Selasa, 13 Desember 2011

Wa Dullah

Saat mendengar khutbah jumat, pikiranku tiba-tiba menuju satu sosok yang kukagumi karena keistikamahannya. Dia biasa dipanggil Wa Dullah. Usianya sudah tua, mungkin seangkatan dengan almarhum kakekku. Aku tidak tahu persis. Tapi semangat memakmurkan mesjidnya begitu istimewa. Dia tidak hanya sekadar rajin shalat berjamaah lima waktu, tapi juga orang yang selalu pertama dan terakhir di mesjid. Dia yang mengumandangkan azan dan iqamat. Dia yang selalu membersihkan mesjid. Dia juga yang selalu menggelar karpet pas persiapan jumatan.


Bagiku Wa Dullah adalah pencinta sejati mesjid, meski pada hakikatnya pencinta Allah yang tulus mendermakan hidupnya pada rumah Tuhan. Beliau adalah orang yang dirinya menyerahkan sepenuhnya pada mesjid. Dia melakukan semua itu hanya berharap rahmat Tuhan. Tidak lebih. Setiap kali pulang kampung aku hampir bertemu dengannya di mesjid. Kadang sembari menunggu shalat berjamaah beliau mengajak aku ngobrol, sambil memijit pundakku. Beliau selalu menasihatiku. Pernah suatu ketika dia memberi nasihat padaku agar aku menjadi penerus kakekku kelak sudah tidak ada.

Ada kejadian lucu yang sering diceritakan bapakku mengenai Wa Dullah. Pada suatu dini hari Wa Dullah azan. Bapakku terbangun dan melihat jam dinding. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Bapakku berujar, "Lha, masih jam dua malam Wa Dullah kok sudah azan subuh. Pasti dia salah lihat jam." Dan benar saja, tak lama kemudian beliau mengumandangkan kata, "Hampuraaa". Hampura adalah bahasa sunda yang berarti mohon maaf. Pas subuh, bapakku kemudian bertemu dengannya dan mengonfirmasikan kejadian itu, dan benar saja Wa Dullah salah lihat jam, dikira sudah masuk waktu subuh maka dia buru-buru azan. Dan ketika melihat jam ternyata masih jam dua, maka dia buru-buru lagi membatalkan azannya yang sudah setengah perjalanan.

Begitulah sekelumit kisah Wa Dullah. Mengenai beliau aku banyak tahu dari bapakku. Bapakku pernah menceritakan asal-usulnya dan kedekatannya dengan almarhum kakekku. Pas lebaran tahun 2011 dengan ditemani bapak, aku silaturahmi ke rumahnya untuk pertama kalinya. Kulihat sosoknya yang begitu ringkih, dia sudah tidak bisa berjalan lagi. Itu lantaran faktor usia, bukan faktor lainnya. Namun penglihatan dan pendengarannya serta ingatannya masih segar bugar. Aku yakin itu karena hasil dari keistikamahannya memakmurkan mesjid (shalat, ngaji, dan menjaga segala sesuatunya yang ada di dalam mesjid). Dia hanya tidak bisa berjalan lantaran kakinya sudah lumpuh termakan usia. Itu saja.

Mungkin sudah 3 tahun aku tidak bertemu dengannya, dan baru kali itu lagi kami bertemu. Aku bersyukur dia masih ingat padaku. Alhamdulillah. Ingatannya masih normal. Biasanya usia yang sudah uzur seperti itu sudah banyak lupa, terlebih kepada orang yang sudah lama tidak pernah bertemu. Tapi beliau sungguh berbeda, berada di luar kebiasaan.

Bapakku pernah bilang bahwa keistikamahan Wa Dullah dalam shalat berjamaah di mesjid lima waktu belum ada yang menyamainya. Banyak orang yang lebih muda darinya tapi tidak ada yang rajin shalat berjamaah di mesjid. Mestinya mereka malu. Ujar bapakku. Padahal rumahnya tidak begitu jauh dari area masjid. Bandingkan dengam rumah Wa Dullah yang posisinya antara desa Bojong dan Citumenggung. Lumayan jauh. Meski jika ada yang mengatakan tidak jauh, tapi dia harus naik jika hendak ke mesjid. Butuh perjuangan ekstra untuk ke mesjid dengan medan seperti itu. Terlebih pada musim hujan, jalan yang dilaluinya agak becek. Coba anda bayangkan pada musim hujan beliau keluar rumah menuju mesjid pada menjelang subuh. Gelap dan becek. Tapi, ternyata bagi beliau itu bukanlah halangan. Biasa-biasa saja.

Bisakah kita melakukannyat? Aku sendiri belum tentu. Wong pas dekat saja kadang malas-malasan. Kebetulan rumah kakek-nenekku persis samping mesjid. Jaraknya cuma 5 langkah padahal. Jadi sungguh memalukan sebenarnya aku jika sedang di tempat kakek aku tidak sampai ke mesjid untuk shalat berjamaah. Rasa malu itu bertambah jika hendak dibandingkan dengan Wa Dullah yang notanene-nya sudah tua dan jauh dari mesjid, namun tidak pernah absen untuk shalat di mesjid.

Apa yang bisa aku ambil dari kisah Wa Dullah itu? Keteladanan dan totalitas. Ya, dua hal itulah yang melekat dalam dirinya yang bisa kulekatkan juga dalam diriku. Istikamahnya dalam "menjaga" mesjid menjadi hal yang patut diteladani, terlebih di zaman sekarang yang menggerus kita dengan pelbagai kesibukan duniawi sehingga melupakan mesjid. Zaman ini adalah dengan meminjam bahasa teman, zaman bergelimang material tapi busung lapar di gurun spiritual. Totalitasnya mengabdi pada Tuhan menjadikan dirinya tak goyah di telan zaman. Wa Dullah tetap hidup bersahaja dan istikamah.[]

Pati, 11 Desember 2011

E 63

Sambil marende (ngelonin) Aghza, aku mencoba menulis. Entah mau menulis apa. Aku menulisnya di handphone Nokia E 63. Aku bersyukur sekali bisa beli hp ini, karena aku bisa menulis dimana saja dan sambil apa saja. Contohnya pada saat ini, sambil tiduran aku menulis. Fasilitas ini sangat mendukung aku dalam karier kepenulisanku. Hp ini belum begitu lama aku beli, jadi belum bisa kumaksimalkan segala fasilitasnya. Tapi aku memang hanya tertarik dengan fasilitas word-nya saja. Karena memang itu niatku membeli hp ini; ada fasilitas office-nya, utamanya word-nya.


Dan harapanku setelah mempunyai hp ini aku bisa lebih produktif lagi dalam menulis. Aku harap juga aku kehabisan alasan untuk tidak menulis, entah itu waktu, tempat, maupun fasilitas. Dan semoga semangat menulisku karena adanya hp ini bukan semangat sementara, bukan hangat-hangat tahi ayam. Ya, aku harus sadar bahwa semangat yang didasari kebendaan atau yang bersifat eksternal biasanya tidak lama, alias sementara. Biasanya begitu. Oleh karena itu aku harus dapat mengkonversinya menjadi semangat internal, yang betul-betul dapat tahan lama.

Fasilitas tidak lebih penting dari menulis itu sendiri. Dengan kata lain, tanpa fasilitas pun aktifitas menulis harus dijalani. Banyak orang beralasan tidak bisa menulis lantaran tidak punya komputer, atau 'nanti saja menulisnya kalau sudah punya laptop', atau ' seandainya aku punya komputer aku akan rajin menulis'. Haha, itu hanya alasan saja, percayalah. Soalnya aku pernah mengalami hal itu. Bahkan alasanku saat ini adalah soal waktu, bukan soal fasilitas; aku sering berkata nanti aku menulis pada pagi hari, eh saat pagi datang malah aku enak tiduran.

Kekuasaan mutlak ada dalam diri kita. Kitalah yang mengendalikan sepenuhnya atas kehendak kita setelah Tuhan. Komputer, laptop, hp, dan lain-lain hanyalah fasilitas belaka, jadi anda tidak boleh dikendalikan oleh semua fasilitas itu. So, tanpa fasilitas yang saya sebutkan di atas pun anda tetap bisa menulis asalkan anda punya kehendak untuk melakukannya. Fasilitas hanya wadah untuk bisa melakukannya senyaman dan seefektif mungkin. Fasilitas hanya penunjang agar anda bisa melakukannya dengan baik.

Tapi itu bukan yang utama. Yang utama adalah menulis itu sendiri. Terserah anda menulis di apa saja, asal anda bisa menuliskannya. Anda bisa menulis di buku tulis, buku bekas yang halaman belakangnya masih kosong, bahkan bisa juga di bekas kertas bekas pembungkus bawang, cabai, kemiri, dan lain-lain (kesannya eksotis banget). Jangan salah, aku pun pernah mengalami hal itu. Pada saat belajar menulis resensi, aku masih belum punya komputer, terlebih notebook/laptop. Aku menulis di kertas bekas di halaman belakangnya. Setelah selesai satu tulisan, aku kemudian ke rental, untuk mengetiknya. Jadi, pekerjaanku dua kali. Kedaan itu aku jalani kurang lebih setengah tahun.

Sama halnya juga dengan Emha Ainun Nadjib yang akrab dipanggil Cak Nun. Dia katanya sering menulis di secarik kertas. Pada saat dia manggung lalu mendapat ide, dia pergi ke belakang panggung dan menungkan idenya di secarik kertas. Tidak heran apabila dia begitu produktif (menulis) di tengah produktifitas lainnya, seperti ceramah budaya, main teater, dan bermusik dengan Kyai Kanjeng. Padahal saat itu belum zamannya komputer, dan aku yakin dia tidak begitu akrab dengan soal fasilitas modern itu, paling-paling hanya mesin ketik.

Seorang kawan yang cukup produktif menulis di media massa, Muhammadun As, pernah berkisah juga bahwa di sela-sela kesibukannya mengurus rumah tangga dan kuliah masternya, dia tetap bisa menulis. Aktivitas menulisnya sama sekali tak terganggu. Jadi setelah anak dan istrinya tidur, dia kemudian menulis. Agar kuat menulis, dia cukup menyediakan air putih saja, dan mungkin dengan beberapa batang rokok. Luar biasa, bukan? Bahwa selain ketiadaan fasilitas, waktu sibuk pun bukan alasan untuk tidak bisa menulis.

Satu lagi alasan yang biasanya orang tidak bisa menulis, yaitu tidak adanya mood. Haha, ini nih yang sering sekali aku mendengarnya. Tidak adanya mood membuat orang macet menulis. Mereka tidak ada hasrat untuk menggerakan otak dan jari-jari tangannya baik di atas kertas maupun komputer/laptop. Tapi tunggu dulu, apa betul anda macet menulis karena tidak ada mood? Jangan langsung menuduh mood dulu, siapa tahu bukan itu penyebabnya. Kalau aku tidak begitu percaya penyebabnya itu, aku lebih percaya bahwa penyebab macet menulis lantaran aku malas berpikir dan malas menulis. Itu saja. Anda boleh percaya boleh tidak.

Aku berharap setelah punya hp ini aku tidak malas-malasan lagi untuk menulis.[]

Pati, 9 Desember, 2011, pkl. 14.21 WIB

Rabu, 07 Desember 2011

Kebelet

Hari ini aku pulang—dalam perjalanan—menuju Pati. Aku lewat rute Semarang, padahal biasanya lewat rute Purwodadi. Dari berita aku mendengar di Purwodadi banjir, makanya aku pilih jalan Semarang. Saat ini baru sampai Magelang. Palbapang hingga Armada sekarang jalannya lebar, jadi lumayan cepat perjalanannya. Wah, kalau dulu pas jalannya masih sempit, perjalanan agak lama, karena macet dan pas tanjakan. Untunglah hal itu tidak berlangsung hingga sekarang. Mungkin inilah yang dinamakan kemajuan, he-he.


Perjalanan selau membawa cerita, walau ada yang mengesankan atau pun tidak. Tinggal bagaimana kita menyerapnya. Ada cerita mengenai kita sendiri dan ada pula tentang orang lain. Ada yang bisa diserap untuk dijadikan pelajaran dan ada yang tidak. Salah satu kisah menarik yang aku alami sendiri adalah pada saat di bis Mira jurusan Surabaya - Yogyakarta. Aku naik dari terminal Solo hendak ke Jogja. Waktu itu aku duduk di bangku paling belakang.

Di sampingku ada seorang bapak tua (pantas disebut kakek sebetulnya) sedang gelisah. Sebentar-sebentar dia duduk lalu berdiri. Kadang maju sedikit. Terus ada orang lain yang berkata padanya, "Ngomong sama kondekturnya, pak!" Jujur aku belum ngeh sedikit pun, ada apa gerangan dengan si bapak itu. "Bisa gak berhenti di pom bensin?" Ujar si bapak itu memohon kepada kondektur saat berada di dekatnya. Sang kondektur rupanya mencuekin permohonan si bapak itu. Bapak itu lalu duduk lagi.

Dia lalu bertanya padaku, "Mas, punya Aqua, gak?"
"Ada, pak." jawabku, kemudian aku merogoh tasku dan mengeluarkan sebotol Aqua yang masih penuh. kuberikan padanya.
"Ayo masnya minum dulu!" ujar bapak itu.
"Oh tidak pak, silakan bapak dulu aja" jawabku.
Bapak itu lalu membuka botol Aquanya, dan meminumnya, tapi dia lalu berjalan menuju pintu bis yang agak sedikit turun. Dia lalu membuka celananya, setelah itu aku tidak memperhatikannya lagi, karena aku tahu dia hendak melakukan apa.

Ya, rupanya bapak itu kebelet pengen buang air kecil (bak). Setelah dia melepaskan hajatnya kulihat mukanya begitu tenang, gerak-geriknya tidak gelisah lagi. Plong, mungkin begitu yang dia rasakan. Ha-ha, ternyata yang membuat dia tidak bisa diam, berdiri-duduk, maju-mundur, kesana-kemari, ternyata dalam rangka menahan buang hajatnya; dia tidak tahu hendak membuang kemana; bingung. Mau ngomong ke sopir tidak berani. Dan memendamnya membuat dirinya tersiksa. Tapi, dia akhirnya membuat keputusan yang terbilang nekad. Mungkin itu cara yang terbaik baginya.

Keputusan memang harus dia ambil, jika tidak dia akan terus tersiksa selama dalam perjalanan. Aku tidak tahu sejak darimana dia menahan kencingnya. Setahuku dia naik bukan dari Solo, karena dia sudah ada pas aku naik bis tersebut. Mungkin dari Sragen, Mantingan, Madiun, Jombang, atau jangan-jangan dari Surabaya, hmm. Betapa tersiksanya bapak itu menahan kencingnya. Bisa kita bayangkan hal itu, karena kita pun mungkin pernah mengalami hal itu.

Aku jadi mendapat pelajaran berharga dari kejadian itu, betapa bersyukurnya aku bisa buang air kecil dengan lancar, tanpa ada halangan. Hal kecil itu kadang luput dari perhatianku; kadang luput untuk disyukuri. Aku hanya mensyukuri hal-hal besar seperti pas mendapat rejeki nomplok, mendapat pekerjaan bagus, dan lain sebagainya. Sedang hal-hal kecil seperti bisa kentut, bisa buang air besar (bab), bisa berkedip, dan termasuk bisa kencing, aku telah melupakannya.

Barangkali cara mensyukuri dari hal-hal semacam di atas adalah dengan menjaga kesehatanku sendiri dan lingkunganku. Ya, kata kuncinya adalah kepedulian terhadap kesehatan sendiri dan orang lain. Aku harus menjaga pola makan, kerja keras yang teratur—tidak memaksanya jika sudah letih, dan tidak juga memanjakannya jika memang belum letih, olahraga, saatnya buang air kecil/besar, maka buanglah segera. Begitu juga aku harus berpartipasi dalam kesehatan sesama, seperti bersih-bersih lingkungan, donor darah, dan lain-lain. Aku harus selalu ingat bahwa penyakit itu timbul dari hal-hal sepele dan keberlebihan kita dalam sesuatu. Jika tidak percaya, cobalah aku tahan kencingku pas pengen kencing, maka timbullah kencing batu. Atau makanlah sebanyak-banyaknya makan aku akan muntah, atau kolesterol, darah tinggi, dan hal-hal negatif lainnya.

Yogyakarta-Pati, 5 desember 2011.



Senin, 05 Desember 2011

See U Facebook

Alhamdulillah semenjak akun fb-ku kunonaktifkan aku bisa menulis lebih banyak lagi, terutama menulis di blog lagi. Tentu ini adalah hal positif, meski konsekuensinya aku tidak lagi berkomunikasi dengan banyak orang di fb dari pelbagai daerah. Ah, tak mengapa, karena lebih banyak "mudarat"-nya ketimbang manfaatnya. Mudarat yang kumaksud adalah banyak sekali waktu yang kubuang secara cuma-cuma. Ada waktu yang mestinya kuisi dengan menulis resensi eh malah dibuat fesbukan.


Tentu itu sebuah kerugian bagiku. Dan itu membuatku tidak produktif. Dan itu membuatku makin ketinggalan dari orang-orang yang sama-sama mengejar mimpi seperti aku. Maka menghentikan (sementara) akun fesbukku adalah langkah positif, karena senyatanya membuatku produktif. Anda tak harus mengikuti jejakku ini karena ini hanya usaha pribadiku saja, yang bisa jadi tidak akan sesuai dengan anda. Tapi kalau mau mengikuti langkahku ini tidak mengapa, haha.

Jika ditilik ke belakang, di mana saat aku belum punya akun fesbuk, aku lumayan produktif menulis. Paling tidak aku bisa membuat 4 resensi dan tulisan-tulisan lainnya. Tapi setelah mempunyai fb, produktifitasku mulai turun, meski tidak drastis. Sedikit demi sedikit waktu kreativitasku mulai tergerus oleh fesbuk ini. Waktu itu aku belum pasang internet di komputerku. Bukannya belum tapi memang belum "zaman"nya modem-modeman.

Jadi waktu itu kalau ngirim tulisan aku harus ke warnet. Dan di warnet aku cuma kirim tulisan saja, dan sedikit googling bahan tulisan. Jadi waktunya pun cuma sebentar, kadang 5 menit, 10 menit, 30 menit, atau maksimalnya 1 jam. Tapi coba lihat setelah aku punya akun fb, hampir tidak pernah aku di warnet cuma sebentar, minimalnya 1 jam. Dan itu cuma untuk fesbukan saja tidak dengan yang lainnya. Semenjak fesbukan juga aku jadi jarang googling. Internet itu seolah-olah hanya fesbuk semata—sangat identik.

Tapi tentu fesbuk ada manfaatnya juga dong. Sungguh tidak fair kalau aku mengatakan fesbuk murni mudarat. Karena kenyataannya aku banyak mendapat pengetahuan dan informasi dari fesbuk. Dan yang lebih penting aku juga mendapat kenalan dengan para penulis, penerbit, pembaca bukuku, dan yang lainnya. Bahkan terkadang aku mendapat rezeki juga dari sana, seperti ada yang beli bukuku langsung dariku. Jadi sekali lagi fesbuk sungguh berjasa bagiku.

Sebetulnya bisa saja aku tetap mengaktifkan akun fesbukku, tapi masalahnya aku belum bisa mengendalikan fesbuk tersebut, malah aku yang dikendalikan olehnya. Aku seperti kecanduan, sehari saja tidak fesbukan seperti ada yang kurang, ada yang belum terpenuhi. Bukankah itu berbahaya? Aku seperti diperbudak olehnya. Maka dari itulah aku memutuskan untuk menon-aktifkan sementara akun fesbukku. Entah sampai kapan. Aku harus melepas ketergantungan dari fb.

Sejauh ini sudah dua orang yang bertanya soal fesbukku. Hehe. Sorry deh kawan-kawan jika aku sudah tidak berkomunikasi lagi via fb. Tapi kan masih ada media lain untuk melakukan komunikasi? Aku merasa fb hanya sebagai ajang narsis aku saja ketimbang silaturahmi. Buat status dan upload foto hanya sekadar ingin dibaca orang lain. Seolah aku ingin diperhatikan. Fesbuk membuatku kehilangan kemisterianku, hehe.

Yogyakarta, 3 Desember 2011

Senin, 28 November 2011

Ampun Deh…

Mau menulis apa ya sore ini? banyak sebetulnya, tapi entah aku harus mendahulukan yang mana. Ah, kebanyakan bahan pusing juga, sepusing saat tidak adanya ide. Tapi, yang jelas, aku lega bukan main, karena aku sudah menyelesaikan 60 halaman editan. Ini rekor baru dalam karier editanku yang halamannya begitu gemuk. Patut aku syukuri prestasi harianku ini. Alhamdulillah. Tapi, aku berencana akan kulanjutkan lagi malam ini editanku, sampai 30 halaman. Ah, semoga saja bisa. Mood ini harus aku jaga sebaik-baiknya, karena jarang-jarang datangnya.


Pelbagai peristiwa baik yang aku alami sendiri maupun orang lain memberikan pelajaran berharga bagiku. Begitu juga kisah-kisah yang dialami kawan-kawanku, baik kisahnya kawanku sendiri maupun kisah kawannya kawanku. Semua itu menyodorkan hikmah dan pelajaran yang bernilai, yang sangat berguna bagiku, entah itu peristiwa yang harus kuikuti maupun yang harus kuhindari. Misalnya, seorang teman yang belum berani mengambil keputusan besar untuk menikahi kekasihnya, lantaran faktor finansial yang minim atau faktor tergoda oleh perempuan lain; ada juga kisah temannya teman yang hidupnya bergelimang materi tapi anaknya mengidap penyakit epilepsi—dimana kata temanku sebanyak apa pun duit, tidak ada apa-apanya kalau anaknya sudah kumat penyakitnya. Dari peristiwa itu aku harus bersyukur dengan sesungguh-sungguhnya. Betapapun minimnya kondisi finansialku tapi aku bersyukur kondisi keluargaku baik-baik saja.

Ada juga pengalaman yang menimpaku yang harus kuambil pelajarannya. Aku masih ingat, bersama seorang kawan aku hendak membuat penerbitan yang didanai oleh seorang pemilik toko buku besar di Indonesia, tapi tidak jadi. Ketidakjadian itu sangat tidak jelas alasannya. Walaupun ada alasannya, sungguh tidak masuk akal sama sekali. Yang jelas yang aku tahu, awalnya kawanku tidak serius merintis rencana penerbitan ini tapi kemudian alasannya dibuat-buat. Mestinya kami segera menemui sang donator, tapi tidak pernah jadi. Banyak alasan. Akhirnya molor terus dan tidak pernah kesana.

Padahal waktu itu sang donator sudah menanti-nanti kapan kita bisa ketemu untuk membuat pendirian penerbitannya. Walhasil, kawanku itu tidak ada keinginan lagi membuat penerbit karena bla-bla-bla. Alasannya sangat banyak. Dia seperti takut untuk membuat penerbitan itu, karena barangkali dalam hitungannya akan merugikan dia. Itu sangat berbeda sekali saat pertama kami selepas bertemu dengan donatur. Dia begitu bersemangat dan berapi-api, dan sudah punya mimpi juga untuk siap-siap “naik lift”.

Dan jangan tanya tentang aku waktu itu; aku sendiri pas pulang dari pertemuan itu, sekitar jam 1 dini hari, aku langsung menelpon istriku. Aku kabarkan berita baik itu. Aku ceritakan semuanya hasil pertemuan itu. Aku dan istriku begitu gembira. Masa depan cerah seolah sudah terlihat. Pas tanggal tertentu kami sudah merencanakan untuk bertemu donatur, tapi kawanku membatalkannya. Lalu, aku tanya lagi kapan kita bisa bertemu dengan donatur lagi. Jawabannya mengambang, tidak ada langkah konkrit. Meski begitu aku tetap menjalin persahabatan dengannya. Hanya saja dalam konteks soal uang aku tidak mau lagi. Persahabatan lebih aku utamakan, ketimbang permusuhan, karena bisa saja aku marah, protes dan mengkritisi kawanku itu yang tidak serius membuat penerbitan dan sudah membuat harapanku pupus. Tapi, aku tidak ingin melakukannya.

Yang aku dapatkan dari pengalaman itu adalah bahwa aku tidak boleh menggantungkan harapan pada orang lain. Begitu juga sebaliknya, aku tidak boleh memberikan harapan pada orang lain, karena ketika harapan itu tidak tercapai, maka aku hanya akan membuat orang lain kecewa. Itu saja. Dan sudah selayaknya, aku harus membuat harapan sendiri dengan upayaku sendiri. Itu lebih aman. Kecewa dan bahagia akan aku rasakan sendiri, ha-ha-ha. []

Yogyakarta, 28 november 2011, pkl. 17.58 WIB.

Minggu, 20 November 2011

Hanya Soal Mentalitas Saja

Tadi malam timnas Sepakbola Indonesia menang lawan Vietnam di semi final Sea Games. Lumayan puas menontonnya. Keduanya bermain sangat terbuka dan saling serang. Asyik sekali melihatnya. Hanya saja ada beberapa hal yang menjadi catatanku untuk tim Indonesia. Misalnya, sikap individualisnya Okto M. dia terlalu banyak membawa bola sendirian padahal sudah dekat dengan garis kiper. Seandainya dia mengoper bola yang dia kuasai saat dia terdesak, tentu peluang meraih gol sangat besar. Dia malah terus membawanya meski dalam keadaan terdesak, padahal ada kawan yang cukup bebas untuk melakukan penetrasi. Itu sungguh menjengkelkan. Tapi, kecepatannya sungguh tidak diragukan. Sangat luar biasa.


Selain itu, secara kesebelasan, permainan mereka terlalu terburu-buru, tidak taktis dan praktis. Mereka kebanyakan bermain lambung. Mungkin ingin bergaya Liga Inggris, he-he-he. Tapi, kurang maksimal, masih banyak kekurangannya. Walhasil, bola mudah direbut, dan permainan sering kali didominasi oleh Vietnam. Tapi okelah, secara keseluruhan tim Indonesia lumayan bagus ketimbang pas lawan Malaysia di pertandingan sebelumnya. Begitu buruknya Indonesia pas lawan Malaysia itu. Mereka kalah 0-1.

Memang ada beberapa pemain inti diistirahatkan, untuk persiapan pertandingan lawan Vietnam tadi malam. Apakah memang Indonesia selalu grogi dengan Malaysia, karena secara pengalaman terdahulu Indonesia selalu kalah dalam pertandingan penting, seperti di final piala AFF, tempo lalu. Tapi itu bukan alasan yang signifikan. Kalah ya kalah, jangan banyak dalih. Dan harus diakui Malaysia lebih baik. Utamanya pertahanannya yang begitu solid dan kuat. Apa sesungguhnya rahasianya?

Mentalitas. Ya, itulah kunci sukses tim Malaysia. Mereka punya mental yang kuat dalam meraih pertandingan. Sikap superior selalu ditunjukkan mereka. Mental yang kuat memberikan antusiasme yang lebih. Ada gelora yang besar dalam dada mereka. Tentu saja mentalitas itu disertai dengan teknik dan taktik yang brilian. Saya melihat tim Indonesia belum terlihat. Geregetnya kurang menonjol.

Menurut Rahmad Darmawan (RD), sang pelatih, kekalahan dari Malaysia adalah sebuah pukulan. Namun, hal itu harus dijadikan motivasi untuk bangkit. “Saya berharap kekalahan ini bukan sebuah pukulan yang membuat jatuh. Saya harap ini sebuah pukulan untuk bangun dan termotivasi.” Itulah yang dikatakan RD. Luar biasa.

Walhasil, tim asuhannya betul-betul sangar pas lawan Vietnam. Mental bertarungnya kelihatan. Mereka benar-benar habis-habisan. Aku salut. Dan akhirnya, timnas Indonesia berhasil memenangkan pertandingan dengan skor 2-0. Dan di final (senin, 21 November 2011) akan bertemu Malaysia kembali. Semoga kekalahan dari Malaysia pas di perebutan juara group menjadi pelajaran berharga, dan menemukan taktik jitu untuk menaklukannya. Walau tidak menang, mari tunjukkan mentalitas yang kuat, dengan disertai permainan yang apik (taktik dan teknik yang jitu). Bravo Indonesia.

Yogyakarta, minggu, tgl. 20.11.2011 (hari ini nomornya cantik, seperti 11.11.2011), pkl. 16.49

Sabtu, 19 November 2011

Kapitalis dan Idealis

Di luar hujan lumayan lebat. Aku kehabisan ide mau berbuat apa. Membaca sudah, menulis (mengedit) juga sudah. Rasanya mau ngapa-ngapain agak malas. Akhirnya, kunyalakan notebook dan kubuat secangkir teh hangat. Dalam pikiranku saat menyalakan notebook bukan untuk menulis buku atau pun resensi, tapi mau menulis catatan harian saja. Entah kenapa, menulis catatan harian (cathar) atau biasa disebut diary begitu mengasyikkan. Tak pernah bosan. Bahkan ada perasaan lega, puas, senang, dan perasaan positif lainnya.


Tentu ini harus disyukuri, karena jarang-jarang juga aku melakukannya pada saat banyak pekerjaan. Terutama saat aku bekerja di kantoran. Jadi, mumpung masih banyak waktu luang, maksudku waktu yang tidak terikat, aku harus menggunakannya untuk menulis diary. Terserah apa saja yang hendak aku tulis. Anggap saja sebagai sampah.

Jadi tak perlu dipikirkan bermutu atau tidak tulisannya, bagus atau tidak bahasanya, yang penting menulis. Ya, menulis segala unek-unek dalam otak dan hati. Unek-unek bisa dari diri sendiri maupun orang lain, baik yang dirasakan sendiri maupun dirasakan orang lain, baik kisah sendiri maupun kisah orang lain. Dari mana saja dan apa saja.

Namun, ada baiknya memang tulisanku harus dibagi dua, satu sisi ada yang diarahkan, dan sisi lain ada yang dibebaskan. Maksudku, satu sisi bisa dijadikan bahan buku, sisi lain bisa memplongkan pikiran dan perasaan. Satu sisi kapitalis, sisi lain idealis, ha-ha-ha. Jadi, dua sisi ini memang tidak bisa dipisahkan dalam diriku. Keduanya sama-sama tumbuh, dan sama-sama membawa masalah dalam hidupku, he-he-he. Lho, kok masalah? Mari aku perlihatkan.

Tak dapat dipungkiri, kalau aku mencari nafkah memang dari menulis. Itu fakta. Tapi, aku juga masih mempunya sisi idealisme, yakni tetap setia pada jalur ini. Banyak godaan ingin bekerja pada hal yang lain, tapi aku menepisnya. Aku ingin bekerja yang masih berhubungan dengan dunia tulis-menulis. Utamanya lagi, aku ingin bekerja sebagai penulis, dan menulis yang aku sukai. Itu idealisme aku. Aku pernah menjadi guru, pernah juga menjadi dosen, pernah juga menjadi penjaga taman bacaan, tapi entah kenapa aku tidak merasa cocok.

Dan aku merasa cocok pas kerja di bidang tulis-menulis. Tapi, lha kok masih ada ‘tapi’nya? Bukankah sudah sesuai dengan idealisme-ku? Nah, ternyata aku pun tidak cocok dengan menjadi pekerjaan kantoran. Aku pernah kerja di penerbitan, di mana aku harus ngantor tiap harinya. Ternyata, aku merasa jenuh kerja di kantor. Monoton banget. Akhirnya aku minta resign saja. Payah memang diriku ini. Tapi mau bagaimana lagi? Jadi, yang paling cocok bagiku adalah menulis di rumah/kos, ha-ha-ha. Aku merasa bebas dan leluasa.

Cuma masalahnya aku kadang tidak disiplin, tidak mendapat kepastian finansial dari apa yang kutulis, dan banyak menghabiskan waktu untuk melakukan hal-hal yang tidak produktif. Aku kebanyakan melakukan yang bernilai 20 % dan tidak melakukan yang bernilai 60%--jika menggunakan pembagian waktu berrdasarkan hukum Pareto. Inilah PR-ku. Dan sampai saat ini aku masih ngisi PR tersebut setiap hari. Semoga aku bisa menyandingkan dengan indah antara kapitalis dan idealis dalam hal tulis-menulis. Semoga pilihanku tidak keliru, ha-ha-ha. Semoga sukses bagiku. Semangat.

Yogyakarta, 19 November 2011, pkl. 16.27, saat turun hujan dengan deras, dan aku menyesap teh hangat. Hmm…

Jumat, 18 November 2011

Hari Ini Disyukuri, Hari Esok Diharapkan

Alhamdulillah, hari ini sesuai target. Editing Masnawi sesuai rencana, aku mengedit sekitar 10 halaman. Sedikit sebetulnya, tapi aku merasa puas, karena sesuai dengan rencana. Namun, harus aku tingkatkan lagi menjadi 20 sampai 30 halaman. Karena, terlalu sedikit kalau aku menargetkan 10 halaman per hari. Terlebih jika melihat ketebalan bukunya yang mencapai 400-an halaman, dan diberi waktu oleh penerbit hanya 3 minggu. Jadi, mau tak mau aku harus menambah halaman lagi per harinya.


Di samping itu, ada dua naskah pula yang sedang aku garap, dari dua penerbit. Ini naskahku sendiri. Aku menargetkan satu bulan ini kedua naskah itu bisa rampung. Terkesan nafsu mungkin, tapi tidak mengapa, karena sudah ada beberapa naskah yang menunggu aku garap pula, walau sebenarnya naskah-naskah itu belum ada yang meminangnya, alias belum ada kepastian untuk diterima dan diterbitkan oleh penerbit. Tidak mengapa. Aku tetap akan menggarapnya karena siapa tahu bisa diterbitkan, baik oleh penerbit orang lain maupun penerbit sendiri, he-he-he.

Prestasi-prestasi kecil di atas patut aku syukuri, karena tanpa tekad yang kuat dan kemurahan dari Tuhan, sungguh tidak akan terjadi. Janganlah aku melupakan hal itu, karena syukur itu akan membuka prestasi-prestasi lainnya. Aku harus yakin itu. Aku tidak boleh luput dari perasaan syukur. Bayangkan saja, di saat orang lain mengalami kesulitan dalam masalah menulis buku, aku malah dilancarkan. Dua hal yang sangat kontras. Dan juga di saat orang lain kesulitan mendapat ide-ide untuk menuliskan sesuatu, aku malah kelimpahan ide yang bisa kutulis menjadi buku. Subhanallah banget, bukan? *sindrom syahrini*

Oleh karena itu, ekspresi rasa syukur itu aku harus mengejawantahkannya dalam tindakanku sehari-hari. Jangan sampai aku kufur nikmat, lupa dengan segala nikmat yang Tuhan berikan padaku ini. Meski hidupku kadang susah, aku harus tetap berpikir jernih, aku harus tetap semangat menjalani hidup ini. Tidak boleh putus asa. Tidak boleh habis harapan. Yakinkan pada diri ini bahwa aku mampu menjalani hidup dengan segala keterbatasan, entah itu keterbatasan harta, keterbatasan kemampuan, maupun keterbatasan lainnya yang selalu mengganjal cita-citaku.

Semua itu akan bisa kuatasi dengan menjadikan diri sebagai pribadi yang penuh semangat dan kemauan untuk terus belajar. Semangat itu penting, karena akan menjaga aku dari keputusasaan. Semangat itu perlu, karena itu menjadi semacam bensin untuk menggerakkan roda perjalanan hidupku menuju arah atau tujuan yang hendak ingin kucapai. Sedang soal kenapa aku harus terus belajar, kiranya sudah jelas, bahwa dengan menanamkan ‘aku sebagai manusia pembelajar’ aku akan terus menggali pelbagai macam pengetahuan; pengetahuan apa saja. Kemampuanku akan terus terasah jika aku terus belajar, dan belajar.

Dengan semangat dan belajar itu aku yakin hari esok segala yang aku harapkan bisa tercapai. Tentunya dengan izin Allah. Dan dengan mensyukuri hari ini membuat hidupku berlimpah kenikmatan. Kepada Tuhan aku memohon dan kepada-Nya pula aku berserah.

Yogyakarta, 18 November 2011, pkl. 16.57. sembari minum teh.

Senin, 14 November 2011

Kutempuh Jalan Sunyi

Jalan yang aku tempuh adalah jalan sunyi. Jalan yang jarang dilalui orang. Tidak semua orang suka dengan jalanku. Barangkali tidak popular dan tidak biasa. Barangkali tidak menjanjikan apa-apa, selain kesunyian. Entahlah. Yang jelas demikian faktanya. Di antara sekian banyak teman-temanku, mulai dari teman SD, MTs, MAK, hingga PT, sepengetahuanku tidak satu pun ada yang menempuh jalan sepertiku. De facto. Merek lebih memilih jalan lain, yang ramai, dan menjanjikan. Ya, menjanjikan segala sesuatunya.

Tetapi, mengapa aku memilih jalan sunyi itu padahal jelas-jelas banyak orang tidak menempuhnya?

Hingga saat ini aku belum mendapat jawaban yang mantap. Paling-paling aku hanya bisa menjawab, bahwa aku memilih jalan itu karena sesuai dengan karakter dan kepribadianku. Ya, begitu saja. Bisa saja aku memilih jalan yang banyak ditempuh layaknya kawan-kawanku juga, karena secara kualitas keilmuan, kapabilitas, tidak jauh berbeda dengan mereka. Tapi, ya itu tadi, sebagaimana yang aku sebutkan di atas, tidak cocok dengan karakter dan kepribadianku.

Meski jalan ini jalan penuh kesunyian aku harus menempuhnya, karena sudah menjadi pilihanku. Aku telah memilihnya, maka aku harus bertanggungjawab. Jadi, aku tidak boleh mengeluh (paling tidak jangan mengeluh terlalu banyak, haha), dan tidak pula bersedih karena kondisi itu. Mengapa aku mengatakan demikian, karena keluhan dan kesedihan sering aku rasakan di jalan ini. Jalan ini begitu terjal, penuh kerikil, bebatuan, dan lubang yang menganga, yang membuatku sulit berjalan cepat, dan harus hati-hati dalam melangkah. Semua keadaan itu menggoda aku untuk marah, mengeluh, menggerutu, sumpah serapah, dan hal-hal negatif lainnya.

Aku harus yakin bahwa jalan ini adalah jalan menuju keindahan dan kebahagiaan. Aku harus yakin seyakin-yakinnya di ujung jalan sana ada sebuah “dunia” yang penuh pesona, penuh kenikmatan, penuh keindahan, dan penuh kebahagiaan, yang kontras dengan jalan ini sendiri. Itulah “sebuah dunia” yang dijadikan balasan bagiku jika kelak aku dapat sampai di ujung jalan ini. Aku harus yakin bahwa jalan yang kutempuh ini bukan jalan buntu, bukan pula jalan yang penuh kesia-siaan. Aku harus yakin itu.

Mungkin keresahan dan kegelisahan yang kutempuh di jalan ini disebabkan oleh orientasiku juga yang serba kapitalistis, di mana segala hal yang kulakukan harus mendatangkan finansial alias rupiah. Maka jadinya aku resah dan gelisah tatkala gagal meraup uang. Namun begitu, wajar sebetulnya jika aku mempunyai niat dan orientasi ini, karena manusiawi—butuh sandang, pangan, dan papan—terlebih aku sudah beristri dan beranak. Cuma jangan terlalu, itu saja. Jadi, kuncinya ada pada kontrol diri.

Aku sedikit yakin seandainya aku tidak money oriented maka jalan yang kutempuh ini akan penuh dengan kebahagiaan. Lakukan segala sesuatunya sebagai panggilan hidup, sebagai pengabdian pada masyarakat. Betapa tidak, aku akan banyak membantu orang dalam segi pencerahan hidup, penambah wawasan bagi banyak orang, dan “petunjuk” menuju hidup kayak makna. Bukankah itu perilaku terpuji? Sungguh, aku harus yakin dengan hal itu. Keyakinan itu penting karena akan membuat aku percaya diri dalam hidup ini. Keyakinan itu penting karena akan memantapkan jiwa dan ragaku.

Teringat dengan puisi Emha Ainun Nadjib berjudul “Jalan Sunyi”:

Akhirnya kutempuh jalan yang sunyi
Mendengarkan lagu bisu sendiri di lubuk hati
Puisi yang kusembunyikan dari kata - kata
Cinta yang tak kan kutemukan bentuknya

Apabila kau dengar tangis di saat lengang
Kalau bulan senyap dan langit meremang
Sesekali temuilah detak - detik pelaminan ruh sepi hidupku
Agar terjadi saat saling mengusap peluh dendam rindu

Kuanyam dari dan malam dalam nyanyian
Kerajut waktu dengan darah berlarut - larut
Tak habis menimpukku batu demi batu kepalsuan
Demi mengongkosi penantian ke Larut

Bagiku yang paling berkesan dari puisi di atas adalah kelompok bait terakhir, yang menggambarkan betapa beratnya orang menempuh jalan sunyi. Segala derita dari waktu ke waktu dia rasakan, dan hanya dia yang merasakannya. Tak ada orang lain, tak ada yang peduli. Ujian datang silih berganti, tak habis-habisnya. Semua itu dia lakukan demi sebuah idealisme, sebuah cita-cita yang didambakannya. Itulah ongkos yang harus dia bayar dengan begitu mahalnya. Jalan sunyi adalah jalan penuh onak-duri. Dan dia menempuh jalan itu.

Di jalan sunyi ini aku seperti tidak menghamba pada siapa pun. Aku merasa menjadi manusia merdeka. Aku tidak terikat oleh apa pun, tidak meruang dan mewaktu. Jalan ramai hanya membuat aku si pejalan sunyi menjadi kering jiwa, mematikan rasa, tidak peka dengan lingkungan. Jalan ini jauh dari hiruk-pikuk. Di jalan ini yang ada hanyalah ketenangan yang bercabang: bisa melenakan dan bisa menyadarkan. Tinggal bagaimana yang menjalaninya.

Aku akan terus berjalan di jalan sunyi ini, karena aku merasa membuatku menemukan nurani.