Selasa, 17 Februari 2009

Jeda

Aku harus pergi. Ucapkan selamat jalan, saudaraku!
Aku membungkuk kepadamu semua dan kujelang keberangkatanku.
Ini, kukembalikan kunci pintuku—dan tidak akan lagi aku menuntut rumahku.
Aku hanya minta kata-kata manis terakhir darimu.
Kita sudah bersama sekian lama, namun aku menerima
lebih banyak daripada yang bisa kuberikan.
Sekarang, fajar sudah menjelang dan lampu yang menerangi sudut gelapku telah padam.
Sebuah panggilan telah datang dan aku siap bagi perjalananku.

--Rabindranath Tagore







Sabtu, 14 Februari 2009

Bias Gender Dalam Fatwa MUI

Ijtima' Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia yang ketiga di Padang Panjang, Sumatera Barat, pada 25 Januari 2009 akhirnya memilih hukum makruh untuk merokok. Yang diharamkan merokok adalah anak-anak, remaja, wanita hamil, dan merokok di tempat umum.

Soal fatwa haram merokok bisa dinilai sesuai bidang MUI. Benarkah demikian? Sudah tepatkah fatwa haram rokok yang dikeluarkan MUI tersebut? Mari kita kaji lebih mendalam.

Selama ini, umat Islam mengenal hukum merokok berada pada wilayah khilafiyah (perbedaan pandangan). Hukum yang tidak dari nash, baik qath’i (pasti) ataupun zanni (dugaan), dan tidak pula ada kesepakatan mujtahidin atas hukum itu. Sebagaimana kita ketahui, bahwa dalil fiqh itu adalah: Alquran, Hadist, Ijma’ mujtahidin dan Qiyas. Dan sebagian para ulama juga menambahkan Istihsan, Istidlal, ‘Urf dan Istishhab.

Berdasarkan kaidah di atas (bahwa tidak ada nash yang mengharamkan merokok), tidak sedikit dari para ulama sendiri yang condong ke pendapat mubah (boleh) tentang rokok, walau banyak juga yang memakruhkannya. Ini dapat kita buktikan dengan tidak sedikit pula para ulama yang juga berstatus sebagai perokok aktif.

Kebijakan (baca: fatwa) MUI atas penetapan hukum ini dinilai merugikan beberapa pihak. Pertama, fatwa tersebut akan memunculkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi para pekerja di bidang perokokan. Perusahaan rokok, misalnya, memastikan akan memberhentikan sedikit-banyak karyawannya. Padahal buruh pabrik rokok tidak sedikit. PT Patria Adikarsa—perusahaan rokok di Kulonprogo, misalnya, salah satu mitra PT HM Sampoerna saat ini memiliki buruh sebanyak 1.465 orang. Total produksinya pun cukup tinggi, yakni 1,9 juta batang per hari.

Keresahan serupa juga dialami pedagang tembakau yang setiap hari mampu menjual tembakau hingga lima kilogram, dengan keuntungan lebih dari Rp20 ribu. Belum lagi petani tembakau, mereka pun akan jadi korban fatwa tersebut. Dan masih banyak lagi.

Melihat kegelisahan itu, muncul pernyataan dari pihak MUI bahwa pekerja industri rokok tidak perlu terlalu cemas. Fatwa haram itu hanya ditujukan untuk kalangan terbatas seperti ibu hamil, dan anak di bawah umur. Sekretaris MUI, Ikhwan Syam mengatakan memang banyak pihak yang meminta rokok itu diharamkan, kendati demikian masih banyak hal yang harus dipertimbangkan seperti manfaatnya dari segi pajak bea cukai rokok, lahan pekerjaan yang luas, dan segi manfaatnya tembakau tumbuh subur di Indonesia, dan memberikan banyak kesempatan penghasilan bagi petani.

Selesaikah kegelisahan masyarakat dengan pernyataan di atas? Mari kita lihat poin kedua, bahwa masih ada kesan bias di dalam formula fatwa itu sendiri.

Ada dua bias yang sangat terlihat yakni: pertama bias gender, seperti mengapa hanya wanita hamil yang diharamkan merokok—tidak beserta suaminya sekaligus. Padahal menurut hasil riset kesehatan, seorang perokok pasif justru mendapatkan pengaruh yang lebih buruk ketimbang seorang perokok aktif. Seorang istri yang sedang hamil, duduk di sebuah ruangan privat (bukan area publik yang diperkenakan merokok berdasarkan fatwa tersebut) bersama suaminya yang merokok—juga akan membahayakan kesehatannya dan janin yang dikandungnya.

Kedua, bias terhadap proteksi kesehatan itu sendiri. Sebagai contoh, larangan merokok bagi anak-anak di bawah umur. Di tengah-tengah sebuah keluarga yang anggota keluarga dewasanya merokok, tentu fatwa ini tidak akan terlalu berpengaruh terhadap kesehatan si anak karena anak tetap akan menjadi perokok pasif, yang notabene risikonya lebih besar dari perokok aktif. Idealnya MUI juga mempertimbangkan bahwa pria, sebagai kepala keluarga, dan orangtua memiliki peran yang sentral di dalam membentuk sebuah konstruksi pola hidup sehat keluarga sehingga pengaturan terhadap budaya merokok pria seharusnya lebih ketat lagi.

Oleh karena itu, sangat jelas fatwa tersebut bias gender, ambigu, dan tidak logis. Fatwa tersebut menimbulkan kesan perempuan dianggap sebagai penyebab tidak sehatnya janin yang dikandung, padahal fenomena wanita merokok tidaklah banyak dan bukan satu-satunya penyebab ketidaksehatan janin. Dan justru, seringkali perempuan malah menjadi korban karena harus ikut menghirup asap rokok yang dinikmati laki-laki, karena, misalnya, perempuan hamil tidak merokok, tapi kondisi di sekelilingnya banyak perokok.

Harapan saya, semoga ke depan, MUI benar-benar dapat menghasilkan fatwa yang cerdas baik secara sosial, psikologi, maupun gender. Karena saat ini opini yang berkembang adalah adanya tujuan dari dikeluarkannya fatwa tersebut. Jika saja karena adanya pesanan dari pihak manapun, maka hal ini menjadi sangat menakutkan.

Untuk itu, dalam rangka pencerdasan MUI, ada tawaran menarik dari Khaled Abou El-Fadl, bahwa dalam penetapan hukum Islam harus memenuhi lima syarat penting, yaitu: kemampuan dan keharusan seseorang, kelompok, organisasi, atau lembaga untuk mengontrol dan mengendalikan dirinya, bersikap jujur, sungguh-sungguh (dalam berijtihad), mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait (komprehensif, menyeluruh), dan menggunakan rasionalitas berpikir. Kelima syarat itu sangat berfungsi untuk membatasi peran para wakil khusus, dan kemungkinan penyalahgunaan otoritas dan kesewenang-wenangan akan bisa dicegah.

Wallahu a’lam.

Rabu, 11 Februari 2009

Rahasia Di Balik Keberanian Munir

Resensi ini dimuat di surat kabar Koran Jakarta (Rabu, 18 Februari 2009)
-------------------------
Judul: Keberanian Bernama Munir:Mengenal Sisi-Sisi Personal Munir
Penulis: Meicky Shoreamanis Panggabean
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, Desember 2008
Tebal: 277 hlm.
--------------------

Angka tahun masehi sudah memasuki 2009. Artinya, lima tahun sudah berlalu kasus Munir. Namun semenjak kematiannya, kini kasus Munir masih saja menggantung. Kasus tersebut berhenti pada Pollycarpus sebagai tersangka. Hal ini menyisakan tanda tanya bagi sebagian besar orang, mungkinkah Pollycarpus seorang diri mengatur kejahatan itu? Sekali lagi, mungkinkah?

Tapi, baiklah, pertanyaan itu kita serahkan saja pada pihak-pihak yang berwenang untuk menjawabnya. Bagi kita saat ini yang paling penting adalah apa yang bisa kita ambil dari mendiang pribadi Munir? Terutama, rahasia apa di balik keberanian Munir dalam memperjuangkan kaum tertindas? Salah satunya adalah melalui buku ini.

Buku karangan Meicky Shoreamanis Panggabean ini mempunyai perspektif berbeda ketimbang buku-buku lain perihal Munir yang sudah ada. Buku ini lebih memotret personalitas Munir dalam kehidupan sehari-hari, mulai sejak kecil hingga dewasa, serta pandangan ia atas beberapa persoalan hidup.

‘De Mortuis nil nisi bonum’, begitulah bunyi sebuah ungkapan Latin, yang bermakna bahwa ‘katakan hanya yang baik saja bagi mereka yang telah mati’. Nampaknya, ungkapan tersebut tidak berlaku untuk disandangkan pada buku ini. Kenyataannya, buku ini memang cukup berimbang dalam menyampaikan sosok almarhum Munir. Sang penulis tidak hanya memotret sisi kelebihannya saja dari sosok Munir, melainkan juga sisi kekurangannya. Oleh karena itu, buku ini bisa diibaratkan sebagai sebuah cermin Munir yang menggambarkan dirinya sebagaimana adanya. Justru, di sinilah sebetulnya keunggulan buku ini, karena ada hal-hal yang kemungkinan besar belum diketahui oleh publik mengenai sosok Munir.

Ada satu ciri yang melekat dari cermin Munir yang sudah diakui oleh semua orang, yaitu keberanian. Munir dikenal sebagai sosok yang berani pada siapa pun, tak terkecuali pada pemerintah (beserta kepolisian dan TNI). Dengan bendera KontraS (Komite untuk Orang-orang Hilang dan Tindak Kekerasan) ia melawan penguasa yang menindas kaum dhu’afa (baca: lemah), seperti para buruh dan petani, serta korban penculikan. Keberanian itulah yang kemudian menjadikan dirinya terpilih sebagai sebagai Man of the The Year 1999 versi majalah Ummat dan The Right Livelihood Award di Swedia (2000), serta penghargaan lainnya.

Penulis buku ini, Meicky Shoreamanis Panggabean, adalah seorang guru dan mantan relawan KontraS saat Munir masih hidup. Oleh karena itu, tulisannya banyak mengungkap hal-hal keseharian Munir. Meicky dengan mudah mewawancarai Munir maupun orang-orang terdekat Munir sebagai narasumbernya. Buku ini juga banyak dihiasi beberapa wawancara eksklusif baik dengan Munir maupun orang lain yang terkait dengan hal-hal sederhana, yang mungkin belum pernah ditulis dalam buku mana pun sebelum ini.

Misalnya, siapa saja yang berperan dalam kehidupan Munir sehingga ia terbentuk menjadi pribadi yang fenomenal. Betapa peran ayah-ibu, kakak-kakak, lingkungan, sekolah, guru, istri, anak-anak, dan sahabat-sahabatnya membentuk kepribadian Munir. Hal itu menyiratkan ternyata ada begitu banyak silent heroes (pahlawan tak dikenal) dalam hidup Munir.

Buku yang mencatatat personalitas Munir ini menginspirasikan kita untuk peduli atas kehidupan bermasyarakat dan berani melawan ketidakadilan. Sebenarnya, Munir seperti halnya kita, mempunyai rasa takut, tapi ketakutannya itu dinalar, lalu dikalahkan. “Aku harus bersikap tenang walaupun takut … untuk membuat semua orang tidak takut. Normal, sebagai orang, ya pasti ada takut, nggak ada orang yang nggak takut, cuma yang coba aku temukan adalah merasionalisasikan rasa takut …” (hlm. 61).

Selain pandangan di atas, ada hal menarik dari beberapa pernyataan lainnya yang diutarakan Munir mengenai subjek lain. Tentang cinta, misalnya, ia mengatakan tanpa cinta, manusia hanya sekadar hidup, bukan bertumbuh. Tanpa cinta, manusia hanya sekadar bergerak, bukan berkembang. Coba kita simak langsung pandangan dia selanjutnya tentang cinta, perkawinan, dan jodoh. “Kawin itu bukan cita-cita, melainkan sesuatu yang datang sendiri dan nggak bisa dihindari. Kawin datang ketika cinta dan kontraktual untuk bersama ditemukan. Cinta dan perkawinan itu bukan soal fisik, melainkan kebenaran dalam kejujuran menemukan kesesuaian. Ok, jangan berdoa untuk dapat jodoh, tapi berdoalah untuk kebenaran. Karena di situ, cinta akan ditemukan” (hlm. 80-81).

Buku ini pun dilengkapi pelbagai pandangan orang-orang terhadap sosok Munir, mulai dari ibunya, kakak dan adiknya, koleganya, dan istrinya. Anisa, kakak Munir, bercerita tentang sifat Munir masa kecil, “Munir nggak nakal, tapi kalo diganggu, dia nggak keberatan untuk berkelahi. Tapi nggak pernah inisiatif duluan”. (hlm.92). Sedang Jamal, adik Munir, menceritakan, “Dia itu berantemnya profesional, bukan berantem sembarangan. Berantemnya itu spesifik, dia nggak bisa melihat sesuatu yang nggak benar menurut dia. Dia berani, apa pun risikonya, walaupun berantemnya nggak seimbang.” (hlm. 93).

Di mata sang istri, Suci, Munir adalah sosok seorang suami yang begitu mengesankan. Suci bercerita, “Dia adalah seorang ayah bagi anak-anakku. Dia sangat akrab karena pada saat-saat tertentu dia memandikan anak saya, menyuapi anak saya. Bangun pagi, kami nggak langsung bangun, tapi bercengkrama di kamar tidur. Anak-anak berkumpul di dalam kamar terus kita bercanda. Yang paling dia sukai itu memeluk dari belakang. Memeluk anaknya, memeluk istrinya” (hlm. 128). Bahkan tidak hanya itu, di setiap hari libur, Munir mengajak istri dan anak-anaknya menonton, memutar musik keras-keras sambil mengajak anak-anak dan istrinya berjoget.

Kisah kesaksian Suci di atas menyiratkan bahwa sosok Munir bukan hanya keberanian saja yang dapat kita teladani, tetapi juga keharmonisannya dalam keluarga. Semoga kedua hal itu dapat menginspirasi tunas-tunas Munir-Munir muda di Indonesia ini.

Jumat, 06 Februari 2009

Bangkitnya Naga dan Gajah

Judul: The Elephant And The Dragon: Fenomena Kebangkitan India Dan Cina Yang Luar Biasa Serta Pengaruhnya Terhadap Kita
Penulis: Robyn Meredith
Penerjemah: Haris Priyatna&Asep Nugraha
Penerbit: quacana
Cetakan: I, 2008
Tebal: xx + 240
-------------------

Awal tahun ini pebisnis Cina telah menancapkan kuku di Benua Afrika. Ekspansi bisnisnya terus berlanjut meski krisis ekonomi global sedang terjadi. Ekspansi ini kebalikan dari tindakan pemodal Barat yang berhamburan keluar dari Afrika.

Visi pebisnis Cina berjangka panjang sehingga krisis tidak menyurutkan minat mereka memperkuat pijakan di benua yang kaya sumber daya alam mineral itu. Alasan utama ekspansi itu adalah mengamankan kebutuhan energi jangka panjang Cina. Visi ini tidak luntur hanya karena krisis ekonomi global, yang memang turut menghunjam sektor keuangan perusahaan Cina. Perdagangan bilateral Cina-Benua Afrika naik 30 persen per tahun sepanjang dekade 2000-an menjadi sekitar 107 miliar dollar AS pada 2008.

Minat Cina di Afrika tidak hanya di sektor pertambangan, tetapi juga pembangunan infrastruktur dan teknologi. Huawei Technologies, perusahaan telekomunikasi Cina yang berbasis di Shenzen, juga terus menancapkan kuku bisnisnya di tanah Afrika. Korporasi Cina kini terus sibuk berburu kesempatan baru di Afrika.
Pebisnis India juga senada dengan Cina.

Mereka melakukan ekspansi bisnisnya ke Afrika. Salah satu perusahaan India menyatakan minatnya untuk mengambil alih Luanshya Copper Mines, perusahaan tembaga Zambia, yang berhenti beroperasi Desember 2008. Pada januari 2007, Tata Steel yang pernah melemah membeli bekas British Steel. Saat ini India membuat tiga kali lipat baja dari yang dihasilkan oleh bekas penjajahnya, Inggris. India saat ini mempunyai pabrik baja terbesar di dunia yang dimiliki oleh Arcellor Mittal. Menurut majalah Forbes, Mittal saat ini merupakan orang terkaya nomor empat dunia dengan nilai kekayaan 45 miliar dollar AS.

Sekadar untuk diketahui, India saat ini menjadi negara pencetak milyarder paling cepat. Laporan Kekayaan Asia-Pasifik, yang disusun bank investasi AS, Merril Lynch, dan para konsultan Capgemini menunjukkan sekitar 123.000 milyarder di India pada akhir 2007. Angka tersebut naik 22,7 persen daripada setahun sebelumnya
Melalui buku ini, fenomena di atas menunjukkan bahwa Cina dan India telah menjadi negara besar dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di planet ini.

Karena helai-helai ekonomi global kini telah terajut, perubahan di India dan Cina membentuk masa depan untuk seluruh dunia. Tidak pernah sebelumnya pasar global terhubung begitu eratnya. Dan coba bayangkan apabila perdagangan besar pada jalan sutra digabungkan dengan yang melintasi jalur rempah, dan gabungan perdagangan global ini diperkuat dengan teknologi modern. Kini apa yang dijual oleh India dan Cina ke Barat tidak lagi diangkat dengan unta atau galleon (kapal layar), namun dengan penerbangan kargo, kapal-kapal peti kemas, atau melalui internet.

Buku ini berusaha membantu pembaca memahami betapa dunia kita sedang dibentuk oleh kebangkitan India dan Cina—dua negara yang potensi pengaruhnya pada dekade-dekade mendatang ditakuti sekaligus diremehkan. The Elepehant and The Dragon memerlihatkan bahwa seluruh dunia dapat menyesuaikan diri dengan kebangkitan India dan Cina ini. Melalui buku ini kita dapat memahami mengapa kedua negara itu mengalami transformasi yang begitu cepat.

Metamorfosis Cina dari Negara pertanian ke Negara industri berjalan begitu cepat. Pada tahun 2000, 30 persen pasokan mainan dunia datang dari Cina. Lima tahun kemudian, secara mengejutkan 75 persen dari seluruh mainan baru adalah buatan Cina. Hal ini terjadi pula pada produk-produk lainnya. Misalnya, dalam 10 tahun terakhir, Cina telah menjadi pembuat sepatu dunia, pengekspor satu dari setiap tiga pasang sepatu di dunia. Cina mengekspor senilai 1,3 miliar dolar suku cadang kendaraan pada 2001, namun mencapai hampir 9 miliar dolar hanya dalam waktu 4 tahun kemudian. Pada 1996, Cina mengekspor komputer, telepon seluler, dan CD player serta barang elektronik lainnya senilai 20 miliar dolar. Hingga 2004 Cina mengekspor senilai 180 milyar dolar, lebih dari Negara manapun di dunia. Negara itu terus mendominasi manufakturing dari satu industri ke industri yang lain.

Sedang embrio kebangkitan India diawali pasca pembunuhan Rajiv Gandhi, Juli 1991.
Dari situ kemudian India membuka diri dari dunia. Pemerintah mengizinkan perusahaan-perusahaan dari beberapa industri untuk 100 persen dimiliki oleh orang asing di mana sebelumnya perusahaan asing yang melakukan kegiatan bisnis di India harus menyerahkan kendali operasi perusahaannya ke tangan pemerintah.

Di sisi lain India juga mencari inspirasi ke Cina. Pada 1994, kepala Negara bagian Andhra Pradesh, N. Chandrababu Naidu, mulai mengirimkan pejabat pemerintahan menuju Beijing, Shanghai, dan Shenzhen. Dia mengirim seluruh legislatornya ke Cina dengan mandat bahwa saat kembali masing-masing harus memberinya paling sedikit dua ide bagaimana India bisa memperbaiki diri. India juga mengizinkan perusahaan swasta dalam bidang telekomunikasi. Implikasinya, pengguna telepon seluler menggelembung dengan pesat. Biaya hubungan jarak jauh turun sampai tiga kali lipat dalam lima tahun, dan tarif untuk mengirim pesan merosot sampai 80 persen. India hanya memiliki 300.000 telepon genggam pada 1996, namun pada 2007, meningkat sampai 150 juta dan orang India membeli hampir tujuh juta telepon genggam setiap bulan. Dari situlah India bangun dari peraduannya.

Melihat fakta di atas, jika India dan Cina yang pernah tertinggal dapat mentransformasi diri, lantas bagaimana dengan Indonesia?

Senin, 02 Februari 2009

Konstruksi Perempuan Dalam Perempuan Berkalung Sorban

Menumbuhkan kesadaran tentang relasi gender yang adil bukanlah hal mudah. Terlebih lagi jika harus berhadapan dengan kultur dan kebudayaan masyarakat patriarkhi, khususnya dalam kehidupan rumah tangga.

Di sisi lain, agama seringkali dijadikan legitimasi atas konstruksi perempuan, di mana hal ini berimplikasi pada berbagai tindak kekuasaan terhadap perempuan.

Pesan suci agama diturunkan oleh Tuhan melalui utusan-Nya, dengan harapan pesan-pesan-Nya menjadi suatu pemecah masalah atas segala problematika hidup. Namun justru tak jarang agama malah dianggap sebagai bagian dari masalah itu sendiri. Islam yang pada dasarnya menjunjung tinggi persamaan dan keadilan umat manusia, malah dijadikan alat untuk turut serta memperkuat konstruksi perempuan dan seksualitas yang timpang.

Salah satunya adalah penafsiran Alquran surat an-Nisa (4): 34, yang ditafsirkan secara tekstual tanpa melihat problem sosial pada saat ayat tersebut diturunkan. Ayat tersebut dipahami bahwa laki-laki sedikit diberi kelebihan atas perempuan, karena mencari nafkah. Oleh karena itu, di saat sang istri melakukan yang tidak terpuji, atau tidak taat kepada suaminya, maka seorang suami dibolehkan melakukan pisah ranjang, bahkan kalau perlu melakukan pemukulan atas istrinya. Dengan penafsiran umum seperti itu “pemukulan” dianggap sebagai satu media yang disahkan oleh agama. Oleh karena itu, pemukulan yang sejatinya satu bentuk kekerasan, dijadikan alat legitimasi untuk mengkonstruk kekerasan rumah tangga, dengan dalih “izin” agama.

Menurut Mansour Faqih (2003) bahwa dalam realitas masyarakat yang patriarkhis, perbedaan gender seringkali melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan yang menimpa perempuan, di antaranya: marginalisasi (proses pemiskinan ekonomi); subordinasi (penganggapan tidak penting); stereotip (pelabelan negatif); violence (kekerasan); dan double burden (beban ganda).

Potret di atas diangkat oleh Abidah el-Khalieqy dalam novelnya Perempuan Berkalung Sorban (PBS) (2008) yang beberapa waktu lalu versi filmnya juga muncul dengan judul yang sama. Abidah, seorang sastrawan terkemuka yang pernah mengenyam pendidikan pesantren, dengan berani mengungkap segala pikiran yang merupakan ide pemberontakannya terhadap konstruksi tentang perempuan yang diajarkan dalam lingkungan pesantren dengan segala kulturnya yang telah lama melembaga.

Novel PBS menceritakan tentang perjuangan perempuan dalam melawan keterkungkungan kekuasaan yang menempatkannya pada kedudukan yang lebih rendah dibanding laki-laki. Kenyataan yang dihadapi oleh perempuan seperti di atas selalu dikatakan oleh pemegang kuasa bahwa itu merupakan ajaran agama yang dianutnya.

Konstitusi perempuan yang berimplikasi pada kekuasaan terhadap perempuan sebagaimana tergambar dalam novel ini diwakili oleh tokoh Annisa yang berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW, merupakan sosok yang agung, pilihan Tuhan, yang sangat menghargai, menghormati, menyayangi, dan mengagungkan kaum perempuan. Pertanyaan yang selalu menggelisahkan hatinya adalah kenapa kini sepeninggal Rasul ada jurang yang amat lebar antara kehendak Nabi dengan pemahaman dan prilaku umat Islam? Mengapa juga terjadi kesenjangan antara cita-cita ideal Islam dengan realitas umat Islam dalam memandang dan memperlakukan kaum perempuan?

Novel ini bercerita seorang perempuan dari sebuah keluarga santri di Jawa Timur yang bernama Annisa. Sejak kecil ia sudah berhadapan dengan kenyataan bahwa sebagai anak perempuan dalam beberapa hal orangtuanya membedakan ia dengan saudara-saudaranya yang laki-laki. Perbedaan ini dapat ditemuinya dalam cara bagaimana orangtuanya menerimanya sebagai anak perempuan, memperlakukan dirinya dalam kehidupan sehari-hari, dan hal-hal lain yang dinilai oleh orangtuanya sebagai sesuatu yang tidak boleh atau tidak pantas dilakukan olehnya, karena ia perempuan.

Annisa dikaruniai kecerdasan, namun tidak dibarengi dengan kesempatan yang diberikan orangtuanya dalam upaya mengembangkan dirinya. Ayah Annisa adalah seorang kyai terpandang di desanya, mempunyai pondok pesantren khusus anak perempuan. Ibunya berharap kelak Annisa akan dapat menggantikan posisi ayahnya dalam mengelola dan mendidik pesantrennya. Tapi, ia lebih suka bersekolah. Ia senang belajar segala sesuatu yang baru seperti membaca buku dan puisi, memancing, menunggang kuda dan berpetualang. Namun kesempatan untuk belajar juga harus banyak tersita oleh keharusannya sebagai anak perempuan untuk membantu ibunya di dapur.

Annisa dengan ketajaman otaknya selalu gelisah dengan berbagai pertanyaan yang kerap mengganggunya seperti kenapa ia diperlakukan demikian oleh keluarganya, kenapa ia harus bersikap sebagaimana digambarkan oleh orangtua dan lingkungannya, kenapa ia harus memakai kerudung, dan banyak hal yang tidak ia terima dari banyak literatur kitab-kitab yang diajarkan di pesantrennya yang telah dianggap sebagai kebenaran agama dalam memperlakukan dan melihat perempuan.

Saat umur sepuluh tahun ia harus menikah dengan Samsudin, seorang anak kyai sahabat ayahnya. Ironisnya, bukan kebahagiaan yang didapatnya, namun justru penderitaan fisik dan mentalnya secara terus menerus ia harus telan sendiri tanpa tahu kepada siapa ia mengadu. Dan seiring usianya berjalan disertai kehidupannya yang penuh liku dan dilema membuat dirinya belajar dari situ. Akhirnya ia pun berhasil berontak melalui pendidikan.

Novel PBS ini menunjukkan bahwa perempuan dikonstruksikan sebagai makhluk kedua, makhluk yang kurang akalnya, kurang agamanya, dan diciptakan untuk laki-laki. Konstruksi perempuan seperti itu ternyata berimplikasi pada berbagai bentuk kekerasan, sebagaimana dialami tokoh Annisa tersebut. Adapun bentuk-bentuk kekerasan yang dialaminya diantaranya adalah kekerasan fisik, kekerasan psikologis, deprivasi ekonomi, kekerasan seksual, dan diskriminasi.

Novel ini mengandung pesan bahwa tubuh perempuan adalah milik perempuan itu sendiri dan harus dihargai setinggi-tingginya jauh lebih tinggi dari sekadar rasa malu untuk lari dari kekerasan rumah tangga yang menimpanya atau karena harus menjanda. Selain itu, perempuan juga harus dapat membuat pilihan dan menyiapkan diri untuk maju dan mandiri serta tidak bergantung pada laki-laki. Salah satunya adalah dengan pendidikan. Melalui pendidikan perempuan mempunyai kesempatan untuk mendapat kehidupan yang lebih baik.

Masalah relasi gender yang kemudian berimplikasi pada kekerasan terhadap perempuan ini memang layak mendapat perhatian yang lebih, lantaran masih saja dijumpai di sekitar kita, bahkan boleh jadi hampir setiap hari selalu ada sebagaimana dapat kita lihat di media informasi, baik cetak maupun elektronik.