Padi tumbuh dalam kesunyian, sejak hijau hingga menguning. Dia tidak banyak "bicara" dan gembar-gembor untuk mempersiapkan kematangannya. Dan saat matang dia justru merunduk. Semakin berisi semakin tunduk. [iqbal.dawami@gmail.com]
Kamis, 28 Agustus 2008
Belajarlah Ke Cina Wahai Indonesia
Minggu 24 Agustus 2008 adalah penutupan Olimpiade Beijing 2008. Dan Negara Cina adalah juara umumnya. Negara ini telah memenangkan sejumlah cabang atletik yang menghasilkan medali emas.
Negara ini juga ternyata telah meruntuhkan hegemoni dan dominasi Amerika Serikat yang sudah turun-temurun menjadi langganan perolehan emas terbanyak dalam sejarah olimpiade. Medali emas yang dihasilkan para atlet Cina adalah 48, sedangkan Amerika 31.
Tapi, Amerika tidak mau menerima kekalahan begitu saja. Media massa AS bergerak. Hampir semuanya memberitakan bahwa negara mereka berada di peringkat atas.
Acuannya adalah jumlah total medalinya (emas, perak, dan perunggu). Harus diakui, kontingen Amerika memang merebut 109 medali, sedangkan Cina hanya 90 medali.
Tapi alasan dengan acuan seperti itu sungguh tak lazim. Karena, umumnya, dalam penentuan peringkat negara peraih medali adalah dengan melihat jumlah medali emas yang diperolehnya, bukan total secara keseluruhan.
"Anda harus memahami karakter bangsa Amerika. Mereka selalu ingin menjadi nomor satu." Ujar Cui Wenjuan, narasumber CCTV Channel 4. Begitulah gaya Amerika sebagaimana dikatakan Cui tersebut, selalu ingin menang menjadi nomor satu. Dalam kamus hidupnya tidak ada nomor dua. Selain itu, mungkin Amerika merasa "dilecehkan", karena dikalahkan oleh orang-orang Asia, Cina.
Terlepas dari keangkuhan Negeri Abang Sam itu, warga Cina merasa puas. Para atletnya sukses mengungguli negara-negara lain, termasuk negara adi daya, Amerika, dalam hal perolehan medali emas.
Kemenangan Cina sebetulnya tidak hanya dilihat dari situ saja, tetapi juga dilihat dari penyelenggaraannya. Banyak orang mengkhawatirkan akan buruknya kualitas udara selama berlangsungnya olimpiade di Cina-Beijing, sampai-sampai para atlet dianjurkan untuk mengenakan masker penyaring udara. Tetapi ternyata tidak terbukti hal itu. Iklim udara pada waktu penyelenggaraan benar-benar bersih, langit benar-benar biru. Spekulasi lainnya juga tidak terbukti. Aksi teror maupun sabotase (hampir) tidak ada, padahal jauh hari sebelum olimpiade dimulai diramalkan akan ada ancaman-ancaman yang hendak mengganggu jalannya berbagai pertandingan. Atlet, ofisial, wartawan, maupun penonton dapat memerankan tugasnya masing-masing dengan tenang.
Dan sebagaimana kita ketahui, pemerintah Cina saat itu (mungkin sampai saat ini juga), sedang digoncang oleh isu HAM di Tibet, yang (konon) dilakukan tentara Cina. Tapi, bangsa Cina berhasil meredam isu tersebut dengan memfokuskan diri pada olimpiade. Di luar dari masalah itu, Cina patut kita contoh. Mereka benar-benar meniatkan diri secara sungguh-sungguh untuk memberikan yang terbaik atas ajang olimpiade yang diamanahkan kepada mereka itu. Paling tidak, selain hal di atas, dapat kita lihat dari stasiun-stasiun televisi Cina yang tak henti-hentinya menayangkan satu pertandingan ke pertandingan lain selama olimpiade berlangsung.
Jika kita tilik sebelum diadakan olimpiade Beijing 2008, Cina penuh dengan kecaman dan citra negatif. Sebagaimana sudah penulis paparkan di atas, hal itu adalah seperti isu-isu HAM di Tibet serta ketidakamanan dan ketidaknyamanan penyelenggaraan olimpiade. Tapi, persepsi itu dapat dijungkirbalikkan dengan bukti nyata, bahwa penyelenggaraan olimpiade di Beijing benar-benar berjalan lancar. Cina membuktikan kepada dunia bahwa selama 18 hari—dari awal sampai akhir olimpiade—negaranya benar-benar aman dan nyaman. Citra mereka menjadi positif, yang sebelumnya mendapat citra negatif itu. Sambutan hangat dan keterbukaan membuat keadaan mencair di Cina.
Tidak ada lagi imej bahwa orang Cina bersifat kaku atas orang asing di negerinya.
Pemerintah Cina memang sudah menegaskan kepada rakyatnya untuk menyambut baik kepada para duta olahraga, wartawan, dan penonton dari luar Cina. Beberapa wartawan Indonesia mengakui hal itu, bahwa mereka (rakyat Cina) berhasil melaksanakan perannya dengan baik, dengan menyambut dan melayani dengan baik orang-orang asing.
Keberhasilan Cina menyelenggarakan olimpiade di Beijing dibayar setimpal, yaitu dengan sederet prestasi. Hampir di semua lapangan para atlet Cina menguasai pertandingan. Walhasil, mereka pun menjadi peraih emas terbanyak (48 medali emas). Amerika dibuat tak berkutik oleh Cina yang harus puas menjadi runner up. Para duta Paman Sam itu hanya mampu meraih 31 medali emas.
Pada akhirnya, Indonesia harus belajar ke Cina. Mau tidak mau. Karena pada dasarnya tidak ada yang berbeda antara Indonesia dan Cina. Paling tidak sesama Asia-nya. Keberhasilan Cina dalam bidang olah raga telah menambah deretan prestasinya di mana sebelumnya mereka digdaya dalam bidang ekonomi, sebagai pengekspor nomor satu, di atas Amerika dan Jepang.
Bravo Cina! Indonesia belajarlah dari mereka!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar