Kamis, 25 September 2008

Muhasabah Cinta(ku)

Rasanya baru kali ini aku mendengar nasyid yang membuatku benar-benar merinding. Lirik lagu dan aransemennya begitu menyatu yang menjadikanku bergetar hebat. Tapi, entahlah apa karena nasyid itu atau karena klop dengan permasalahan yang sedang aku hadapi saat ini.

Yang jelas nasyid itu benar-benar menyentuh, menohok ketidakawarasanku, dan membangkitkan aku untuk bermuhasabah diri. Nasyid tersebut berjudul Muhasabah Cinta.

Ya, sebuah introspeksi diri berdasar cinta. Cinta akan Tuhan yang telah tertutup oleh ego, cinta akan Tuhan yang membuat bersyukur seorang hamba atas karunia hidupnya. Ya, amor vincit omnia, cinta akan mengalahkan segalanya.
Mari kita simak lirik-liriknya di bawah ini:


Wahai... Pemilik nyawaku Betapa lemah diriku ini
Berat ujian dariMu
Kupasrahkan semua padaMu

Tuhan... Baru ku sadar
Indah nikmat sehat itu

Tak pandai aku bersyukur
Kini kuharapkan cintaMu

Reff. :
Kata-kata cinta terucap indah
Mengalir berzikir di kidung doaku
Sakit yang kurasa biar jadi penawar dosaku
Butir-butir cinta air mataku
Teringat semua yang Kau beri untukku

Ampuni khilaf dan salah selama ini Ya ilahi....
Muhasabah cintaku...

Tuhan...
Kuatkan aku

Lindungiku dari putus asa
Jika ku harus mati
Pertemukan aku denganMu

Aku bersyukur pada bulan ini, bulan yang penuh berkah dan ampunan, noda hitam yang menempel dalam diriku terkuak dan lepas dariku. Dan aku menduga lewat dua "tangan"-Nya lah Allah mengubahku: Pertama, nasyid tersebut, kedua, seseorang yang berhasil membuka aibku. Mungkin inilah takdir yang harus kuterima lewat dua hal tersebut. Di bulan ini, mungkin Allah berkehendak diriku bersih menjalankan ibadah puasa ini. Salah satu caranya adalah membersihkan noda tersebut. Kuucapkan terima kasih kepada nasyid dan seseorang tersebut. Aku akan selalu berdoa untuk kalian berdua. Forever. Insya Allah.
# # #

Muhasabah Cinta (1)
Ya Allah apa sesungguhnya yang aku cari dalam hidup ini? Mengapa aku seperti ini? Apa sebenarnya yang aku butuhkan? Sungguh, masih panjang tanda tanya yang ingin kuutarakan pada diriku sendiri. Bukan tanpa sebab aku utarakan pertanyaan-pertanyaan di atas. Karena tiba-tiba saja aku mendapatkan diriku menjadi setitik noda hitam. Hieekks.. sungguh menyedihkan. Bulan ramadhan ini terbuka sudah tabir kepalsuan yang melekat dalam jiwaku. Kebaikan-kebaikan yang kuanyam hari demi hari berubah menjadi noda. Entah, harus bagaimana kuperbaiki semua itu. Aku memang khilaf. Aku memang lemah.

Selain hal di atas, ada juga permasalahan yang tak kalah penting. Ini sebuah gejala yang buruk yang harus segera kuatasi. Semenjak studiku selesai orientasi hidupku benar-benar angin-anginan, yang sebenarnya cenderung merusak diriku sendiri secara perlahan. Aku sering terobsesi oleh hal-hal yang belum aku miliki. Aku ingin punya laptop agar aku bisa menulis dimana saja dan bisa akses internet gratis di kampus. Aku ingin punya rental komputer, rumah di daerah persawahan yang menyuguhkan suasana indah dan damai. Aku ingin sekali berpenghasilan 10 juta perbulan, ingin punya motor dan mobil, ingin punya kamera digital, MP3. Aku ingin membantu usaha kedua orangtuaku, membantu kedua adikku, dan seterusnya. Tapi, di antara sederet keinginan itu, nampaknya keinginan segi materilah yang mendominasi.

Ya Allah, aku ternyata diperbudak oleh benda-benda dengan dunia yang fana ini. Semua keinginan itu benar-benar telah mengalir dalam darahku. Sebagai anak sulung, tentu aku harus menjadi kakak yang baik dari segi apa pun, terutama finansial. Dan pertama-tama adalah aku harus kaya dulu agar bisa membantu semuanya. Tapi dengan begitu ternyata aku tidak peka dengan karunia Allah. Aku hanya mementingkan kebutuhan hidupku sendiri. Dan tidak pernah melihat keadaan yang lebih rendah dari aku. Masih banyak orang-orang yang menderita karena ketiadaan finansial. Astaghfirullah.. Ya, semua itu karena aku lebih mencintai dunia ini, orientasi hidupku hanya sebatas dunia saja. Padahal akhirat lebih kekal dibanding dunia.

Tak ada cara lain, aku harus mengubah itu semua. Aku harus merasa cukup dengan apa yang aku punya sekarang ini. Bolehlah aku mengejar impian dunia itu, tapi tanpa melupakan akhirat. Aku tak boleh ngoyo, harus melihat di sekelingingku. Segala puji hanya bagi-Mu ya Allah...
# # #

Muhasabah Cinta (2)
Pada intinya semua orang dengan apa yang dilakukannya adalah mencari kebahagiaan. Kebahagiaan dengan berbagai bentuk dan upayanya dengan berbagai cara. Di bawah ini ada beberapa frasa yang pernah kudengar, tapi entah darimana, kapan, dan siapa aku tidak tahu. Begini bunyinya:

Kita susah payah, banting tulang siang malam bekerja mencari uang, yang kita cari adalah kebahagiaan. Kita jauh-jauh rekreasi ke Bali, Hawai, Paris, atau Roma, yang kita cari adalah kebahagiaan. Kita sekolah tinggi, belajar hingga larut malam, berprestasi, yang kita cari adalah penghargaan—yang ujung-ujungnya adalah juga kebahagiaan. Kita mencapai jabatan, pun sesungguhnya yang kita cari adalah kebahagiaan. Kita membeli rumah mewah di tengah taman yang asri dengan anek bunga, yang kita cari sesungguhnya adalah kebahagiaan. Kita membeli mobil mewan nan nyaman, yang kita cari adalah kebahagiaan.

Terus, seperti apa sih sebenarnya kebahagiaan itu?

Aku sendiri, aku ingin belajar bahagia saat aku memberi dengan tanpa pamrih. Aku ingin meraih kebahagiaan dalam bentuk apa pun (yang diridhoi Allah) saat ini juga. Sebagaimana dalam film Dead Poet Society dikatakan, "Carpe diem, quam minimum ncredula postero" (Raihlah hari ini dan jangan menaruh kepercayaan pada hari esok--untuk kebahagiaan).
# # #

Muhasabah Cinta (3)
Ya Allah, ajari aku berdoa dengan baik. Ya Allah, aku tidak ingin berdoa sebagai sekadar ucapan lidah yang keluar tidak dari hati. Aku ingin berdoa dengan pujian-pujian yang adalah milik-Mu jua. Ya Allah, berilah aku cahaya ke dalam jiwaku yang kelam, pikiranku yang kusut perasaanku yang galau, langkahku yang ragu, sikapku yang gamang. Ya Allah, tegak dan berdirikan aku di atas landasan-Mu. Berilah aku hidup dari Hayat-Mu. Berilah aku kesanggupan berjalan dengan kaki-Mu, berbicara dengan lidah-Mu, berpikir dengan kecerdasan-Mu, bertindak dengan iradah-Mu. Ya Allah, matikan aku di dalam hidup-Mu saja. Ya Allah, kondisikanlah diriku agar selalu memuji-Mu dan senantiasa berada di dalam kebaikan dan kasih sayang-Mu. Allahumma amin.

Senin, 22 September 2008

Film Indonesia Kembali Ke Era 80-an


Sesaat saya merenung manakala memerhatikan mayoritas film-film Indonesia kini, di antaranya Mau Lagi, Anda Puas Saya Loyo, XL, Antara Aku, Kau, dan Mak Erot, Kawin Kontrak, Basahhh, dan paling anyar Suami-Suami Takut Istri, bukankah hal ini menggambarkan perfilman di era 80-an.

Jika tidak percaya, coba saja tengok era 80-an bahkan sampai 90-an, film-film berbau esek-esek begitu mendominasi seperti Bebas Bercinta, Gairah Terlarang, Gejolak Nafsu, Ranjau Nafsu, Permainan Erotik, dan lain sebagainya.

Tak dapat dipungkiri, geliat film Indonesia dari tahun ke tahun memang tampak. Para sineas tampak antusias berkarya. Tema-temanya pun beragam. Dan yang patut menggembirakan adalah ada beberapa film yang mendapat sambutan hangat dan bahkan mendapat penghargaan baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Sebut saja misalnya Petualangan Sherina, Ada Apa Dengan Cinta, Naga Bonar Jadi 2, dan Ayat-Ayat Cinta. Film-film itu telah mencetak Box Office nasional. Penjualan tiketnya di atas satu juta lembar.

Betapa pun beragamnya film-film Indonesia, tema esek-esek (dan hantu), tetap saja mendominasi di dunia perfilman Indonesia. Walau dari segi judul dan kemasan berbeda antara era 80/90-an dengan sekarang, tapi subtansinya tetap saja sama. Film yang berkisar paha, dada, dan ranjang memang mendapat tempat di semua lapisan masyarakat. Apalagi film-film seperti itu dibalut dengan unsur komedi. Klop sudah. Naluri manusia normal pasti akan tergairahkan untuk menontonnya.

Saya menduga, film yang menggabungkan unsur syur dengan komedi dimulai oleh Warkop (Warung Kopi) DKI. Film yang beranggotakan Dono, Kasino, Indro ini boleh dikatakan tidak lekang oleh zaman. Setiap tahun selalu saja diputar di pelbagai televisi swasta. Tak terkecuali di hari libur dan lebaran Idul Fitri dan Idul Adha. Hal ini berarti bahwa genre film seperti itu selalu laku di pasaran. Maka tak heran fenomena itu dimanfaatkan oleh sineas yang berotak kapitalis. Mereka tidak peduli dengan dampaknya, baik atau buruk, yang penting untung.

Dengan melihat dua hal paradoks yang telah saya gambarkan di atas, maka dapatlah kita katakan bahwa geliat film-film Indonesia yang sebetulnya sudah ada beberapa film masuk kategori Box Office nasional, terganjal dan tercemari oleh tren film esek-esek. Fenomena ini sangat memprihatinkan. Bukan saja lantaran genre tersebut, akan tetapi para aktor dan aktrisnya yang nota bene-nya telah mendapat tempat di hati masyarakat. Pemainnya adalah kebanyakan kaum muda-mudi. Maka, secara tidak langsung akan turut memengaruhi gaya hidup para fans-nya. Jika dahulu film genre seperti ini masih diberi label 17 tahun ke atas, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi. Artinya, film berjenis seperti itu boleh dikonsumsi siapa saja. Tentu saja sudah otomatis para remaja adalah penonton paling banyak dibanding 17 tahun ke atas. Karena, para lakonnya pun kaum remaja. Sebut saja misalnya film ML, DO, Kawin Kontrak, yang didominasi oleh aktor dan aktris muda idola remaja.

Harus diakui film bergenre komedi seks ini sangat laku di pasaran ketimbang drama. Animo masyarakat selalu tinggi bagi genre ini. Walau kadang pesan yang hendak disampaikannya pun sangat bias. Tentu hal itu tidak menjadi soal, karena yang hendak diniatkan adalah hiburan semata, dengan pancingannya adalah adegan-adegan vulgar.

Laskar Pelangi

Ada yang perlu diwajarkan jika masyarakat selalu berminat untuk menonton film genre esek-esek yang dibalut dengan komedi seperti di atas. Kondisi negara adalah alasannya. Kita semua dapat merasakan betapa serba susahnya rakyat Indonesia saat ini. Kesusahan tersebut ditambah dengan perilaku pejabat negara yang tertangkap dengan berbagai kasusnya, seperti suap, korupsi, selingkuh, dan lain sebagainya. Masyarakat muak melihat semua itu. Maka—boleh jadi—mereka mencari hiburan dengan—salah satunya—menonton film baik pergi ke bioskop maupun beli kepingan CD/DVD. Film-film ringan itu menjadi sarana pelepasan stres atas hidup mereka.

Namun yang patut disayangkan adalah sikap sineas Indonesia yang aji mumpung membuat film dengan tema komedi seks. Keadaan masyarakat yang jenuh dan stres itu dijadikan sebagai sasaran empuk para sineas untuk menggarap film genre tersebut. Padahal, mereka mestinya ikut “mengobati” masyarakat dengan membuat film yang sarat dengan nilai-nilai spiritual dan moral. Karena dengan itulah para sineas dapat memberi sumbangsihnya pada masyarakat.

Awal 2008 perfilman kita disemarakkan oleh Ayat-Ayat Cinta yang sarat nilai spiritual dan moral. Sungguh itu sangat membahagiakan bagi masyarakat, tapi setelah itu tidak ada lagi film yang “berbobot” seperti itu. Ada memang beberapa film yang mengkutinya tapi kehilangan ruhnya. Masyarakat bosan. Justru film-film genre 80-an dengan kemasan barulah yang bermunculan, disertai film-film hantu.

Tapi, untunglah sebentar lagi—tepatnya tanggal 25 september 2008—kita akan menyaksikan film Laskar Pelangi. Seperti halnya Ayat-Ayat Cinta, film yang diadaptasi dari novel ini diharap mampu memangkitkan kembali film-film Indonesia yang berkualitas. Para pembaca Laskar Pelangi sudah membuktikannya bahwa novel itu sangat membangkitkan spirit kehidupan dan sarat dengan nilai-nilai moral. Kita tunggu apakah film tersebut mempunyai ruh yang sama dengan novelnya? Semoga saja.

Senin, 15 September 2008

Musim Hujan Mendatangkan Bencana Musim Panas Menebarkan Petaka

Saat ini alam yang ramah dan penuh rahmat dari Tuhan bukan menjadi keunggulan Indonesia lagi. Di negeri ini saat musim hujan selalu saja mendatangkan bencana di sebagian daerah, dan saat musim panas selalu menebarkan petaka. Adanya hujan menyebabkan banjir dan longsor, dan adanya panas menyulut api dan asap sehingga menyebabkan kebakaran hutan. Semuanya menjadi tragedi.

Dan beberapa hari yang lalu juga bencana di negeri ini telah ditambah lagi yaitu gempa bumi yang disusul tsunami dan letusan gunung yang tidak mengenal musim hujan maupun musim panas.


Belum ada satu pun negara di dunia ini yang memiliki keungggulan teknologi luar biasa yang mampu meniadakan bencana, seperti gempa dan letusan gunung merapi. Akan tetapi yang membedakan negara lain dengan Negara Indonesia adalah terletak pada kesungguhan menyelesaikan peroalan. Negara lain melihat bencana sebagai hal luar biasa, maka dengan cepat mereka mengatasinya serta mencari cara untuk mengantisipasinya.

Bagaimana dengan Negara kita? Negara ini menghadapi bencana dengan biasa-biasa saja. Status bencana pun diberi label, yaitu status lokal dan nasional. Jadi, jika bencana tersebut statusnya masih local maka bantuan pun tidak ada. Maka tidak heran kalau bencana di negeri ini selalu saja berulang-ulang dalam wujud yang itu-itu saja. Kita lihat di sebagian pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera, banjir berulang di daerah yang itu-itu juga, dengan penyebab yang itu-itu lagi.

Begitu pun dengan kebakaran hutan, selalu saja terjadi di daerah yang sama dengan penyebab yang persis sama juga. Dan ketika bencana gempa bumi di Aceh, Jogja dan pantai selatan jawa yang disertai dengan tsunami, sangat terlihat ketidakmampuan negara ini, seperti halnya saat datang bencana banjir dan kebakaran hutan, yaitu tidak memiliki kesiagaan manusia dan peralatan.

Hutan Sebagai Komoditi

Pekan kemarin hampir 31 persen rusak hutan tanaman ditemukan di sekitar puluhan titik api di Kalimantan. Dan hal ini sebenarnya hanya pengulangan dari tahun yang lalu. Mengapa bisa terulang kejadian itu? Bahkan telah berlangsung bertahun-tahun. Sungguh, hal ini terjadi karena adanya pengelolaan yang salah dan penanganan yang tidak sungguh-sungguh. Alam kita ini masih memberikan rahmat kepada kita, tanpa kita berbuat apa-apa alam selalu menguguhkan karya-karyanya, yaitu berupa buah-buahan, rempah-rempahan, dan lain sebagainya. Namun sekarang tidak lagi. Alam menjadi ganas, ia tidak lagi memberikan karya-karyanya, yang ada malah sebaliknya. Musim panas tanah menjadi kering dan air tidak ada, sehingga padi-padi tidak bisa hidup. Pepohonan telah dibalak secara liar, sehingga banjir bandang dan longsor pun tiba. Kini alam tidak lagi menjadi rahmat melainkan bencana.

Setidaknya ada dua sebab terulangnya terus kebakaran hutan. Pertama, rakyat sendiri. Kedua, para pengusaha hutan. Para petani terkadang menjadi penyebab dari adanya kebakaran hutan. Karena rata-rata mereka ketika alang-alang itu kering mereka mengambil jalan pintas, yaitu dibakar untuk membuka ladang pada saat musim hujan.

Pengusaha hutan pun hampir sama, demi untuk menghemat biaya mereka membakar lahan tersebut agar cepat habis alang-alangnya. Namun, celakanya lagi ia membakar tanpa dikontrol. Api tersebut menjalar sampai kemana-mana.

Adapun penyebab terjadinya banjir di hutan-hutan sebenarnya telah jelas, yaitu penebangan hutan dan pembalakan liar. Anehnya, penyebabnya sudah diketahui namun tidak ditangani secara betul. Hal itu terjadi lantaran pola pikir yang belum diubah, bahwa dalam pikiran kita ini bencana itu adalah sesuatu yang jauh, entah kapan terjadi, dan yang di depan mata kita ini hutan masih bagus, dan dunia masih aman. Maka kita tetap membiarkan saja penebangan liar tersebut. Inilah yang salah dalam bayangan kita.

Pengelolaan dan pola pikir yang keliru tentang hutan sebagai komoditi telah mendarah daging karena telah berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya. Ini sudah menjadi jaringan yang kuat yang sulit sekali dibongkar ketika terjadi penyalahgunaan kekuasaan.

Harus ada perubahan berpikir dalam pengelolaan dan kebijakan yang berani untuk mengatasi hutan, umumnya lingkungan. Dan perubahan ini harus dipelihara dengan kesungguhan yang betul-betul. Namun apakah perubahan pola pikir hanya bisa dicetuskan oleh pemerintah, padahal saat ini saja pemerintah telah terbukti tidak berdaya mengatasi kebakaran hutan? Pemerintah begitu lamban mengatasi bencana. Walau begitu, paling tidak inisiatif itu harus datang dari pemerintah. Karena sekarang di lingkungan pemerintahan yang membicarakan hutan masih asing alias tidak popular.

Inisiatif ini harus dimulai dari pemerintah yang berada di bawah depertemen kehutanan, menteri perhutanan, pemerintah daerah, dan baru kemudian kepada semua intansi terkait. Jadi, paling tidak di bawah departemen kehutanan, misalnya, membuat tim independen sampai ke tingkat desa yang tugasnya adalah memantau semua kegiatan yang terkait dengan kehutanan. Dengan cara ini diharapkan bisa terpantau.

Satu hal lagi yang tidak boleh dilewatkan yaitu penegakan hukum. Hukum yang ada sekarang harus benar-benar dilaksanakan, yaitu maksimal 10 tahun penjara dan denda sekitar 10 miliar rupiah bagi orang yang terbukti melanggar peraturan atau melakukan perusakan hutan. Memang, peraturan telah ada, akan tetapi sulit sekali mencari bukti bahwa orang harus masuk penjara karena mencuri kayu, membakar lahan, membakar hutan. Jadi, kontrol mulai dari pusat sampai daerah harus digalakkan dengan sungguh-sungguh. Bukan hanya tanggung jawab menteri kehutanan saja, tetapi tanggung jawab kita semua.

Kiai, Pesantren, dan Pilkada


Pondok pesantren mempunyai posisi yang sangat potensial untuk digunakan kepentingan pilkada. Hal itu tak lebih karena dua faktor, yaitu lembaga pesantren yang begitu dihormati di kalangan kaum muslim dan kiai, pengasuh pesantren, yang begitu karismatik dan berpengaruh.

Oleh karena itu, pesantren melalui kiainya akan banyak diperebutkan oleh banyak kalangan pada saat pilkada ini. Maka sudah semestinya para kiai yang mempunyai pondok pesantren waspada dan arif. Daya integritasnya benar-benar diuji dalam hal ini.


Seorang ulama (baca:kiai) adalah waratsatul anbiya, ahli waris para nabi. Oleh karena itu, jika ada kiai yang hendak terjun ke dunia politik ia harus berhati-hati. Dalam sikap politiknya harus mengutamakan kepentingan umat ketimbang kepentingan pribadi atau pun golongannya. Dan jika seorang kiai dalam berpolitiknya lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan golongannya, maka akan rusaklah citra kiai sebagai pewaris para nabi itu.

Saat ini pilkada telah, sedang, dan akan berlangsung dari mulai tingkat desa hingga provinsi. Peristiwa ini merupakan ujian tersendiri bagi para kiai dan tentu saja dengan pesantren yang dimilikinya. Kiai dan pesantrennya dituntut menjadi orang-orang yang ada di tengah-tengah dan menjembatani pelbagai orang dalam kelompok-kelompok islam (Ummatan Wasathan).

Memang banyak saat ini para kiai yang sudah menjadi politikus, baik di tingkat daerah maupun pusat. Tidak hanya karena ada tawaran dari partai politik, tetapi juga atas keinginan sendiri. Dan istimewanya, mereka pun banyak yang berbakat dalam berpolitik. Namun, harus diingatkan bahwa kiai yang terjun ke dunia politik adalah betul-betul menjadi politisi. Jangan sampai kiai menjadi politisi yang hanya pandai memanipulasi simbol-simbol agama, seperti menyalahgunakan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Selain itu juga jangan sampai keahlian dan kedalaman ilmunya digunakan untuk kepentingan politik praktis.

Menjadi Poros Tengah

Para kiai sudah semestinya mengaca pada perilaku Muhammad Saw. Sebelum diangkat menjadi nabi, ia sudah menjadi penengah di antara para suku yang bertikai. Ia juga menjadi pendamai kala itu. Untuk itu, para kiai dapat menjadi penengah dan pendamai di antara umat Islam yang saat ini terkotak-kotak dalam catur perpolitikan. Idealnya, ia tidak boleh berpihak pada satu kelompok tertentu. Dengan sikap netral, tidak berpihak, dan tetap berdiri di tengah-tengah maka kiai akan dapat menjadi rekonsiliator.

Kita tak dapat menutup mata jika ada pesantren di tengah-tengah masyarakat banyak mendapatkan bantuan, entah berupa uang maupun barang. Tentunya para kiai sebagai pengasuh pesantren mewaspadainya, apakah di dalamnya ada unsur kepentingan politik atau tidak? Dan jika kiai mengetahui bahwa hal tersebut bermotif politis, namun bantuan itu tetap diterima, maka kiai dan pesantrennya telah masuk pada ‘money politics’, karena menerima bantuan tersebut tidak pada tempatnya. Dan secara tidak langsung hal itu akan mempengaruhi integritas kiai itu sendiri.

Sungguh, kiai dan pesantrennya sangat rentan terhadap ‘money politics’ semacam itu. Kondisi ekonomi yang tak menentu ini sangat memungkinkan kiai dan pesantrennya tergoda. Apalagi pesantren-pesantren yang tradisional, yang amat sangat membutuhkan bantuan untuk pembangunan infrastruktur pesantren. Secara gampangnya, karena krisis ekonomi para kiai diberi bantuan, dengan tujuan mendukung pihak tertentu dalam pilkada.

Rakyat Indonesia yang mayoritasnya memeluk agama Islam, termasuk di dalamnya lembaga-lembaga keislaman seperti pesantren-pesantren mempunyai peran yang besar dalam terlaksananya pilkada yang jujur dan adil. Bahkan di dalam pemilihan kepala daerah pun hampir dipastikan semuanya adalah orang Islam. Oleh karena itu, jangan sampai umat Islam yang terkotak-kotak ini diprovokasi oleh kelompok-kelompok tertentu yang tidak senang kepada Islam. Jika ini sampai terjadi, maka yang menjadi korban adalah orang-orang Islam juga.

Sebaliknya, jika pilkada berjalan dengan baik, yang paling mendapatkan manfaatnya adalah umat Islam sendiri. Oleh karena itu, kita jangan sampai diadu domba seperti saling mencurigai dan bahkan saling tuduh-menuduh satu sama lain. Hilangkan semua itu dengan cara mengingat hakikat kita sebagai sesama umat Islam.

Wallahu a’lam.

Karakter Orang Takwa


Tulisan ini adalah bahan ceramah (yang belum saya kembangkan lebih jauh lagi)
---------------------------------
Di dalam surat al-Baqarah telah diceritakan tentang adanya tiga kelompok manusia. Pertama, kelompok yang menerima seluruh ajaran Allah Swt secara mutlak, mereka disebut al-Muttaqin (orang-orang yang bertakwa). Kedua, kelompok yang menolak ajaran Allah Swt secara mutlak pula.

Ketiga, kelompok yang memiliki dua kepribadian. Pribadi kesatu adalah pribadi Islam, dan pribadi kedua ialah pribadi yang memusuhi Islam.

Golongan al-Muttaqin menerima Islam dalam hal apa pun. Mereka mengamalkannya secara kaffah (keseluruhan) dalam kehidupan sehari-harinya. Adapun tanda-tanda golongan al-Muttaqin ialah 1) iman pada yang ghaib, 2) beribadah pada Allah Swt, 3) menghormati sesama manusia, 4) percaya segala sesuatu yang diturunkan pada Rosulullah Saw dan Nabi-Nabi sebelumnya, 5) iman pada hari kiamat.

Jika tidak mempercayai satu hal saja di antara yang lima tersebut, maka tak bisa disebut orang takwa. Dengan mengamalkan kelima hal tersebut, maka sikapnya pun akan berbeda dengan dua golongan lainnya yang disebut di atas. Nampaknya sangat relevan dengan keadaan sekarang tentang kelima hal tersebut. Adalah terutama yang keempat, jika ia mengamalkannya maka sikapnya tersebut akan menghormati agama lainnya. Karena atas dasar mempercayai ajaran-ajaran para nabi sebelum Rosulullah Saw. Hal ini dipertegas lagi dengan ayat-ayat surat al baqarah yang berisi mengimani ajaran para nabi terdahulu.

Terakhir, saya kutip perkataannya Kang Jalal, bahwa, “orang takwa yang sejati ialah orang yang tidak pernah menggunakan agama untuk menjadi sebab perpecahan dan kemunafikan. Orang takwa adalah orang yang toleran pada orang seagama dan toleran pada pemeluk agama lain”.

Hidup orang takwa akan senantiasa menjaga dan membekali dirinya dengan hal-hal positif, karena percaya dengan adanya hari perhitungan. Hidupnya akan teratur dan tak mengikuti hawa nafsunya.

Takabur


Tulisan ini bahan ceramah (yang pengennya sih kukembangkan jadi tulisan)
---------------------------
Dalam kitab Bihar al-Anwar (jilid 77, hal. 90) diceritakan bahwa Rasulullah Saw berkata kepada Abu Dzar, “Wahai Abu dzar, barangsiapa mati dan dalam hatinya ada sebesar debu dari takabur, maka ia tidak akan mencium bau surga, kecuali bila ia bertaubat sebelum maut menjemputnya.”

Abu Dzar berkata, “Ya Rasulullah, aku mudah terpesona dengan keindahan. Aku ingin gantungkan cambukku indah dan pasangan sandalku juga indah. Yang demikian itu membuatku takut.”

Rasulullah bertanya, Bagaimana perasaan hatimu?” Abu Dzar berkata, “Aku dapatkan hatiku mengenal kebenaran dan tenteram dalam kebenaran.”

Rasulullah berkata, “yang demikian itu tidak termasuk takabur. Takabur itu ialah meninggalkan kebenaran dan kamu mengambilnya selain kebenaran. Kamu melihat orang lain dengan pandangan bahwa kehormatannnya tidak sama dengan kehormatan matamu, darahnya tidak sama dengan darahmu.”

Jalaluddin Rahmat juga mengatakan perihal takabur, “jika anda sombong, anda takabur, kalau anda tidak mau menerima kebenaran, karena yang menyampaikan kebenaran itu orang kecil, atau orang miskin, atau murid, atau orang yang kedudukannya di bawah anda. Anda takabur kalau anda tidak mau mendengar nasihat dari anak atau istri anda, karena anda menganggap bahwa mereka lebih rendah dari anda. Anda takabur kalau anda tidak mau mendengarkan pembicaraan dari orang Islam yang pahamnya berbeda dengan anda, karena anda menganggap mereka sesat dan anda berada di jalan yang paling benar. Anda takabur kalau anda merasa diri anda sebagai orang istimewa dan hokum apa pun tidak berlaku untuk anda.” (Meraih Cinta Ilahi, hal. 221).

Pandangan Islam Terhadap Kemiskinan


Cerita tentang masyarakat miskin selalu menciut dan mencuat di media massa yang ada di negara kita, layaknya pasang surut sebuah gelombang di lautan. Beritanya klise namun selalu aktual. Salah satunya di bulan ini berita tentang kemiskinan telah “dimenangkan” oleh seorang ibu dari Makassar. Ibu tersebut tengah hamil tujuh bulan yang mempunyai seorang anak, berusia lima tahun, tamat riwayatnya karena kelaparan. Tentu saja masalah yang paling mendasar adalah ekonomi.

Dapat kita lihat saat ini dari harga kebutuhan-kebutuhan pokok sehari-hari, seperti minyak goreng, minyak tanah, kedelai, terigu, telor, dan lain-lainnya melangkah naik dengan santai. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok tersebut membuat masyarakat sulit untuk menjangkaunya dari hari ke hari.

Pemerintah dan semua lapisan masyarakat tentu tidak menghendaki kemiskinan dalam hidupnya. Oleh karena itu pemerintah pun telah berusaha meminimalisir angka kemiskinan dan masyarakat pun tengah bersusah payah keluar dari bayang-bayang kemiskinan. Lantas, apa yang salah dengan negara kita yang rakyatnya terus miskin? Harus kita akui bahwa kemiskinan muncul bukan lantaran persoalan ekonomi saja, tapi karena persoalan semua bidang: struktural (baca: birokrasi), politik, sosial, dan kultural, dan bahkan pemahaman agama.

Kita pun tahu dampak dari adanya kemiskinan ini, seperti kriminalitas, kekerasan dalam rumah tangga, perampokan, patologi, dan lain sebagainya, di mana semua itu semakin hari semakin meningkat saja intensitasnya di sekitar kita. Tak mudah seperti membalikkan telapak tangan untuk mengatasi kemiskinan. Diperlukan semua segi, di antaranya ekonomi, kesehatan, pendidikan, kebudayaan, teknologi, dan tentu saja, ketenagakerjaan. Selain itu ada segi lain yang tak boleh kita lupakan juga dalam mengatasi masalah ini, yaitu agama. Islam memberikan pesan-pesannya melalui dua pedoman, yaitu Alquran dan Hadits. Melalui keduanya kita dapat mengetahui bagaimana agama (Islam) memandang kemiskinan.

Alquran menggambarkan kemiskinan dengan 10 kosakata yang berbeda, yaitu al-maskanat (kemiskinan), al-faqr (kefakiran), al-’ailat (mengalami kekurangan), al-ba’sa (kesulitan hidup), al-imlaq (kekurangan harta), al-sail (peminta), al-mahrum (tidak berdaya), al-qani (kekurangan dan diam), al-mu’tarr (yang perlu dibantu) dan al-dha’if (lemah). Kesepuluh kosakata di atas menyandarkan pada satu arti/makna yaitu kemiskinan dan penanggulangannya. Islam menyadari bahwa dalam kehidupan masyarakat akan selalu ada orang kaya dan orang miskin (QS An-Nisa/4: 135). Sungguh, hal itu memang sejalan dengan sunatullah (baca: hukum alam) sendiri. Hukum kaya dan miskin sesungguhnya adalah hukum universal yang berlaku bagi semua manusia, apa pun keyakinannya. Karena itu tak ubahnya seperti kondisi sakit, sehat, marah, sabar, pun sama dengan masalah spirit, semangat hidup, disiplin, etos kerja, rendah dan mentalitas.

Kemiskinan, menurut Islam, disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya karena keterbatasan untuk berusaha (Q.S. Al-Baqarah/2: 273), penindasan (QS Al-Hasyr/59: 8), cobaan Tuhan (QS Al-An’am/6: 42), dan pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan (QS Al-Baqarah/2: 61). Namun, di negara kita sesungguhnya faktor-faktor di atas sudah mulai dibenahi, walaupun ada yang secara sungguh-sungguh maupun setengah-setengah.

Mulai dari program pemerintah dan masyarakat sendiri sama-sama berjuang memerangi kemiskinan. Tapi, harus disadari bahwa perjuangan melawan kemiskinan di negara kita, apa pun caranya, sesungguhnya sama dengan perjuangan seumur hidup. Masih panjang sekali perjalanan untuk mencapai hasilnya. Mengapa demikian? Karena kenyataan di lapangan berbeda dengan hasil data survey penelitian. Di atas kertas angka kemiskinan di negeri ini berhasil diturunkan, namun dalam perkembangan lebih lanjut juga memperlihatkan peningkatan.

Kembali pada persoalan hukum alam di atas tentang keniscayaan adanya orang kaya dan orang miskin, maka sudah sepatutnya orang kaya (termasuk pemerintah) membantu orang miskin. Menurut Islam, dengan adanya bantuan orang kaya tersebut, agar orang miskin tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang dapat merendahkan martabatnya sendiri (QS Al-Baqarah/2: 256). Islam sesungguhnya telah menyadari bahwa terkadang kefakiran (dan kemiskinan) akan menjadikan manusia pada kekufuran.

Untuk itu Islam pun memberikan sumbangsih solusi penanggulangan kemiskinan dengan dua model:(1) wajib dilakukan dan (2) anjuran. Adapun yang mesti dilakukan adalah zakat (QS At-Taubah/9: 103), infak wajib yang sifatnya insidental (QS Al-Baqarah/2: 177), menolong orang miskin sebagai ganti kewajiban keagamaan, misalnya membayar fidyah (QS Al-Baqarah/2: 184), dan menolong orang miskin sebagai sanksi terhadap pelanggaran hukum agama (misalnya membayar kafarat dengan memberi makan orang miskin) (QS Al-Maidah/5: 95). Sedang yang bersifat anjuran untuk dilakukan adalah sedekah, infak, hadiah, dan lain-lainnya. Tentu saja semua hal di atas dilakukan bagi orang yang mampu secara finansial. Namun, bagi yang tidak mampu pun dalam hal itu diwajibkan juga, yaitu dengan memberikan nasihat, spirit, dan motivasi kepada kalangan rakyat jelata.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2005 bahwa dana yang dihasilkan dari zakat, infak, dan sedekah saja dalam satu tahun telah mencapai Rp 19,3 triliun. Hasil di atas mengindikasikan bahwa jika dana tersebut dikelola dan disalurkan dengan baik dan profesional maka akan membantu menyejahterakan orang-orang miskin. Angka di atas baru dihasilkan dari kaum muslim saja. Andai digabungkan dengan masyarakat agama lain tentu angkanya akan lebih besar lagi.

Pada zaman Rasulullah sendiri orang-orang miskin memperoleh bantuan materi dari kas negara yang ditangani secara profesional. Oleh karena itu sudah sepatutnya pemerintah dan masyarakat (beragama) Indonesia bersinergi menanggulangi kemiskinan dengan mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan negara dan masyarakat. Lembaga-lembaga yang dikelola oleh kaum muslim seperti BASIZ, LAZIS, Baznas, dan masih banyak lagi harus didukung program dan kinerjanya baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Dan dengan adanya dukungan penuh dari kedua belah pihak maka lembaga-lembaga semacam itu akan berdaya secara optimal dan profesional.

Islam sesungguhnya sudah sangat jelas memberikan solusi untuk menangani masalah kemiskinan. Tinggal saat ini bagaimana kita mau atau sudah melaksanakannya atau tidak. Jika memang sudah, apakah kita masih konsisten melaksanakannya? Dalam Hadis Qudsi dikatakan bahwa Allah sesungguhnya memberikan solusi bagi orang yang konsisten dalam melakukan sesuatu yang benar meskipun dilakukannya sedikit demi sedikit. * * *

Kritik atas Film Ayat-Ayat Cinta


Meski basi untuk menelaahnya, tapi tak apalah.
--------------------------------------
Melihat ‘Ayat-Ayat Cinta’ (disingkat AAC) di dalam film jangan samakan dengan melihatnya di dalam versi novelnya. Mengapa demikian? Karena ternyata ada perbedaan-perbedaan yang cukup mengganggu bagi orang yang sebelumnya telah membaca versi novelnya. Paling tidak itu berlaku bagi penulis sendiri.

Mengangkat film yang bahan mentahnya dari novel pada dasarnya sangat sulit, karena sang sutradara akan bersikeras untuk menyamakan karyanya dengan novel karya orang lain. Dan hampir dipastikan usaha itu akan gagal. Resikonya adalah mampukah film tersebut ‘identik’ dengan cerita yang ada dalam versi novelnya? Oleh karena itu penulis menyadari bahwa dua hal itu, yaitu film dan novel, adalah sebuah karya yang berbeda walau film tersebut menyadur dari sebuah novel. Terkait dengan film AAC, film tersebut adalah karya Hanung Bramantyo, sang sutradaranya.

Dengan begitu amanlah film tersebut untuk tidak ‘diidentikkan’ dengan versi novelnya. Masing-masing adalah karya yang berdiri sendiri, tak perlu dikaitkan antara satu dan lainnya.

Namun, sebagai orang yang sudah membaca dan menonton AAC, penulis terlanjur, bahkan terjebak membandingkan antara keduanya. Meski demikian pembaca yang baik sesungguhnya adalah pembaca yang memberikan apresiasi atas sebuah karya, entah mengkritik atau pun memujinya. Dalam hal ini ada beberapa perbedaan yang sedikit mengganggu dalam film tersebut baik dalam ide maupun alur ceritanya. Pertama, penulis tidak mendapatkan gambaran yang memberikan spirit (keislaman) di dalam diri tokoh Fahri. Padahal dalam novelnya, spirit (keislaman) tokoh tersebut begitu terasa dan kentara. Hal itu dapat kita lihat, misalnya, semangat menuntut ilmunya (baca: kuliah) di Universitas Al-Azhar yang begitu tinggi, menjalin erat persahabatan dan silaturahmi baik dengan teman-temannya maupun dengan tetangganya (Maria dan kedua orangtuanya), disiplin dalam membagi waktu, dan masih banyak lagi.

Hal seperti itu sangat minim kita dapatkan dalam versi filmnya. Spiritnya tidak begitu mengena di dalam hati penulis. Malahan justru ada yang ironis, saat penulis melihat adegan di mana Fahri berdiri berduaan dengan Maria di balkon apartemen dan di tepi sungai nil. Tentu saja itu ironis, karena dalam batasan syar’i hal itu tidak diperbolehkan dan yang lebih ironisnya lagi adalah setting di Mesir dan kapasitasnya sebagai mahasiswa S-2 Universitas Al-Azhar. Sungguh hal itu cukup mengganggu. Kesan yang timbul dalam sosok Fahri di dalam versi filmnya bukan spirit keislamannya, tapi spirit bercintanya dengan beberapa wanita sekaligus. Kita dapat melihatnya bagaimana sosok Fahri yang dikejar-kejar wanita.

Kedua, penulis tidak mendapatkan kesan romantis antara tokoh Fahri dan Aisha. Romantis yang penulis maksudkan adalah layaknya dua manusia yang saling mencintai. Dalam film AAC, sang sutradara menerjemahkan romantis hanya dalam ‘ranjang’ saja. Selebihnya malah kesan saling tertutup, saling curiga, dan saling cemburu di antara keduanya.

Ketiga, terdapat adegan-adegan baru yang tidak ada dalam versi novelnya. Paling tidak ada tiga adegan yang lumayan mengganggu, yaitu Maria yang ditabrak oleh anak buah Bahadur, Fahri yang berduaan dengan Maria di tepi sungai Nil, dan poligami Fahri-Aisha-Maria. Sepintas memang tidak ada persoalan, tapi kalau kita cermati lebih dalam ketiga adegan itu mempengaruhi kelogisan sebuah jalinan ceritanya sendiri. Dalam versi novel, Maria sakit karena patah hati atas pernikahan Fahri dengan Aisha, bukan karena ditabrak oleh anak buah Bahadur. Dalam benak sang sutradara Bahadur melakukan kejahatan tersebut karena dendam atas Maria yang menyelamatkan Noura, padahal kalau menurut penulis yang lebih logis untuk dijadikan sasasran dendam itu adalah pada Fahri bukan Maria. Dus, lebih tepat jika Maria sakit lantaran patah hati pada Fahri, sebagaimana yang digambarkan dalam versi novelnya.

Adapun adegan Fahri berduaan dengan Maria di tepi sungai nil adalah sangat jelas bertentangan dengan prinsip yang dipegang Fahri sendiri dalam menjalankan keberislamannya dan juga sebagai mahasiswa Al-Azhar. Saya tak perlu menjelaskannya lagi. Terakhir, poligami yang dilakukan Fahri kepada Aisha dan Maria. Menurut penulis, adegan kehidupan poligami semestinya tidak perlu ada, karena hal itu sama sekali tidak substantif. Bahkan hal itu memperuncing perbedaan dengan versi novelnya. Hal ini sangat ironis, satu sisi film ini hendak mengangkat cerita yang ada dalam novel AAC, namun sisi lain justru film itu sendiri yang memperlebar perbedaan cerita dengan versi novelnya.

Selain hal di atas, di dalam film tersebut banyak yang hilang beberapa tokoh dalam versi novelnya yang menurut penulis mestinya ditampilkan juga dalam versi filmnya. Tokoh-tokoh tersebut karena mempunyai ‘kekhasan’ yang dapat mewarnai jalinan ceritanya, dan bahkan memperkental spirit keagamaannya. Di antara tokoh tersebut adalah Prof. Abdul Rauf, Guru Besar Ekonomi yang dipenjara satu sel dengan Fahri beserta temen-temannya; Ismail (Aktivis Ikhwanul Muslimin), Hamada, Haj Rashed, dan Marwan. Semua nama-nama di atas adalah teman satu sel Fahri (dalam Novel) dan sama-sama korban kezaliman pemerintah Mesir waktu itu. Tapi dalam versi filmnya, mengapa Fahri satu sel dengan orang gila yang tidak jelas identitasnya.

Selain itu tidak ada juga tokoh Amru, seorang pengacara Fahri dalam pengadilan. Tokoh tersebut terlihat tegas dan pandai. Dan ia dalam filmnya, diganti oleh tokoh lain, pengacara dari Indonesia yang sangat tidak masuk akal, karena di lingkungan negara orang lain. Masih banyak sesungguhnya adegan-adegan yang muncul dalam film AAC yang tidak kita temukan dalam versi novelnya.

Sebagaimana telah dikatakan di atas bahwa memang sebuah film yang diangkat dari novel tak akan bisa seratus persen sama persis dengan novelnya. Penulis pun harus memaklumi hal itu. Hanya saja yang patut kita perhatikan adalah adegan-adegan yang tidak ada dalam versi novelnya, sehingga secara tidak langsung alur yang diceritakannya pun berbeda dengan novelnya. Dan bahkan melenceng dari substansi antara film dengan novelnya. Adegan poligami, misalnya, adalah adegan yang tidak ada dalam novelnya, yang mengurangi cita-rasa keromantisan antara Fahri dan Aisha. Dalam filmnya, terlihat hubungan keduanya terkesan ‘retak’ lantaran ada pihak ketiga dalam rumah tangga mereka, yaitu istri kedua Fahri, Maria.

Terlepas dari “ruh”, makna, dan pesan yang hilang dalam versi filmnya, namun mesti diakui bahwa film AAC ini berhasil menyuguhkan sebuah drama yang memukau, lantaran akting yang bagus dan teknik yang baik, sehingga hasilnya dapat kita lihat di lapangan. Dalam waktu kurang satu bulan sejak diluncurkan film tersebut, yaitu pada 28 Februari, penontonnya sudah mencapai 2 juta orang di mana hampir semuanya mempunyai komentar yang sama: film yang bagus dalam akting maupun pesan. Sungguh, hal itu merupakan sebuah rekor baru dalam dunia perfilman kita. Dan itu membuktikan bahwa film AAC ini berkualitas. Bravo ‘Ayat-Ayat Cinta’!

Semiotika

Apalah arti sebuah tanda?
Semua yang ada di bumi adalah tanda--jawabku
Bahkan setelah kematian ada menjadi tanda
Alam yang tak ramah lagi adalah tanda
Manusia yang menjadi binatang sama juga tanda
Tanda apakah itu?

Ketika mata mengerling
Ketika tangan mengepal
Ketika bibir menyungging
Ketika anggota tubuh merasa panas dan dingin
Tanda apakah itu?

Manusia bermuka malaikat

Karena sepatah katamu merasuk hati
Jiwa itu luluh, berbunga dan berseri
Dengan kuatnya dia tunduk seperti padi
Kapankah kita akan bercinta?
Sebelum datang pekikan petir yang akan membawamu
Dan membungkam bahas cinta orang-orang tulus

Karena jiwamu telah mati oleh petir
Riwayat hidupmu kembali menemui kegelapan
Begitulah manusia jika tak dapat cahaya ilahi
Bisa hidup tapi mati kemudian
Sekarang: tidak ada manusia bermuka malaikat
Yang ada hanyalah iblis berhati setan

Kitaro

Kau membuatku terhanyut dalam lautan khayalan
Instrumenmu mengikatkanku pada alam
Yang sedang dirundung malang
Piano dan serulingmu mendawai jiwa
Ada kedamaian yang mendalam

Kitaro,
Karena engkau aku tergugah
Karena engkau aku sadar
Dahsyat maha dahsyat instrumenmu

Harapan

Aku ingin kau seperti matahari
Walau jauh tapi hangatnya terasa
Aku ingin kau seperti mutiara
Walau hitam (manis)
Tapi hatimu putih nan suci

“Aku berharap kau selalu ada di sisiku”
ucapmu dua tahun lalu, masih ingatkah?
Aku pun berharap aku selalu berada di sisimu
Maukah kau?

Kita berdua berharap bersama
Tapi entah hingga kapan kita bertahan berharap
Harapan itu.

Harapan adalah mimpi yang ingin dinyatakan
Walau adanya timbul tenggelam
Dan dalam detik ini
Masihkah kita berharap untuk bertemu
Dan membuktikannya
Kalau kita masih berharap saling berada di satu sisi
Aku di kanan engkau di kiri?

Do’amu Hanya Untukku

Ibu...
Masih ku ingat jari-jari lentikmu membelai lembut jiwaku
Dengan erat kau dekap aku penuh kasih sayang
Curahan jiwa ragamu seperti matahari yang tak kan pernah terbenam
Ada kedamaian saat aku melihatmu
Menucucrkan air mata dalam do’amu, untukku
Ibu, mustahilkah tuhan membuka sorga untukmu?
Padahal kau adalah pujaan-Nya
Sorga ada di telapak kakimu, ibu, firman Dia

Ibu...
Di sini aku menatapmu lewat bulan
Berucap lirih penuh harap
“maafkan aku, ibu, yang tak berbakti”
“akulah anakmu yang tak tahu diri”
kasih sayangmu tak bisa ku balas.
Kini, aku telah dewasa dan beranjak senja
Masihkah ada harapan untukku menggapai mimpimu?

Kamis, 11 September 2008

Menjadi Dosen Yang Berselera Rakyat


Sedih. Sebuah kata yang patut kulontarkan saat aku hendak menggambarkan beberapa kenyataan di bawah ini, menyangkut perguruan tinggi, dosen, dan mahasiswa.

Aku sedih jika melihat sebuah perguruan tinggi yang tidak punya perpustakaan, atau punya perpustakaan tapi tidak layak dan mencukupi kebutuhan mahasiswanya. Aku sedih melihat para dosen yang tidak menulis; yang tidak mampu menyempatkan diri untuk menulis. Sedih pula melihat para mahasiswa yang tidak fokus pada studinya. Kebanyakan mereka hanya duduk manis, mendengar omongan dosen, mencuri-curi waktu untuk mengobrol dengan teman-temannya yang ada di sampingnya. Atau pula sibuk dengan lamunannya masing-masing.


Tapi, dari ketiga elemen itu, hal yang patut aku soroti adalah dosen. Alasan logisnya, hal ini lantaran menyangkut diri saya sendiri sebagai seorang pengajar. Karena dari dosenlah kedua elemen lain akan ikut kena sebabnya. Bagiku, seorang dosen haruslah menjadi teladan dan profesional. Dengan begitu pihak kampus maupun mahasiswa akan respek padanya. Saya ingin mengemukakan beberapa contoh prihal masalah ini.

Ada para dosen di salah satu kampus di Magelang yang yang menugasi mahasiswanya untuk membuat makalah. Saya tidak tahu apakah para dosen itu mengerti apa tidak tentang kondisi kampusnya dan mahasiswanya. Mestinya, seorang dosen menawarkan terlebih dahulu disepakati atau tidak untuk membuat makalah. Kalau disepakati, tentu tidak masalah. Jika tidak, tentu ini namanya memaksakan kehendak.

Saya sendiri tidak memaksa mereka untuk membuat makalah. Karena saya tahu kondisi kampus dan mahasiswanya. Boleh dikata, kampus tersebut tidak ada perpustakaannya. Katanya sih memang ada, tapi hanya satu lemari (baju) saja. Dan itu pun tidak pernah dibuka, aliasan dikunci, bahkan (mungkin) tidak dipinjamkan. Selain itu, kondisi mahasiswanya juga kurang memungkinkan, kebanyakan di antara mereka tempat tinggalnya di pelosok-pelosok Magelang, berkeluarga, dan berprofesi sebagai guru (SMA, MTs, SDS/MI). Keadaan itu tentu sangat berat untuk membuat makalah yang memerlukan pemikiran, fasilitas komputer, perpustakaan, internet, bahkan waktu juga.

Maka, alangkah bijaknya jika para dosen mengganti tugas pembuatan makalah pada mahasiswanya dengan tugas lain, yang relatif terjangkau.

Wallahu a'lam.

Minggu, 07 September 2008

Mendadak (Jadi) Ustadz

(Mohon maaf tidak ada foto aku yang lagi ceramah.. jadinya kucomot aja foto Uje, gak jauh-jauh amat lah cakepnya:D)

Entah bagaimana tadinya, tiba-tiba saja bulan puasa kali ini aku banyak "orderan" mengisi ceramah di beberapa mesjid, mulai dari sebelum tarawih, setelah shubuh, dan menjelang buka puasa. Tentu saja, hal ini patut aku syukuri, paling tidak untuk dua hal: Mengasah mental bicara di depan umum, dan mendapat bayaran.

Tapi, terus terang dan harus aku akui, aku belum biasa untuk berceramah di khalayak luas (baca: jama'ah mesjid). Boleh dikata, aku enggak bakat mengkhutbahi orang, apalagi sampai berbusa-busa. Walau beberapa kali sebelum puasa ini aku juga pernah beberapa kali menceramahi para jama'ah, tepatnya puasa pada tahun lalu, mengisi ceramah shubuh dan tarawih—plus imam shalatnya, khutbah jum'at, bahkan pula pernah menjadi penceramah Idul Fitri di kampungku.

Ah, tapi tetap saja aku selalu merasa tidak biasa menceramahi orang.

Ketidakbiasaanku itu membuat aku sering berpikir materi apa yang mesti kusampaikan pada jama'ah? Dan seingatku aku tidak pernah memberi doktrin-doktrin yang menyerempet pada hitam-putih pada jama'ah. Biasanya, aku lebih banyak menyampaikan suatu kisah-kisah yang sederhana kemudian disampaikan pula beberapa pesan dan pelajaran dari kisah tersebut. Dengan cara seperti itu, aku berharap para jama'ah tidak merasa digurui olehku. Biarkanlah setiap individu mendapatkan kesannya masing-masing lewat kisah-kisah yang kusampaikan itu. Dan aku pun tak pernah berlama-lama berceramah.

Sebenarnya metodeku ini berangkat dari pengalaman saat aku menjadi salah satu jama'ah. Katakanlah jama'ah shalat jum'at. Aku sering menggerutu sendiri, kok bisa-bisanya para penceramah tidak tahu psikologi jama'ahnya. Telingaku dipaksa untuk mendengarkan ocehan-ocehan mereka tentang doktrin-doktrin islam yang cenderung pada fiqh-sentris, memojokkan hal-hal yang mereka tidak sukai, dst. Setelah itu dengan PD-nya mereka berkoar-koar dengan begitu lama. Lamaaa…banget. Padahal ceramah itu berdurasi setengah jam, tapi kayak setengah hari. Dus, untuk tidak mengatakan pembodohan dan "penyesatan", para penceramah seperti itu sebetulnya sangat tidak mendidik jama'ahnya. (lho, mengapa tulisan ini jadi mencerca begini ya, aku harus buru-buru mengucapkan istighfar agar tidak menodai puasaku. Astaghfirullah...

Ok, kembali pada jalan yang benar. Lain halnya denganku sebagai ustadz dadakan dan freelance, temanku, Munawir, yang sudah dicap ustadz sejak lama oleh teman-teman, benar-benar berprofesi ustadz, tentu selain dosen juga. Dia sudah terbiasa menceramahi orang. Dan harus kuakui dia memang pandai menyampaikan materi-materinya, baik yang sederhana maupun yang besar sekalipun. Aku bisa membayangkan, di luar Ramadhan saja dia sudah banyak undangan untuk mengisi ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian, apalagi di bulan ramadhan, seperti ini. Menariknya lagi, kalau kita lihat honornya. Haqqul yaqin, semua yang mengundang ceramah hampir dipastikan memberi amplop. Tentu saja di dalam amplop ada isinya yang berisi uang. Katakanlah paling kecil 20 ribu rupiah. Setahuku itu honor paling kecil lho, dan jarang ada yang melakukannya. Jika satu bulan ada 10 kali mengisi pengajian atau ceramah, maka penceramah dapat mengisi kantongnya 200 ribu rupiah. Aku kira temanku itu lebih dari 10 kali dalam satu bulan, apalagi di bulan puasa seperti ini. Dan, aku tidak yakin setiap satu pengajian dia mendapat 20 ribu rupiah. Pasti lebih dari itu.

Mungkin pembaca dapat membayangkan dan menduga-duga setelah aku ceritakan di bawah ini tentang temanku itu. Hari itu hari jum'at di bulan agustus, dia datang ke kostku dengan membawa 2 kotak kardus yang isinya snack. Katanya dia habis mengisi pengajian rutinnya yang lumayan sudah lama, kira-kira 2 tahunan. Ketika aku buka kotak tersebut, snack-nya luar biasa mewah. Di dalamnya ada beberapa macam kue. Mulai yang manis hingga yang asin. Ada roti, bolu, agar, kacang telor, dll. Dan, jenis semua makanan yang kuabsen itu terbilang mahal. Dan hal itu sangat pantas saat dia bercerita kalau jama'ahnya adalah kalangan menengah ke atas. Mungkin semi-executive kali ya.

Lantas, sambil makan roti dan disusul makan agar, aku berpikir, snack-nya saja sudah mewah kayak gini, bagaimana ya dengan honornya? Hmm… menarik juga ya jadi penceramah.

Sabtu, 06 September 2008

Kontribusi Penerjemah Di Zaman Keemasan Islam


Salah satu hal yang paling signifikan dalam zaman keemasan Islam adalah ilmu pengetahuan, di mana pada waktu itu semua ilmu pengetahuan telah dikuasai dengan baik, di antaranya dalam hal sain, filsafat, kedokteran, maupun sastra.

Hal yang paling penting untuk dipertanyakan kemudian adalah mengapa sebegitu maju dan berkembangnya ilmu pengetahuan pada masa itu? Faktor-faktor apa saja yang bisa memunculkan potensi keemasan Islam pada zaman tersebut? Pertanyaan inilah yang akan saya coba menjawabnya melalui tulisan ini.

Kekhalifahan Abbasiyah
Kemunculan khalifah Abbasiyah pada masa pertengahan abad kedelapan menandai dimulainya era budaya dan ilmiah yang bukan hanya untuk Islam saja, tetapi juga untuk umat manusia, sebuah masa di mana kegiatan belajar dan kegiatan ilmiah tumbuh dengan intensif. Dengan berlangsungnya penaklukan-penaklukan teritorial, maka tersedialah sumber-sumber daya (baik SDA mapun SDM) yang memadai bagi orang-orang Arab.

Ketika akademi Plato ditutup tahun 529 M, banyak sarjana Yunani yang pergi ke Persia. Dan satu abad kemudian, pengetahuan Yunani yang tumbuh di sana menjadi bagian dari kekuasaan Islam. Arab telah membangun hubungan dengan Byzantium-Yunani. Bahkan salah seorang khalifah Abbasiyah, yaitu al-Ma’mun, membuat sebuah syarat perjanjian perdamaian dengan kaisar Byzantium bahwa beberapa naskah Yunani harus diserahkan ke Ibu kota Kerajaannya.

Mesir, yaitu sebagai pusat pengetahuan Yunani pada zaman Alexandria, juga telah berada di bawah kekuasaan muslim. Jadi, bekas pengetahuan Yunani yang masih ada disumbangkan pada aktifitas intelektual. Di samping itu, sarjana Syiria di Antiokia, Emesa, dan Damaskus maupun Edesa, pusat-pusat penyimpanan ilmu pengetahuan Yunani semua berada di bawah kekuasaan bangsa Arab. Secara keseluruhan, bangsa Arab telah mengendalikan atau memiliki akses terhadap budaya kekaisaran Byzantium, Mesir, Syiria, Persia, dan India.

Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad menjadi patron besar dalam ilmu pengetahuan dan mengundang para ahli ke istana, tanpa menghiraukan kebangsaan atau agama mereka. Karakteristik aktifitas intelektual yang unik selama periode Islam adalah pengembangan ilmu pengetahuan yang tidak hanya terbatas di kalangan para imam.

Demikian pula, ilmu pengetahuan tidak menjadi hak istimewa para raja. Pendidikan yang diperuntukkan pada pengolahan kebenaran dan pengetahuan tetap dapat dimasuki oleh semua strata yang berbeda dalam masyarakat Islam.

Dalam hal inilah penghargaan patut diberikan bagi penguasa muslim sesudah periode penaklukan, mereka bersikap terbuka terhadap seluruh masyarakat. Sekitar tahun 772 M, istana khalifah al-Mansur dikunjungi oleh seorang astronomi Hindu dari Sind yang memberinya sebuah tabel astronomi. Semenjak itulah ilmu astronomi mulai bergejolak dipelajari.

Baghdad tumbuh sebagai pusat perdagangan dan intelektual selama peradaban Islam. Dalam kurun waktu yang dimulai tahun 750 M, ilmu-ilmu pasti diolah di sekitar ibu kota dengan lebih intensif. Sehubungan dengan adanya sejumlah besar ilmuan yang bekerja, puncak kegiatan dapat tercapai, pada tingkat yang tidak pernah diraih pada masa-masa sesudahnya di abad pertengahan. Meskipun bahasa lain diizinkan, bahasa Arab yang juga bahasa al-Qur'an, menjadi lingua-franca di seluruh wilayah kekhalifahan Abbasiyah.

Pada masa pemerintahan kekhalifahan Harun al-Rasyid dibangun perpustakaan di Baghdad di mana seseorang dapat menemukan karya-karya asli dari bahasa Yunani, Sansekerta, dan Persia serta terjemahan dari masing-masing bahasa tersebut. Segera sesudah itu, aliran ilmu pengetahuan kuno mulai memasuki negeri muslim sebagai hasil aktifitas penerjemahan yang sistematis dan intensif. Sebagaimana ayahnya, al-Ma’mun juga merupakan patron ilmu pengetahuan yang handal. Ia mendirikan lembaga riset yang disebut “Baitul Hikmah”. Didukung keuangan Negara, lembaga ini menarik ilmuan dan sarjana terutama para penerjemah yang berkompeten.

Mencari Akar Peradaban Islam Dalam Ilmu Pengetahuan
Di bawah ini, setidaknya ada empat hal yang menjadi akar atau potensi munculnya peradaban Islam dalam hal ilmu pengetahuan:

Pertama, di tengah kemunduran Yunani dan munculnya Islam berkembanglah sebuah kebudayaan yang memainkan peranan penting setelah kebudayaan Yunani dan juga merupakan sebuah perpaduan dari elemen-elemen timur yaitu peradaban Helenisme yang mulai muncul di permukaan setelah 300 SM. Tempat yang menjadi pusat intelektualnya adalah Alexandria, di mana sebuah institusi penelitian yang besar, de museum telah dibangun. Dari institusi ini peradaban Helenisme berkembang ke segala penjuru dan secara signifikan memengaruhi orang-orang yang berhubungan dengannya, seperti orang-orang Mesir, Syria, Persia dan Arab.

Filsafat Yunani mengalami stagnasi sejak tahun 529 M seiring dengan penutupan akademi Athena secara resmi oleh Justianian. Banyak dari para filosof neo-Platonik yang meminta perlindungan terhadap penguasa Persia, yaitu Kisra Anushirwan. Peristiwa migrasi ini merupakan hal kedua bagi permulaan penyebaran pengetahuan Yunani ke wilayah-wilayah luar lainnya, yaitu salah satunya Arab. Ketiga, adalah akademi Jundishapur di Persia, sebuah akademi yang menjadi pusat pertukaran dan sinkretisme pengetahuan terbesar pada abad ke-7 M. Institusi ini menjadi surga bagi para Nestorian (pengikut Nestorius) yang diusir dari Edessa pada tahun 489 M dan juga bagi para Platonis yang terusir. Para Nestorian itu membawa bersama mereka ke Jundishapur terjemahan-terjemahan Syiria dari berbagai macam karya, khususnya karya-karya dalam bidang pengobatan.

Di Jundishapur pula Kisra Anushirwan memerintahkan penerjemahan karya-karya Aristoteles dan Plato ke dalam bahasa Persia. Ia mengirim para dokter ke India untuk mencari manuskrip-manuskrip dan mereka kembali tidak hanya dengan membawa berbagai macam karya pengobatan tapi juga permainan catur serta fabel-fabel.

Keempat, adalah aktifitas para Nestorian. Pada pertengahan pertama abad kelima Masehi, pendeta Syiria, Nestorius dipecat dan diusir dari kota Antioch ke wilayah Arab dan kemudian ke Mesir. Para pengikutnya dengan tulus dan penuh dedikasi mereka pindah sambil mengajarkan ilmunya ke wilayah timur, tepatnya ke kota Edessa, di mana terdapat sebuah akademi kedokteran yang sedang berkembang di sana. Akademi itu menjadi pusat bagi aktifitas Nestorian dan memperoleh dukungan dari akademi Nisbis di Mesopotamia dan juga oleh akademi Jundishapur.

Banyak karya-karya Yunani tentang Matematika dan kedokteran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Syiria oleh para Nestorian yang karena paham Polyglotisme (sebuah paham yang mewajibkan dirinya untuk bisa beragam bahasa) yang mereka anut, pekerjaan ini menjadi sangat cocok bagi mereka. Mereka memiliki peranan yang besar dalam menjadikan Islam sebagai agama yang dapat berada di barisan terdepan dalam budaya dan sains.

Sejak itulah kemudian ilmu pengetahuan muslim muncul ke permukaan dan terkemuka dalam sepanjang sejarah. Periode ini merupakan era pencerahan bagi dunia.

Selain hal-hal di atas, munculnya akar peradaban Islam boleh jadi lantaran semangat keagamaan yang tinggi dalam memajukan ilmu pengetahuan, karena ayat suci al-Qur’an sendiri telah memotivasi kaum muslimin agar mereka selalu membaca dan membaca.

Penerjemahan Karya-Karya Yunani dan Persia ke Bahasa Arab
Sebelum Islam datang telah berkembang pendidikan Sassanian yang dipelopori oleh para penguasanya sendiri. Ardeshir Papakan, misalnya, mengirimkan orang-orang terpelajar ke India dan kekaisaran Romawi untuk mendapatkan karya-karya ilmiah dan filsafat.

Selanjutnya ia memerintahkan penerjemahan karya-karya tersebut ke dalam bahasa Pahlavi, sebuah tugas yang kemudian dilanjutkan oleh anak laki-lakinya, Shapur.

Tradisi penerjemahan terus dipelihara, sehingga lambat laun menghasilkan lembaga-lembaga pendidikan baru di kota-kota penting Persia, seperti, Jundi-Shapur. Di antara sekolah-sekolah baru tersebut yang terkenal adalah Beit Ardeshir dimana terjemahan dilakukan oleh kepala sekolahnya sendiri, Maan Beit Ardeshiri.

Sekolah Maan telah berkembang menjadi pusat ilmu pengetahuan Helenistik, Syrian dan Zoroastrian. Namun yang paling berpengaruh hingga masa Islam adalah Jundi-Shapur. Dari akademi ini pula muncul beberapa terjemahan penting dari bahasa Sansekerta, Pahlavi, dan Syria.

Periodisasi penerjemahan
Periodisasi penerjemahan ini dimulai sejak masa Umayyah hingga Abbasiyah:

650 – 800 M
Severus Sebokht, pendeta biara Qen-Neshre di Upper Euphrates yang terkenal sekitar tahun 650 M adalah seorang ahli sains dan filosof. Di bawah kepemimpinannya, biara menjadi salah satu pusat utama dari pengetahuan Yunani. Banyak dari pengetahuan Yunani dan mungkin juga Hindu yang ditransmisikan kepada bangsa Arab melalui usaha-usahanya. Ia memiliki keyakinan, sebuah keyakinan yang tidak lazim pada masanya, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan haruslah berjalan di atas alas internasional.

Khalid ibn Yazid ibn Murawiya, seorang penguasa Umayyah dan filosof dianggap sebagai orang yang mendorong para sarjana Yunani di Mesir untuk menerjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Peristiwa ini merupakan proses penerjemahan pertama yang terjadi dalam dunia Islam. Ibnu Yazid hidup di Mesir dan meninggal antara tahun 704-708 M.

Muhammad ibn Ibrahim al-Fazari menerjemahkan karya astronomi Siddhanta berbahasa Sansekerta, ke dalam bahasa arab sekitar tahun 772 M. Ayahnya dianggap sebagai seorang muslim pertama yang mengkonstruksi Astrolabe (ilmu perbintangan), dan ia dipercaya sebagai salah satu sarjana yang pertama kali memiliki hubungan dengan matematika Hindu. Penerjemahan yang dilakukannya mungkin telah membawa huruf-huruf Hindu ke dalam Islam.

