Taufik Pasiak, pakar neurosains bercerita, suatu waktu di saat masih SMA dan menjadi aktivis remaja mesjid di kampung maupun di sekolahnya, ia merasa menjadi orang yang sangat gampang beribadah. Perasaan ini muncul setiap kali dia mendengar ada ustadz yang berceramah dengan bagusnya, menyentuh perasaannya, bahkan menceritakan soal surga-neraka, disertai firman-firman yang indah dan cocok dengan situasi. Saat mendengar itu semua, dia bertekad sepulang pengajian itu dia akan sembahyang dengan betul-betul, dan akan melaksanakan semua perintah agama.
Pendeknya, dia akan menjadi orang sebaik mungkin. Tekad itu sangat kuat dan keras sehingga pikirannya ketika itu difokuskan betul ke kegiatan ibadah. Dia merasa menjadi orang yang sangat beriman dan merasa yang paling dekat dengan Tuhan. Hari pertama, kedua hingga ketiga dia betul-betul beribadah. Sayangnya, hari keempat semangatnya mulai mengendur. Seminggu setelah itu, dia kembali seperti sediakala. “Panas-panas tahi ayam”, pribahasa yang tepat baginya yang diakuinya sendiri. Dia malu menyebut diri sebagai orang yang dekat dengan Tuhan.
Di kejadian lainnya, Taufik juga bertutur pernah menangis tersedu-sedu ketika mengikuti khutbah Idul Fitri. Seorang tokoh yang sudah dikenal di Manado menyampaikan khutbah dengan indahnya. Suaranya yang mantap dan tegas, artikulasi nada dan katanya yang begitu menawan disertai ilustrasi-ilustrasi cerita yang sangat bagus membuat ia terharu. Sebagian besar yang hadir menjadi sangat terpesona dan bercucuran air mata. Saat itu juga ia bertekad untuk beribadah dan menjadi orang baik sejak detik itu, seperti niat yang dialaminya sewaktu SMA. Dia pulang dengan semangat membara, melakukan sesuatu dengan baik, beribadah dengan mantap, dan mengurangi aktivitas lain yang mubazir. Sayangnya, itu berlangsung hanya empat hari. Usai itu, dia melakukan ibadah seperti sebelum-sebelumnya. Perasaannya naik turun, imannya tidak stabil, berubah terus sepanjang waktu.
Keadaan yang dialami oleh Taufik Pasiak, yang sebenaranya dialami pula oleh kebanyakan manusia, adalah sebuah pengalaman proses pengondisian (conditioning). Istilah ini merupakan istilah yang diambil dari bidang psikologi, yang disebut behaviorisme. Behavioristik adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, yaitu memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka.
Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon. Pada teori ini mengatakan bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan.
Teknik conditioning ini banyak sekali dipakai dalam pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan pengembangan diri. Anda disuruh nonton dulu film yang sedih, yang mengharu biru, yang membuat air mata anda tercurah, perasaan anda terombang-ambing, atau anda disuruh menonton film yang membuat anda takjub, terpesona, terkagum-kagum, dan terduduk diam. Perasaan anda dikondisikan sedemikian rupa untuk kemudian diisi dengan doktrin-doktrin tertentu.
Conditioning seperti ini menyentuh perasaan, membuat hati anda tercabik-cabik dan menjadi sangat emosional. Anda mudah terharu dan terpesona. Sayangnya, efeknya sementara dan kecil sekali untuk dapat mengubah sikap. Mengapa? Karena, menurut Taufik Pasiak, cara ini tidak mengubah cara berpikir anda. Cara anda memandang persoalan tidak berubah karena ini. Sudut pandang tetap seperti dulu karena memang tidak ada yang berubah dari cara pandang anda. Cara ini berguna hanya untuk kepentingan sejenak.
Namun, lanjut Taufik, kalau anda betul-betul mau mengubah diri untuk seterusnya dalam hidup, kenalilah diri, terutama cara anda memandang persoalan, lalu ubahlah sesuai dengan target hidup anda. Belajarlah dari kitab suci dan buku-buku kuno soal kearifan. Kita akan temukan bahwa semua orang-orang arif dan bijak yang berhasil mengubah masyarakat adalah mereka yang mulai mengubah cara berpikir masyarakatnya. Mereka menyentuh sudut pandang masyarakat soal Tuhan, alam semesta, dan diri sendiri. Kebanyakan dari mereka bukanlah ahli pidato yang dapat membuat orang menangis, tetapi para kampiun perubah pikiran yang sanggup membuat orang sadar untuk selamanya.
Conditioning sangat terkait dengan kondisi emosi. Sedang kondisi emosi sangat dipengaruhi oleh cara kita berkomunikasi. Oleh karena itu kita perlu memahami cara komunikasi yang baik agar terjadi saling menumbuhkan motivasi di antara siapa saja. Yang pertama, usahakan komunikasi kita membawa kepada kegembiraan. Bisa dilakukan sambil terseyum, sambil bercanda, dan cara-cara lain yang menyenangkan. Kita juga perlu melihat saat yang tepat untuk membicarakan sesuatu masalah yang berat, jangan asal ngomong. Dalam hal ini juga, motivasi bisa muncul saat kondisi emosi kita sedang baik. Nyatanya adalah sebagaimana yang dialami oleh Taufik Pasiak dalam cerita di atas.
Dunia nyata adalah cermin anda dan pikiran anda adalah sebuah magnet. Jika anda berfikir, berbuat dan berbicara negatif, maka dunia akan menjadi negatif pula. Jika anda berfikir, bertindak dan berbicara secara antusias, maka dunia pun akan merespon dengan antusias. Diri anda tidak akan membawa orang pada jalan fikiran anda, tapi diri anda akan membawa orang lain pada perasaan dan keyakinan anda.
Di bawah ini adalah penjabaran dari solusi yang ditawarkan oleh taufik Pasiak di atas, tentang bagaimana agar kita konsisten dengan perasaan kita dalam melakukan hal-hal baik. Pertama, buat diri anda dalam kondisi emosi yang menyenangkan. Act the way you want to feel and soon you’ll feel the way you act. Bahkan bukan hanya emosi, melainkan juga logika. Emosi akan mendorong kita untuk tetap semangat dan konsisten, sedang logika mendorong kita selalu mempertimbangkan langkah-langkah kemajuan diri kita.
Otak manusia disusun secara fungsional oleh dua bagian: bagian yang berurusan denga kegiatan emosional (dilakukan oleh sistem limbik, terutama amygdala) dan yang berurusan dengan kegiatan rasional (dilakukan oleh kulit otak. Kulit otak ini juga dimiliki oleh beberapa binatang, tetapi dengan kualitas yang kurang baik). Jika anda berjalan di sebuah pematang sawah, terjatuh dan luka parah, maka amygdala akan dengan cepat merekam kejadian itu. Ini persis kegiatan conditioning menggunakan ilustrasi. Pada waktu yang lain, ketika anda bermaksud melewati sawah itu kembali perasaan traumatik anda mengatakan untuk tidak ikut karena pasti terjatuh dan terluka lagi. Ini namanya “pembajakan” amygdala. Anda akan kehilangan keseimbangan diri ketika itu. Namun, kalau kulit otak (rasio/logika) anda cukup terlatih, pembajakan itu tidak terjadi. “Anda segera berpikir bahwa saya tidak mungkin celaka dua kali, saya akan hati-hati meniti pematang dan akan memegang sesuatu supaya tidak terjatuh.” Ujar Taufik Pasiak dalam buku best-sellernya Brain Management for Self Improvement (Mizan:2007).
Kedua, gunakan pendekatan problem-solving (penyelesaian masalah) untuk mendorong diri kita jika kondisi emosi kita sedang sedih, marah atau takut ke kondisi gembira dan menyenangkan. Berpikir problem-solving membuat hidup kita akan terasa mudah dan ringan-ringan saja, karena kita selalu memusatkan pada pemecahan masalah bukan pada masalahnya itu sendiri.
Di bawah ini saya hendak menceritakan kembali apa yang diceritakan oleh Taufik Pasiak mengenai proses conditioning dalam diri seseorang. Yang lucunya, proses seperti ini tidak dari ajaran-ajaran keagamaan, sebagaimana yang dialami Taufik sendiri.
“Kenalan saya, seorang intelektual dan ahli komunikasi terkenal Dr. Jalaluddin Rakhmat pernah menceritakan kisah serupa ketika saya berkunjung ke rumahnya di Bandung. Sekali waktu saat sembahyang magrib ia merasa sangat dekat dengan Tuhan. Ia membaca ayat panjang untuk menikmati kedekatan itu. Sembahyang yang biasanya praktis-praktis atau prinsip-prinsip saja menjadi sembahyang yang penuh dengan ritual-ritual panjang. Rasa-rasanya ia tidak mau menyudahi supaya dekat betul dengan Tuhan. Padahal sebelumnya, kalau sembahyang ia menggunakan ayat-ayat pendek, gerakan tangkas, dan doa yang ringkas. “Saya heran”, katanya pada kami, “ndak pernah saya menjadi beriman seperti ini.” Selama beberapa hari ia mencari faktor penyebabnya karena pada hari berikutnya saat shalat, ia tidak lagi merasakan hal serupa. Ia melakukan semacam tapak tilas untuk mencari tahu penyebabnya. Ia menemukan jawaban dan tertawa karenanya. Rupanya, saat itu ia baru selesai menonton telenovela dengan kisah pilu yang membuatnya sedih, terbawa emosi, mudah terharu, dan suka menangis. Suasana hati inilah yang menyertainya ketika ia melakukan shalat.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar