Minggu, 17 Agustus 2008

Menulis Fiksi (Cerpen)


Prolog
Menjawab pertanyaan ‘bagaimana menyusun sebuah cerita (fiksi)?’ dan ‘apa saja kiat-kiatnya?’ Tak ada jawaban dan resep yang baku, sebab bercerita adalah sebuah seni. Dan seni menekankan pada subyektifitas. Semuanya tergantung dari kreatifitas tukang cerita untuk menciptakan sebuah cerita yang menarik. Namun demikian ada pola yang selalu kembali pada jenis cerita-cerita yang baik. Inilah pengenalan pada struktur cerita yang pengisiannya amat tergantung pada “seni” penulisnya. Semua cerita memiliki sebuah pola atau struktur bentuknya.

Struktur ini melibatkan berbagai macam unsur yang membentuk suatu kesatuan atau satu keutuhan. Keutuhan itu menggambarkan bentuk artistik dan sekaligus juga memberikan struktur bentuk pengalaman yang digambarkannya (Jakob Sumardjo: 2007). Dan struktur pengalaman tadi biasanya membawakan sebuah nilai. Nilai yang utama adalah nilai keindahan atau artistik, baru kemudian menyusul nilai-nilai lain (moral, religi, politik, sosial, dsb).

Perlu diketahui terlebuh dahulu bahwa niat menulis cerita ada dua macam, pertama: menulis untuk diri sendiri, dan kedua: menulis untuk orang lain. Di sini saya hendak berbicara menulis untuk orang lain. Menulis seperti ini jenisnya sangat banyak, namun paling tidak ada dua sasaran yang hendak kita targetkan di sini, yaitu menulis untuk dimuat di media massa. Hal ini bisa pada surat kabar, majalah, tabloid, dan penerbit.
Motivasi menulis perlu diperhatikan, karena hal ini sangat berpengaruh dalam menjalankan kegiatan ini. Misalnya, motivasi menulis karena hobi, finansial, kewajiban, atau mencari popularitas. Semuanya mempunya implikasi yang berbeda-beda.

Untuk itu silakan anda menentukan motivasi terlebih dahulu sebelum menulis.
Hanya sekadar memberikan pengetahuan kepada Anda dan sedikit memberikan provokasi untuk menulis, bahwa menulis menjanjikan kekayaan juga. Sebut saja misalnya Novel Ayat-Ayat Cinta (2004) karya Habiburrahman El-Shirazy, berhasil mencetak predikat bestseller. Menurut informasi, sampai akhir tahun lalu novel tersebut telah mencatat angka penjualan 240 ribu eksemplar. Dengan harga Rp 46 ribu per eksemplar, dan royalti 10 persen, maka Habiburrahman telah mengantongi royalti hampir Rp 500 juta hanya dalam waktu sekitar dua tahun. Jika dirata-ratakan berarti penghasilan novel ini sekitar Rp 25 juta perbulan.

Langkah-Langkah Konkrit Menulis Cerpen
Pra-produksi
Ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum menulis cerpen:
Mencari dan Menemukan Ide Cerita
Teknik menemukan ide atau bahan cerita: pertama dapat melalui pembatasan setting cerita (kehidupan mahasiswa, remaja, nelayan, buruh, dsb.) kemudian diuraikan bagian-bagian masalahnya dan lantas dicari aspek-aspeknya. Atau cara yang kedua yakni obsesi dasar saudara. Seperti cita-cita, kegelisahan, kritik terhadap realitas, dll.
Ada senjata ampuh untuk bisa menggali ide. Yaitu cara-cara yang biasa digunakan oleh para wartawan; 5 W plus 1 H (where=dimana, when=kapan, why=mengapa, what=apa, who=siapa, how=bagaimana).
Memainkan Hasil Pengamatan, fakta, dan Lamunan/Imajinasi/Fantasi
Agar lamunan menjadi sastra, usaha yang harus dicurahkan untuk pengimajinasikannya harus besar. Agar usaha itu setimpal, lamunan itu haruslah sesuatu yang betul-betul Anda minati. Elizabeth Jolley mengatakan, “penulis berusaha untuk membangun momen kebenaran melalui keajaiban imajinasi”. Anda harus benar-benar tertarik pada hal-hal yang Anda tuliskan.
Dunia imajinasi dibangun dari hal-hal yang kita temukan dalam dunia keseharian. Robin Klein, sang cerpenis dan novelis barat, mengatakan bahwa setiap hari dia mendaftar setidaknya lima hal yang dia “lihat, dengar, atau alami pada hari itu”. Dari bahan mentah hal-hal dalam hidupnya inilah, dia akan memulai membangun karya-karya imajinasinya. Imajinasi Anda memberi Anda kebebasan untuk membangun ulang dunia ini dengan menggunakan, seperti yang disarankan oleh Marquez, yaitu bahan-bahan realitas.
Sembari memainkan imajinasi, hal yang perlu dilakukan juga adalah menggambarkan jalinan ceritanya, yang terbagi pada bagian awal (perkenalan), bagian tengah (klimaks), dan bagian akhir (ending). Paling tidak Anda mempunyai cerita yang semi-utuh. (Hal ini akan dijelaskan secara detil pada bagian produksi-plot)
Membuat Hal Unik Dalam Cerita
Di bagian gaya menulis cerpen, seorang cerpenis akan mempunyai kekhasan, misalnya resep sukses Putu Wijaya terletak pada gaya penulisannya, terutama dalam memberi judul cerita yang cukup dengan satu kata saja dengan plot datar yang mempunyai daya gelitik dongeng yang tinggi. Sedangkan keberhasilan Danarto terletak pada cerita yang dekat dengan dunia santri jawa, bersuasana mistis-religius. Berbeda dengan Hamsad Rangkuti yang beraliran realis dan sederhana, sedang Ahmad Tohari sarat warna lokal yang kuat di setiap latar ceritanya.
Membaca Karya Orang Lain Untuk Melihat Corak/Gaya Penulisannya
Apa yang Anda baca, itulah yang akan Anda tulis. Sebab setiap penulis hanya melanjutkan tradisi yang sudah berjalan. Atau mampukah Anda akan menciptakan corak yang sama sekali berbeda dengan tradisi-tradisi yang sudah ada? Kalaupun Anda ingin merombak tradisi yang sudah ada, maka Anda harus menguasai tradisi-tradisi yang sudah ada. Inilah sebabnya bacaan cerpen seseorang akan ikut menentukan corak tulisannya pula. Memang pada akhirnya seorang pengarang harus menemukan gaya dan tekniknya sendiri. Namun untuk menuju ke sana diperlukan pijakan tradisi terlebih dahulu. Yaitu membaca cerpen-cerpen yang sudah ada sebelumnya. Semakin banyak seorang calon penulis cerpen membaca cerpen-cerpen yang baik dan tersohor, maka makin kuatlah pijakan tradisi menulisnya.
Produksi
“Menulislah—pada saat awal—dengan hati. Setelah itu, perbaiki tulisan Anda dengan pikiran. Kunci pertama dalam menulis adalah bukan berpikir, melainkan mengungkapkan apa saja yang dirasakan”. (William Forrester dalam film Finding Forrester).
Saya kira itulah langkah yang tepat untuk memulai menulis. Tentunya setelah Anda mempraktikan dalam pra-produksi sub a dan b. Sekali lagi saya tegaskan bahwa untuk mengawali sebuah penulisan yang idenya telah ada di kepala Anda diperlukan sebuah pemicu. Pemicunya adalah sebuah keberanian untuk ngawur (berbuat salah). Setelah Anda merasa berani untuk ngawur maka kata demi kata akan segera meluncur hingga membentuk kalimat dan akhirnya menjadi alenia. Usahakan untuk tidak meneliti dahulu tulisan Anda. Fokuskan pada tulisan Anda dan teruslah menulis. Terlampau banyak pertimbangan tentang apa pun akan menghalangi keluarnya tulisan yang akan Anda tulis.

Memulai menulis dapat dilakukan melalui pengamatan intensif. Jika setiap pagi kita melihat pemulung pria setengah baya yang menyeret gerobak berpenumpang dua anak kecil lewat di rumah kita, misalnya, kita bisa memulainya dengan:
Pria berusia paruh baya itu setiap pagi lewat di depan rumah kami. Wajahnya tidak asing lagi, sebab ia satu-satunya pemulung yang menyeret gerobak sampah. Lebih tidak asing lagi, sebab ia selalu membawa serta dua anaknya di atas gerobak itu. Pernah kami berpikir, jangan-jangan ia bukan pemulung sampah, tetapi pemulung anak-anak! (Jakob Sumardjo:2007)

Atau melalui pengalaman Anda. Coba ingat-ingat kembali pengalaman Anda. Cobalah untuk mengingat tiap detil dari kejadian yang menjadi pengalaman Anda tersebut. Lalu angkat tiap detil yang baru Anda ingat itu ke dalam tulisan. Kemudian bumbui dengan fantasi Anda. Dengan menambahkan cerpen Anda dengan bumbu-bumbu dari fantasi Anda, dapat membuat cerita Anda menjadi semakin hidup.

Perlu diingat bahwa dalam menulis cerita yang paling berperan bukan ‘katakan’ tapi ‘tunjukkan’ (to show not to tell). Misalnya kalau ingin menggambarkan kemiskinan seseorang, jangan katakan “orang itu miskin”, tetapi tunjukkan saja gambaran yang menunjukkan bahwa orang itu miskin. Misalnya: “Sering sehari penuh ia tidak makan. Di dalam biliknya, tidak terdapat barang apa pun, kecuali tumpukan baju rombeng untuk sehari-hari mengemis…”.
Kalau mentok memulai sebuah tulisan dengan cara di atas, mulailah dengan “bentuk percakapan” atau kutipan langsung, misalnya:
“Jadi kamu yang membunuh perempuan muda itu, Badri?”
“Aku terpaksa, benar-benar terpaksa, dia menuntutku kawin, aku belum siap.”
“Tetapi kenapa kamu harus membunuhnya?”
“Aku khilaf, aku bingung…”
Alinea berikutnya baru kita masuk ke penggambaran suasana percakapan di atas, menggambarkan siapa pelaku percakapan, dan seterusnya.
Setelah Anda menulis dengan semi-utuh, saatnya Anda melihat unsur-unsur intrinsik dalam cerita (cerpen), di antaranya:
Tema
Tema merupakan pokok persoalan yang menjiwai seluruh cerita. Sebuah tema adalah seperti sebuah tali yang menghubungkan awal dan akhir cerita dimana Anda menggantungkan alur, karakter, setting cerita dan lainnya. Ketika Anda menulis, yakinlah bahwa setiap kata berhubungan dengan tema ini. Tema dibagi dua: tema makro dan tema mikro. Misalnya tentang cinta. Cinta itu tema makro sedang cinta lawan jenis atau cinta orangtua terhadap anak, adalah tema mikro.
Tema sehari-hari yang sederhana saya kira lebih baik dikerjakan oleh para pemula. Sesuatu yang benar-benar telah dikenalnya yang telah diketahuinya secara baik. Kita baru bisa bicara secara jelas dan lengkap kalau masalahnya kita ketahui secara total, seperti kita mengenal diri kita sendiri.
Plot
Plot adalah dasar cerita; pengembangan cerita; atau bentuk cerita. Struktur cerita secara mudah dapat digambarkan: bagian awal, tengah, dan akhir. Dan memang bentuk semua cerita demikian. Pada bagian awal dituturkan tentang apa, siapa, di mana, kapan, dan munculnya konflik. Lebih cepat, tepat, dan ringkas bagian ini lebih baik. Konflik cepat dimunculkan, yakni unsur yang menceritakan timbulnya persoalan cinta. Misalnya konflik batin orang lapar dengan keinginan untuk mencuri, konflik seorang guru dalam menghadapi muridnya yang melawannya, konflik seorang polisi untuk membunuh atau menangkap hidup-hidup penjahat yang dicari-carinya, konflik para petani menghadapi bahaya banjir. Dan lain sebagainya.

Bagian kedua adalah bagian tengah cerita, yakni berisi perkembangan dari konflik yang diajukan pengarang. Dalam hal ini banyak unsur yang menentukan panjang tidaknya, rumit atau sederhananya cerita. Kalau konfliknya besar dan berat, ditambah pemilihan penokohan yang banyak dan rumit karakternya, maka perkembangan cerita ini akan panjang. Sebenarnya inilah yang disebut cerita itu. Bisa saja seorang penulis mengangkat persoalan atau konflik yang sama, tetapi penulis lain mungkin akan memecahkan konflik itu dengan pandangan hidupnya sendiri, sehingga dapat melahirkan cerita yang berbeda. Bagian tengah cerita inilah menantang pengarang untuk unjuk ketrampilannya. Bagian inilah yang menggiring semua bahan cerita menuju suatu klimaks cerita. Dan klimaks ini dicapai dengan serentetan suspense yang disusun pengarang .
Bagian akhir, adalah bagian penutup cerita yang berisi pemecahan konflik atau pemecahan masalah. Apakah, misalnya, penjahat itu akhirnya bertobat, apakah guru itu akhirnya menaklukan si murid, apakah polisi itu dengan susah payah akhirnya menangkap si penjahat untuk diadili.

Agar lebih jelas lagi dan mengingat hal yang penting, saya hendak memberi contoh lagi:
1. awal; pengenalan
Ada raja yang sangat mencintai istrinya. Mereka saling mencintai dan amat bahagia. Rakyat ikut bahagia.
Pada suatu hari permaisuri itu jatuh dari tunggangannya ketika sepasang merpati ini sedang bercengkrama. Tak lama kemudian permaisuri meninggal karena luka-lukanya yang fatal. Raja amat terpukul. Ia kehilangan segalanya.
2. tengah;klimaks
Raja tak bisa mengatasi kesedihannya. Ia mengurung diri dan tak mau makan. Kesehatannya sangat menurun. Lemas dan jatuh sakit. Dalam sakitnya terus mengigau memanggil- memanggil istrinya.
3. akhir: penyelesaian
Raja tak kuat mengatasi kehilangannya. Raja wafat karena merana.
Alur
Alur bisa juga disebut rangkaian cerita. Proses alur bisa maju atau mundur. Cerita dalam sebuah cerpen yang efektif biasanya menampilkan sebuah tempo waktu yang pendek. Hal ini bisa berupa satu kejadian dalam kehidupan sehari atau bahkan satu jam. Pastikan alur Anda lengkap, artinya harus ada pembukaan, pertengahan cerita dan penutup. Jangan membuat “twist ending” (penutup yang tak terduga) yang dapat dibaca terlalu dini, usahakan supaya pembaca tetap menebak-nebak sampai saat-saat terakhir.
Setting
Setting adalah tempat terjadinya cerita. Ini terbagi menjadi:
-setting geografis (tempat di mana kejadian berlangsung)
-setting antropologis (kejadian berkaitan dengan situasi masyarakat, kejiwaan pola pikir, dan adat istiadat).

Penokohan
Dalam cerita ada tokoh utama dan tokoh pembantu. Untuk menjaga efektivitas cerita, sebuah cerpen cukup memiliki sekitar tiga tokoh utama saja, karena terlalu banyak tokoh malah bisa mengaburkan jalan cerita.
Sudut pandang

Sudut pandang adalah hal yang mendasari tema dan tujuan penulisan. Hal ini bisa dilakukan oleh orang pertama atau orang ketiga.
Suasana
Suasana adalah keadaan cerita tersebut yang ditimbulkan suatu konflik. Dengan konflik pengarang berhadapan dengan suasana menyedihkan, mengharukan, menyenangkan, atau memberi inspirasi.

Post-produksi
Setelah Anda menyelesaikan cerpen Anda dan menyesuaikan dengan unsur-unsur intrinsik tersebut, maka tugas Anda kemudian adalah merevisi. Di sinilah disiplin diri sebagai penulis diuji. Ia harus mau mengulangi menuliskannya kembali. Ia harus berani merombak kembali apa yang telah ditulis. Tentunya merombak yang dirasa janggal.
Tidak mudah untuk melakukan kegiatan ini. Selain disebabkan capek dan malas, penulis pun merasa puas menulis karyanya tersebut. Padahal penulis yang baik adalah merevisi kembali apa yang telah ditulis. Paling tidak dibaca kembali beberapa kali. Ketika Anda membaca sekali lagi tulisan Anda, maka Anda akan menemukan kekurangan-kekurangannya, entah dari sisi tanda baca, kekurangan huruf, maupun kejanggalan-kejanggalan jalinan cerita yang Anda buat. Oleh karena itu, jika dipersentasikan tidak berlebihan jika saya katakan kalau menulis itu 40 persen, sedang merevisi 60 persen.
Epilog
Dalam epilog ini, saya hendak menekankan bahwa selain buku-buku penuntun yang benar-benar berisi teori menulis, para pemula hendaknya belajar sendiri dari cerita pendek yang ditulis oleh para pengarangnya. Tidak ada cara yang lebih baik daripada ini. Semua penulis berangkat dari cara ini, yaitu membaca banyak-banyak karya fiksi baik dari Indonesia maupun dari mancanegara.
Buku teori itu baik buat mengontrol karya. Kita tidak bisa berangkat dengan teori. Teori yang kita peroleh dari buku-buku itu hanya berguna setelah kita selesai menulis, yakni untuk mengontrol apakah komposisi sudah rapih, susunan plot sudah tepat, perwatakan sudah logis dan sebagainya.
Maka dalam hal ini, salah satu yang dapat dilakukan agar kita dapat terampil menghidupkan cerita adalah dengan latihan menulis. Seorang petenis, kata Jakob Sumardjo bukan hanya belajar bermain tenis di lapangan, tetapi juga dilatih senam, lari, angkat barbel, dsb. Ini semua kelihatannya tak ada hubungannya dengan main tenis. Tetapi sebenarnya latihan semacam itu amat perlu. Begitu pula dengan ketrampilan menulis cerpen. Perlu ada latihan “di luar” latihan cerpen itu sendiri (Jakob Sumardjo:2007). Dua hal itulah (membaca cerpen orang lain dan menulis cerpen) yang patut diprioritaskan.
Bahasa harus kita latih dan kuasai. “Kalau logika bahasa kita mampet, kalau gramatika kita kacau, kalau keindahan bahasa tidak kita kuasai, dan perbendaharaan bahasa tidak kita punyai, dalam menulis kita hanya akan menjumpai kekeringan belaka.” Begitu yang diucapkan Sindhunata. Sebaliknya, tambahnya lagi, “jika kita terlatih dan kaya akan bahasa, lorong-lorong kepenulisan tiba-tiba membuka dengan sendirinya.”
Lantas, bagaimana menghadapi penolakan dari media atau penerbit saat kita mengirim naskah kita? Sikap kita biasa saja. Terima saja dengan lapang dada. Jadikan penolakan itu sebagai cambuk untuk menulis dengan baik lagi. Jika masih ditolak, kirimkan ke media lain atau penerbit lainnya. Ingat, semua media mempunyai persamaan dan perbedaan dalam standar menerima naskah. Boleh jadi bukan naskah Anda yang buruk tapi medianya tidak sesuai dengan selera Anda.
Sekadar wawasan saja, selama tiga tahun John Grisham—seorang novelis Amerika—datang ke kantornya dari jam lima hingga tujuh pagi selama enam hari per minggu untuk menulis novel pertamanya A Time to Kill. Kerja kerasnya itu ditolak 28 penerbit dan akhirnya ada juga yang menerbitkan. Setelah itu namanya langsung melejit, dan semakin produktif. Hilman Wijaya, penulis Lupus, salah satu karyanya pernah ditolak tidak kurang dari 7 kali. Dan masih banyak lagi. Jadi, Anda tidak sendirian jika karya Anda ditolak. Namun Anda akan sendirian atau malah menjadi anggota orang-orang yang kalah dalam kancah dunia penulisan jika Anda kapok menulis kembali.
Bekerjalah dengan dasar yang tetap, kadang bisa beberapa menit kadang bisa berjam-jam. Mengerjakan proyek ini (cerpen) sekitar 5 menit per hari, misalnya, akan membawa Anda lebih baik dan bahkan lebih cepat proses pembelajaran Anda dari yang Anda bayangkan.
Selamat berimajinasi, menulis, dan terus menulis!
“Pada akhirnya hidup adalah pertaruhan. Apakah Anda lebih mencintai menulis dari kesenangan-kesenangan Anda yang lain?Jika iya, maka teruslah berjuang. Percayalah, setiap usaha pasti ada hasilnya.” (Muhamad Sulhanudin)

*) Dipresentasikan dalam Workshop Penulisan Populer yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) pada hari sabtu tanggal 1-2 Desember 2007

Tidak ada komentar: