Yusuf Qardhawi
Biografi
-Yusuf Qardhawi lahir di desa Shaft Turab, daerah Mahallah Al-Kubra, Mesir, pada 9 September 1926. Pada usia 10 tahun dia sudah hafal Alquran. Pendidikan formalnya ditempuh di Al-Azhar Mesir. Keahliannya adalah dalam bidang Aqidah, Tafsir, dan Hadis. Hal itu didukung oleh pelajarannya di Fakultas Ushuluddin, yang diselesaikannya pada tahun 1960.
- Di antara karya-karyanya adalah Al-Quran & As-Sunnah, As-Sunnah Sebagai Sumber IPTEK & Peradaban, Fiqh Prioritas - Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Quran & Al-Sunnah,dll.
Pemikiran Yusuf Qardhawi Tentang Hadis
- Agar sukses memahami hadis secara benar, Qardhawi menegaskan bahwa kita harus menghimpun Hadis Shahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu. Kemudian mengembalikan kandungan yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang mutlak dengan muqayyad, dan menafsirkan yang ‘am dengan khos. Dengan cara itu, suatu hadis dapatlah dimengerti maksudnya dengan lebih jelas dan tidak dipertentangkan antara hadis yang satu dengan yang lain.
- Mencukupkan diri dengan dengan pengertian lahiriah suatu Hadis saja tanpa memerhatikan hadis-hadis lainnya, dan teks-teks lain yang berkaitan dengan topik tertentu seringkali menjerumuskan orang ke dalam kesalahan, dan menjauhkannya dari kebenaran mengenai maksud sebenarnya dari konteks-konteks hadis tersebut. Misalnya: لا يدخل هذا بيت قوم إلا أدخله الله الذل (“Tidak akan masuk (alat) ini ke rumah suatu kaum, kecuali Allah pasti memasukkan kehinaan ke dalamnya.” (HR Bukhori).
- Pengertian lahiriah hadis ini mengisyaratkan bahwa Rasulullah tidak menyukai pekerjaan bertani sebab akan mengakibatkan kehinaan bagi para pekerjanya. Namun secara lahiriah bertentangan dengan Hadis Shahih lainnya, karena sunnah yang kemudian dirinci dalam fiqih telah banyak menjelaskan tentang hukum-hukum pertanian, pengairan dan penggarapan tanah kosong, serta segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban masing-masing.
- Hadis itu sebenarnya berlaku bagi orang yang berada di dekat daerah musuh, sebab apabila ia menyibukkan dirinya dengan pertanian, ia akan melupakan tugas kewiraan, sehingga musuh menjadi berani. Semestinya orang yang demikian lebih memilih ketrampilan ketentaraan (Pendapat Yusuf Q.).
- Menggabungkan antara dua hadis yang dianggap bertentangan kemudian mentarjihnya (memilih yang paling kuat dan rasional). Contoh: “Nabi saw melaknat wanita-wanita yang menziarahi kubur” (HR At-Turmudzi). Hadis itu bertentangan dengan hadis, “Rasul bersabda, ‘aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, kini berziarahlah’…” .
Muhammad Al-Ghazali
Biografi
- Muhammad Al-Ghazali di sini bukanlah Muhammad Al-Ghazali yang menulis kitab Ihya Ulumuddin.
- Dia lahir pada 1917 M di al-Bahirah, Mesir, kuliah di Al-Azhar Mesir, lulus pada 1941. Dia aktif di organisasi Ikhwanul Muslimin. Dia juga aktif menulis dan berceramah.
- Muhammad Al-Ghazali wafat pada sabtu 9 syawal 1416 H bertepatan dengan tanggal 1996.
- Di antara karya-karyanya adalah As-Sunnah An-Nabawiyyah Baina Ahlul Fiqh wa Ahlul Hadis, Al-Islam Wa Al-Ausa’ Al-Iqtishadiyah, dll.
Pemikiran Hadis Muhammad Al-Ghazali
- Keterhindaran dari syadz dan ‘illat, merupakan persyaratan keshahihan matan. Dia tidak mensyaratkan ketersambungan sanad sebagai salah satu syarat keshahihan sanad hadis.
- Banyak tertuju pada matannya saja. Dia sering mengajukan pertanyaan: Apa gunanya hadis dengan isnad yang kuat tetapi memiliki matan yang cacat?
- Hadis Mutawatir cakupannya sangat luas (aqidah, hukum, dan muamalah). Hadis mutawatir juga akan mendatangkan ketenangan jiwa bagi pengamalnya. Sedang Hadis Ahad hanya menghasilkan dugaan kuat (zann al-‘ilmi), dan cakupannya hanya dalam cabang-cabang hukum syari’ah. Karena itu, dia hanya menerima hadis-hadis mutawatir untuk persoalan dasar Islam, seperti tentang akidah dan hukum.
- Hadis tentang “Orang yang meninggal diazab karena ditangisi yang hidup (baca:keluarganya)”, dari 37 jalur sanad hadis itu hanya dua jalur yang dapat diterima, yaitu yang terdapat dalam Shahih Muslim. Yaitu hanya riwayat dari Aisyah yang dapat diterima, sedang yang lainnya ditolak. Hal ini didasarkan pada Aisyah sendiri yang menolak hadis di atas, karena bertentangan dengan Alquran, “Tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain…” (Al-An’am: 164).
- Hadis berbunyi, “Tidak akan sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan urusannya kepada wanita.” (HR Bukhori). Hadis itu harus dilihat konteksnya. Ketika Nabi SAW mengucapkan hadis itu pasukan persia telah dipaksa mundur dan luas wilayahnya makin menyempit. Sebenarnya masih ada kemungkinan untuk menyerahkan kepemimpinan negara kepada seorang jenderal yang piawai, yang mungkin dapat menghentikan kekalahan demi kekalahan. Namun, paganisme politik tidak menjadikan rakyat dan negara sebagai harta warisan yang diterimakan kepada seorang wanita muda yang tidak tahu apa-apa. Hal itulah yang menandakan bahwa Persia sedang menuju kehancuran total.
- M. Al-Ghazali mengatakan bahwa wanita yang tidak boleh diserahi tugas sebagai pemimpin oleh Nabi Saw adalah wanita yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan, baik dilihat dari segi kepakaran maupun dilihat dari segi budaya setempat. Jadi, Hadis di atas tidak dapat dijadikan sebagai dasar penolakan wanita sebagai pemimpin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar