Selasa, 22 Juni 2010

Selamat Jalan Guruku

Amin tadzakurin jiranin bi Dzi Salami,Mazajta dam‘an jara min muqlatin bi dami?
(Tidakkah kau ingat tetanggamu di Dzu Salam, Yang air matanya tercucur bercampur darah?)
Bushairi)

Bis Trisulatama jurusan Semarang-Jogjakarta melaju dengan kecepatan sedang. Aku duduk di bangku belakang deretan sebelah kanan pojok. Aku acuhkan perempuan yang duduk di sampingku yang sepertinya menungguku untuk diajak ngobrol, lantaran aku sedang asyik membaca Novel The Man Who Loved Books (2010). Tiba-tiba HP-ku bergetar. Ada pesan masuk. “Info: Tolong kasih tau yang lain. Mohon doa buat Bapak Pengasuh. Skr kritis di kediamannya. Tks.” Aku pun berdoa dalam hati, “Ya Allah berilah beliau kesembuhan…”

Belakangan beliau memang sering sakit-sakitan. Sering dirawat di Rumah Sakit (RS), baik di RS Bandung, Tasikmalaya, maupun Ciamis. Aku sudah tahu itu sejak lama dari kawan-kawanku. Namun, dua minggu yang lalu, kawanku, yang berkunjung ke tempatku, bercerita bahwa beliau sudah tidak dirawat di RS lagi, mengingat keadaannya sudah sangat sulit disembuhkan. Beliau hanya rawat jalan saja. Mendengar itu aku sungguh sedih.

Waktu pun terus berlalu… Dan, tadi pagi, pkl. 06.45, kawanku sms: “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, Bapak Pengasuh pupus! Wartosan nu sanes. Jam 06.10 WIB…” Aku tercenung. Perasaan hampa dan sedih menjadi satu. Pikiranku galau.Ya Allah, beliau telah tiada. Aku terus memberi tahu kawan-kawan lain, dan menulis status di dinding fesbuk-ku.

Tiba-tiba wajah beliau memenuhi pikiranku. Memoriku sewaktu nyantri di Ponpes Darussalam Ciamis terbuka kembali. Betapa masih ingat aku pertama kali berjumpa face to face, berpapasan dengan beliau yang sedang sendiri, kucium tangannya sembari mengucapkan salam. Beliau pun menjawab salamku. Setelah itu beliau bertanya dengan Bahasa Arab tentang siapa namaku dan dari mana asalku. Dan, waktu itu aku hanya bisa menjawab “na’am” dan “la” saja. Maklum, waktu itu baru satu mingguan aku berada di pondok pesantren, di mana sebelumnya belum menguasai Bahasa Arab dari segi istima’-nya.

Etos Keilmuan
Salah satu yang aku teladani dari beliau hingga saat ini adalah etos keilmuannya. Seorang kawan asal Jawa Timur yang juga santri Darussalam pernah bercerita bahwa beliau terkenal ilmu laduninya. Boleh jadi memang benar ucapan kawanku itu.

Dalam salah satu syair gubahan beliau ada yang berbunyi, “Cinta segala ilmu dihiasi budi suci…” Ya, beliau memang sangat mencintai segala ilmu pengetahuan. Koleksi bukunya, baik yang berbahasa Arab, Inggris, dan Indonesia, sungguh luar biasa banyaknya. Pernah, beberapa kali aku masuk ke rumahnya, hampir di setiap ruangan terdapat koleksi buku-bukunya. Bahkan, beliau punya kamar khusus untuk membaca yang di dalamnya pun ada koleksi buku-bukunya juga. Kamar tersebut menyatu dengan mesjid pesantren, yang punya pintu langsung tembus ke dalam mesjid.
Di kamar itulah beliau membaca dan menulis. Dan dari pintu kamar itu pula beliau masuk ke masjid untuk shalat berjamaah dan juga mengisi kuliah Shubuh. Beliau juga sering memberi penghargaan berupa buku/kitab kepada para santri yang berprestasi, misalnya, hafal Alquran, hafal Alfiyyah, dan lain sebagainya. Beberapa kawan sekamarku mendapatkan kitab dan buku-buku dari beliau karena hafal Alquran dan Alfiyyah. Sungguh, betapa beruntungnya mereka mendapatkan penghargaan berupa kitab dan buku-buku itu.

Karena otakku tidak seencer kawan-kawanku itu, dan keinginan mengoleksi kitab menggebu-gebu, jalan yang aku tempuh adalah membeli ke toko buku/kitab. Biasanya aku beli buku maupun kitab ke toko Beirut yang ada di Pasar Ciamis. Kadang aku memesan kepada kawan yang mau ke Tasikmalaya, karena di sana harganya lebih murah. Aku pernah menitip kepada kawan yang hendak ke Tasikmalaya untuk membelikan kitab Ihya Ulumuddin (5 jilid), yang waktu itu harganya 40 ribuan. Pernah juga aku membeli kitab Sufwat At-Tafasir (4 jilid, kalau gak salah) dari seorang kawan yang kepepet tidak punya duit dan ia menjual koleksinya itu. Harganya separuh harga, karena barang second, dan di situ sudah tertera namanya: Ahmad Thobari.
***
Ah, tentu banyak sekali teladan yang bisa aku ambil dari beliau selain hal di atas. Namun, bagiku itulah yang paling berkesan dan mengalir-menyatu dengan aliran darahku. Aku sangat mencintai ilmu. Aku sangat cinta dengan aktifitas membaca dan menulis. Setiap hari aku selalu menyempatkan diri dan menyisihkan waktu untuk kedua aktifitas itu.

Akhirnya,… selamat jalan guru kami tercinta. Semoga amal baikmu diterima oleh Allah Swt. Meski, engkau sudah tiada, tapi spirit dan teladanmu akan selalu ada. Mudah-mudahan aku bisa meneruskan etos keilmuanmu sampai kapan pun. Rencana reuni di bulan Desember 2010 di Ponpes Darussalam nantinya akan terasa lain, karena kami tidak bisa bermuwajahah denganmu, wahai guru kami.

Akhirul kalam, hanya doa yang bisa kami persembahkan untukmu:

Allahmummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu wa akrim nuzulahu wawassi' madkhalahu waghsilhu bi maain watsaljin wabarodin wanaqqihi minalkhathaaya kamaa yunaqqotstsaubul abyadhu minad danasi waabdilhu daaran khairan min daarihi wa ahlan khairan min ahlihi wazaujan khairan min zaujihi waqihi fitnatal qabri wa'adzaaban naari. Amin ya robbal alamin.
Alfatihah…

“Dan jangan mengira orang yang gugur di jalan Allah itu meninggal. Sebenarnya mereka itu hidup, di sisi Tuhannya mereka mendapat rezeki” (QS. Ali Imran: 169)

Yogyakarta, 30 Mei 2010
M. Iqbal Dawami, santri Ponpes Darussalam, Ciamis, Jawab Barat, angkatan ’99.