Minggu, 31 Mei 2009

Mudik Ke Kampung Akhirat

Setiap menjelang Idul Fitri, kota-kota besar di Indonesia, terutama kota Jakarta, nampak lengang. Jama’ah di masjid dan musholla mulai berkurang. Jika minggu pertama, masjid-masjid sesak dipenuhi jamaah sholat tarawih maka di penghujung bulan Ramadhan hanya tersisa sekitar satu shaf atau kurang dari itu.

Tidak terkecuali pula di masjid Safinaturrahmah, Sapen, Yogyakarta, tempat biasa saya shalat. Mulai satu minggu sebelum lebaran, jamaah mesjid tersebut sudah banyak berkurang. Maklum, biasanya, para mahasiswa, kemudian disusul para pekerja dan pengusaha mulai libur dan cuti kerja, dan mudik ke kampung halaman.

Mudik adalah kegiatan perantau untuk kembali ke kampung halaman. Mudik bisa berarti pula kembali ke akar kebudayaan kita, ke tempat dimana kita dilahirkan, di daerah yang menjadi asal muasal keluarga besar. Pada hari raya Idul Fitri, nuansa mudik sudah sangat terasa kental. Persiapan-persiapan bahkan sudah dilakukan dari jauh-jauh hari. Pemesanan tiket bahkan sudah dilakukan dari beberapa bulan sebelumnya, menghindari kenaikan harga yang berlebihan. Pembelian oleh-oleh untuk sanak kerabat di kampung halaman pun dipersiapkan dengan rapi dan apik.

Kota-kota perantauan yang dulunya tidak pernah berhenti beraktivitas, megah, selalu gemerlap siang dan malam, akan menjadi sepi dan lengang, ditinggal para penghuni yang biasa mengisi keramaiannya. Susah payah kondisi perjalanan tidak menghalangi niatan untuk pulang ke kampung halaman; letih, lelah, dan tenaga yang terkurang, direlakan; membengkaknya biaya perjalanan dan biaya yang dihabiskan, memang sudah diantisipasi jauh-jauh hari sebelumnya. Bagi sebagian orang, mereka bahkan rela mengirit pengeluaran sehari-hari, agar dapat menabung guna memenuhi biaya perjalanan beserta segala pernak-pernik perjalanan mudiknya.

Tradisi mudik di Indonesia adalah urusan yang sangat besar dan sangat menyibukkan. Tidak tanggung-tanggung pemerintah harus menyiapkan dan menjamin kelancaran arus mudik lebaran, dari tentang armada atau angkutan lebaran sampai ke urusan stabilitas sembako. Begitupun para media televisi tidak ketinggalan tiap waktu menyiarkan arus mudik ini.

Tradisi mudik pada Idul Fitri pada dasarnya mengandung nilai positif. Karena di sinilah kita bisa berkunjung dan menyambung silaturrahmi dengan orangtua, sanak saudara, kerabat dan handai taulan di kampung halaman. Mereka saling mengunjungi dan bermaaf-maafan. Bisa kita bayangkan apabila tidak ada lebaran dan tradisi mudik, berapa banyak orang yang kehilangan sanak keluarga karena tidak pernah bertemu dan saling silaturrahmi. Walau begitu, silaturrahmi dan saling memaafkan tidak harus dilakukan di Hari Raya saja, tapi di hari-hari lainpun bisa dilakukan. Yang perlu diingat ketika mudik adalah persiapan bekal. Supaya lancar sampai tujuan maka bekal tersebut perlu disiapkan sebaik-baiknya.

Para pembaca yang budiman, dapatkah kita mengambil pelajaran dari peristiwa mudik di hari raya Idul Fitri tersebut yang sebagian besar masyarakat kita melakukannya setiap tahun? Bicara tentang mudik, kita teringat dengan peristiwa mudik yang akan dialami oleh setiap orang. Setiap orang pasti akan mengalami mudik yang seperti ini bahkan banyak dari kita telah mudik mendahului kita. Mudik yang mau tak mau harus kita lakukan. Tidak peduli kita kaya atau miskin, dan baik terpaksa maupun tidak. Tak lain, mudik tersebut adalah mudik ke kampung akhirat, kampung halaman abadi.

Mudik ini adalah mudik yang tidak pernah kembali lagi ke perantauan (dunia), karena di sanalah tempat abadi kita. Untuk menuju ke sana hanya ada satu kendaraan, yaitu kematian. Kematian akan menjemput kita. Itulah mudik yang sebenarnya. Akhirat adalah kampung dengan satu pintu, sekali kita melewatinya, maka sudah pasti dan tidak akan mungkin kita bisa kembali lagi ke dunia. Hal itu sebagaimana yang difirmankan Allah, “Katakanlah sesungguhnya kematian yang kamu semua melarikan diri darinya itu, pasti akan menemui kamu, kemudian kamu semua akan dikembalikan ke Dzat yang Maha Mengetahui segala yang gaib serta yang nyata.” (QS. Al-Jumu'ah:8).

Dalam banyak firman-Nya, Allah selalu mengingatkan kita pada konteks mudik ini. Misalnya, "Kemudian, kepada-Kulah tempat kalian semua pulang" (Tsumma Ilayya Marji'ukum). Maka, tradisi mudik yang hingga kini tak pernah tersentuh dan terpengaruh sedikit pun oleh krisis macam apa pun, termasuk krisis yang tiada henti mendera bangsa ini, sebenarnya menjadi prosesi panjang perjalanan anak manusia menuju Tuhannya. Macam-macam cara ditempuh orang untuk menyiapkan kepulangannya. Pulang ke kampung halaman di dunia ini atau ke kampung halamannya di akhirat kelak. Dua tujuan tersebut, meski sama-sama memiliki perspektif yang berbeda tetapi sungguh sama-sama membutuhkan persiapan, minimal bekal untuk dibawa pulang. Bekal untuk keperluan diri sendiri, atau bekal yang akan kita persembahkan kepada saudara-saudara yang tinggal di kampung. Lantas siapa keluarga kita di akhirat? Mudik ke kampung akhirat, tentu tujuannya cuma satu, "bertemu" dengan Allah SWT (Liqaa'a Robbihi).

Mudik ke kampung halaman menjelang Idul Fitri, sesungguhnya merupakan latihan yang nyata menjelang kepulangan kita selama-selamanya ke pangkuan Ilahi. Tanpa kita sadar, selama sebelas bulan lamanya, berbagai persiapan kita lakukan dengan mengumpulkan sebanyak mungkin bekal yang akan kita bawa pulang.

Allah selalu mengingatkan kita agar jangan sampai menyesal ketika kematian datang dan kita masih belum punya bekal yang dibawa yang dapat menyelamatkan kita di alam kubur dan alam akhirat kelak. Sebagaimana orang-orang yang menyesal karena saat kematian tiba bekal yang dibawanya merasa tidak cukup dan merengek kepada Allah supaya jangan dulu dimatikan terlebih dahulu, atau kalau pun sudah dimatikan ingin dikembalikan lagi ke dunia. “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: ‘Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?’" (QS.: Al-Munafiqun [63]:10).

Untuk itu, sudah seberapa baik perbekalan yang telah kita persiapkan? Bahkan, sudah sampai seberapa siap diri kita untuk menghadapi perjalanan panjang? Imam Ali bin Abi Thalib, pernah berkata, “Sesungguhnya kita berada pada hari dimana hanya ada amal tanpa ada perhitungan, dan sesungguhnya kita menuju hari dimana hanya ada perhitungan tanpa ada amal”.

Oleh karena itu, jadikan setiap detik dalam hidup kita ini menjadi hari-hari pengumpulan bekal mudik ke kampung akhirat kita, dan tidak cukup sampai di situ, jadikan seluruh sisa usia kita, menjadi ajang persiapan mudik ke kampung akhirat, baik dengan beribadah secara vertikal maupun transendental.

Mari kita jadikan dunia ini sebagai ladang untuk mengumpulkan perbekalan mudik kita ke kampung akhirat. Semoga bekal kita mencukupi sehingga kita mendapatkan tempat yang terbaik di akhirat kelak.

Minggu, 24 Mei 2009

Hidup Penuh Makna

Saat matahari terbit dan ayam berkokok, hal itu menandakan bahwa pagi telah tiba. Seketika waktu itupun menjadi tanda kita untuk bersiap melakukan aktivitas, sesuai dengan pekerjaannya masing-masing. Entah sebagai karyawan, pelajar, seorang profesional, dan lain-lain. Masing-masing dari kita sama-sama memulai hari yang baru.

Tak terasa siang telah datang. Waktunya istirahat dan makan siang. Setelah itu, pekerjaan terus dilanjutkan kembali. Jam istirahat selesai, waktunya kembali bekerja, hingga matahari mulai redup di sebelah barat. Matahari telah tersenyum seraya mengucapkan selamat berpisah. Gelap mulai menjemput. Rasa lelah telah hinggap.

Datang di rumah sudah malam. Makan malam, nonton televisi, dan tidur. Seperti itulah kehidupan dijalankan sebagian besar orang. Bangun, mandi, bekerja, makan, dan tidur adalah kehidupan. Jika pandangan kita tentang arti kehidupan sebatas itu, mungkin kita tidak ada bedanya dengan hewan yang puas dengan bisa bernapas, makan, minum, melakukan kegiatan rutin, tidur. Siang atau malam adalah sama. Sampai akhirnya maut menjemput.

Memang itu adalah kehidupan, tetapi bukan kehidupan dalam arti yang luas. Sebagai manusia jelas kita memiliki perbedaan dalam menjalankan kehidupan. Kehidupan bukanlah sekadar rutinitas. Kehidupan adalah kesempatan untuk kita mencurahkan potensi diri kita untuk orang lain. Kehidupan adalah kesempatan untuk kita berbagi suka dan duka dengan orang yang kita sayangi. Kehidupan adalah kesempatan untuk kita bisa mengenal orang lain. Kehidupan adalah kesempatan untuk kita melayani setiap umat manusia. Kehidupan adalah kesempatan untuk kita mencintai pasangan kita, orang tua kita, saudara, serta mengasihi sesama kita. Kehidupan adalah kesempatan untuk kita belajar dan terus belajar tentang arti kehidupan, dan seterusnya.

Begitu banyak Kehidupan yang bisa kita jalani. Berapa tahun anda telah melalui kehidupan anda? Berapa tahun anda telah menjalani kehidupan rutinitas anda? Akankah sisa waktu anda sebelum ajal menjemput hanya anda korbankan untuk sebuah rutinitas belaka? Kita tidak tahu kapan ajal akan menjemput, mungkin 5 tahun lagi, mungkin 1 tahun lagi, mungkin sebulan lagi, mungkin besok, atau mungkin 1 menit lagi. Hanya Tuhanlah yang tahu.

Pandanglah di sekeliling kita, ada segelintir orang yang membutuhkan kita. Mereka menanti kehadiran kita. Mereka menanti dukungan kita. Orang tua, saudara, pasangan, anak, sahabat dan yang lainnya. Bersyukurlah pada-Nya setiap saat bahwa kita masih dipercayakan untuk menjalani kehidupan ini. Buatlah hidup ini menjadi bermakna, agar hidup anda tidak sia-sia. Jika saat anda mati, anda akan dikenang oleh siapa saja atas kebaikan anda, dan tentu saja Tuhan akan membalas pula kebaikan anda.

Renungkanlah segala sesuatu yang anda dapat lakukan saat ini: Anda dapat mengedipkan mata anda, menggerakkan badan, berbicara, tertawa; semua ini merupakan fungsi tubuh anda. Sekarang renungkan bagaimana keadaan dan bentuk tubuh anda setelah anda mati nanti.

Ketika anda menghembuskan napas untuk yang terakhir kalinya, anda tidak ada apa-apanya lagi selain “seonggok daging”. Tubuh anda yang diam dan terbujur kaku, akan dibawa ke kamar mayat. Di sana, ia akan dimandikan untuk yang terakhir kalinya. Dengan dibungkus kain kafan, jenazah anda akan di bawa ke kuburan dalam sebuah peti mati. Sesudah jenazah anda dimasukkan ke dalam liang lahat, maka tanah akan menutupi anda. Ini adalah kesudahan cerita anda. Mulai saat ini, anda hanyalah seseorang yang namanya terukir pada batu nisan di kuburan.

Jenazah yang ditimbun tanah akan mengalami proses pembusukan yang cepat. Segera setelah anda dimakamkan, maka bakteri-bakteri dan serangga-serangga berkembang biak pada mayat tersebut; hal tersebut terjadi dikarenakan ketiadaan oksigen. Gas yang dilepaskan oleh jasad renik ini mengakibatkan tubuh jenazah menggembung, mulai dari daerah perut, yang mengubah bentuk dan rupanya. Buih-buih darah akan meletup dari mulut dan hidung dikarenakan tekanan gas yang terjadi di sekitar diafragma. Selagi proses ini berlangsung, rambut, kuku, tapak kaki, dan tangan akan terlepas. Seiring dengan terjadinya perubahan di luar tubuh, organ tubuh bagian dalam seperti paru-paru, jantung dan hati juga membusuk. Sementara itu, pemandangan yang paling mengerikan terjadi di sekitar perut, ketika kulit tidak dapat lagi menahan tekanan gas dan tiba-tiba pecah, menyebarkan bau menjijikkan yang tak tertahankan. Mulai dari tengkorak, otot-otot akan terlepas dari tempatnya. Kulit dan jaringan lembut lainnya akan tercerai berai. Otak juga akan membusuk dan tampak seperti tanah liat.
Semua proses ini berlangsung sehingga seluruh tubuh menjadi kerangka.

Tidak ada kesempatan untuk kembali kepada kehidupan yang sebelumnya. Berkumpul bersama keluarga di meja makan, bersosialisasi atau memiliki pekerjaan yang terhormat; semuanya tidak akan mungkin terjadi. Singkatnya, “onggokkan daging dan tulang” yang tadinya dapat dikenali; mengalami akhir yang menjijikkan. Di lain pihak, anda – atau lebih tepatnya, jiwa anda – akan meninggalkan tubuh ini segera setelah nafas anda berakhir. Sedangkan sisa dari anda – tubuh anda – akan menjadi bagian dari tanah.

Akhir kehidupan yang sangat dahsyat yang menunggu manusia; seharusnya menyadarkan dirinya bahwa ia bukanlah hanya tubuh semata, melainkan jiwa yang “dibungkus” dalam tubuh. Dengan kata lain, manusia harus menyadari bahwa ia memiliki suatu eksistensi di luar tubuhnya. Selain itu, manusia harus paham akan kematian tubuhnya—yang ia coba untuk miliki seakan-akan ia akan hidup selamanya di dunia yang sementara ini. Tubuh yang dianggapnya sangat penting ini, akan membusuk serta menjadi makanan cacing suatu hari nanti dan berakhir menjadi kerangka. Mungkin saja hal tersebut segera terjadi.

Minggu, 17 Mei 2009

Ketika Hidup Anda Tinggal Menghitung Hari

Dua orang peneliti asal Texas, Kerry dan Chris Shook, menulis sebuah buku berjudul One Month to Live: Thirty Days to a No-Regrets Life. Buku tersebut menantang pembaca untuk mencari sebuah jawaban, ‘apa yang ingin anda benar-benar lakukan jika sisa umur anda tinggal 30 hari lagi, atau bahkan kurang dari itu?’ Sebagaimana diakui oleh keduanya, bahwa buku tersebut terinspirasi dari perhatian mereka atas kehidupan banyak orang yang menjalani hari-hari terakhir dalam hidupnya.

Dari pengalaman mereka, akhirnya mereka menyadari bahwa banyak orang mengalami perubahan yang sangat besar ketika menyadari sisa hidupnya tidak lama lagi.

Dari pengamatan keduanya, ketika saat manusia divonis hidupnya hanya tinggal beberapa bulan, atau beberapa hari, membuat manusia menjadi “kreatif”. Mereka benar-benar ingin melakukan berbagai hal yang selama ini mereka ingin tapi tidak lakukan. Mereka lebih mudah memaafkan dan meminta maaf kepada orang lain. Mereka lebih berani mengambil resiko. Mereka menjadi semakin jelas dalam membuat prioritas kehidupan mereka.

Kesimpulan di atas menampakkan beberapa pertanyaan penting bagi kita, apakah kita harus menunggu divonis mati terlebih dahulu untuk melakukan seperti yang dilakukan mereka di atas? Mengapa kita harus menunggu hingga semua telah terlambat? Mengapa kita tidak bisa hidup seperti di atas sepanjang umur kita?

Oleh karena itu, disadari atau tidak, menurut saya metode “memvonis mati” kepada diri sendiri adalah sebuah cara lain agar hidup kita bermakna. Karena dengan begitu, kita selalu disadarkan bahwa hidup kita di dunia ini cuma sebentar lagi, dan mendorong kita untuk melakukan yang terbaik. Mengingat akan kematian diri sendiri adalah salah satu cara terbaik untuk menghindari jebakan berpikir bahwa anda akan kehilangan sesuatu. Anda tidak memiliki apa-apa. Sama sekali tidak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hati anda.

Steve Job, pendiri Apple dan Pixar, pun mengakui bahwa salah satu keberhasilannya dalam karir hidupnya adalah dengan menggunakan metode di atas. Ketika dirinya berumur 17, dia membaca ungkapan yang kurang lebih
berbunyi: “Bila kamu menjalani hidup seolah-olah hari itu adalah hari terakhirmu, maka suatu hari kamu akan benar.” Ungkapan itu membekas dalam diri Job, dan semenjak saat itu, selama 33 tahun terakhir, dia selalu melihat ke cermin setiap pagi dan bertanya kepada diri sendiri: “Bila ini adalah hari terakhir saya, apakah saya tetap melakukan apa yang akan saya lakukan hari ini?” Bila jawabannya selalu “tidak” dalam beberapa hari berturut-turut, dia tahu bahwa dia harus berubah. Mengingat bahwa dia akan segera mati adalah kiat penting yang dia temukan untuk membantu membuat keputusan besar. Karena hampir segala sesuatu-semua harapan eksternal, kebanggaan, takut malu atau gagal-tidak lagi bermanfaat saat menghadapi kematian.

Dalam hidupnya, Steve Job pernah didiagnosis mengidap kanker. Dia memiliki tumor pankreas. Para dokter mengatakan kepadanya bahwa hampir pasti jenisnya adalah yang tidak dapat diobati. Harapan hidup Steve Job tidak lebih dari 3-6 bulan. Dokter menyarankan Job pulang ke rumah dan membereskan segala sesuatunya. Pernyataan dokter merupakan sinyal agar Job bersiap-siap menghadapi maut.

Pada suatu pemeriksaan, para dokter memasukkan endoskopi ke tenggorokannya, lalu ke perut dan lambung, memasukkan jarum ke pankreasnya dan mengambil beberapa sel tumor. Job dibius. Istrinya, yang ada di sana, mengatakan bahwa ketika melihat selnya di bawah mikroskop, para dokter menangis mengetahui bahwa jenisnya adalah kanker pankreas yang sangat jarang, namun bisa diatasi dengan operasi. Lalu Job dioperasi dan sehat. Itu adalah rekor terdekat dirinya dengan kematian. Namun kejadian itu, justru yang diharapkan Job, walau bukan dalam arti sebenarnya.

Setelah melalui pengalaman tersebut, dia menyimpulkan bahwa menurut konsep pikiran, kematian adalah hal yang berguna. Kematian pasti menghampiri kita. Tidak ada yang bisa mengelak. Dan, memang harus demikian, karena kematian adalah buah terbaik dari kehidupan. “Kematian membuat hidup berputar. Dengannya, maka yang tua menyingkir untuk digantikan yang muda. Maaf bila terlalu dramatis menyampaikannya, namun memang begitu. Waktu Anda terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjalani hidup orang lain…Jangan pernah puas. Selalulah merasa bodoh.” Itulah pesan Steve Job bagi siapa saja yang ingin maju dalam hidupnya.

Saya hendak kembali kepada Kerry dan Chris Shook. Dalam bukunya, mereka memberikan jawaban atas pertanyaan, "Jika sisa hidup anda tinggal 30 hari lagi, bagaimana cara anda menjalaninya supaya tidak akan pernah ada penyesalan?" Ada empat jawaban yang diberikan mereka, yaitu:

Pertama, Live Passionately. Hal ini mengajak pembaca untuk berhenti hidup dengan "Someday Syndrome" (sindrom yang selalu berkata, ‘saya akan melakukannya suatu hari nanti’) dan mulai menjalani kehidupan mereka dengan sebuah tujuan yang telah Tuhan tetapkan dalam hidup mereka. Jangan mengatakan, jika nanti kami sudah mapan kami akan lakukan ini dan itu, karena kita tidak pernah mencapai titik kemapanan. Kita harus melakukan apa yang harus kita lakukan di hari ini, bukan nanti.

Kedua, Love Completely. Hal ini meminta setiap orang fokus dalam hubungan dengan sesama. Banyak orang pada akhir hidupnya mengalami penyesalan yang terbesar dalam hal hubungan dengan sesama. Kerry menjelaskan, bahwa mengasihi dengan sepenuhnya artinya jangan sampai tidak pernah menyatakan kasih anda. Ekpresikan kasih anda hari ini. Kalau perlu tulis surat ucapan terima kasih pada seseorang hari ini. Lakukan apa yang harus anda lakukan pada orang-orang yang anda kasihi hari ini juga.

Ketiga, Learn Hubly. Di sini dibicarakan tentang karakter kerendahan hati yang merupakan kunci untuk mengalami kesembuhan dari kepahitan. Selain itu, kerendahan hati juga membawa mereka mempelajari menggunakan talenta yang Tuhan percayakan dalam hidupnya untuk dapat digunakan dengan efektif.

Keempat, Leave Boldly, Kerry menyemangati pembaca untuk menjalani kehidupan ini sebaik mungkin, sehingga ketika mereka meninggalkan kehidupan ini ada suatu warisan yang berarti bagi penerus mereka. Warisan di sini bukanlah sebuah bisnis yang besar, rumah atau materi, karena semua itu dapat hilang dengan cepat. Warisan yang ditekankan di sini adalah tentang iman, pengharapan kasih, dan semangat mereka yang akan selalu diingat oleh penerusnya.

Keempat kiat di atas sungguh bermakna universal yang dapat diamalkan oleh siapa pun. Mudah-mudahan keempat kiat itu, jika kita melakukaannya, kita tidak merugi dalam hidup kita jika tiba-tiba saja kita dijemput maut. Tiada seorangpun yang tahu pasti kapan kita akan mati. Untuk itu, sangat penting untuk membuat prioritas kehidupan ini seolah-olah itu esok hari. Sungguh, waktu kehidupan kita saat di sini sangat berharga.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip kata-kata mendiang Randy Pausch, yang mati mengidap kanker. "kearifan apa yang akan kita tanamkan kepada dunia jika kita tahu ini kesempatan terakhir kita? Jika kita harus mati besok, apa yang kita inginkan sebagai pusaka atau warisan kita?".

Minggu, 10 Mei 2009

Ketika Jepang Menginspirasi Novelis Barat

Resensi ini dimuat di Media Indonesia, Sabtu 20 Juni 2009
Judul Buku : The Dragon Scroll
Penulis : I.J. Parker
Penerbit : Penerbit Kantera
Cetakan : I, Februari 2009
Tebal : 484 hlm
-------------------------

I.J. Parker, penulis novel The Dragon Scroll ini menekuni sejarah Jepang masa pertengahan dan menulis kisah-kisah misteri. Pada 1997 cerpennya dengan tokoh Sugawara Akitada—seorang pegawai rendahan kementerian kehakiman Kyoto abad kesebelas yang melakukan penyelidikan terhadap kejahatan—membuat karyanya muncul dalam majalah misteri Alfred Hithcock. Pada tahun 2000, Parker menerima Private Eye Writer of American Shamus Award untuk kategori cerita pendek misteri terbaik. Dan dua novelnya, Rashomon Gate (2002) dan the Hell Screen (2003) mendapatkan penghargaan dari St. Martin Monotaur. Kelahiran Jerman ini amat mumpuni tentang sejarah dan budaya Jepang.

Novel The Dragon Scroll secara kronologis merupakan novel ketiga dari seri-seri karyanya dan menceritakan kembali permulaan karir tokoh utama Sugawara Akitada yang berlatar Periode Heian Jepang (794-1185). Novel ini bertutur tentang Sugawara Akitada yang diutus ke Kisarazu di propinsi Kazusa guna menyelidiki hilangnya pengiriman pajak selama tiga tahun berturut-turut.

Sejak awal, Parker menciptakan narasi yang sangat cepat dan menggairahkan, sesuatu yang menarik perhatian pembaca baik dalam aksi dan penyampaian kultur serta tradisi abad kesebelas. Aksi datang pertama kali melalui latar belakang budaya Jepang yang mengagumkan yang menambah kegairahan membaca. Dalam dua puluh halaman pertama, pembaca disuguhi tentang pembunuhan seorang wanita. Selanjutnya meloncat pada usaha perampokan terhadap Akitada, pertarungan hidup mati dengan para perampok di jalan, kemudian usaha pemerkosaan terhadap gadis tunarungu oleh beberapa oknum biksu budha, dan serangan kekerasan terhadap orang-orang Akitada oleh artis seni bela diri wanita yang memiliki kemampuan hebat.

Novel ini merupakan novel terbaru Parker, setelah The Rashomon dan The Hell Screen, yang sama-sama mempunyai kisah misteri dan detektif. Di sini, Akitada adalah seorang sarjana muda yang bertemu Tora—yang menjadi tokoh dalam kedua buku sebelumnya—untuk pertama kalinya. Kemampuan Tora dalam menggunakan tongkat dan kecepatan melompat dalam setiap aksinya, tidak diragukan lagi, telah menyelamatkan Akitada dan Seimei dari para penjahat yang kejam. Hanya saja reputasinya sebagai “Bandit Jangkung Berkaki Tujuh”, menyebabkan Seimei, sang pembantu Akitada gelisah. Seimei merasa dia bukanlah orang yang dapat dipercaya, ibaratnya ‘seekor burung Elang tidak bisa menjadi burung Bulbul.”

Ada beberapa tokoh kunci, selain Akitada, Tora dan Seimei, yang berperan dalam novel ini, yaitu, The Rat seorang pengemis yang memiliki banyak informasi; Higekuro, seorang anggota bangsawan yang merangkap menjadi pimpinan sekolah seni beladiri; dan Otomi, artis tunarungu yang sketsa-sketsanya tentang sebuah biara menjadi kunci penting dalam penyelidikan tersebut.

Dalam perjalanannya, dengan ditemani pelayannya, Seimei, Akitada diserang oleh para perampok. Namun untung saja diselamatkan oleh Tora, seorang pembelot militer yang gagah berani, di mana kemudian diangkat menjadi seorang ajudannya. Perjalanan melalui daerah pedalaman yang dingin dengan menunggang kuda, Akitada dijamin oleh keduanya kalau sewaktu-waktu ia melihat hal yang tidak menyenangkan dari protokol pegawai lainnya. Seimei sering berbicara kepada Akitada dalam aforisme adat tradisional.

Awal kedatangannya di Kazusa, Akitada berspekulasi menjadikan gubernur Motosuke sebagai tersangka utama. Namun kecurigaan Akitada terhadap sang gubernur sulit dibuktikan. Bahkan Akitada dan pelayannya, Seimei, tercengang dengan efisiensi kerja para staf dan kerapian berkas-berkasnya. Alih-alih berhasil meringkus penjahat Negara, Akitada merasa misinya hanya akan berakhir sia-sia. Karena rumor yang beredar bahwa sudah lama pemerintah ingin kasus ini dilupakan. Kegelisahan Akitada untuk tetap menegakkan hukum semakin mendorongnya berfikir keras, menemukan dalang di balik kejahatan ini. Orang-orang lain yang patut dicurigai dan mulai dijadikan modus operandinya adalah Residen Ikeda, Kapten Yukinari—sang kepala Garnisun, Lord Tachibana—mantan Gubernur—beserta Lady Tachibana (istri mudanya yang cantik mempesona) serta master Joto, sang kepala biara Empat Wajah Kebijaksanaan.
Masalah semakin pelik ketika terjadi pembunuhan berantai. Mantan gubernur Lord Tachibana ditemukan tewas di ruang kerjanya saat Akitada mengunjunginya. Lalu seorang pelacur dibunuh dengan cara mengerikan. Begitu pula pembantaian yang terjadi di rumah Higekuro, pemilik perguruan bela diri bojutsu. Dan usaha pemerkosaan terhadap putrinya—gadis tunarungu—oleh beberapa rahib pengkhianat.

Apa motif di balik pembunuhan sang mantan gubernur? Firasat Akitada mengatakan bahwa aksi tersebut ada hubungannya dengan kasus perampokan pajak. Istri mantan gubernur pun ditengarai memiliki skandal dengan Kapten Yukinari dan Residen Ikeda. Kisah ini kemudian berkembang menjadi sebuah konspirasi yang juga melibatkan kepala biara Empat Wajah Kebijaksanaan. Hal itu berdasarkan fakta pembangunan biara yang meningkat drastis. Namun pada akhirnya Akitada memperoleh titik terang setelah ditemukannya sebuah sketsa lukisan Badai Naga karya Otomi, putri Higekuro. Sketsa itulah yang menjadi kunci penting dalam penyelidikan tersebut.

Ditemani Tora dan Ayako—gadis pesumo yang membuat Akitada jatuh cinta—Akitada menyusup ke dalam Biara Empat Wajah Kebijaksanaan dan menemukan bukti kebengalan para rahib. Kala segalanya terbuka, bentrokan pun tak terelakkan. Dalam satu adegan klimaks, yang terjadi pada sebuah perayaan biara yang besar, ketegangan mencapai puncaknya. Akitada dan kelompoknya berhasil membongkar monster jahat yang terselubung di balik kedok sang rahib suci. Misteri sekeping bunga biru pun menyingkap pembunuhan wanita bangsawan, Lady Asagao, selir kesayangan Kaisar. Tapi yang lebih buruk, upaya penyelidikan dan pengungkapan yang dilakukan Akitada malah mengancam hubungan cinta dan kariernya. Sungguh, sebuah ending yang mengharukan. Akitada sangat shock karena mendapati sang menteri, atasannya, naik pitam mendengar kabar keberhasilannya. Akibatnya mimpi dan cita-cita Akitada kandas.

Dalam seluruh novel ini, Parker tetap setia dengan budaya dan sejarah Jepang abad kesebelas. Informasi yang mengagumkan tentang stratifikasi budaya dan pemisahan antara bangsawan dan orang biasa, mengenai ketegangan antara agama Budha dan Santo, dan mengenai operasi pemerintah, semuanya dimasukkan dengan sangat natural dalam misteri tersebut. Parker sangat cermat menciptakan karakter-karakter yang seakan-akan hidup dan memberikan pembacanya untuk beridentifikasi dengan mereka, meskipun ada jarak seratus tahun antara aksi tersebut dengan kehidupan dan masa dari pembacanya.

Parker seringkali menghadirkan adegan-adegan yang berisikan ironi. Dan misteri tersebut secara bertahap berkembang dari awal yang agak sederhana menjadi suatu kesimpulan liar yang secara bersama-sama mengikat tiap detail pada saat yang bersamaan, sehingga hal itu memerlukan perhatian secara cermat. Sebuah seri baru yang pantas mendapatkan banyak pembaca baru. Misteri-misteri Akitado Sugiwara amat mengagumkan dan tampil beda! Kepedulian Parker atas kedetailannya benar-benar tanpa cacat dan kemampuannya untuk melibatkan pembacanya dalam peristiwa-peristiwa yang berasal dari seratus tahun yang lalu di negara asing sungguh menarik perhatian.***

M.Iqbal Dawami
Staf Pengajar STIS Magelang, penikmat sastra

Selasa, 05 Mei 2009

Kematian Tak Diduga, Namun Memberi Isyarat

Andy baru saja meninggalkan rumah ketika terdengar jeritan ibunya. Dengan bergegas dia masuk kembali. Saat itulah dia melihat ayahnya sudah tertelungkup di lantai. Badannya lunglai.

Saat dia mengangkat dan memangkunya dalam pelukan, mata Ayahnya menatap Andy dalam sekali. Mulutnya berusaha mengeluarkan kata-kata, namun gagal. Tangan Andy digenggamnya kuat-kuat sebelum akhirnya melemah dan terdiam. Ayahnya menghembuskan nafas terakhirnya.

Sepuluh menit yang lalu Andy masih berdialog dengan ayahnya. Bahkan sedikit bersitegang. Gara-gara ayahnya melarang dia untuk melihat pertandingan tinju di Gelanggang Olahraga Cenderawasih, Jayapura. Ayahnya meminta dia tetap di rumah ‘untuk menjaga ibu’. Permintaan yang aneh. Selama ini Andy selalu bebas menentukan kemana pun pergi. Ayahnya termasuk orangtua yang menyenangkan, yang tidak ‘neko-neko’. Karena itu larangannya sungguh mengejutkan baginya.

Sang Ibu, yang melihat kekecewaan Andy, mencoba membantu Andy dengan membujuk ayahnya. Terjadi perdebatan sebentar sebelum akhirnya ayahnya mengalah dan mengijinkan Andy melangkah meninggalkan rumah. Ayahnya hanya berpesan agar setelah pertandingan usai dia segera pulang.

Tapi, baru beberapa langkah, terdengar jeritan ibunya. Ayahnya ambruk. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, di dalam taksi, Andy menyadari ayahnya telah tiada. Denyut nadinya datar. Jantungnya tidak lagi berdegup. Ayahnya telah pergi untuk selama-lamanya.

Ketika menguruk tanah ke liang lahat, perasaan Andy disesaki rasa penyesalan yang sangat dalam. Kalau saja jarum jam bisa diputar ulang, malam itu Andy ingin menyenangkan hati ayahnya. Andy tidak akan bersikeras pergi ke pertandingan tinju. Tiket pertandingan tinju tidak lagi punya arti berbanding permintaan ayahnya sebelum kematian menjemput. Andy ingin menghantarkan ayahnya berpulang dalam damai. Bukan dengan suasana hati yang galau. Namun apa mau dikata. Kematian datang dengan caranya sendiri. Tidak mengenal waktu dan tempat. Kematian ayahnya begitu mendadak. Andy merasa tidak siap.

Itulah kisah kematian ayah Andy F. Noya, pemandu acara Kick Andy di Metro TV. Dia merasa sedih karena tidak menyenangkan ayahnya saat ayahnya dijemput maut. Kematian ayahnya sangat tiba-tiba.

Malaikat yang bertugas mencabut nyawa memang tidak pernah ber-‘assalaamu’alaikum’ atau ber-‘kulonuwun’ (permisi) pada orang yang akan ia cabut nyawanya. Kita tidak tahu kapan ia datang, dan jika ia datang pun kita tak bisa menolaknya. Janji Allah tertulis jelas, bahwa kematian adalah sebuah kepastian yang akan datang pada tiap-tiap jiwa. Tetapi kapan waktunya, cukuplah ia menjadi rahasia-Nya, ”Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (Q.S. Luqman : 34).
Kematian datang secara tiba-tiba namun walau begitu kadang memberikan aba-aba atau isyarat terlebih dahulu. Tanpa meminta ijin kepada siapa pun kapan ia akan datang.
Dia akan datang kepada siapa saja yang dikehendaki dan sudah ditentukan hari kepastiannya. Isyarat kematian kadang kala amat sulit kita pahami, dan barangkali biasa-biasa saja, walau dalam hati kita merasa ada sesuatu yang aneh. Itulah yang dialami Andy F. Noya, yang kematian ayahnya tiba-tiba itu, tidak merasakan sesuatu, hanya saja ayahnya untuk menyarankan Andy untuk tidak kemana-mana, disuruh menjaga ibunya. Ayahnya meminta dia tetap di rumah ‘untuk menjaga ibu’. Bagi Andy, itu adalah permintaan yang aneh. Sebelumnya Andy selalu bebas menentukan ke manapun pergi dan ayahnya pun tidak pernah melarang kemana pun ia pergi. Itulah isyarat yang diberikan Tuhan untuk Andy bahwa ayahnya akan dijemput maut.

Hal ini juga dialami oleh Widyawati, istri Sophan Sophiaan. Bahwa kematian telah lama mendekati suaminya, memberi isyarat kepadanya. Isyarat itu, berupa sikap tak biasa Sophan. Selama konvoi, misalnya, Widya merasa Sophan tambah mesra, acap menatapnya dan memeluk erat. Di Rembang, isyarat itu lebih kuat terasa. Sophan memintanya mengenang saat pertama berjumpa, dalam film Pengantin Remadja. Sophan tak hanya menyanyikan soundtrack film itu, tapi juga membacakan surat cinta. “Juli sayang, suatu saat kita akan berjumpa lagi”. Itulah isyarat, dan Widya tak menyadarinya. Isyarat itu juga datang dari alam. Sepanjang Jakarta-Tuban, dalam konvoi berboncengan, Widyawati selalu melihat sepasang burung terbang di depan mereka. Hanya dia yang melihat.

Kisah di atas memberi isyarat pada kita bahwa kematian bukanlah sesuatu yang jauh. Dia dekat dan datang secara tiba-tiba. Namun kedatangannya dapat diamati, dicatat, jika kita cermat menangkap isyarat.

Allah menentukan kematian dengan cara apa pun. Salah satunya, kedatangannya sangat tiba-tiba. Jalan menuju kematian sangat banyak jalurnya, ada yang diuji dengan sakit dahulu, kecelakan atau diambil secara tiba-tiba. Bisa jadi kelak kita akan menempuh salah satu jalan di atas.

Semoga dengan banyak cerita tentang meninggalnya orang-orang di sekeliling kita, kita semakin bijak dalam mempersiapkan kematian yang akan datang pada giliran kita.