Abu Sahl al-Fadl ibn Naubkht, seorang kepala Pustakawan berkebangsaan Persia pada masa Harun al-Rasyid, menerjemahkan karya-karya astronomi dari bahasa Persia ke dalam bahasa arab.

Jirjis ibn Jibril ibn Bakhtyashu, seorang berkebangsaan Persia pengikut Nestorian, merupakan orang pertama yang menerjemahkan karya-karya kedokteran ke dalam bahasa arab. Ia juga merupakan orang pertama dari kelompok tabib terkenal Nestorian yang memiliki hubungn dengan beberapa khalifah Abbasiyah. Mereka semua memberikan pengaruh yang besar bagi ilmu pengobatan muslim pada abad ke-8 dan ke-9. Bakhtyashu datang ke Bagdad melalui Jundishapur dimana ia di sana bekerja sebagai kepala rumah sakit pada masa khalifah al-Mansur.

Abu Yahya ibn al-Batriq, seorang dokter yang hidup pada abad ke-8. Sebagaimana Bakhtyashu, ia bekerja pada khalifah al-Mansur. Ia menerjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa arab yaitu sebagian dari karya-karya Hippocrates dan Galen.

Abdullah ibn al-Muqaffa adalah seorang pemikir asli Persia yang terkenal di Basrah. Ia menerjemahkan beberapa karya dalam bahasa Matlawi yang berkaitan dengan logika dan medis. Akan tetapi ia lebih dikenal karena terjemahannya terhadap syair Muluk al-Ajam dan Kalila Wa Dimna.

Al-Mansur, khalifah Abbasiyah kedua (754-775 M) pendiri kota Bagdad, terkenal karena karya-karya terjemahannya dari bahasa Syiria, Persia, Yunani dan India selama masa kekuasaannya.

Harun al-Rasyid, khalifah kelima dan salah satu penguasa Abbasiyah yang terbesar, memerintah dari tahun 786 hingga 809 M. Ia mempunyai perananan aktif dalam kemajuan dunia penerjemahan.

Periode 800-900 M
Al-Makmun, penguasa Bagdad (786-833 M), khalifah ketujuh dan mungkin juga khalifah Abbasiyah terbesar (813-833), merupakan pemrakarsa pengetahuan dan karya-karya ilmiah melebihi Harun al-Rasyid serta menjadikan pencarian dan penerjemahan manuskrip-manuskrip Yunani sebagai tujuan hidupnya, bahkan ia mengirim sebuah misi kepada raja Byzantium, Leon De Armenia, demi tujuan hidupnya itu. Al-Makmun mengundang, menerjemahkan dan mendukung para sarjana Yahudi dan Kristen untuk menerjemahkan manuskrip-manuskrip Yahudi itu ke dalam bahasa arab.

Ia juga mendirikan perpustakaan Bait Al-Hikmah (house of wisdom), akademi ilmu pengetahuan, serta membangun sebuah pusat penelitian berdasarkan usulan ratu Palmyra. Selama masa kekuasaannya, beratus-ratus manuskrip telah diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab.

Abu Zakariyya Yahya Ibn Batriq, menerjemahkan ke dalam bahasa arab, yaitu buku-buku Hipocrates tentang tanda-tanda kematian, beberapa karya Aristoteles, karya-karya Galen, De Theriaca dan Pisonem.

Al-Kindi, seorang filosof lepas, menerjemahkan dan memimpin proses penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa arab. Karya-karya terjemahannya yang paling terkenal adalah sebuah karya Neoplatonik yang didasarkan pada buku-buku IV hingga VI dari buku Enneads karya Plotinus.

Jibrail Ibn Bakhtyashu, cucu dari seorang penerjemah pendahulu dengan nama yang sama, menjadi dokter ahli bagi al-Makmun dan Harun al-Rasyid dan menerjemahkan banyak manuskrip Yunani dalam bidang kedokteran.

Sahl at-Thabari, seorang ahli astronomi dan tabib yahudi adalah satu dari penerjemah-penerjemah pertama Adri Almagest karya Ptolemy ke dalam bahasa arab.
Ibnu Sahda, menerjemahkan banyak karya dalam bidang kedokteran dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Syria dan Arab. Ia terkenal dengan terjemahannya terhadap beberapa karya Hippocrates dan Galen ke dalam bahasa arab.

Al-Hajjaj ibn Yusuf ibn Matar, adalah penerjemah pertama Element karya Euclid ke dalam bahasa arab. Ia juga penerjemah pertama al-Magest ke dalam bahasa arab dari versi Syria pada tahun 830 M.

Tsabit Ibn Qurra, adalah seorang tabib, ahli matematika dan ahli astronomi, serta salah satu dari penerjemah hebat dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Syria dan bahasa arab. Ia mendirikan sebuah sekolah bagi para penerjemah yang anggotanya adalah kebanyakan dari keluarganya sendiri. Karya-karyanya yang telah diterjemahkan olehnya atau di bawah arahannya adalah buku V-VII karya Apollonius of Perga, dan beberapa karya Archimedes.

Tiga bersaudara Banu Musa, yang masing-masing memiliki keahlian dalam salah satu atau tiga bidang ilmu pengetahuan, menghabiskan sebagian besar waktu dan kekayaannya untuk memperoleh manuskrip-manuskrip Yunani serta menerjemahkannya ke dalam bahasa arab. Hunain Ibn Ishaq dan Tsabit Ibn Qurra merupakan para penerjemah paling terkenal yang mereka pekerjakan. Banyak tulisan-tulisan dalam bidang matematika, mekanik, dan astronomi serta beberapa karya dalam bidang logika diterjemahkan untuk mereka.

Abu Zakariya Yuhanna Ibn Masawaih, seorang tabib yang menerjemahkan beberapa karya Yunani tentang ilmu kedokteran ke dalam bahasa arab, adalah pemimpin pertama dari perpustakaan Bait Al-Hikmah yang didirikan al-Makmun.

Hunain ibn Ishaq (808-877 M), adalah seorang tabib Nestorian, salah satu sarjana hebat dan penerjemah handal pada masanya. Adapun jumlah karya terjemahan yang telah dihasilkannya adalah 95 karya versi bahasa Persia, lima darinya adalah edisi revisi dan 39 versi bahasa arab dari buku-buku Galen dan lainnya. Ia bekerja sebagai seorang penerjemah sekitar lebih dari 50 tahun. Jumlah dan kualitas karya terjemahan dari ilmu kedokteran yang dihasilkan oleh Hunain dan kelompoknya, menjadi pondasi dari pengetahuan muslim yang mendominasi pemikiran pertengahan hingga abad ke-17, dan kemudian dilanjutkan oleh putranya.

Barangkali Hunainlah sebagai penerjemah terbesar karya-karya klasik, terutama karya Helenistik ke dalam bahasa arab yang boleh jadi terjemahannya sama pentingnya dan sama berpengaruhnya dengan terjemahan karya-karya bahasa arab ke dalam bahasa latin oleh Gerard dari Cremona, selama paruh kedua abad kedua belas. Hunain mempunyai 90 murid penerjemah di bawah pengawasannya. Dorongan membuat karya-karya terjemahan pada masa kejayaan Islam terlihat dari pemberian bayaran kepada para penerjemah. Hunain, misalnya, ketika diangkat dan sebagai pengawas Bait al-Hikmah, diberikan emas senilai dengan berat buku yang diterjemahkan.

Qusta Ibn Luqa, adalah seorang tabib, ahli astronomi, matematika, filosof dan penerjemah. Ia banyak menerjemahkan dari karya-karya Diophantus, Theodosius, Anatolycos, dan lain-lain.

Hubaish Ibn Al-Hasan, keponakan dari Hunain Ibn Ishaq, menerjemahkan karya-karya Yunani, seperti karya Oribasius, pengarang Ensiklopedia Filsafat.

Stephanos, rekan dari Hunain Ibn Ishaq. Menurut Hunain, ia menerjemahkan sembilan buah karya-karya Galen ke dalam bahasa arab. Ia merupakan orang pertama yang menerjemahkan karya-karya Dioscrides ke dalam bahasa arab dan juga sebagai penerjemah karya Oribasius.

Penerjemahan pada 650-800 M, menunjukkan sebuah permulaan yang berharga. Pada permulaannya, aktifitas penerjemahan tersebut berjumlah sedikit dan bergerak selama lebih dari satu periode panjang. Ketertarikan dalam proses penerjemahan tidak hanya berasal dari sebagian para kaum terpelajar saja, tapi pejabat-pejabat tinggi juga secara aktif mendukung usaha ini. Misalnya, Sevrus Sebokht seorang pendeta dan Khalid Ibn Yazid Ibn Murawiya, adalah seorang penguasa dan berpengaruh dalam urusan-urusan pemerintahan yang telah memberikan dukungan besar terhadap aktifitas penerjemahan ini.

Untuk pertama kalinya di Jundi-Shapur dan kemudian di Bagdad di bawah pemerintahan al-Ma’mun, penerjemahan buku-buku ilmiah, moral, sejarah dan buku-buku terkenal lainnya dilakukan ke dalam bahasa arab. Di antara para pendukung ilmu pengetahuan Islam-Persia dan non-arab pada masa itu adalah kelompok Syu’ubiyah, yaitu suatu kelompok yang terdiri dari beberapa bangsa yang berusaha untuk membebaskan diri dari supremasi dan kultur orang-orang Arab di dunia muslim dengan cara menghidupkan kembali kebudayaan dan standar zaman kuno. Mereka menerjemahkan ke bahasa arab dari sumber-sumber Persia.

Beberapa karya bahasa Persia yang diterjemahkan ke dalam bahasa arab adalah sebagai berikut:

Javidanio Khirad, Pand-Namah, Andarz, yang diterjemahkan oleh Ibnu Mushkuya.
Kalila Wa Dimna, Khudai Namah, Ain Namah, dan al-Yatima, yang diterjemahkan oleh Ibnul Muqoffa
Khoday Namah diterjemahkan oleh Jabala Ibnu Salem
Kitab al-Mahasin diterjemahkan oleh al-Farrukhan
Dll.

Hasil nyata pertama terjadi pada separuh abad ke-8 ketika aktifitas penerjemahan ke dalam bahasa arab terhadap karya-karya bahasa Syria, Persia, Hindu, dan Yunani mulai dilakukan. Sekali lagi haruslah diingat bahwa proses penerjemahan ke dalam bahasa arab itu tidak dilakukan secara sendiri-sendiri, tetapi dilakukan berdasarkan program yang terencana dengan baik dan dengan dukungan dari pemerintah.

Dua dari khalifah besar Abbasiyah mendukung usaha para penerjemah yang sibuk untuk mengungkap harta karun pengetahuan Yunani. Al-Mansur dianggap berjasa karena telah membawa Ibn Bakhtyashu, seorang tabib yang berkecimpung dalam kegiatan penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa arab, ke kota Bagdad. Al-Mansur juga meminta bantuan kepada Ibnu Batriq, salah satu dari para penerjemah yang menjadi pionir dalam penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa arab, dan terkenal karena penerjemahannya terhadap banyak karya Galen dan Hippocrates.

Dengan demikian, pertengahan kedua abad kedelapan merupakan periode penyebaran pengetahuan dan asimilasinya dengan bangsa arab. Selaras dengan bertambahnya penerjemahan ke dalam bahasa arab, langkah-langkah Islam untuk menjadi yang terdepan dalam kebudayaan dan ilmu pengetahuan semakin maju. Hal ini menandakan bahwa aktifitas penerjemahan merupakan kekuatan penggerak (driving force) bagi Islam, ia akan terus berkembang selama aktifitas ini terus berkembang.

Masa keemasan penerjemahan dari bahasa yunani ke bahasa arab terjadi pada abad kesembilan. Kaum muslim menjadi alat ukur standar bagi peradaban, yang sebagian besar dikarenakan banyaknya karya-karya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa arab. Lihatlah metode-metode penerjemahan yang dipakai, kuantitas dan kualitas karya-karya yang diterjemahkan selama periode tersebut, dan institusi-institusi yang secara khusus didesain sebagai pusat-pusat penerjemahan.

Pada abad kesembilan Bagdad benar-benar menjadi pusat ilmu pengetahuan. Penerjemahan-penerjemahan yang telah dihasilkan selama 900 tahun menjadi anti-klimaks bagi karya-karya yang ditulis selama ratusan tahun sebelumnya. Teks-teks Yunani klasik dalam bidang matematika dan medis telah selesai diterjemahkan. Akan tetapi, antara periode 900-1000 tahun bukan berarti tidak ada aktivitas atau usaha-usaha yang terorganisir untuk mengembangkan karya-karya terjemahan. Aktivitas itu terus ada walaupun intensitasnya agak menurun.

Kontribusi yang diberikan oleh para ilmuwan arab dan kaum muslim Persia memiliki arti yang signifikan. Mereka mendapatkan dukungan yang besar dalam kegiatan penerjemahannya, dalam pendirian pusat-pusat penerjemahan dan dalam pengamanan manuskrip-manuskrip Yunani.

Masa penerjemahan (the age of translation) yang berlangsung hampir 150 tahun (750-900 M), merupakan masa bagi berlangsungnya kreatifitas murni dan pengaruh intelektual muslim.

Dan secara garis besar ada dua periode penerjemah pada masa Abbasiyah: dari penguasa I sampai pencapaian al-Ma’mun, 132-198 H.; di bawah al-Ma’mun dan para penggantinya, terpusat di sekolah tinggi yang baru didirikan di Bagdad, yaitu Baitul Hikmah. Para penerjemah kebanyakan orang Kristen, Yahudi, dan sisanya mereka yang berpindah agama kepada Islam dari berbagai kepercayaan.

Penerjemahan periode pertama, tahun 132-198 H di antaranya yang paling tersohor: Abdullah Ibnu al-Muqaffa, Ibrahim al-Fazari, Muhammad Ibnu Musa al-Khawarizmi, George Bakhtishu, Isa Ibnu Thkerbokht, dan Babriel Bakhtishu.

Penerjemahan periode kedua, setelah tahun 198 H yang paling termasyhur adalah: John Bar Maserjoye, Abu Bakr Muhammad Ibnu Zakariya ar-Razi, Yahya Ibnu Masawih (kepala Baitul Hikmah), Abu Zaid Hunain Ibnu Ishaq al-Ibadi, Ishaq Hunain, Questa Ibnu Luqa, Abu Biysr Matka Ibnu Yunus, Yahya Ibnu Adi, dan Abu Ali Isa Ibnu Zaraah.

Las but not least, sepakat atau tidak, kejayaan Islam dalam kebudayaan dan ilmu pengetahuan secara dekat berhubungan dengan aktivitas penerjemahan. Selama aktivitas itu masih terus berlangsung secara konstan, Islam tetap memiliki kesempatan untuk meraih kemajuan-kemajuan kultural yang lebih tinggi. Tetapi, ketika aktivitas-aktivitas itu semakin menurun, kepemimpinan peradaban Islam menjadi hilang dengan sendirinya. Apa yang telah direncanakan oleh Islam—untuk menyerap kebudayaan dan peradaban masyarakat lainnya melalui penerjemahan—telah mencapai titik puncaknya.
Sebagaimana proses penerjemahan telah membawa Islam ke puncak kepemimpinan budaya dan peradaban, maka proses penerjemahan itu pula yang telah membangunkan eropa dari tidur panjangnya dan membawa dunia barat meraih kemajuannya, yaitu ditandai dengan renaissance.

Penerjemahan telah terbukti menjadi sesuatu yang memainkan peranan utama. Aktivitas penerjemahan memungkinkan suatu kebudayaan dapat mempelajari kebudayaan lainnya dan hasil yang diperoleh melalui penerjemahan ini lebih menakjubkan daripada kemenangan dan penguasaan wilayah-wilayah lain.

Umat Islam sesungguhnya hari ini masih sangat bisa meraih peradabannya lagi, seperti sedia kala, karena faktor-faktor menuju ke sana masih ada, seperti di Indonesia, sudah banyak sekali buku-buku yang telah diterjemahkan dari berbagai bahasa, dan dalam semua bidang. Maka, tak menutup kemungkinan jika suatu saat nanti Indonesia akan menjadi perintis peradaban Islam di dunia. Walaupun umat Islam sudah sangat tertinggal jauh dari peradaban barat, tapi peluang Islam untuk meraih peradabannya sangat berpotensi, karena Alquran sendiri selalu memotivasi kita untuk selalu belajar dan belajar. Hal itu ditunjukkan dengan salah satu ayatnya yang berbunyi, “Bacalah! Bacalah…” (Al-‘Alaq: 1-2). Dengan ayat itu sebenarnya umat Islam selalu mempunyai ruh untuk selalu maju dan meraih peradabannya kembali.

Wallahu a’lam.

Proses Dan Prosedur Penelitian Matan Hadis (Bagian I)

Tolok ukur penelitian matan (ma’ayir naqdil-matn) yang dikemukakan oleh ulama tidak seragam. Menurut al-Khatib Al-Baghdadi (wafat 463 H/1072 M), suatu matan hadis barulah dinyatakan maqbul (diterima) apabila:
1.tidak bertentangan dengan akal sehat
2.tidak bertentangan dengan hukum Alquran yang telah muhkam (ketentuan hukum yang telah tetap)
3.tidak bertentangan dengan hadis mutawatir
4.tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama salaf)
5.tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti
6.dan tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat.

Sebagai contoh, ada ulama yang mengemukakan tolok ukur dengan mengatakan bahwa salah satu tanda hadis palsu ialah suatu riwayat yang berisi peristiwa yang terjadi di depan umum, namun ternyata tidak banyak periwayat yang mengemukakannya. Tolok ukur ini sulit diterima secara mutlak sebab tidaklah setiap sahabat Nabi yang menyaksikan suatu peristiwa (hadis) yang terjadi di muka umum, lalu serta merta meriwayatkannya kepada orang lain.

Cukup banyak hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat saja, tetapi isinya memberi indikasi bahwa hadis tersebut terjadi di muka umum. Misalnya hadis tentang niat. Pernyataan dalam hadis itu memberi indikasi dikemukakan oleh Nabi di muka umum, tetapi sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis itu, dalam hal ini yang sanadnya sahih, hanya ‘Umar bin al-Khattab saja.

Dalam praktik, penelitian matan memang tidak mudah. Sebagai penyebab sulitnya penelitian matan ialah:
1.Adanya periwayatan secara makna
2.Acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu macam saja
3.Latar belakang timbulnya petunjuk hadis tidak selalu mudah dapat diketahui
4.Adanya kandungan petunjuk hadis yang berkaitan dengan hal-hal yang berdimensi “supra rasional”.
5.Dan masih langkanya kitab-kitab yang membahas secara khusus penelitian matan hadis.

Meneliti Susunan Lafal Matan Yang Semakna
Terjadinya Perbedaan Lafal
Salah satu sebab terjadinya perbedaan lafal pada matan hadis yang semakna ialah karena dalam periwayat hadis telah terjadi periwayatan secara makna (ar-riwayah bil-ma’na). Perbedaan lafal yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, asalkan sanadnya sama-sama sahih, maka hal itu tetap dapat ditoleransi.

Tetapi juga ada kemungkian karena periwayat hadis yang bersangkutan telah mengalami kesalahan. Kesalahan itu tidak hanya dialami oleh periwayat yang tidak tsiqah saja, tetapi juga dialami oleh periwayat yang tsiqah. Pernyataan yang terakhir itu memang dapat mengundang pertanyaan, mengapa periwayat yang dinyatakan sebagai bersifat tsiqah mengalami kesalahan dalam meriwayatkan hadis?

Dengan metode muqaranah (perbandingan) akan dapat diketahui kemungkinan adanya ziyadah, idraj, dan lain-lain yang dapat berpengaruh pada kedudukan matan yang bersangkutan, khususnya dalam kehujjahannya. Dalam penelitian matan hadis, apa yang disebut dengan ziyadah, idraj, dan lain-lain itu sangat penting untuk diperhatikan.

Dilihat dari pengertian istilahnya, idraj dan ziyadah memiliki kemiripan, yakni tambahan yang terdapat pada riwayat matan hadis. Bedanya, idraj berasal dari diri periwayat, sedang ziyadah (yang memenuhi syarat) merupakan bagian tak terpisahkan dari matan hadis Nabi.

Hadis yang mengandung idraj disebut sebagai hadis mudraj, sedang hadis yang mengandung ziyadah disebut sebagai hadis mazid. Selain terdapat pada matan, idraj dan ziyadah juga terdapat pada sanad.

Contoh hadis yang matan-nya mengandung idraj.
عن أبى هريرة قال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: اسيغوا الوضوء, ويل للأعقاب من النار. (رواه الخطيب)

Dari Abi Hurairah, dia berkata, Rasulullah SAW telah bersabda, “Sempurnakanlah wudhumu; neraka wail bagi tumit-tumit (orang yang tidak dibasuh dengan sempurna ketika mereka berwudhu).

Kata-kata أسيغوا الوضوء pada hadis tersebut bukanlah sabda Nabi, melainkan kata-kata Abu Hurairah. Kata-kata itu terlihat sebagai bagian dari sabda Nabi. Mukharrij hadis itu adalah al-Khatib al-Baghdadi. Dia menerima riwayat itu dari dua jalan (sanad), yakni dari jalan Abu Qatn dan jalan Syababah. Kata al-Khatib, kedua orang periwayat itu ragu-ragu, apakah kata-kata tersebut merupakan bagian dari sabda Nabi ataukah kata-kata Abu Hurairah. Dalam hal ini, al-Khatib yang berstatus sebagai mukharrij telah meneliti dan menjelaskan bahwa hadis yang diterimanya mengandung idraj.

Ahmad Amin dan Husain Haikal (Pemikiran Tentang Hadis)

Lahir di Kairo, pada 1878 dan meninggal pada 30 Mei 1954. Pernah menjadi Guru Besar di Universitas Kairo pada 1934-1941. Dia dikenal sebagai sejawaran Islam. Adapun karya-karyanya: Fajrul Islam, Duhal Islam, Zuhrul Islam, dll.
Amin menganggap pemalsuan Hadis telah terjadi semenjak Rasul masih hidup. Berdasarkan hadis من كذب علي متعمد فليتبوء مقعده من النار.

Amin tak percaya kalau semua para sahabat bersifat 'adil. Alasannya: di antara para sahabat saja sering terjadi kritik-mengkritik. Thalhah, Zubair, Aisyah Vs. Ali, Muwaiyah dan Amr bin Ash Vs. sahabat lain. Juga ditambah dengan adanya al-fitnah al-kubra I (pasca kematian Utsman) dan al-fitnah al-kubra II (pasca kematian Ali).

Dari peristiwa tersebut para sahabat tidak netral lagi. Terjadi blok-blok dan perang mengeluarkan hadis sesuai kepentingannya masing-masing, dan menyerang yang lain. Generasi pasca tabi'in hingga sekarang yang mengkultuskan bahwa para sahabat 'adil semua.

Amin memperkuat dengan alasan lainnya: Ibnu Abbas menolak hadis Abu Hurairoh yang berbunyi 'Barangsiapa membawa mait, maka berwudhulah'.
Aisyah juga menolak hadis Abu Hurairoh berbunyi 'barangsiapa bangun dari tidurnya maka basuhlah tangannya'.

Husain Haikal
Lahir di Kairo, pada 30 Agustus 1888. Kuliah di Prancis hingga jenjang doktoral pada 1912. Dia mengambil jurusan Hukum.

Karirnya sebagai pengacara dan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Kairo. Pernah menjadi Menteri Negara Urusan Dalam Negeri. Dia juga pernah menulis novel Zainab yang terkenal, tentang kehidupan petani di mesir.

Karya-karyanya yang terkenal adalah: Hayat Muhammad saw, Zainab, al-Iman wal Ma'rifah wal Falsafah.

Husain Haikal lebih perhatian pada matan hadis ketimbang sanad hadis. Dia adalah pengikut Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

Haikal tidak percaya dengan hadis-hadis yang tidak masuk akal. Dia juga sangat kritis terhadap hadis-hadis Isra' Mi'raj. Dia mengutip beberapa hadis yang dianggapnya shahih secara matan, meski sanadnya lemah.

Seperti matan dari riwayat Aisyah, Ummu Hani, dan Muawiyah adalah shahih walau sanadnya lemah. Karena semua matannya sesuai dengan Alquran: al-Isra: 60, al-Kahfi: 110, an-Nisa: 68.

Jumat, 05 September 2008

Pesantren Dan Dunia Penulisan Sastra


Prolog
Pesantren dan sastra adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan sejak dulu hingga kini. Di antara keduanya ada jalinan kuat yang saling menopang dalam perjalanan sejarah. Hal itu disebabkan pesantren sebagai wadah menuntut ilmu keIslaman yang notabene-nya lekat dengan dunia teks (baca: al-Qur’an, Hadis, dan kitab-kitab kuning) dan masyarakat.

Kedua hal itu memberi inspirasi para penghuni pesantren untuk menulis, terutama menulis karya sastra. Tepatnya, karya sastra bermuatan ajaran-ajaran Islam. Karya sastra dianggap mampu mendekati masyarakat dengan aman dan efisien.

Sebut saja misalnya penyebar Islam tempo dulu, seperti wali sembilan, yang menggunakan sarana sastra. Tembang dan syair berbahasa Jawa kreasi sastra para wali itu hidup hingga kini di surau, langgar, dan masjid di berbagai pelosok indonesia.

Strategi para wali itu menjadi prestasi legendaris dalam sejarah kebudayaan Islam di negeri ini dan menjadi watak kultur dan tradisi pesantren hingga kini.

Perkembangan pesantren yang mengalami integrasi dengan ilmu-ilmu eksakta turut mempengaruhi pula dalam perkembangan sastranya. Sastra yang diciptakan di kalangan pesantren tersebut mengalami perubahan seiring perkembangan zaman. Pesan yang terdapat dalam karyanya, yakni tidak lagi mesti mengandung ajaran-ajaran Islam an sich. Banyak karya yang diciptakannya murni dari hasil dialektika dengan dunia pesantren. Para sastrawan semisal Zawawi Imron, Emha Ainun Najib, Acep Zamzam Noor, Jamal D Rahman, Kuswaidi Syafii, Mathori A Elwa, Amien Wangsitalaja, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Abidah el Khaliqy, Ulfatin Ch adalah para penyair yang dekat dengan kultur dan tradisi pesantren yang karya-karyanya berlatarkan kultur dan tradisi pesantren.

Sastra di lingkungan pesantren telah menemukan habitatnya. Berbagai apresiasi sastra selalu diadakan, seperti perlombaan menulis cerpen, pentas seni, terutama saat memperingati hari-hari besar. Belum lagi terdapat sanggar-sanggar sastra yang ada di sejumlah pesantren menambah semarak dunia sastra-pesantren. Konkritnya bisa kita lihat dari laporan penelitian Acep Zamzam Noor yang bisa di akses di situs rumahdunia.net. Pesantren-pesantren di Madura misalnya, telah melembagakan aktifitas kesenian, termasuk sastra, seperti halnya sebuah sanggar. Mereka mengadakan diskusi, pelatihan kepenulisan, penerbitan buletin dan juga kegiatan sastra dengan mendatangkan sastrawan dari luar. Untuk penerbitan misalnya, mereka juga banyak kerjasama dengan pihak lain hingga kara-karya mereka terdokumentasikan. Mereka juga aktif mengisi rubrik-rubrik sastra baik di media khusus maupun umum, lokal dan nasional.

Begitu juga di sejumlah pesantren di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur aktifitas kesusastraannya terus meningkat. Hal itu disokong oleh adanya majalah sastra khusus untuk kalangan pesantren, antologi puisi dan cerpen, serta novel yang mengangkat kehidupan pesantren. Yang membahagiakan dari itu semua adalah karya-karya para santri dibaca oleh khalayak umum. Hal ini telah secara tidak langsung memunculkan genre (baca: label) baru, yaitu “sastra pesantren”. Tentu ini sangat wajar karena mayoritas karya-karya tersebut menggambarkan dunia dan kehidupan pesantren, dan ditulis pula oleh para santri (dan “bekas” santri).

Kyai dan Santri Menulis
Para pengarang sastra yang menjadikan kehidupan pesantren sebagai bahan penciptaan adalah mereka yang memang memiliki kedekatan dengan kultur dan tradisi pesantren. Paling tidak, mereka pernah mengecap bangku pesantren. Oleh karena itu, menulis fiksi dengan latar pesantren bisa dilakukan oleh para pengasuh, staf pengajar, maupun para santrinya. KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), misalnya, seorang pengasuh pesantren Roudlatul Ulum Rembang menulis cerpen dan puisi dengan produktif. Karya cerpennya diterbitkan dalam buku Lukisan Kaligrafi (2003). Cerpen-cerpen dalam buku ini terilhami kisah-kisah yang khas dalam kultur dan tradisi pesantren. Kiai Bisri Musthofa, ayahanda Mustafa Bisri, penulis buku berjudul Kasykul, di dalamnya adalah kumpulan anekdot, sedang Kyai Abdurrahman Ar Roisi juga menerbitkan belasan jilid kumpulan cerita yang diberi judul 30 Kisah Teladan.

Dalam hal puisi, ada Kyai Ali Mansur Tuban yang menggubah Shalawat Badar yang amat populer dan menjadi shalawat wajib para santri Jawa Timur. Selain itu ada Gus Ishom, Cucu Kiai Hasyim, menggubah doa sebelum belajar dalam bentuk 12 nadzam (sajak berirama) berbahasa Arab yang wajib dibaca santri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Kyai Abdul Hamid Pasuruan juga mensyairkan Sullam At Taufiq --sebuah kitab fikih sufistik yang bercorak ghozalian dan menjadi mainstream pemahaman Islam Sunni Indonesia-- dalam 553 bait. Selain itu, ia juga menyairkan 99 nama Allah yang dikenal dengan Al Asma' Al Husna, dan masih banyak lagi.

Bagaimana dengan para santrinya yang menghasilkan karya sastra? Tentu saja lebih banyak dibandingkan dengan para kyainya. Ada yang memang penulis tersebut masih berada di lingkungan pesantren, dan ada pula para penulis yang pernah nyantri, baik dalam jangka waktu lama maupun sebentar. Namun biasanya kebanyakan para penulis itu pernah nyantri ketika duduk di bangku tingkat Tsanawiyah dan Aliyah. Sampai saat ini para santri kebanyakan belajar menulis secara otodidak, alias belajar sendiri tanpa ada wadah yang membuat mereka bisa belajar menulis. Ruang yang ada di pesantren biasanya hanya untuk qira’at al-Qur’an, kaligrafi, dan musik, tidak ada untuk belajar menulis. Melihat kenyataan tersebut, tidak menutup kemungkinan pesantren akan jadi pusat intelektual yang akan melahirkan para penulis lebih banyak lagi jika saja hal ada iklim yang kondusif, di antaranya: 1) sistem pengajaran yang harus mendukung kepada tradisi menulis, 2) suri tauladan dalam hal menulis dari pimpinan pesantren, dan 3) wadah untuk menampung tulisan para santri.

Harus diakui bahwa mayoritas sistem belajar pesantren, terutama pesantren tradisional, masih menggunakan metode “resital”, yaitu proses pembelajaran berbasis teks yang tidak dibaca, melainkan didengarkan. Para santri biasa menyebut metode resital itu dengan istilah tilawah. Jika hal ini masih saja dilestarikan tanpa dibarengi system lain, yaitu, misalnya, membuat synopsis hasil bacaan mereka atas kitab yang sedang dibahas, tentu tidak akan ada kemajuan dalam hal tulis-menulis.

Hal lain adalah tidak adanya tradisi menulis yang diwarisi oleh kyai-kyai. Fenomena ini diperparah lagi dengan para Kyai yang saat ini banyak yang bergelut di medan politik. Dus, pesantren cenderung kering dari sentuhan buku atau tulisan. Tak banyak lagi kyai yang memiliki naluri berekspresi menciptakan karya tulis. Kyai Mustofa Bisri menuturkan bahwa tradisi menulis di kalangan NU kian luntur. Hal itu disebabkan—salah satunya—munculnya teknologi speaker yang menyebabkan aktivitas para kyai lebih banyak tersita untuk berdakwah secara oral. Padahal, ilmu dan pemikiran yang dimiliki oleh para kyai dan ulama pesantren seharusnya lebih banyak didokumentasikan dalam bentuk tulisan, agar bisa dilacak oleh lintas generasi. Di sinilah pentingnya figur sentral seorang kyai yang rajin menulis.
Terakhir, wadah para santri untuk menyalurkan keinginan menulis harus diadakan.

Bahkan mereka bukan saja diberi wadah tapi juga disalurkan karya-karya mereka dengan mengirimkannya ke berbagai media. Pesantren An Nuqoyah, Guluk-guluk, Sumenep, Madura, adalah pesantren yang patut dicontoh dalam hal ini. Hampir setiap minggu, santri dan alumninya menghiasi media nasional dengan karya-karya tulisnya. Penggerak sastra dari Pesantren tersebut, M Faizi Kaelan mengatakan, kegiatan sastra di Pesantren An Nuqoyah temasuk semarak. Pendidikan tradisional dengan jumlah santri hingga 6.000 orang itu, juga memiliki banyak sanggar yang satu dengan lainnya saling berkompetisi secara positif.

Sekali lagi, penulis ingin menekankan bahwa sinergi ketiga hal itulah yang akan menjadikan tradisi menulis (termasuk menulis karya sastra) di kalangan pesantren akan tercipta secara cepat. Jangan heran jika hal itu benar-benar terjadi maka beberapa tahun ke depan Indonesia dunia tulis menulis baik perbukuan, media cetak, dan pementasan akan diramaikan oleh para santri.
Wallahu A’lam.

Selasa, 02 September 2008

SBY dan Presidency Lecture


Di istana Presiden, Susilo Bambang Yudoyono sudah dua kali mengadakan presidency lecture atau kuliah kepresidenan. Pertama, kuliah tentang kemiskinan, dan kedua, tentang korupsi.

Masalah ini memang menjadi dua topik besar yang hadir dan melekat dalam diri bangsa Indonesia dan memiliki kausalitas mutlak. Demikian mutlaknya kausalitas itu sehingga kita seperti berada dalam lingkaran setan. Tidak jelas lagi ujung pangkalnya.

Keduanya bisa menjadi sebab dan akibat sekaligus. Dua hal ini memang saling berkelindan. Korupsi adalah salah satu sebab kemiskinan dan dari kemiskinanlah implikasinya begitu luas. Agama pun telah mengajarkan bahwa kemiskinan membawa kekufuran, kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan seterusnya, termasuk korupsi.


Data terbaru yang dilansir oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) bahwa ada kecenderungan korupsi di BUMN atau BUPD yang telah mengalami peningkatan cukup signifikan selama enam bulan pertama tahun 2006, yaitu naik sekitar 46,4 persen. Hal ini menjadi bukti bahwa korupsi ternyata masih ada seiring dengan gencarnya presiden melakukan pemberantasannya. Selain laporan dari BUMN dan BUPD di atas ternyata fenomena otonomi daerah juga membawa pergeseran modus korupsi yang semula berada di pusat menjadi merata ke tingkat daerah.

Dulu, pusatlah menjadi sumber dari distribusi baik power secara politik maupun ekonomi. Nah, begitu ekonomi digeser ke masing-masing daerah maka secara proporsional justru korupsi terjadi di lembaga tingkat daerah. Sekali lagi, peralihan dari era otonomi daerah tidak akan memperkecil permasalahan korupsi, malah justru akan memperbesar. Misalnya, untuk daerah yang lebih kaya akan lebih mudah peluang melakukan korupsi dibandingkan daerah yang lebih miskin.

Korupsi di Indonesia telah menjadi masalah luar biasa sehingga dengan cara apa pun memeranginya seperti membuang garam ke laut. Oleh karena itu, untuk memenangkan perang melawan korupsi harus dengan upaya sangat luar biasa. Kalau hanya biasa-biasa saja ibarat kita sedang mengecat langit, sia-sia dan letih.

Kita tahu bahwa persoalan korupsi merupakan salah satu tema kampanye presiden SBY ketika bertarung dalam pemilihan umum dua tahun yang lalu. Kendati kontestan lain juga mengusung tema yang sama, rakyat ternyata lebih percaya pada SBY sebagai panglima yang dibuktikan dengan mengalirnya suara mereka yang lebih banyak kepadanya. Ini berarti bahwa di tangan Pak SBY rakyat melihat ada peluang, cara, komitmen, kecerdasan, dan keberanian yang lebih menjanjikan daripada yang lain. Nah, kepercayaan yang lebih itu sekaranglah saatnya dibuktikan.

Tentu sangatlah tidak fair untuk mengatakan perang terhadap korupsi saat ini tidak mendatangkan hasil apa-apa. Sudah banyak kita melihat sejumlah konglomerat besar dan pejabat telah dijebloskan ke dalam penjara. Dan banyak pula anggota DPR, Bupati, serta Gubernur yang diperiksa kepolisian dan kejaksaan. Dulu, surat izin pemeriksaan para pejabat terasa sangat sulit, namun sekarang sebaliknya. Dus, jujur harus dikatakan bahwa perang melawan korupsi sekarang lebih bergema dan nyata.

Kehadiran dan gebrakan KPK adalah gendang yang membahanakan gema itu. Sehingga barangkali bisa dikatakan bahwa sekarang korupsi semakin sulit dilakukan. Ini bagus tentunya. Akan tetapi salah satu kelemahan mendasar yang sangat signifikan tentang perang terhadap penyakit sosial yang mematikan ini belum menjadi sebuah gerakan. Dengan kata lain belum menjadi human interest, terutama di kalangan elit dan birokrasi.

Adanya perbedaan persepsi di kalangan aparat hukum terhadap kejahatan korupsi masih sangat kentara. Seseorang yang oleh polisi dan jaksa diseret ke pengadilan karena dianggap memiliki bukti kuat melakukan kejahatan korupsi dibebaskan oleh hakim karena dianggap tidak memiliki bukti. Bila ini terjadi terus menerus bukan tidak mungkin polisi dan jaksa akan menyelesaikan kasus-kasus korupsi di tingkat wewenangnya. Dan kita bisa menduga penyelesaian model apa yang mereka tempuh, karena di mata mereka daripada capek-capek menyelidik dan menyidik hanya untuk kemudian dibebaskan hakim di ujung sana lebih baik diselesaikan sendiri di belakang meja. Ini berarti perang terhadap korupsi telah melahirkan korupsi baru yang lebih dahsyat.

Alangkah baiknya presidency lecture atau kuliah kepresidenan sebaiknya difokuskan pada penyamaan persepsi serta komitmen di kalangan aparatur penegak hukum, bahwa korupsi adalah kejahatan yang sangat mematikan peluang bangsa untuk meraih kemakmuran dan kesejahteraan. Lantas siapakah komandan tertinggi yang memiliki legitimasi untuk menggerakan dan memaksakan komitmen dan persamaan persepsi? Komandan tertinggi dan paling berkuasa sekarang ini ada di tangan Presiden. Saya sepakat dengan jargon pak Presiden bahwa bersama kita bisa, tetapi ‘bersama kita bisa’ atau dengan kata lain yaitu kemampuan kolektif harus dipelopori dan keberanian yang teguh dari presiden. Dan saya sepakat juga bahwa presidency lecture yang diadakan presiden tersebut adalah salah satu dari sekian banyak opsi keberanian yang ada di tangan SBY.

Dalam melakukan pemberantasan korupsi setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan lagi, yaitu dalam sistem dan aktor. Presiden SBY harus bisa lebih tegas lagi dalam menegakkan sistem dan menghukum koruptor. Sebaik apa pun sistem kalau aktor-aktor yang mengendalikan sistem atau man behind-nya buruk percuma saja. Begitu juga sebaliknya, sehebat apa pun orang mau melakukan sesuatu kalau secara sistem memang sudah salah, maka tentu saja akan susah pula menangkap sang koruptor.

Mari kita dukung pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu, dan siapa pun pemerintahnya. Bahwa korupsi sudah seharusnya menjadi kesadaran kita semua untuk diberantas mulai dari hal yang terkecil, termasuk dari rumah tangga kita sendiri. Korupsi juga telah menjadi ekonomi dengan biaya tinggi sehingga investasi juga terlihat di Indonesia tidak menarik bagi kalangan investor.