Senin, 11 Agustus 2008

Re-freaming

Lelaki itu bernama Viktor Frankl, tahanan di kamp konsentrasi Auszwitch. Tak seperti kebanyakan tahanan yang kemudian mati karena putus asa, Frankl malah berhasil membangun kepercayaan diri atas keyakinan bahwa pasti ada makna dari semua kejadian ini. Ini sebuah skenario yang dirancang untuk mendewasakan orang.
Cerita lainnya, ada seseorang berdoa kepada Tuhan agar dijauhkan dari penderitaan dan kenistaan. Namun, Tuhan menolaknya sambil berkata bahwa justru penderitaan itulah yang membuat seseorang menjadi dewasa dan kuat. Penderitaan akan mengajari kita untuk mengerti apa arti kebahagiaan. Sama halnya dengan penyakit yang diderita akan mengajari apa arti kesehatan.


Dua kisah pendek di atas menceritakan tentang perlunya melakukan re-freaming dalam hidup. Taufik Pasiak mengatakan bahwa melakukan re-freaming memungkinkan mata kepala dan mata hati kita terasah dan tajam. Kita bisa melihat hal-hal yang semula tak terlihat. Anda pasti akan bisa bertahan hidup, malah akan semakin kuat, jika anda menyadari bahwa di setiap kejadian ada pelajaran dan hikmah, dan terutama ada makna. Jika anda tiba-tiba menjadi miskin dan menderita karena kehilangan harta, maka kelangsungan hidup anda akan sangat ditentukan oleh seberapa besar anda melihat dan menemukan arti dari semua kejadian itu. Demikian halnya ketika anda dicopot dari sebuah jabatan penting. Keyakinan kita akan adanya makna dari setiap peristiwa tidak saja membuat kita lebih arif. Lebih daripada itu, kita akan makin dewasa, rasional, dan memiliki kepribadian kuat. Banyak sekali contoh manusia-manusia besar yang lahir karena kehebatannya melakukan re-freaming ini.
Tuhan menciptakan sesuatu tanpa kesia-siaan. Artinya, kalau kita pandai mengambil hikmah, tak satu pun kejadian yang tak bermanfaat sebagai pembelajaran. Cara pengelolaan stresor yang positif ada tiga, yang sesungguhnya mirip dengan apa yang dikatakan Taufik Pasiak di atas, yakni dengan rasionalisasi, melakukan curahan hati (curhat) dan pandai mengambil hikmah. Kualitas seseorang sangat menentukan kualitas dari pengelolaan stresor itu.
Persoalannya, lanjut Taufik Pasiak, bersediakah kita melakukan re-freaming itu. Karena menurutnya banyak sekali orang menolaknya. Mereka seperti mengenakan kacamata kuda yang hanya mampu melihat lurus ke depan. Perspektif mereka satu arah saja. “Jangan heran kalau orang-orang seperti ini gelisah, terasing, mudah bermusuhan, dan egoistik” ujar Taufik, pakar Neurosaintis ini.
Anda tahu dengan kaca mata kuda? Seorang kusir/sais delman (sado) akan memasang kaca mata pada kudanya bila sang kuda akan dipakai untuk menarik delman. Tentu kacamata yang dipakaikan pada kudanya bukan semata-mata agar si kuda nampak gagah, tapi juga ada kepentingan yang jauh lebih penting, yaitu agar si kuda tidak menoleh ke kiri dan ke kanan, dan hanya bisa melihat bagian yang berada di depan kuda, hingga kuda mau berjalan lurus ke depan dan tidak peduli pada kejadian yang terjadi di kiri dan kanan si kuda yang bisa mempengaruhi kuda dalam perjalanan menuju tujuan yang diharapkan si sais.
Tak dapat dipungkiri, dalam kehidupan kita, ada banyak orang yang sejak kecil sudah memakai kacamata kuda, kacamata ini memang sudah dipasang oleh
keluarganya (orang tuanya) yang tentunya agar anak ini berjalan lurus
ke depan sesuai dengan harapan-harapan dari orang tua. Hampir dipastikan orang yang sejak masa kanak-kanak memakai kaca mata kuda, pola pandangnya hanya mampu melihat sesuatu yang berada di depan matanya, anak ini tidak pernah bisa melihat sesuatu di sebelah kiri atau kanannya, dimensi pandangnya menjadi sangat sempit, hingga suatu saat manakala dia melihat kenyataan bahwa dunia ini ternyata bukan hanya apa yang nampak di depannya saja dan ternyata multi dimensi, dia menjadi terperangah.
Terkadang kita tak menyadari bahwa kita sudah biasa mengenakan kacamata kuda itu yang kita kenakan seakan menjadi bagian dari diri kita sehingga tak pernah sedikitpun terbesit untuk mencoba membuka kacamata kuda kita dan melihat berbagai aspek dengan cara pandang baru.
Contoh konkritnya adalah saat kita memandang sebuah peristiwa yang menyedihkan kita, yang biasa kita sebut musibah. Musibah adalah sesuatu yang terjadi dari luar diri kita yang tidak kita inginkan. Ada orang yang mendapat musibah, lalu ia menjadikan musibah tersebut sebagai penderitaan. Tapi ada juga yang dengan musibah, tetap bisa merasakan kebahagiaan.
Musibah adalah sesuatu yang memang datang dari luar diri kita, sedangkan kebahagiaan dan penderitaan adalah sesuatu yang muncul dari dalam diri kita sendiri, subyektif, tergantung bagaimana kita menata perasaan. Tergantung bagaimana kita menyikapi musibah tersebut. Sikap orang dalam menyikapi musibah berbeda-beda. Tergantung dari pemahaman, pengalaman, dan kepasrahan. Pemahaman akan musibah sebagai fase hidup, membuat seseorang dapat menerima musibah apa adanya, tidak berlebihan dalam menentukan sikap maupun pernyataan. Musibah yang dialami dan dipahami sebagai bagian dari ujian atas pilihan hidupnya. Musibah datang, tak lepas dari Kuasa Tuhan.
Bagi orang yang menjadikan hidupnya sebagai pengalaman (baca: hikmah) menganggap musibah yang dialami sebagai sebuah momentum yang memang harus dijalaninya. Mereka yang pandai mengambil hikmah dari setiap momen kehidupannya, tak akan merana dengan datangnya musibah. Bahkan musibah yang dialaminya dianggapnya sebagai ujian dalam menjalin cinta terhadap Tuhannya.
Kata lain dari musibah adalah cobaan. Dan cobaan tidak identik dengan kesengsaraan, atau sesuatu yang tidak kita inginkan. Cobaan juga bisa berupa “sesuatu yang kita inginkan”, misalnya adalah mendapatkan barang yang sesungguhnya bukan hak kita, padahal kita sangat mengingkannya. Itu adalah cobaan yang kerap kali sulit kita elak. Tapi, bagi orang yang memahami bahwa di balik cobaan terdapat hikmah, ia tidak segan-segan meyakinkan dirinya untuk menolak cobaan yang jenis seperti itu. Karena ia meyakini bahwa ada makna di balik ujian tersebut, dan yakin ada balasan yang positif.
Dalam hal ini, orang yang mampu bersikap seperti itu berarti ia tidak memakai kacamata kuda dalam memandang sebuah peristiwa. Ia mampu melihat dari sisi lain, yang sangat positif. Dengan kata lain, ia melakukan re-freaming.
Di bawah ini saya cantumkan sebuah kisah tentang orang yang tidak memakai kacamata kuda dan justru melakukan re-freaming dalam memandang sebuah peristiwa yang tengah dialaminya.
Ada seorang penulis yang mendapatkan kabar mengejutkan dari rumahnya. Sebuah sms dia terima dari kakaknya, yang mengabarkan bahwa dia mendapat kiriman wesel yang dialamatkan ke rumahnya untuk honor sebuah cerpennya yang telah dimuat--beberapa bulan sebelumnya-- di sebuah koran.
Penulis itu terkejut, tidak percaya. Ada tiga alasan yang membuatnya tak percaya. Pertama, sejak ia hijrah ke Jakarta tiga tahun yang lalu, ia tak pernah mendapat wesel atau transfer untuk honor cerpennya yang dimuat di koran tersebut. Sebab setiap kali ada cerpennya yang dimuat di koran itu, esok harinya atau beberapa hari kemudian ia langsung mengambil ke kantor koran tersebut. Jadi, tak mungkin kalau honor untuk cerpennya dikirimkan oleh bagian keuangan koran itu ke alamat rumah karena honor cerpen-cerpennya sudah ia ambil semua.
Kedua, selama sebelas tahun ia menulis ke beberapa media ia tidak pernah mencantumkan alamat untuk identitasnya dengan memakai alamat rumah di Jawa Tengah melainkan alamat Yogyakarta, karena ia dulu kuliah di Yogyakarta dan setelah ia hijrah ke Jakarta, ia pindahkan ke alamat Jakarta. Jadi, bagaimana mungkin bagian keuangan koran tersebut kemudian mengirimkan wesel untuk honor cerpennya itu ke rumah? Jelas, itu mustahil, pikir penulis itu.
Ketiga, ia mengira kakaknya iseng belaka saat mengirim sms itu, untuk sekadar menyindirnya. Karena pada bulan itu ia memang belum mengirim uang buat ibunya di rumah. Padahal, ia sudah berjanji akan mengirim uang satu juta untuk menutupi utang-utang ibunya yang harus ia bayar dengan harapan agar utang tersebut bisa segera lunas.
Tetapi ia segera menepis keraguannya itu. Pasalnya, ia yakin kakaknya tak mungkin berbuat jahat untuk sekadar membohonginya. Apalagi, selama ini ia tidak pernah menemui kakaknya berani berhohong, untuk urusan uang yang ia kirim buat ibunya ke rumah.
Ia pun mengambil inisiatif untuk menelpon kakaknya hendak bertanya apa benar dirinya telah mendapat wesel dari koran tersebut? Kakaknya pun menjawab dan meyakinkan bahwa wesel tersebut benar-benar ada, dan malah sedang digenggamnya. Setelah memutuskan telpon dengan kakaknya, ia pun langsung meng-sms bagian keuangan koran itu, dan menceritakan bahwa ia sudah menerima semua honor cerpennya yang dimuat di koran ini, tapi kenapa tiba-tiba dibayar lagi lewat wesel dan anehnya dikirim ke alamat rumah.
Tak lama kemudian ada sms balik bahwa honor untuk cerpennya ternyata dikirim ulang. Jadi ia mendapatkan honor ganda untuk sebuah tulisan cerpen. Dengan meminta maaf, orang itu meminta ia untuk mengembalikan honor itu dan ia tidak keberatan untuk mengembalikannya. Maka, ia pun segera mengirim sms pada kakaknya untuk mengembalikan wesel tersebut.
Sehabis mengirim sms, ia berpikir kenapa honor untuk cerpen itu bisa dikirim lagi? Kenapa koran itu mengirim honor melalui wesel ke alamat rumah bukan ke alamatnya di Jakarta? Ada apakah di balik kejanggalan wesel yang dikirim ke rumah tersebut? Ia meyakini bahwa honor itu adalah satu ujian dari Tuhan untuk "menguji" kejujurannya. Dan itu terjadi saat ia sedang tidak punya uang padahal sudah terlanjur berjanji pada ibunya untuk mengirim uang. Tetapi, ia yakin suatu hari nanti Tuhan akan mengganti honor haram itu dengan honor yang halal. Ia juga yakin, Tuhan akan mengganti honor cerpennya itu dengan "honor halal" yang berlipat dan bahkan bisa jadi datangnya juga tak disangka-sangka. Karena, ia tak memiliki keraguan bahwa Tuhan itu Maha Kaya dan Maha Pemurah.
Seminggu kemudian, apa yang ia yakini ternyata menjadi kenyataan. Ia hanya terhenyak kaget saat menjumpai dua tulisannya tiba-tiba muncul di media massa. Lebih aneh lagi, dua tulisannya itu nyaris tidak pernah diprediksi akan dimuat karena memang sudah lama tidak ada kabar.

Tidak ada komentar: