Rabu, 06 Agustus 2008

Menulis itu Disenangi Tuhan


Penjara tak selamanya menyeramkan. Bagi sebagian orang, penjara justru menjadi tempat mengasyikkan. Menjadi tempat melakukan kegiatan produktif. Penjara menjadi tempat untuk menulis, yang kelak dapat dibagikan pada banyak orang, apabila keluar nanti. Di Indonesia banyak tokoh kita membuktikan hal itu. Ketika dalam penjara, faunding father kita, Soekarno dan Mohamad Hatta, juga aktif menulis. Di penjara Sukamiskin, Soekarno menulis pembelaan yang kemudian dibukukan menjadi Indonesia Menggugat. Di penjara Glodok tahun 1934, Hatta menulis beberapa karangan. Salah satunya yang dibukukan Krisis Ekonomi dan Kapitalisme. Bukunya Alam Pikiran Yunani merupakan tulisannya ketika dibuang ke Digul.


Pramoedya Ananta Tour menulis buku Nyanyian Sunyi Seorang Bisu dan Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) ketika dibuang di Pulau Buru. Hamka juga menulis tafsir Al-Azhar dalam penjara, tatkala berkuasanya rezim Orde Lama.
Di Mesir, seorang penulis feminis, Nawal el Saadawi, meski dengan kertas toilet dan pensil alis, Sadawi tetap menulis. Memoar dari Penjara Perempuan sebagai judul bukunya. Mengisahkan, ketimpangan sosial-ekonomi dan gender merupakan penyebab masuknya perempuan ke dalam sel penjara itu. Tafsir Fi Zhilalil Quran karya Sayyid Quthub, merupakan tulisannya ketika di penjara. Meski, akhirnya ia syahid di tiang gantungan pemerintahan Gamal Abdul Naser tahun 1966. Buku hasil ramuannya yang lain, MuĂ­alimin fith Thariq dan Mengapa Saya dihukum Mati?
Menurut Paul Berman penulis tentang Quthub, yang dikutip Haris Priyatna (Republika, 25 Juli 2004), kitab tafsir Fi Zhilalil Quran merupakan karya raksasa, yang ditulis hanya dengan mengandalkan daya hafal. Kondisi buruk dan penyiksaan dalam penjara tak menghalangi Quthub menulis. Suatu saat, Quthub disekap dalam sebuah sel bersama 40 orang yang sebagian besar kriminal, dengan menyelundupkan kertas masuk dan keluar penjara, Quthub terus menulis.
Begitu bersemangatnya tokoh terdahulu menulis. Meski, dalam ruangan hampa kebebasan. Dengan peralatan sederhana dan referensi yang minim, bahkan diselingi siksaan dalam penjara tak menyurutkan niat menulis. Apa yang membuat mereka bersemangat menulis? Yang jelas uang bukanlah pendorongnya. Tanggung jawab morallah yang memotivasi mereka.
Semangat membagikan pemikiran (baca: menulis) harus tetap mengalir. Karena, begitu banyak problem terjadi di sekitar kita yang perlu mendapat ulasan. Memberikan cahaya penerangan pada kegelapan yang terjadi.
Namun sayang, pada masyarakat kita komunikasi lisan lebih mendominasi dibanding lewat tulisan. Dunia tulis-menulis belum begitu memasyarakat. Bahkan, di kalangan kaum yang mengaku intelektual sekalipun. Terlihat berdasarkan data di Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) menunjukkan, hanya 0,0012% dari jumlah total dosen di negara ini, yang mampu menulis di sejumlah jurnal internasional, jumlahnya kurang dari 1%.
Jangankan menulis pada jurnal internasional, menulis untuk media massa hanya dilakukan oleh orang-orang itu saja. Jumlah dosen dan mahasiswa yang sering menulis di koran lokal maupun nasional, masih sedikit dibandingkan jumlah dosen dan mahasiswa.
Aa Milne, penulis The Pooh menjadi sangat terkenal dan sangat kaya dari menulis buku. Dari corat-coret fantasi kartunnya itu, ia memperoleh 300 juta poundsterling. Atau kalau dirupiahkan Rp 3 triliun. Tom Clancy memperoleh sekitar 32 juta Poundsterling atau sekitar Rp 320 miliar, dari dua bukunya yang sudah terbit di indonesia. Michael Crichton, penulis Jurasic Park dan Emergency Room, maraih miliaran rupiah dari karyanya yang laris. Dan kita sudah tahu, penulis Harry Potter, JK.Rowling, menjadi salah satu orang terkaya di Inggris, meski Rowling pernah merasakan bagaimana buku pertamanya tak laku di pasaran.

Penulis di Indonesia
Berbeda dengan di Indonesia. Mengandalkan menulis sebagai tumpuan hidup belum sepenuhnya bisa dilakukan. Budaya baca masyarakat yang masih lemah dan mahalnya harga buku (termasuk surat kabar), akibat tingginya harga kertas dan pajak yang mesti dikeluarkan penerbit, menyebabkan penjualan buku dan surat kabar belum begitu menggembirakan.
Dengan begitu, penulis pun mendapatkan honor atau royalti dari tulisannya tak seberapa. Tentu, ada penulis buku yang bisa menghidupinya karena bukunya Best Seller. Atau penulis lepas sebuah surat kabar atau majalah, yang tulisannya senantiasa diminta redaktur .
Seorang mahasiswa yang berminat dalam dunia tulis-menulis misalnya, harus kecewa dan sedikit stres karena artikelnya yang dibuat selama satu minggu. Berbagai buku ia baca guna memperkaya tulisannya, hingga ia mengambil kesimpulan artikelnya bagus dan layak dimuat. Namun, ternyata artikelnya ditolak redaktur alias tak layak muat. Ia begitu kecewa.
Menekuni dunia tulis menulis karena mengharap honor atau popularitas, memang menyakitkan. Bagi seorang Muslim, pahala disisi Allah SWT di atas segala-galanya. Bukan berarti uang tak penting. Uang akan mengikuti bersama profesionalisme. Jangan takut miskin karena menulis!
Hadapkan diri kita pada Allah. Jadikan menulis sebagai ibadah. Niat menulis karena Allah merupakan amunisi yang membuat kita tetap bersemangat dalam menulis. Apa pun yang kita terima, kita akan siap menghadapi. Baik tulisan yang dikembalikan, tak dapat honor, dikritik penulis lain dan tantangan lainnya.***

Tidak ada komentar: