Selasa, 13 Desember 2011

Wa Dullah

Saat mendengar khutbah jumat, pikiranku tiba-tiba menuju satu sosok yang kukagumi karena keistikamahannya. Dia biasa dipanggil Wa Dullah. Usianya sudah tua, mungkin seangkatan dengan almarhum kakekku. Aku tidak tahu persis. Tapi semangat memakmurkan mesjidnya begitu istimewa. Dia tidak hanya sekadar rajin shalat berjamaah lima waktu, tapi juga orang yang selalu pertama dan terakhir di mesjid. Dia yang mengumandangkan azan dan iqamat. Dia yang selalu membersihkan mesjid. Dia juga yang selalu menggelar karpet pas persiapan jumatan.


Bagiku Wa Dullah adalah pencinta sejati mesjid, meski pada hakikatnya pencinta Allah yang tulus mendermakan hidupnya pada rumah Tuhan. Beliau adalah orang yang dirinya menyerahkan sepenuhnya pada mesjid. Dia melakukan semua itu hanya berharap rahmat Tuhan. Tidak lebih. Setiap kali pulang kampung aku hampir bertemu dengannya di mesjid. Kadang sembari menunggu shalat berjamaah beliau mengajak aku ngobrol, sambil memijit pundakku. Beliau selalu menasihatiku. Pernah suatu ketika dia memberi nasihat padaku agar aku menjadi penerus kakekku kelak sudah tidak ada.

Ada kejadian lucu yang sering diceritakan bapakku mengenai Wa Dullah. Pada suatu dini hari Wa Dullah azan. Bapakku terbangun dan melihat jam dinding. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Bapakku berujar, "Lha, masih jam dua malam Wa Dullah kok sudah azan subuh. Pasti dia salah lihat jam." Dan benar saja, tak lama kemudian beliau mengumandangkan kata, "Hampuraaa". Hampura adalah bahasa sunda yang berarti mohon maaf. Pas subuh, bapakku kemudian bertemu dengannya dan mengonfirmasikan kejadian itu, dan benar saja Wa Dullah salah lihat jam, dikira sudah masuk waktu subuh maka dia buru-buru azan. Dan ketika melihat jam ternyata masih jam dua, maka dia buru-buru lagi membatalkan azannya yang sudah setengah perjalanan.

Begitulah sekelumit kisah Wa Dullah. Mengenai beliau aku banyak tahu dari bapakku. Bapakku pernah menceritakan asal-usulnya dan kedekatannya dengan almarhum kakekku. Pas lebaran tahun 2011 dengan ditemani bapak, aku silaturahmi ke rumahnya untuk pertama kalinya. Kulihat sosoknya yang begitu ringkih, dia sudah tidak bisa berjalan lagi. Itu lantaran faktor usia, bukan faktor lainnya. Namun penglihatan dan pendengarannya serta ingatannya masih segar bugar. Aku yakin itu karena hasil dari keistikamahannya memakmurkan mesjid (shalat, ngaji, dan menjaga segala sesuatunya yang ada di dalam mesjid). Dia hanya tidak bisa berjalan lantaran kakinya sudah lumpuh termakan usia. Itu saja.

Mungkin sudah 3 tahun aku tidak bertemu dengannya, dan baru kali itu lagi kami bertemu. Aku bersyukur dia masih ingat padaku. Alhamdulillah. Ingatannya masih normal. Biasanya usia yang sudah uzur seperti itu sudah banyak lupa, terlebih kepada orang yang sudah lama tidak pernah bertemu. Tapi beliau sungguh berbeda, berada di luar kebiasaan.

Bapakku pernah bilang bahwa keistikamahan Wa Dullah dalam shalat berjamaah di mesjid lima waktu belum ada yang menyamainya. Banyak orang yang lebih muda darinya tapi tidak ada yang rajin shalat berjamaah di mesjid. Mestinya mereka malu. Ujar bapakku. Padahal rumahnya tidak begitu jauh dari area masjid. Bandingkan dengam rumah Wa Dullah yang posisinya antara desa Bojong dan Citumenggung. Lumayan jauh. Meski jika ada yang mengatakan tidak jauh, tapi dia harus naik jika hendak ke mesjid. Butuh perjuangan ekstra untuk ke mesjid dengan medan seperti itu. Terlebih pada musim hujan, jalan yang dilaluinya agak becek. Coba anda bayangkan pada musim hujan beliau keluar rumah menuju mesjid pada menjelang subuh. Gelap dan becek. Tapi, ternyata bagi beliau itu bukanlah halangan. Biasa-biasa saja.

Bisakah kita melakukannyat? Aku sendiri belum tentu. Wong pas dekat saja kadang malas-malasan. Kebetulan rumah kakek-nenekku persis samping mesjid. Jaraknya cuma 5 langkah padahal. Jadi sungguh memalukan sebenarnya aku jika sedang di tempat kakek aku tidak sampai ke mesjid untuk shalat berjamaah. Rasa malu itu bertambah jika hendak dibandingkan dengan Wa Dullah yang notanene-nya sudah tua dan jauh dari mesjid, namun tidak pernah absen untuk shalat di mesjid.

Apa yang bisa aku ambil dari kisah Wa Dullah itu? Keteladanan dan totalitas. Ya, dua hal itulah yang melekat dalam dirinya yang bisa kulekatkan juga dalam diriku. Istikamahnya dalam "menjaga" mesjid menjadi hal yang patut diteladani, terlebih di zaman sekarang yang menggerus kita dengan pelbagai kesibukan duniawi sehingga melupakan mesjid. Zaman ini adalah dengan meminjam bahasa teman, zaman bergelimang material tapi busung lapar di gurun spiritual. Totalitasnya mengabdi pada Tuhan menjadikan dirinya tak goyah di telan zaman. Wa Dullah tetap hidup bersahaja dan istikamah.[]

Pati, 11 Desember 2011

E 63

Sambil marende (ngelonin) Aghza, aku mencoba menulis. Entah mau menulis apa. Aku menulisnya di handphone Nokia E 63. Aku bersyukur sekali bisa beli hp ini, karena aku bisa menulis dimana saja dan sambil apa saja. Contohnya pada saat ini, sambil tiduran aku menulis. Fasilitas ini sangat mendukung aku dalam karier kepenulisanku. Hp ini belum begitu lama aku beli, jadi belum bisa kumaksimalkan segala fasilitasnya. Tapi aku memang hanya tertarik dengan fasilitas word-nya saja. Karena memang itu niatku membeli hp ini; ada fasilitas office-nya, utamanya word-nya.


Dan harapanku setelah mempunyai hp ini aku bisa lebih produktif lagi dalam menulis. Aku harap juga aku kehabisan alasan untuk tidak menulis, entah itu waktu, tempat, maupun fasilitas. Dan semoga semangat menulisku karena adanya hp ini bukan semangat sementara, bukan hangat-hangat tahi ayam. Ya, aku harus sadar bahwa semangat yang didasari kebendaan atau yang bersifat eksternal biasanya tidak lama, alias sementara. Biasanya begitu. Oleh karena itu aku harus dapat mengkonversinya menjadi semangat internal, yang betul-betul dapat tahan lama.

Fasilitas tidak lebih penting dari menulis itu sendiri. Dengan kata lain, tanpa fasilitas pun aktifitas menulis harus dijalani. Banyak orang beralasan tidak bisa menulis lantaran tidak punya komputer, atau 'nanti saja menulisnya kalau sudah punya laptop', atau ' seandainya aku punya komputer aku akan rajin menulis'. Haha, itu hanya alasan saja, percayalah. Soalnya aku pernah mengalami hal itu. Bahkan alasanku saat ini adalah soal waktu, bukan soal fasilitas; aku sering berkata nanti aku menulis pada pagi hari, eh saat pagi datang malah aku enak tiduran.

Kekuasaan mutlak ada dalam diri kita. Kitalah yang mengendalikan sepenuhnya atas kehendak kita setelah Tuhan. Komputer, laptop, hp, dan lain-lain hanyalah fasilitas belaka, jadi anda tidak boleh dikendalikan oleh semua fasilitas itu. So, tanpa fasilitas yang saya sebutkan di atas pun anda tetap bisa menulis asalkan anda punya kehendak untuk melakukannya. Fasilitas hanya wadah untuk bisa melakukannya senyaman dan seefektif mungkin. Fasilitas hanya penunjang agar anda bisa melakukannya dengan baik.

Tapi itu bukan yang utama. Yang utama adalah menulis itu sendiri. Terserah anda menulis di apa saja, asal anda bisa menuliskannya. Anda bisa menulis di buku tulis, buku bekas yang halaman belakangnya masih kosong, bahkan bisa juga di bekas kertas bekas pembungkus bawang, cabai, kemiri, dan lain-lain (kesannya eksotis banget). Jangan salah, aku pun pernah mengalami hal itu. Pada saat belajar menulis resensi, aku masih belum punya komputer, terlebih notebook/laptop. Aku menulis di kertas bekas di halaman belakangnya. Setelah selesai satu tulisan, aku kemudian ke rental, untuk mengetiknya. Jadi, pekerjaanku dua kali. Kedaan itu aku jalani kurang lebih setengah tahun.

Sama halnya juga dengan Emha Ainun Nadjib yang akrab dipanggil Cak Nun. Dia katanya sering menulis di secarik kertas. Pada saat dia manggung lalu mendapat ide, dia pergi ke belakang panggung dan menungkan idenya di secarik kertas. Tidak heran apabila dia begitu produktif (menulis) di tengah produktifitas lainnya, seperti ceramah budaya, main teater, dan bermusik dengan Kyai Kanjeng. Padahal saat itu belum zamannya komputer, dan aku yakin dia tidak begitu akrab dengan soal fasilitas modern itu, paling-paling hanya mesin ketik.

Seorang kawan yang cukup produktif menulis di media massa, Muhammadun As, pernah berkisah juga bahwa di sela-sela kesibukannya mengurus rumah tangga dan kuliah masternya, dia tetap bisa menulis. Aktivitas menulisnya sama sekali tak terganggu. Jadi setelah anak dan istrinya tidur, dia kemudian menulis. Agar kuat menulis, dia cukup menyediakan air putih saja, dan mungkin dengan beberapa batang rokok. Luar biasa, bukan? Bahwa selain ketiadaan fasilitas, waktu sibuk pun bukan alasan untuk tidak bisa menulis.

Satu lagi alasan yang biasanya orang tidak bisa menulis, yaitu tidak adanya mood. Haha, ini nih yang sering sekali aku mendengarnya. Tidak adanya mood membuat orang macet menulis. Mereka tidak ada hasrat untuk menggerakan otak dan jari-jari tangannya baik di atas kertas maupun komputer/laptop. Tapi tunggu dulu, apa betul anda macet menulis karena tidak ada mood? Jangan langsung menuduh mood dulu, siapa tahu bukan itu penyebabnya. Kalau aku tidak begitu percaya penyebabnya itu, aku lebih percaya bahwa penyebab macet menulis lantaran aku malas berpikir dan malas menulis. Itu saja. Anda boleh percaya boleh tidak.

Aku berharap setelah punya hp ini aku tidak malas-malasan lagi untuk menulis.[]

Pati, 9 Desember, 2011, pkl. 14.21 WIB

Rabu, 07 Desember 2011

Kebelet

Hari ini aku pulang—dalam perjalanan—menuju Pati. Aku lewat rute Semarang, padahal biasanya lewat rute Purwodadi. Dari berita aku mendengar di Purwodadi banjir, makanya aku pilih jalan Semarang. Saat ini baru sampai Magelang. Palbapang hingga Armada sekarang jalannya lebar, jadi lumayan cepat perjalanannya. Wah, kalau dulu pas jalannya masih sempit, perjalanan agak lama, karena macet dan pas tanjakan. Untunglah hal itu tidak berlangsung hingga sekarang. Mungkin inilah yang dinamakan kemajuan, he-he.


Perjalanan selau membawa cerita, walau ada yang mengesankan atau pun tidak. Tinggal bagaimana kita menyerapnya. Ada cerita mengenai kita sendiri dan ada pula tentang orang lain. Ada yang bisa diserap untuk dijadikan pelajaran dan ada yang tidak. Salah satu kisah menarik yang aku alami sendiri adalah pada saat di bis Mira jurusan Surabaya - Yogyakarta. Aku naik dari terminal Solo hendak ke Jogja. Waktu itu aku duduk di bangku paling belakang.

Di sampingku ada seorang bapak tua (pantas disebut kakek sebetulnya) sedang gelisah. Sebentar-sebentar dia duduk lalu berdiri. Kadang maju sedikit. Terus ada orang lain yang berkata padanya, "Ngomong sama kondekturnya, pak!" Jujur aku belum ngeh sedikit pun, ada apa gerangan dengan si bapak itu. "Bisa gak berhenti di pom bensin?" Ujar si bapak itu memohon kepada kondektur saat berada di dekatnya. Sang kondektur rupanya mencuekin permohonan si bapak itu. Bapak itu lalu duduk lagi.

Dia lalu bertanya padaku, "Mas, punya Aqua, gak?"
"Ada, pak." jawabku, kemudian aku merogoh tasku dan mengeluarkan sebotol Aqua yang masih penuh. kuberikan padanya.
"Ayo masnya minum dulu!" ujar bapak itu.
"Oh tidak pak, silakan bapak dulu aja" jawabku.
Bapak itu lalu membuka botol Aquanya, dan meminumnya, tapi dia lalu berjalan menuju pintu bis yang agak sedikit turun. Dia lalu membuka celananya, setelah itu aku tidak memperhatikannya lagi, karena aku tahu dia hendak melakukan apa.

Ya, rupanya bapak itu kebelet pengen buang air kecil (bak). Setelah dia melepaskan hajatnya kulihat mukanya begitu tenang, gerak-geriknya tidak gelisah lagi. Plong, mungkin begitu yang dia rasakan. Ha-ha, ternyata yang membuat dia tidak bisa diam, berdiri-duduk, maju-mundur, kesana-kemari, ternyata dalam rangka menahan buang hajatnya; dia tidak tahu hendak membuang kemana; bingung. Mau ngomong ke sopir tidak berani. Dan memendamnya membuat dirinya tersiksa. Tapi, dia akhirnya membuat keputusan yang terbilang nekad. Mungkin itu cara yang terbaik baginya.

Keputusan memang harus dia ambil, jika tidak dia akan terus tersiksa selama dalam perjalanan. Aku tidak tahu sejak darimana dia menahan kencingnya. Setahuku dia naik bukan dari Solo, karena dia sudah ada pas aku naik bis tersebut. Mungkin dari Sragen, Mantingan, Madiun, Jombang, atau jangan-jangan dari Surabaya, hmm. Betapa tersiksanya bapak itu menahan kencingnya. Bisa kita bayangkan hal itu, karena kita pun mungkin pernah mengalami hal itu.

Aku jadi mendapat pelajaran berharga dari kejadian itu, betapa bersyukurnya aku bisa buang air kecil dengan lancar, tanpa ada halangan. Hal kecil itu kadang luput dari perhatianku; kadang luput untuk disyukuri. Aku hanya mensyukuri hal-hal besar seperti pas mendapat rejeki nomplok, mendapat pekerjaan bagus, dan lain sebagainya. Sedang hal-hal kecil seperti bisa kentut, bisa buang air besar (bab), bisa berkedip, dan termasuk bisa kencing, aku telah melupakannya.

Barangkali cara mensyukuri dari hal-hal semacam di atas adalah dengan menjaga kesehatanku sendiri dan lingkunganku. Ya, kata kuncinya adalah kepedulian terhadap kesehatan sendiri dan orang lain. Aku harus menjaga pola makan, kerja keras yang teratur—tidak memaksanya jika sudah letih, dan tidak juga memanjakannya jika memang belum letih, olahraga, saatnya buang air kecil/besar, maka buanglah segera. Begitu juga aku harus berpartipasi dalam kesehatan sesama, seperti bersih-bersih lingkungan, donor darah, dan lain-lain. Aku harus selalu ingat bahwa penyakit itu timbul dari hal-hal sepele dan keberlebihan kita dalam sesuatu. Jika tidak percaya, cobalah aku tahan kencingku pas pengen kencing, maka timbullah kencing batu. Atau makanlah sebanyak-banyaknya makan aku akan muntah, atau kolesterol, darah tinggi, dan hal-hal negatif lainnya.

Yogyakarta-Pati, 5 desember 2011.



Senin, 05 Desember 2011

See U Facebook

Alhamdulillah semenjak akun fb-ku kunonaktifkan aku bisa menulis lebih banyak lagi, terutama menulis di blog lagi. Tentu ini adalah hal positif, meski konsekuensinya aku tidak lagi berkomunikasi dengan banyak orang di fb dari pelbagai daerah. Ah, tak mengapa, karena lebih banyak "mudarat"-nya ketimbang manfaatnya. Mudarat yang kumaksud adalah banyak sekali waktu yang kubuang secara cuma-cuma. Ada waktu yang mestinya kuisi dengan menulis resensi eh malah dibuat fesbukan.


Tentu itu sebuah kerugian bagiku. Dan itu membuatku tidak produktif. Dan itu membuatku makin ketinggalan dari orang-orang yang sama-sama mengejar mimpi seperti aku. Maka menghentikan (sementara) akun fesbukku adalah langkah positif, karena senyatanya membuatku produktif. Anda tak harus mengikuti jejakku ini karena ini hanya usaha pribadiku saja, yang bisa jadi tidak akan sesuai dengan anda. Tapi kalau mau mengikuti langkahku ini tidak mengapa, haha.

Jika ditilik ke belakang, di mana saat aku belum punya akun fesbuk, aku lumayan produktif menulis. Paling tidak aku bisa membuat 4 resensi dan tulisan-tulisan lainnya. Tapi setelah mempunyai fb, produktifitasku mulai turun, meski tidak drastis. Sedikit demi sedikit waktu kreativitasku mulai tergerus oleh fesbuk ini. Waktu itu aku belum pasang internet di komputerku. Bukannya belum tapi memang belum "zaman"nya modem-modeman.

Jadi waktu itu kalau ngirim tulisan aku harus ke warnet. Dan di warnet aku cuma kirim tulisan saja, dan sedikit googling bahan tulisan. Jadi waktunya pun cuma sebentar, kadang 5 menit, 10 menit, 30 menit, atau maksimalnya 1 jam. Tapi coba lihat setelah aku punya akun fb, hampir tidak pernah aku di warnet cuma sebentar, minimalnya 1 jam. Dan itu cuma untuk fesbukan saja tidak dengan yang lainnya. Semenjak fesbukan juga aku jadi jarang googling. Internet itu seolah-olah hanya fesbuk semata—sangat identik.

Tapi tentu fesbuk ada manfaatnya juga dong. Sungguh tidak fair kalau aku mengatakan fesbuk murni mudarat. Karena kenyataannya aku banyak mendapat pengetahuan dan informasi dari fesbuk. Dan yang lebih penting aku juga mendapat kenalan dengan para penulis, penerbit, pembaca bukuku, dan yang lainnya. Bahkan terkadang aku mendapat rezeki juga dari sana, seperti ada yang beli bukuku langsung dariku. Jadi sekali lagi fesbuk sungguh berjasa bagiku.

Sebetulnya bisa saja aku tetap mengaktifkan akun fesbukku, tapi masalahnya aku belum bisa mengendalikan fesbuk tersebut, malah aku yang dikendalikan olehnya. Aku seperti kecanduan, sehari saja tidak fesbukan seperti ada yang kurang, ada yang belum terpenuhi. Bukankah itu berbahaya? Aku seperti diperbudak olehnya. Maka dari itulah aku memutuskan untuk menon-aktifkan sementara akun fesbukku. Entah sampai kapan. Aku harus melepas ketergantungan dari fb.

Sejauh ini sudah dua orang yang bertanya soal fesbukku. Hehe. Sorry deh kawan-kawan jika aku sudah tidak berkomunikasi lagi via fb. Tapi kan masih ada media lain untuk melakukan komunikasi? Aku merasa fb hanya sebagai ajang narsis aku saja ketimbang silaturahmi. Buat status dan upload foto hanya sekadar ingin dibaca orang lain. Seolah aku ingin diperhatikan. Fesbuk membuatku kehilangan kemisterianku, hehe.

Yogyakarta, 3 Desember 2011