Rabu, 27 Juni 2012

Mencintai Buku seperti Mencintai Kamu

Nak, bapak ingin bercerita padamu, bahwa selain kamu dan ibumu ada juga yang bapak cintai, bahkan sejak sebelum mengenal ibumu; sejak zaman “azali”. Cinta bapak kepadanya hingga kini masih terpatri. Cinta bapak kepadanya sama dengan cinta pada kamu dan ibumu.

Maafkan bapak, nak. Bapak tidak bisa menghilangkan rasa cinta bapak padanya. Oh, kuharap kau dan ibumu tidak terlalu cemburu, kecuali sedikit saja. Barangkali saat aku tak bersamamu (dan juga ibumu) boleh jadi bapak sedang bermesraan dengannya. Maafkan bapak nak jika membuat kamu dan ibu marah.  

Mungkin kamu penasaran dan bertanya-tanya, siapa sesungguhnya yang bapak cintai itu selain kamu dan ibumu sejak dari dulu hingga kini? Baiklah, nak, mari dekat bapak, akan bapak beritahu. Yang bapak cintai sesungguhnya adalah buku, he-he. 

Bagaimana perasaanmu, nak? Ah, barangkali hatimu menjadi plong sekarang, he-he-he. Tapi, itu betul, nak. Bapak tidak bercanda. Bapak memang mencintai buku sudah lama sekali. Bapak tidak bisa melepaskan perasaan itu. Kecintaan bapak pada buku didasari atas dasar kesukaan pada aktivitas membaca, nak. Ya, bapak memang senang membaca. Membaca tentang apa saja, baik tulisan di koran maupun buku. Dan bisa dipastikan setiap bulan bapak selalu membeli buku. 

Jika belum ada uang lebih, bapak pinjam kepada kawan-kawan, perpustakaan kampus, atau baca-baca di toko buku. Bapak seperti sudah kecanduan membaca. Sehari tidak membaca seperti gersang hati bapak, nak. Lantas, sejak kapan bapak mulai meresensi buku? Sebetulnya dulu pas kuliah, bapak sudah mulai meresensi buku, tapi belum serius. Hanya sesekali saja. Waktu itu bapak masih fokus menerjemah, bukan meresensi. 

Bapak mulai meresensi buku secara serius pada saat awal menikah dengan ibumu. Lha, mengapa justru setelah menikah baru serius meresensi? Simpel nak jawabanya, karena setelah menikah dana belanja buku dialihkan ke dana belanja keperluan kami berdua sehari-hari, he-he. Jadi, sejak itulah bapak mulai meresensi buku secara serius. Resensinya kemudian dikirim ke pelbagai media massa.  

Menekuni Resensi 
Anakku, mungkin kamu akan bertanya mengapa bapak memilih meresensi tidak yang lainnya, misalnya, opini? Bapak memilih resensi karena tiga alasan. Pertama, kecintaan bapak membaca buku mendorong bapak untuk membagikan hasil bacaannya ke orang lain. Rasanya aneh, apabila bapak tidak membagikan apa yang sudah bapak baca. Ada semacam kegelisahan apabila hal itu tidak dibagikan kepada orang lain.

Kedua, aktivitas meresensi akan memacu bapak untuk senantiasa membaca buku. Berbeda dengan halnya meresensi opini, mungkin membaca bukunya tidak seintens meresensi buku. Jadi, dengan kata lain, meresensi akan membuat bapak tetap rajin membaca, nak. 

Nah, yang ketiga, ini barangkali yang agak realistis, yakni mendatangkan buku secara gratis dan materi. Jika resensi dimuat di media massa, maka keuntungan secara materi bisa “berlipat”. Materi itu bisa berupa uang, buku, dan barang yang lainnya, entah dari media massa, penerbit, bahkan penulisnya. Mungkin yang ketiga inilah alasan terbesar mengapa bapak meresensi, nak. Sebagaimana bapak ceritakan di atas, bahwa budget untuk membeli buku setelah menikah sudah minim, sedang membaca buku tidak ada kata berhenti, maka bapak harus mendapatkan jalan keluarnya. 

Bapak mendapatkan solusinya dari kawan, bahwa agar mendapat pasokan buku secara gratis adalah dengan meresensi buku. Apabila resensi dimuat di media, maka kita akan mendapatkan buku secara gratis dari penerbit yang kita resensi bukunya. Bahkan, mendapatkan uang pula. Hmm, sungguh menarik, bukan? Dari situlah bapak serius meresensi. Bapak mendisiplinkan diri untuk menghasilkan satu resensi satu minggu. Jadi, satu bulan bapak bisa membuat 4 resensi. 

Tentu sebagai modal awal, bapak membeli 1-2 buku baru. Bapak kelabakan saat buku baru yang bapak beli itu ternyata resensinya tidak ada yang dimuat. Akhirnya, bapak pinjam kepada kawan-kawan yang rajin membeli buku. Bapak terus meresensi setiap minggunya. Bapak baca resensi-resensi yang dimuat di massa. Bulan pertama resensi bapak tidak dimuat, bulan kedua tidak dimuat, bulan ketiga tidak juga dimuat, bulan keempat, bulan kelima, dan bulan keenam… uerekaaa! Akhinya di bulan keenam itulah resensi bapak dimuat. Alhamdulillah. Bapak dan ibu senang bukan kepalang, nak. Bapak merasa pada bulan itu resmi untuk disebut sebagai “peresensi”, he-he. 

Dari situ bapak mulai berani memperkenalkan diri ke pelbagai penerbit sekaligus menawarkan jasa resensi. Alhamdulillah, banyak yang respons. Dari situ pula bapak mulai kebanjiran buku. Anakku, perlu engkau ketahui, pada waktu itu bapak belum punya komputer, apalagi laptop. Bapak menulis di atas kertas HVS. Ketika selesai menulis, ibumu kemudian mengetiknya di rental, yang jaraknya tak jauh dari kos. Kadang, bapak juga ikut ke rental; bapak membacakan (mendiktekan) resensinya, sedang ibu mengetiknya. Sungguh, kami bahu-membahu untuk bisa melestarikan aktivitas meresensi ini. Hal itu berlangsung selama kurang lebih satu tahun. 

Selepas satu tahun itu baru kami mempunyai komputer, tidak tanggung-tanggung mendapatkan dua unit. Satu dari pemilik rental yang sering kami sambangi, dia menawari kami komputer (Pentium 2) seharga 300 ribu rupiah. Dan satunya lagi dari kawan peresensi yang tinggal di Bandung. Dia mengirimkannya via pos. Saya tak akan melupakan jasa baik keduanya. 

Anugerah Ramadhan  
Kegiatan meresensi semakin menggila setelah mempunyai dua unit komputer. Namun seiring waktu, satu per satu komputer itu mulai “rewel”, mungkin karena sudah uzur dan dipaksa untuk “bekerja rodi”. Akhirnya keduanya pun “wafat”. Tuhan Mahatahu. Tak lama setelah 2 unit komputer itu rusak, kami justru bisa membeli notebook. Alhamdulillah. Dan waktu itu juga, kamu lahir ke dunia, anakku. 

Bagi kami, bulan itu yang bertepatan bulan Ramadhan—bulan pernuh berkah—merupakan bulan anugerah. Kehadiran notebook dan kehadiran kamu. Sungguh, tak terasa pula perjalanan bapak menekuni dunia resensi sudah hampir 5 tahun (2008 --…). Seperti halnya di bidang lain, menekuni bidang resensi pun banyak suka-dukanya. Insya Allah, di kesempatan lain bapak akan menceritakannya padamu. Bapak hanya berdoa semoga bapak tetap istiqamah meresensi buku, meski orientasinya kini berubah. Jika dulu meresensi sebagai job dan career, maka saat ini bapak mengubahnya menjadi calling; panggilan hidup. Bapak tidak lagi membuat resensi karena uang. Saat ini, bapak meresensi karena ingin berbagi pengetahuan; berbagi cerita dan materi apa yang sudah bapak baca kepada khayalak masyarakat. Tak lain, itu semua karena bapak mencintai buku, nak. Dan mencintai buku sama seperti layaknya mencintai kamu.[] 


Jangan Bakar Buku!

Rabu (13/6), PT. Gramedia Pustaka Utama memusnahkan 216 eksemplar buku 5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia. Buku yang diterjemahkan dari karya Douglas Wilson ini dianggap menghina Nabi Muhammad. Tidak banyak sebetulnya, hanya di halaman 24 dan 25 saja. Itu pun hanya 3 paragraf. Salah satu bunyinya:
“Selanjutnya ia (Muhammad) memperistri beberapa wanita lain. Ia menjadi seorang perampok dan perompak, memerintahkan penyerangan terhadap karavan-karavan Mekkah. Muhammad memerintahkan serangkaian pembunuhan demi meraih kendali atas Madinah, dan di tahun 630 M, ia menaklukkan Mekkah” (hal 24).

Sedang di halaman 25 alinea kedua dan ketiga, Wilson membuat penafsiran, bahwa agama yang dibawa Muhammad (baca: Islam), selalu ditegakkan dengan pedang. Lantaran paragraf di atas, buku ini bernasib nahas. Penerbitnya membakar buku tersebut. Padahal, di luar halaman tersebut, buku ini sama sekali tidak ada penghinaan, bahkan memuat informasi pelbagai kota berpengaruh secara mendalam. 

Direktur Utama Gramedia Pustaka Utama, Wandi S Brata, menjelaskan buku edisi terjemahan itu mulai diedarkan pada minggu kedua Maret 2012 dengan total cetakan sebanyak 3.000 eksemplar. Hingga awal Juni 2012 buku telah terjual sebanyak 489 eksemplar. Selain di Jakarta, pemusnahan telah dilakukan di Cakung, Jawa Barat, Semarang, Jawa Tengah, Surabaya, Jawa Timur, dan Pekanbaru. 

Kejadian ini sungguh memilukan. Terlepas, soal beberapa paragraf yang dianggap SARA, sesungguhnya pembakaran buku juga termasuk pelecehan terhadap karya. Seorang kawan mengatakan, “Hasil karya tulis seseorang itu seperti lahirnya seorang anak, ia anak kandung pemikiran, bila buku itu dibakar, maka ia sama saja membakar seorang anak, membakar kehidupan.” 

Saya melihat pihak penerbit melakukan pembakaran atas terbitannya sendiri adalah sikap paranoid yang berlebihan. Ya, ada ketakutan yang amat besar sehingga jalan itu ditempuh. Terlebih, sebelumnya sudah ada orang dari pihak ormas tertentu yang melayangkan gugatannya kepada pihak berwajib. Bayang-bayang protes dengan pengerahan massa ke kantor penerbit menambah paranoid yang sudah ada. Sebelum perkara ini menjadi besar, penerbit meminta maaf secara tertulis. Serasa belum puas penerbit lalu mengambil langkah ekstrem, yaitu membakar buku tersebut secara simbolik di hadapan masyarakat, wartawan, dan MUI. 

Coba Anda bayangkan, sebuah buku (anak kandung pemikiran) dibakar “hidup-hidup” sembari disaksikan oleh kaum intelektual, cendekia, dan ulama. Ironik, bukan? Menurut saya, pihak penerbit tidak perlu melakukan pembakaran terhadap buku tersebut. Pihak penerbit cukup dengan meminta maaf secara tertulis dan menarik buku tersebut, dan berjanji akan merevisinya. Sebagai kaum beragama, tentu kita terima iktikad baik berupa permohonan maaf yang disertai penarikan dan perevisian tersebut. 

Ada baiknya kita mencontoh teladan pada masa terdahulu yang kasusnya hampir sama dengan kejadian ini. Pada masa kolonial Belanda, buku yang menghina Nabi tidak dibakar. Hendri F. Isnaini, sejarawan, memaparkannya dalam majalah Historia (edisi Juni 2012). Sebuah buku berjudul Mijn Mislukte Zending (Misi Saya yang Gagal) karya Sir Nevile Henderson. Di dalamnya terdapat paragraf, “Karena itulah Hitler makin lama makin yakin sendiri bahwa ia kebal dan besar … ia sendiri lalu menjadi lebih besar sedikit, mungkin semacam Mohamed dengan ‘pedang di sebelah tangannya dan buku Mein Kampf di tangan lainnya’…”. Reaksi muncul. Koran Pemandangan memuat kritik atas buku tersebut pada 4 Desember 1940, yang ditulis oleh Anwar Tjokroaminoto. Menurutnya, Nabi Muhammad tak pernah memaksa dan mengancam dengan pedang, dan tak bisa disamakan dengan Hitler. Bahkan, menurut Anwar, “Hitler tidak bisa dipersamakan dengan manusia biasa, melainkan sebagai kepala dari bangsa biadab.” 

Berbagai tulisan pun bertandangan ke meja redaksi Pemandangan, menyuarakan kekecewaan terhadap buku Henderson. Seorang penulis bernama Depe menulis di Pemandangan, 12 Desember 1940, menguraikan bagaimana sejarah persepsi Barat terhadap Nabi yang keliru. Dia beranggapan bahwa buku ini tak perlu dibaca bangsa Belanda maupun orang yang mengerti bahasa Belanda. “Perlunya, untuk menjaga jangan sampai orang mendapat salah faham tentang junjungan kita tadi seperti di zaman Abad Pertengahan.” 

Belum reda masalah buku Henderson, muncul tulisan di AID De Preanger Bode pada 8 April 1941 yang mengutip ulasan buku karya Karl Barth di koran Het Vaderland yang terbit di Belanda. Dalam bukunya, Karl Barth menulis: “… Orang harus menganggap nasional sosialisme sebagai Islam baru, dan Hitler sebagai Nabinya,” yang harus dilenyapkan sebagaimana dulu “hancurnya benteng nabi palsu Muhammad.” Komisi Pemberantas Penghinaan Islam di bawah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) melakukan penyelidikan. Hasilnya dikirimkan melalui kawat ke Dewan MIAI di Surabaya, yang berkesimpulan karya Barth menghina Islam. 

Diceritakan bagaimana pada masa itu berbagai reaksi dari umat Islam terus dilakukan secara legal, berupa protes, mengirimkan mosi, delegasi menghadap yang berwajib, dan sebagainya. Anggota-anggota Volksraad (Dewan Rakyat) yang beragama Islam juga berulang kali membicarakannya dalam sidang-sidang mereka di Volksraad. Organisasi Pembela Islam di Bandung melaporkan kepada Hoofd Parket (Kejaksaan Agung) di Jakarta bahwa penghinaan “pers putih” kepada Islam sudah amat sering. Dalam pertemuan itu, dirumuskan tiga hal penting: pemerintah berikhtiar menyusun undang-undang penghinaan agama, melalui RPD (Regerings Publiciteitsdienst, Dinas Penerangan) terus menganjurkan kerukunan antarumat beragama, dan apabila suatu saat menjumpai kasus penghinaan agama, Kejaksaan Agung membuka pintu selebar-lebarnya untuk pengaduan. 

Apa yang bisa kita ambil dari masa lalu itu adalah bahwa siapa pun tidak boleh melakukan pembakaran buku. Kita harus mengutamakan asas praduga tak bersalah. Bagi yang hendak protes sudah ada jalur hukum yang bisa ditempuh. Atau bisa melawan dengan buku juga, yakni menulis buku untuk menyangkal argumentasi Douglas Wilson tersebut. Dengan begitu perkara kesalahpahaman bisa diselesaikan dengan elegan. 

Kita harus mengambil pelajaran dari peristiwa “pembakaran buku” ini, agar jangan sampai terulang di lain waktu. Kedaulatan buku harus ditegakkan sejak awal. Mari kita selalu mengingat kata-kata Milan Kundera: “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya!” Oleh karena itu, apabila bangsa Indonesia tidak ingin hancur, jangan bakar buku![] 


Jumat, 01 Juni 2012

Menulis adalah Zikir

Kawan-kawan, pernah mendengar nama Abdul Munir Mulkhan? Beliau adalah guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan juga penulis produktif baik bentuk buku maupun tulisan di Koran-koran. Sudah 60 buku lebih beliau hasilkan, dan ratusan tulisan di media massa. Luar biasa, bukan?

Tema yang ditulisnya biasanya seputar keislaman (tasawuf, pendidikan Islam, dll). Apa sih yang bisa membuat dia produktif? Tentu kita bertanya-tanya soal itu. Di usianya yang sudah uzur ternyata beliau masih semangat menulis dan menghasilkan karya. Suatu ketika dalam sebuah seminar, ada yang bertanya sebagaimana pertanyaan di atas, ‘apa sih yang bisa membuat bapak Munir Mulkhan produktif?’ beliau lantas menjawab: “Saya menjadikan menulis sebagai wirid”. Singkat, padat, dan mendalam. 

Kita tahu bahwa wirid adalah melafalkan bacaan-bacaan tertentu dengan tujuan mendekatkan diri pada Allah SWT. Mungkin bisa kita samakan dengan zikir: mengingat Allah dengan melafalkan kalimah2 thayyibah. Apa yang bisa kita ambil dari kata-kata Pak Munir Mulkhan itu? Bahwa menulis itu sesungguhnya wasilah untuk mendekatkan diri pada Allah. Menulis adalah olah batin dan laku spiritual. Dengan begitu, menulis adalah aktivitas mulia yang bernilai ibadah dan sangat bermanfaat. 

Kalau sudah begitu, tidak menjadi soal pabila tulisan kita tidak dibaca orang, atau tidak diterima oleh media massa maupun redaktur. Kita pun tidak akan patah arang jika tulisan-tulisan kita terus ditolak media/penerbit. Karena toh kita sudah merasakan nikmatnya “wiridan” tersebut. Justru, dengan begitu sebetulnya secara tidak langsung akan menghasilkan kebiasaan menulis, sehingga lambat-laun dengan sendirinya tulisan kita semakin berkualitas. Dan bukan tidak mungkin redaktur pun akan terketuk pintu hati dan otaknya saat membaca tulisan kita. 

Satu hal yang perlu diingat, bahwa wirid/zikir adalah aktivitas yang tidak mengenal waktu. Tidak hanya selepas shalat, tapi “Qiyaman wa qu’udan,” begitu ditulis dalam Al-Qur’an. Begitu juga dengan menulis pabila dijadikan sebagai wirid, maka konsekuensinya harus melakukan ritual menulis setiap hari. Dengan begitu, kemahiran dalam menulis hanyalah soal waktu. Dimuat di media massa hanya soal waktu. Dan, naskah kita diterima penerbit hanya soal waktu juga. 

Btw, apakah hari ini kawan2 sudah melakukan wirid menulis?