Senin, 11 Agustus 2008

Manusia Sejati

Di siang bolong, terdapat seorang Darwis masuk-keluar pasar dengan sebuah lilin di tangannya. Ada yang menegur dia, “Apa yang sedang engkau cari? Untuk apa pula menyalakan lilin? Tidak cukupkah cahaya matahari?”
Darwis menjawab, “Aku sedang mencari seorang manusia.”
“Seorang manusia? Pasar ini penuh dengan mereka. Manusia di mana-mana. Siapa yang kau maksudkan?”
“Seorang manusia sejati. Ia yang mampu mempertahankan kemanusiaannya dalam dua keadaan.”
“Keadaan apa?”
“Pertama dalam keadaan marah, kedua dalam keadaan lapar. Bila ada yang mampu mempertahankan kemanusiaannya dalam kedua keadaan itu, maka dialah seorang manusia sejati.”

“Engkau sedang mencari sesuatu yang langka. Katakan apa yang akan kau lakukan jika bertemu dengan seorang manusia sejati seperti itu?”
“Aku akan mengabdi kepadanya, seumur hidup, untuk selama-lamanya.”
“Sungguh, engkau sedang mencari ranting. Kenapa tidak mencari akar? Engkau memperhatikan busa yang menutupi permukaan laut. Kenapa tidak memperhatikan laut?”
* * *

Cerita di atas adalah kiasan yang diberikan Jalaluddin Rumi dalam karya fenomenalnya, Masnawi. Jika membaca cerita di atas paling tidak ada dua makna tersirat yang bisa kita dapatkan.

Pertama, manusia sejati adalah manusia yang dapat mengendalikan diri saat marah dan lapar. Bagi Rumi, saat mengalami dua hal itulah manusia kadang kesadarannya hilang. Seseorang ketika dilanda marah biasanya ia akan membabi buta baik dalam perkataan maupun perbuatannya. Kata-kata orang marah biasanya ngelantur ke sana-kemari. Caci-maki, hinaan, ejekan, sumpah serapah, merendahkan orang dan yang sejenisnya keluar tanpa kontrol.

Sedang perbuatan orang marah biasanya “ringan tangan”. Segala benda yang ada di sekelilingnya akan dibanting atau dilempar. Bahkan kadang lebih mengerikan, yaitu mencari benda tajam dengan niat melukai orang yang menyebabkan ia marah. Orang yang hendak dilukainya pun tak pandang bulu, entah itu orang lain, kenal atau tidak, bisa saudara, sekeluarga, bahkan orangtuanya atau kakak-adiknya sendiri. Sudah cukup banyak bukti di atas yang sudah terjadi.

Jika Anda menyaksikan berita kriminal di televisi, hampir seperti itulah kejadian-kejadiannya sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Maka sangat wajar jika Rumi mengatakan bahwa marah adalah salah satu yang menyebabkan manusia hilang kesadarannya, atau hilang kemanusiaannya. Dan pada saat itu yang muncul adalah kebinatangannya.

Begitu pun dengan lapar, manusia pada saat itu sulit dikontrol kesadarannya. Naluri biologisnya mengatakan bahwa ia harus makan. Jika tidak makan ia akan kelaparan, dan mengalami kematian. Bukan hanya lapar yang dirasakan dirinya sendiri tapi boleh juga lantaran lapar yang dirasakan oleh keluarganya, istri dan anak-anaknya, misalnya. Kelaparan membuat manusia terkadang menjadi buas. Jika pada saat itu hilang kesadarannya, maka apa yang akan terjadi? Kemungkinan besar ia akan melakukan tindak kejahatan, seperti mencuri, merampok, membajak, menjambret, dan lain-lain.

Atas nama lapar manusia melakukan hal di atas. Belum lagi jika lapar berjama’ah, seperti satu keluarga kelaparan. Kemungkinan besar sang istri dan anaknya akan membenarkan tindak pencurian yang dilakukan suaminya. Karena, itu semua demi keluarga juga. Demi melangsungkan kehidupan mereka. Demi anak-anaknya yang masih kecil dan membutuhkan asupan makanan bergizi. Dan lain sebagainya.

Kesadaran manusia atas dua keadaan tersebut harus tetap dijaga. Jangan sampai kemanusiawiannya terkikis dan tergantikan oleh kehewaniannya. Membenarkan sesuatu yang salah tetap saja salah. Mencuri dengan niat memberi makan anak-isteri tetap tidak dibenarkan, baik dilihat dari agama maupun aturan pemerintah.

Oleh karena itu, Rumi menegaskan bahwa manusia sejati adalah manusia yang mampu mengontrol dirinya saat ia sedang marah dan lapar.

Kedua, kita harus menjadi pelaku atas manusia sejati itu. Kita tidak perlu mencari manusia sejati, tetapi jadikan diri kita sebagai manusia sejati. Rumi mengatakan di akhir ceritanya, “Sungguh, engkau sedang mencari ranting. Kenapa tidak mencari akar? Engkau memperhatikan busa yang menutupi permukaan laut. Kenapa tidak memperhatikan laut?” Begitulah sindiran Rumi untuk kita, bahwa kita mencari sesuatu yang berada di luar diri kita, dengan mencari para wali, kyai, ulama, ahli hikmah, dan yang lainnya, dengan niat mendapat wejangan nasihat agar kita seperti mereka.

Itu tidak perlu, kata Rumi, sesuatu yang Anda cari sesungguhnya ada dalam diri Anda sendiri. Cukuplah bagi kita dengan mengamalkan hal di atas. Ujian kita cukup dengan mengendalikan marah dan lapar. Jika kita selamat dari kedua hal tersebut, berarti kita termasuk orang yang sejati, manusia sejati. Anand Krishna mengatakan bahwa pengendalian diri Anda, kesabaran Anda, membuktikan bahwa anda masih “manusia”.

Carilah sifat sabar dalam diri Anda sendiri. Karena, tak ada gunanya dan untuk apa juga kita mencari manusia sabar. Lebih baik kita sendiri yang melakukan kesabaran itu. Agama pun menyuruh kita demikian, “Jadikan sabar itu sebagai penolongmu!”

Tidak ada komentar: