahwa Nabi menyatakan sabdanya itu di jalan ketika beliau menuju lapangan untuk melakukan salat Idul Adha. Kedua salat sunat ini disyariatkan setelah hijrah. Ini berarti nabi melakukan dialog itu di salah satu jalan di Madinah. Jalan-jalan di Madinah ketika itu, seperti jalan-jalan di pemukiman yang lain, dulu dan sekarang, juga biasa digunakan baik oleh laki-laki maupun perempuan untuk duduk-duduk di depan rumah sambil mengobrol ke sana ke mari. Kebiasaan ini di antaranya melatarbelakangi turunnya surat an-Nur/24:30-31 yang berisi perintah kepada kaum Mu’minin untuk menundukkan pandangan mata.
Kebiasaan itu nampaknya kuat berakar di kalangan penduduk Madinah. Nabi pernah bermaksud untuk melarang kebiasaan itu. Namun banyak orang yang berkeberatan, sehingga beliau membolehkan para sahabat untuk tetap melakukannya dengan syarat mereka harus mau memenuhi hak-hak jalan. Hak-hak itu disebutkan Nabi di antaranya adalah: menundukkan pandangan mata, menahan diri dari menyakiti pihak lain, menjawab salam, menganjurkan yang ma’ruf dan melarang yang munkar. Riwayat tersebut dapat kita lihat di dalam riwayat Imam al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud dari Abu Sa’id al-Khudri).
Berkaitan dengan ini ada kekosongan informasi tentang perempuan-perempuan yang dijumpai Nabi di jalan itu, apakah mereka itu sedang duduk-duduk di depan rumah/sisi jalan, lewat atau sedang melakukan kegiatan yang lain. Mengingat kuatnya kebiasaan itu, nampaknya mereka itu sedang duduk. Pertanyaannya kemudian adalah apa saja yang mereka bicarakan dalam keisengan itu.
Tidak ada informasi mengenai hal itu. Namun dalam hadis itu sendiri ada petunjuk yang bisa digunakan untuk dijadikan petunjuk informasi bahwa mereka yang melakukan kebiasaan itu sering terbawa oleh situasi, sehingga mereka tidak bisa memenuhi hak-hak jalan yang disebutkan dalam hadis dari Abu Sa’id al-Khudri itu. Mereka bukannya menahan pandangan mata, tetapi malah mengumbarnya, bahkan juga mengumbar mulut mereka untuk menggunjing dan menyoraki orang-orang yang lewat. Mereka yang dijumpai Nabi di jalan itu nampaknya juga tidak bisa memenuhi harapan toleransi Nabi dengan melaksanakan etika duduk-duduk di jalan yang beliau ajarkan itu.
Jelaslah, bahwa kurang akal dan agama itu bukan merupakan kodrat perempuan, tapi merupakan nasihat atau kritik terhadap perempuan-perempuan di jaman Nabi yang memiliki perilaku tertentu. Bila penerapan pandangan itu diperluas, maka orang-orang yang bisa dinilai seperti itu, bukan hanya mereka saja, tapi juga orang-orang lain yang memiliki perilaku yang sama dengan perilaku mereka, baik perempuan maupun laki-laki.
Dengan demikian jelaslah bahwa Hadis tersebut hanya bersifat “lokal”, menggambarkan masa Nabi tentang kelakuan masyarakat Arab setempat masa itu. Guna hadis itu menakut-nakuti dan “kesebelan’ Nabi atas perilaku mereka.
Islam diturunkan sebagai pembawa rahmat ke seluruh alam, termasuk kepada kaum perempuan. Nilai-nilai fundamental yang mendasari ajaran Islam seperti perdamaian, pembebasan dan egalitarianisme—termasuk kesetaraan laki-laki dan perempuan—banyak tercermin dalam ayat-ayat Alquran. Kisah-kisah tentang peran penting kaum perempuan di zaman Nabi SAW, seperti Aisyah, Khodijah, dan lain-lain telah banyak ditulis. Begitu pula sikap beliau yang menghormati kaum wanita dan memperlakukannya sebagai mitra perjuangan.
Alquran juga memberikan suatu penghargaan atas perempuan di mana Allah menempatkan satu surat an-Nisa, misalnya. Surat ini sering disebut dengan surat an-Nisa al-kubra, karena di dalamnya dibahas masalah perempuan secara panjang lebar. Sedangkan pembahasan secara ringkas yaitu dalam surat at-Talaq dan dinamakan dengan surat an-Nisa as-Sughra. Penghargaan tidak saja terwujud dalam hal tersebut, namun pasti juga dapat ditemukan dalam ajaran-ajarannya. Islam mensejajarkan peran laki-laki dan perempuan dalam mendulang pahala untuk kepentingan akhirat (an-Nahl: 97, al Ghofir: 40). Demikian juga terhadap masalah keduniawian, laki-laki dan perempuan mendapat hasil sesuai dengan jerih payahnya masing-masing dan Allah tidak membeda-bedakannya (an Nisa : 32).

Tidak ada komentar: