Minggu, 30 November 2008

Bahagia Dengan Otak Kanan


Judul : The 7 Laws of Happiness
Penulis : Arvan Pradiansyah
Penerbit : Kaifa
Cetakan : I, Sept 2008
Tebal : 428 hlm
Bahagia Dengan Otak Kanan
------------------
Taufiq Pasiak (2006) mengatakan sedikitnya ada dua ilmu (sains) yang mengalami perkembangan pesat akhir-akhir ini jika dikaitkan dengan pengungkapan hakikat diri manusia.

Dua ilmu itu adalah fisika kuantum yang berkaitan dengan eksplorasi alam semesta dan selanjutnya berimplikasi pada posisi manusia di dalam universum (alam semesta) dan neurosains (ilmu tentang otak), terutama neurosains kognitif yang mempelajari otak manusia hingga tahap molekuler.

Neurosains mengkaji diri manusia sebagai proses yang berlangsung pada tingkat sel saraf. Neurosains bahkan mempelajari hingga proses perhubungan manusia dengan Tuhan. Pelbagai penemuan neurosains sangat berguna tidak saja dalam bidang kedokteran, tetapi juga dalam bidang lainnya, seperti manajemen dan bisnis, psikologi, filsafat, dan pendidikan.

Perkembangan dalam bidang neurosains meliputi salah satunya kajian tentang neurokimiawi, yang dapat mengetahui kegiatan-kegiatan otak, mulai dari kegiatan sederhana seperti bergerak, sensasi, hingga kegiatan tingkat tinggi seperti berbahasa dan berpikir. Apa yang disebut kegiatan-kegiatan “jiwa”, misalkan tampilan-tampilan emosi (marah, sedih, gembira, dan lain-lain), ternyata sangat berkaitan dengan zat kimia otak. Zat mirip morfin, namanya endorfin, yang dihasilkan otak diketahui ternyata berperanan dalam menimbulkan rasa gembira pada seorang manusia, atau adrenalin, dopamine, dan serotonin ternyata memainkan peran dalam menimbulkan rasa senang dan cemas, dan masih banyak lagi.

Sedang yang mengatur emosi manusia berada dalam sistem limbik, yaitu bagian otak mamalia yang dikelompokkan sebagai paleocerebri’ (‘otak tua’). Daerah ini relatif sama pada manusia dan mamalia lain. Ia mengatur aspek sosial maupun privat dari emosi manusia. Bagian sistem limbik bernama amygdale yang mengatur hubungan langsung dengan kulit otak sebagai pusat berpikir. Adanya komponen ini membuat manusia menjadi makhluk yang tidak melulu berpikir, tetapi juga merasa. Dimensi inilah yang membangun hubungan antara manusia.

Nampaknya paradigma keilmuan di atas dijadikan pijakan oleh Arvan Pradiansyah dalam bukunya ini. Arvan sesungguhnya menjabarkan neurosains yang dapat dipakai dalam bidang Sumber Daya Manusia (SDM). SDM seseorang sejatinya akan melejit jika dapat mengelola pikirannya. Dengan kata lain, pikiranlah yang sebenarnya sangat memainkan peran penting terhadap segala sesuatu yang menyangkut diri seseorang, baik menyangkut jasmani maupun rohani.

Kesadaran akan pentingnya pikiran tersebut, menggerakkan Arvan untuk membuat sebuah metode bagaimana menumbuhkan kebahagiaan dengan cara memilih pikiran positif dan memfokuskan perhatian pada pikiran positif tersebut. Pemilihan pikiran itu sendiri akan dapat merangsang terciptanya pola-pola baru, kombinasi-kombinasi baru antara sel-sel saraf dan neurotransmitter, yaitu zat kimiawi yang mengirimkan pesan-pesan di antara sel-sel saraf, khususnya dalam hal kebahagiaan.

Arvan sendiri mengakui bahwa The 7 Laws sebenarnya terinspirasi dari 7 Habits karya Stephen Covey. Namun, jika Covey menggambarkan perjalanan manusia yang dimulai dari dependensi menuju independensi dan berhenti di interdependensi sebagai suatu bentuk bentuk kematangan tertinggi manusia, sedang The 7 Laws menggambarkan sebuah perjalanan melingkar, yaitu dimulai dari dependensi ke independensi, ke interdependensi, dan kembali ke dependensi. Inilah yang membedakan dengan konsep 7 Habits karya Stephen Covey tersebut.

Rumusan KebahagiaanSetelah Arvan menjabarkan bangunan teorinya mengenai kekuatan pikiran, maka ia kemudian memasuki wilayah ‘bahagia’. Sungguh, tak bisa dipungkiri oleh siapa pun, bahwa inti hidup kita adalah sebenarnya mencari kebahagiaan. Terlepas jalannya seperti apa. Hal ini, secara tak langsung dipahami dengan baik oleh Arvan, bahwa buku mengenai kebahagiaan sangatlah sedikit, ketimbang buku tentang meraih kesukesan. Padahal, kesuksesan dan kebahagiaan adalah sesuatu yang berbeda. Buktinya, banyak orang sukses tapi ternyata tidak bahagia. Kesuksesan hanyalah bagian kecil dari bahagia yang sifatnya relatif tersebut.
Selain itu, menurutnya, hakikat kebahagiaan yang sejati berasal dari pikiran, bukan dari hati. Hati itu tidak jelas letaknya di mana; di jantung, empedu, ginjal atau organ yang lainnya, dan sifatnya pun bisa bolak-balik. Sedang pikiran pasti menunjukkan pada satu tempat, yaitu otak. Maka kemudian, Arvan meyakini bahwa untuk mencapai kebahagiaan maka yang harus kita lakukan adalah dengan cara memilih pikiran yang positif. Dengan pikiran tersebut, kita akan senantiasa dipenuhi oleh rasa bahagia.

Arvan pun memberikan contoh konkrit, bahwa salah satu cara mengisi pikiran kita dengan hal yang positif yaitu dengan cara menghindari bacaan dan tontonan yang berdampak negatif. Dalam hal ini acara Empat Mata di stasiun televisi swasta kena damprat oleh Arvan, lantaran dianggap sebagai salah satu tontonan yang akan mematikan belas kasih. Untunglah, saat ini acara yang dipandu Tukul tersebut sudah dilarang tayang.

Buku ini secara terperinci memberikan pelatihan pikiran yang sistematis dan metode bagaimana menumbuhkan kebahagiaan dengan cara memilih pikiran positif dan memfokuskan perhatian pada pikiran positif tersebut. Sebaliknya, buku ini juga melatih bagaimana membuang pikiran-pikiran negatif yang masuk ke kepala kita dan menggantinya dengan pikiran-pikiran yang sehat dan bergizi. Arvan kemudian merumuskan hal tersebut dengan menyebutnya The 7 Laws of Happines. Ketujuh rahasianya tersebut dibagi dalam tiga kelompok besar. Tiga rahasia pertama berkaitan dengan diri kita sendiri, yaitu Patience (Sabar), Gratefulness (Syukur), dan Simplicity (Sederhana). Tiga rahasia berikutnya berkaitan dengan hubungan kita dengan orang lain, yaitu Love (Kasih), Giving (Memberi), dan Forgiving (Memaafkan). Satu rahasia terakhir berkaitan dengan Tuhan, yaitu Surender (Pasrah).

Nah, Arvan memberikan jaminan bahwa ketujuh rumusannya itu akan mendatangkan kebahagaiaan, asalkan: Dipraktikan dan dilatih secara berulang-ulang. Hal itu senada dengan sebuah pernyataan yang dilontarkan Aristoteles bahwa keberhasilan hidup adalah memang sebuah kebiasaan yang diulang-ulang.

Buku ini sangat patut dibaca dan (lebih penting lagi) dipraktikan serta kemudian dilatih secara berulang-ulang dalam hidup kita. Jadi, harus menunggu apalagi jika anda ingin meraih bahagia?

Senin, 24 November 2008

Menjadi Pegawai Negeri Sipil, Mau?

Beberapa bulan lalu aku di telpon sama ibuku, “A i-i (panggilan akrabku di keluarga), sebentar lagi ada pembukaan CPNS, syarat-syaratnya segera disiapkan ya, biar nanti pas waktu pembukaan sudah gak perlu repot-repot lagi. Pokoknya harus daftar, entah di mana pun daftarnya. Siapa tahu keberuntungan berpihak pada kamu”.

Aku pun hanya mengiyakan, tanpa memperpanjang jawaban. Apa pasal, jujur saja aku sangat malas untuk daftar CPNS, minimal untuk mengurus syarat-syaratnya, yang membuatku selalu kerepotan, harus kesana kemari.

Terutama berurusan dengan kepolisian dan depnaker. Maksimalnya, tentu saja banyak, misalnya ikut tes CPNS hanya ikut-ikutan, latah, dan partisipan saja. Lha, wong tahun lalu aku pernah ikut. Formasi untuk bidangku biasanya cuma membutuhkan 1 orang. Sedang yang daftar ratusan.


Nah, bulan November ini, tepatnya tanggal 17-21, telah dibuka secara resmi pendaftaran CPNS di berbagai daerah. Banyak teman memberi tahuku prihal pembukaan CPNS tersebut entah lewat email, handphone, maupun saat berpapasan denganku. Begitu juga sebaliknya, beberapa teman maupun kenalan menanyakan formasi di UIN Sunan Kalijaga, yang barangkali ada yang sesuai dengan ijazah mereka. Intinya, mereka begitu antusias adanya pembukaan CPNS ini.

Sarjana Pengangguran?
Sabtu (15 November 2008), UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyelenggarakan wisuda priode IV 2008. Mahasiswa yang diwisuda mencapai ratusan dari berbagai fakultas. Beberapa perguruan tinggi lain pun di Yogyakarta mengadakan wisuda juga. Dan barangkali di kota-kota lainnya telah mengadakannya juga. Fenomena wisuda, yang kemudian wisudawan/ti disebut dengan sarjana, yang selalu ada tiap tahunnya dan jumlahnya terus membengkak dari tahun ke tahun membuat pasar tenaga kerja di sektor formal kewalahan dalam menampung semua sarjana tersebut. Akibatnya, sejumlah alumni universitas tersebut harus memperoleh predikat “sarjana pengangguran”.

Nah, fakta tersebut menemukan momentumnya pada saat ini. Salah satu pekerjaan di sektor formal yang diincar para sarjana telah dibuka pada beberapa hari yang lalu, yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebagaimana tahun-tahun yang lalu, ribuan lulusan universitas telah mendaftar. Bahkan yang sudah punya pekerjaan sekalipun, mereka turut serta daftar CPNS. Motivasinya hampir bisa ditebak, adalah memberikan keamanan secara finansial, tak tanggung-tanggung seumur hidup. Selain mendapat gaji setiap bulannya, jenjang karir yang menjanjikan, Pegawai Negeri Sipil pun kelak memperoleh penghasilan yang disebut dengan gaji pensiun. Mindset seperti itulah yang bersemayam di banyak benak rakyat Indonesia (Jangan tanya aku apakah aku termasuk di dalamnya juga atau tidak, ha ha ha).

Saya sendiri tak habis pikir, kok tega amat sih (padahal Pak Amat dan Bu Amat aja gak tega ^_^) orang-orang meniatkan mencari ilmu dalam rangka mencari kerja kelak setelah mereka lulus kuliah. Bukankah ini penghinaan terhadap dunia keilmuan dan pendidikan? Pasalnya, jika dunia keilmuan diniatkan dengan mencari kerja, maka alangkah rendahnya kita memandang sebuah ilmu. Aku pikir, tidak ada kaitannya antara kuliah dan pekerjaan. Karena sudah barang tentu, di bangku kuliah kita tidak diajarkan bagaimana meraih finansial.

Terkait dengan hal itu, aku jadi teringat sebuah judul buku yang sangat berani dan melawan mainstream, If You Want To Be Reach Don’t Go To School! karangan Robert Kiyosaki. Sayangnya, aku belum menemukan buku tersebut, baik versi asli maupun terjemahannya (Upss... memangnya sudah ada terjemahannya?). Tapi sedikit berani saya menduga sebagaimana yang aku katakan di atas bahwa di bangku kuliah kita tidak diajarkan bagaimana mendapatkan uang. Jadi, jika anda ingin mencari uang dan kekayaan maka buat apa sekolah/kuliah? Bangku pendidikan bukanlah bangku untuk mencari uang kelak, tapi mencari ilmu dan keahlian. Maka, kalau kuliah diartikan sebagai pencarian keahlian, sehingga kelak untuk mendapatkan pekerjaan, bolehlah, ha-ha-ha… (dasar munafik kau iqbal!)

Entrepreneurship
Temanku, mahasiswa fakultas ekonomi di UGM, pernah mengatakan bahwa pola pikir (mindset) khalayak mahasiswa maupun lulusan mahasiwa selalu saja berputar pada bagaimana kelak mendapat pekerjaan yang nyaman, gaji terjamin, dan segala fasilitas yang sudah disediakan dari pemberi kerja. (Sebaliknya) sangat jarang yang ingin menjadi wirausahawan, yakni dengan membuka pekerjaan di mana dapat membuka pula kesempatan kerja untuk orang lain. Dengan kata lain, mereka telah kehilangan semangat untuk menjadi wirausaha.

Padahal, lanjut dia, secara nasional, kewirausahaan dapat menjadi pendorong kemajuan ekonomi suatu bangsa. Mengutip pendapat Prof Didik J. Rachbini, masalah kewirausahaan merupakan persoalan paling penting di dalam perekonomian suatu bangsa yang sedang membangun. Jika suatu bangsa tidak memiliki modal manusia ini, maka jangan berharap ada kemajuan yang berarti pada bangsa tersebut. Begitu pentingnya kewirausahaan, sehingga dianggap sebagai tonggak maju suatu bangsa.

Saya kira ada yang terlupakan oleh sahabatku itu, bahwa para sarjana punya alasan mengapa mereka tidak berwirausaha, yaitu tidak adanya modal. Modal finansial terutama. Harus diakui, modal seringkali dijadikan kambing hitam mengapa orang tidak lantas berwirausaha. Rasional memang. Tapi tidak sepenuhnya benar. Tanpa modal kita memang tidak bisa melakukannya, tapi modal bukanlah segala-galanya. Banyak jalan sesungguhnya jika kita memang berniat untuk berwirausaha. Buku-buku tentang berwirausaha hampir tidak menomorsatukan modal finansial. Mereka lebih menitikberatkan pada kemauan yang kuat, dan keahlian, serta saudara-saudaranya.

Krisis Ekonomi Global Modal Kebangkitan
Saat ini dunia sedang dilanda krisis global, khususnya krisis ekonomi, lantaran negara adi daya Amerika Serikat dirundung paceklik. Indonesia ikut-ikutan kena imbasnya. Payah memang. Beberapa perusahaan tidak bisa mengekspor barang-barangnya. Pun sebaliknya, perusahaan-perusahaan negara lain tidak bisa mengimpor ke negara kita.

Namun hal ini mestinya menjadi pemacu kita untuk bangkit. Haryanto Adikoesoemo, Presiden Direktur PT AKR Corporindo Tbk, yang baru-baru ini dinobatkanan menjadi Ernst&Young Indonesia Entrepreneur of the Year 2008, mengatakan masa-masa kritis seperti ini akan membuat manusia akan menemukan kekuatan baru untuk bangkit yang akhirnya berhasil berdiri di tengah keterpurukan, dalam hal ini tumbuhnya jiwa wirausaha.

Ia lalu mencontohkan pada saat krisis ekonomi tahun 1998 yang dialami Indonesia, justru memunculkan banyak entrepreneur baru akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Pada waktu itu banyak orang banting setir dari sosok manusia 'gajian' menjadi wirausaha termasuk berdagang kaki lima, buka toko, cafe, restoran dan lain-lain.

Tak mudah, tapi tak sulit pula untuk diamalkannya. Beberapa buku yang aku baca mengenai kewirausahaan mengatakan bahwa kunci sukses sebagai seorang entrepreneur harus mempunyai mimpi atau vision, dan juga disiplin, ulet, kerja keras untuk mencapai visi. Sehingga dengan keuletan diharapkan bisa merealisasikan mimpi menjadi kenyataan. Maka, ‘seleksi alam’ sangat berlaku dalam hal ini. Mudah-mudahan aku bisa menjadi entrepreneur sejati yang berhasil diseleksi alam, di mana saat ini aku sedang menggeluti dunia peternakan dan perikanan, di samping mengajar dan menulis. Untuk khalayak pembaca mohon doanya ya.

Jumat, 21 November 2008

Merencanakan Hidup Sukses dan Bahagia Dengan Menulis

Paparan Hernowo dalam bukunya yang berjudul Vitamin T (MLC:2004) begitu menginspirasi hidup saya.Pasalnya, dalam buku itu ada sub judul Lebih Baik Punya Tujuan Hidup atau Peta Hidup? Bab ini membuat saya tersadarkan dari tidur panjang saya bahwa hidup memang harus punya tujuan atau peta, agar kita tak kehilangan arah.

Untuk lebih jelasnya coba kita simak perkataan Hernowo di bawah ini:
“Peta? Ya, peta. Saya kira peta adalah sebentuk pedoman atau pemandu yang membuat apa pun yang ingin kita lakukan dapat terbayangkan sebelumnya. Apa “peta kehidupan” kita? Bagaimana kita mendapatkan peta yang dapat memandu kehidupan kita yang terus berjalan dan kita tak tahu kapan hidup kita berhenti?”


“Orang bilang, hidup yang berkualitas dan jelas adalah hidup yang bertujuan. Siapa saja yang dapat merumuskan hidupnya secara jelas, tentulah dia akan dapat menjalani hidup itu tanpa siksaan. Apakah pernyataan ini benar? Bukankah kadang kita memiliki tujuan yang sangat jelas di dalam kehidupan kita, namun kadang-kadang kita tetap berada dalam kegelapan kehidupan kita?”

“Bukankah tujuan hidup kita adalah untuk mematuhi perintah dan menghindari larangan Tuhan? Bukankah tujuan hidup kita sudah dirumuskan oleh kitab suci yang kita yakini kebenarannya? Bukankah, mungkin, kita juga mampu untuk merencanakan hidup kita setiap hari, minggu, bulan, bahkan tahun? Apalagi yang kurang?”

“Apa wujud konkret dari “peta hidup” atau peta untuk membantu kita agar lebih mudah dan nyaman dalam menyusuri hidup kita ini. Ya, apa wujudnya? Inilah yang ingin saya diskusikan di sini. Peta itu harus jelas dan nyata. Peta itu harus memiliki gambar-gambar yang menunjukkan arah perjalanan hidup kita. Peta itu juga terus dapat diperbaiki letak atau tempat-tempat yang akan kita tuju.”

“Saya merasakan sekali bahwa kegiatan menulis dapat membantu diri kita untuk membuat peta kehidupan kita. Saya juga merasakan sekali bahwa teks atau kalimat-kalimat tertulis itu dapat menampung kekayaan kehidupan kita—baik itu kekayaan hidup yang sudah kita jalani maupun yang belum sempat kita jalani.”

Bagaimana perasaan Anda setelah mendengar perkataan Hernowo itu? Tidakkah Anda terketuk seperti halnya saya. Sungguh, saya merasakan sekali betapa manfaat menulis masih saja ada. Menulis bisa memasuki daerah-daerah yang tak pernah kita ketahui dan sadari.

Saya ingin mengatakan pada Anda tentang dua hal dari perkataan Hernowo tersebut, yaitu tujuan hidup dan menulis. Apa hubungannya tujuan hidup dengan menulis? Seperti halnya Hernowo, bagi saya keduanya mempunyai kaitan yang sangat erat. Sebagaimana kita ketahui, kita hidup bukan hanya sebatas hidup. Kita hidup tentu ada suatu misi yang harus kita emban. Karena, apalah artinya kita diciptakan dan diberi akal kalau tak ada sesuatu yang harus kita perjuangkan. Maka, sebuah tujuan hidup adalah sebuah keniscayaan yang harus dimiliki setiap manusia. Dan tujuan hidup bisa kita gambarkan dengan jelas yaitu dengan cara menuliskannya. Teks-teks yang kita buat akan membantu kita untuk menampung semua tujuan hidup kita. Karena dengan teks, kita bisa merencanakan apa yang akan kita jadikan tujuan hidup tersebut.

Hernowo lebih sreg menyebut tujuan hidup dengan “peta hidup”. Oleh karenanya ia mengutip Stephen J. Spignesi dalam pembuka sub-bab bukunya, bahwa “Sebuah perjalanan selalu lebih mudah dengan peta”. Saya akui, memang dengan bahasa “peta hidup” kesan saya adalah bahwa hidup kita akan terpandu dan terbimbing lantaran adanya sebuah peta. Dan dengan menuliskannya, peta tersebut akan mengontrol kehidupan kita, apakah kita masih dalam jalur yang benar atau tidak. Jadi, menuliskan peta tersebut kita bukan saja bisa terpandu dan terbimbing tapi juga terkontrol kehidupan kita, seperti, apakah hari ini sesuai dengan apa yang kita petakan? Dan apakah hari ini mendekati tujuan hidup kita? Bahkan dengan menuliskannya pula, hidup kita akan selalu diingatkan oleh peta tersebut. Dan masih banyak hal lagi manfaat membuat “peta hidup” dan lalu menuliskannya.

Hernowo telah membuktikannya. Ia akui sendiri sebagaimana perkataannya di bawah ini:
“… saya telah berhasil membuat peta kehidupan saya sendiri. Saya telah merekam hampir seluruh kehidupan saya yang lalu dan yang akan datang—dan juga malah yang sekarang ini lagi saya jalani—dalam teks-teks yang saya tuliskan setiap hari, dan kemudian itu mewujud menjadi sebuah peta, “peta kehidupan saya”.

Selain Hernowo, masih ada orang-orang yang berhasil hidupnya lantaran membuat tujuan hidup atau, meminjam istilah Hernowo, peta hidupnya, di antaranya ialah Benjamin Franklin yang telah membuat rencana hidupnya baik menyangkut impiannya maupun pengembangan kepribadiannya. Dan saat sudah berusia lanjut, ia telah memenuhinya dengan baik. Selain Benjamin yaitu Lee Laccoca, mantan pemimpin perusahaan di Amerika. Ia membuat rencana jangka pendek dan berusaha memperhatikan waktu dengan sebaik mungkin. Dan ia mengatakan, “Sejak di perguruan tinggi, saya selalu bekerja keras dari Senin sampai Jum’at dan mencoba untuk meluangkan akhir pekan saya untuk keluarga dan berekreasi. Setiap Minggu malam saya memupuk kembali semangat saya dengan membuat garis besar apa yang ingin saya selesaikan pekan depan.”

Ada kisah menarik perihal tujuan hidup/cita-cita ini, yang saya angkat dari buku Seajaib Lampu Aladdin karya Jack Canfield dan Mark Victor .

“John Goddard membuat daftar semacam itu ketika dia berusia lima belas tahun. Ayahnya, seorang pengusaha yang berhasil, biasa mengundang relasinya untuk makan malam di rumah mereka sekali sepekan, tepatnya setiap Jumat malam. John Goddard muda sangat terkesan dengan pembicaraan yang didengarnya selama acara makan malam tersebut. Ayah John dan tamu-tamunya pada akhirnya mendiskusikan penyesalan mereka dalam hidup—semua hal yang mereka inginkan pernah mereka lakukan, namun tidak pernah sempat diselesaikan, atau bahkan dimulai. Setelah melewati suatu jamuan makan malam semacam itu, John bertekad untuk tidak bernasib seperti teman-teman ayahnya ketika mencapai usia mereka. John masuk ke kamarnya dan menuliskan 127 hal yang dia ingin raih dalam hidupnya. Saat ini, pada usia enam puluhan, John telah menyelesaikan 115 dari 127 cita-cita tersebut. Daftar ini memberikan kerangka bagi hidupnya dan dia telah mengunjungi lebih dari seratus negara, bertemu banyak pemimpin dunia, termasuk Paus, dan mencapai banyak impian yang bersifat pribadi. Dia telah mengunjungi Tembok Besar Cina, menjelajahi Sungai Nila, mengendarai kuda di Rose Bowl Parade (Parade Rangkaian Bunga Mawar), dan belajar menerbangkan empat puluh delapan jenis pesawat terbang yang berbeda.”

Dan masih banyak lagi sebenarnya kisah orang-orang yang sukses lantaran mempunyai tujuan hidup yang ditulis.

Tentunya menuliskan keberhasilan dalam menempuh tujuan hidup, atau yang dicita-citakannya tidak menjamin kesuksesan, tapi setidaknya lima puluh persen kesuksesan telah kita raih, yang sisanya adalah aksi. Ya, rencana tertulis harus dibarengi dengan aksi. Dua hal ini harus kita lakukan jika ingin meraih kesuksesan hidup tersebut. Sebagaimana telah saya katakan, bahwa dengan menuliskan tujuan atau cita-cita hidup, maka kita bisa melihatnya dengan gamblang apa saja tujuan atau cita-cita hidup kita itu? Kapan kita akan melakukannya? Apakah kita melakukannya dengan bergairah? Apakah kita bisa meraihnya? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang akan bisa kita jawab jika kita menuliskan tujuan hidup kita itu. Dengan menuliskannya kita bisa mengontrol dan mengingatkan akan tujuan kita itu, sehingga kita bisa mengevaluasinya. Tujuan atau cita-cita hidup bisa dalam hal pekerjaan, impian, atau kegiatan kita sehari-hari seperti dalam keluarga atau masyarakat.

Namun perlu kita ketahui bahwa ada beberapa hal yang harus diingat tentang tujuan atau cita-cita hidup kita itu, di antaranya seperti yang diingatkan oleh Thomas Armstrong dalam bukunya 7 Kinds of Smart:

Pertama, kita harus memilih sasaran yang harus dicapai. Artinya, kita harus bersifat realistis apakah cita-cita itu bisa kita capai dengan disesuaikan dengan kekuatan dan keterbatasan kita. Kedua, ambil sasaran yang pantas diharapkan. Artinya, apakah tujuan atau cita-cita tersebut bermanfaat bagi kita? Karena hal ini akan mempengaruhi proses pelaksanaan cita-cita tersebut. Thomas mengingatkan bahwa sasaran Anda muncul dari diri sendiri, sehingga akan timbul gairah untuk menjalankannya. Seperti yang dikatakan Charles Garfield, “orang boleh menargetkan 99 sasaran, tetapi kegairahan yang muncul karena sasaran itu sangat bermakna bagi orang yang dapat membuang sikap ‘masa bodoh’.“ Ketiga, sasaran (tujuan/cita-cita hidup) dapat diukur. Oleh karena itu, lanjut Thomas, kita harus menggunakan bahasa yang konkret dan terperinci untuk menggambarkan apa yang akan kita kerjakan dan kapan bisa menyelesaikannya. Misalnya, jangan Anda mengatakan bahwa Anda akan menghasilkan banyak uang, tetapi katakanlah Anda akan menghasilkan 100 juta rupiah dalam waktu setahun sebagai desainer interior pada tahun 2007.

Thomas Armstrong memberikan sebuah latihan yang bagus buat kita untuk membantu bagaimana caranya meraih sebuah cita-cita atau tujuan.

“Daftarlah 10 sasaran penting yang ingin Anda capai dalam kehidupan Anda dan/atau kehidupan profesional Anda pada kertas kosong. Buatlah sasaran seterperinci mungkin dan pastikan bahwa sasaran itu merupakan sasaran yang penting dan dapat dicapai. Kemudian urutkan sasaran itu, tulis sasaran terpenting di bagian teratas dan sasaran kurang penting pada bagian terbawah. Ambillah sehelai kertas kedua dan tuliskan sasaran terpenting dari daftar Anda pada bagian teratas halaman baru ini (di sampingnya cantumkan tanggal kapan Anda ingin mencapai sasaran itu). Tuliskan segala sesuatu yang perlu Anda lakukan untuk mencapai sasaran tersebut (kalau perlu, lakukanlah sumbang saran bersama seorang teman). Pada helai kertas ketiga, daftarkan kegiatan untuk mencapai sasaran tersebut menurut urutan kepentingannya (apa yang harus Anda lakukan terlebih dahulu, hal kedua yang perlu Anda kerjakan, begitu seterusnya). Kemudian, mulailah melakukan kegiatan pada bagian atas daftar itu.
Setelah Anda menyelesaikannya, tandai sasaran itu dan lanjutkan ke sasaran berikut. Lanjutkan proses ini sampai sasaran Anda tercapai. Untuk menolong proses tersebut, tuliskan epigram Goethe ini pada sehelai kartu: “Apa pun yang dapat Engkau lakukan atau ingin Engkau lakukan, rintislah. Di dalam keberanian ada kejeniusan, kekuatan, dan keajaiban. Lakukan sekarang!” tempatkan kartu ini di meja anda atau carilah kutipan lain yang membangkitkan inspirasi Anda mencapai sasaran.”

Bagaimana perasaan Anda setelah membaca hal-hal yang di atas, apakah timbul kegairahan untuk bertindak? Semoga saja.

Selasa, 18 November 2008

Mereka yang Tercerahkan Dengan Menulis

Saya ingin membuktikan kepada pembaca bahwa banyak orang-orang yang benar-benar tercerahkan lantaran aktivitas menulis. Hidup mereka menjadi lebih bergairah karena menulis.

Mereka bisa bangkit dari kegagalan dan bahkan kualitas hidupnya meningkat pesat dengan, sekali lagi, menulis. Anda bisa merasakan bagaimana perjuangan hidup mereka dalam melawan penderitaan, atau dalam meningkatkan kualitas hidupnya.

Setidaknya ada lima orang yang saya ketahui tentang orang-orang yang tercerahkan karena menulis tersebut. Dan saya harap walau hanya lima orang semoga membuat kita yakin kalau menulis memang benar-benar ampuh untuk membuat hidup kita cerah.

Seringkali saya temui teman-teman saya tidak mempercayai akan sebuah teori tanpa ada bukti terlebih dahulu. Begitu pun dalam masalah menulis yang bisa mencerahkan ini.
Saya sendiri telah membuktikannya kalau aktivitas menulis benar-benar ampuh untuk mengobati penyakit hati di kala saya gundah gulana, pun saat saya kehilangan makna.
Dan alhamdulillah dalam waktu empat tahun saya bisa menghasilkan dua buku yang berisi catatan harian yang kira-kira ketebalannya mirip dengan Sejarah Tuhan karya Karen Armstrong. Saya tidak bisa membayangkan seandainya saya tak punya catatan harian, apakah saya bisa meredam segala gejolak emosi saya, apakah saya mempunyai planning hidup, dan sebagainya. Bagi saya, menulis memang seperti terapi dan obat untuk menyembuhkan segala penyakit hati saya, seperti halnya orang-orang di bawah ini.

1. Karen Armstrong
“Hidup saya berubah setelah penerbitan buku Sejarah Tuhan”
(Karen Armstrong)
Buku-buku Karen Armstrong telah menggemparkan dunia. Nama dirinya melejit tatkala bukunya A History of God (1993) terbit dan diterjemahkan ke berbagai bahasa. Tak ada satu pun bukunya yang tak laris. Buku-bukunya memang hanya berkisar di seputar agama, seperti Kristen, Islam, Yahudi, dan Budha. Tapi, yang menjadi keunikan dan berbeda dengan buku-buku semisalnya adalah berangkat dari pengalamannya sendiri tatkala “mencari Tuhan”. Ia bukan saja menelusuri lewat literatur untuk menulis bukunya, tetapi juga mengadakan perjalanan spiritual ke berbagai negara.
Hal yang mendorong untuk menulis dan mengadakan perjalanan spiritualnya bukan semata-mata ingin menjadi penulis (pada awalnya) dan mengadakan observasi langsung sebagai bahan tulisannya. Tetapi lebih dari itu. Ia mencari “obat” untuk menyembuhkan lukanya dari trauma dan penyakit yang dideritanya semenjak remaja serta haus akan spiritualnya.

Pada tahun 1962 ia disuruh masuk biara. Namun dalam biara ia merasa seperti dalam penjara. Badan dan jiwanya merasa terkungkung, kaku, harus mengikuti aturan yang monoton, dan banyak pengalaman yang menekan hidupnya. Setiap hari pekerjaannya selalu begitu saja. Selama tujuh tahun ia mengikuti tradisi yang berlaku di biara. Tujuh tahun itu pula ia merasa di “penjara”, memberikan trauma yang sangat dalam sekali, yang sulit dihilangkan hingga beberapa tahun setelah ia keluar dari biara tersebut.
Setelah memutuskan keluar ia kemudian masuk ke perguruan tinggi di Universitas Oxford, jurusan sastra Inggris. Ia tengah memulai kehidupan baru yang sekuler. Namun, ia merasa tak bisa bebas juga hidupnya. Ia merasa terasing di dunia luar. Banyak hal yang tidak ia ketahui. Ia menjadi manusia kuper (kurang pergaulan), dan menjadi bahan ejekan teman-temannya. Dan ia masih saja dibayang-bayangi kehidupan biaranya, yang begitu melekat akan pengalaman pedihnya. Perlakuaan-perlakuan di biara dulu masih terbayang-bayang jelas di matanya. Dengan kata lain, ia tengah mengalami trauma yang berkepanjangan dan sangat akut sampai-sampai ia menderita epilepsi serta gangguan lainnya.

Pengalaman tragisnya dialami juga setelah keluar dari biara, gara-gara penyakit yang dideritanya. Suatu ketika ia telah menjadi guru tetap di SMA khusus perempuan. Namun karena penyakit yang dideritanya ia diberhentikan oleh pihak sekolah. Inilah penderitaan klimaks yang dialaminya. Gara-gara diberhentikan dan sering kambuh traumanya, ia sering berhalusinasi, kadang-kadang ketakutan dan kadang-kadang ia panik. Ia merasa tak berguna hidupnya. Karena penyakit yang sangat akut itu ia pernah mencoba bunuh diri, berharap penderitaannya berakhir. Namun sedikit demi sedikit ia mulai sembuh setelah sering berkonsultasi ke psikiater, dan akhirnya sang dokter bisa mendeteksi penyakitnya tersebut.
Setelah sembuh walau belum seratus persen, ia mencoba kembali menggeluti dunia spiritualnya yang telah hilang. Ia lalu menulis buku keagamaan sebagai representasi pencarian dan pengalamannya. A History of God, begitu ia namakan bukunya. Dan dengan secepat kilat kehidupannya berubah. Ia telah menemukan kembali ruh hidupnya lantaran menuliskan segala pencarian serta pengalaman spiritualnya. Tulisan-tulisan yang bertemakan keagamaan terus ia tekuni, dan menjadi pembicaraan banyak kalangan. Karya-karyanya seperti Sejarah Tuhan, Berperang Demi Tuhan, Perang Suci, Islam dan Buddha, dan yang lainnya mendapat apresiasi di sebagian negara di dunia ini. Buku-bukunya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa yang kurang lebih berjumlah 40 bahasa di seluruh dunia.

Penulis yang tinggal di London ini juga membuat acara-acara yang bertemakan keagamaan, di antaranya bersama Bill Moyers dalam seri Genesis. Ia sering mendapat undangan-undangan untuk menjadi pembicara tentang keagamaan lantaran tulisannya. Dan bahkan banyak orang Barat menanyakan pada dia tentang Islam, dan sekali lagi, lantaran bukunya, yang banyak membahas tentang Islam. Ada dua buku yang bagi saya sangat mengagumkan, yaitu Muhammad dan Menerobos Kegelapan. Judul yang pertama berbicara tentang Nabi Muhammad Saw yang dia gambarkan dengan sangat memikat. Ia telah menjungkirbalikkan anggapan-anggapan barat tentang Nabi Muhammad ini. Ia ingin memberitahukan bahwa Muhammad tidaklah sosok yang “sangar” sebagaimana yang digambarkan oleh Salman Rushdi dalam Satanic Verses-nya atau kaum orientalis lainnya. Ia sangat mengagumi sosok Nabi ini dalam membawa Islam, terutama kepribadiannya. Walau secara substansi tidak ada yang baru tapi cara penyampaiannya mendapat nilai plus di mata pembaca. Saya ingin mengatakan di sini bahwa Karen menulis bukan hanya mengandalkan literatur saja, tapi ia juga menulis dengan jiwa dan raganya. Ia sangat menghayati apa yang ia tulis, dan yang pasti kesan yang mendalamnya terhadap tema yang akan dia sampaikan, sehingga bahasanya mudah dicerna dan mengalir bagai mata air. Inilah salah satu keistimewaan karya-karyanya.

Adapun buku Menerobos Kegelapan adalah sebuah perjalanan hidupnya. Inilah buku yang telah merekam kehidupannya semenjak kecil hingga menjadi saat ini. Dan saya sangat yakin kalau ia telah menemukan jati dirinya lantaran menulis tersebut. Ia telah tersembuhkan dan tercerahkan gara-gara menuliskan segala kepedihan dan traumanya, serta yang ia cari dan ia dapatkan. Sekarang ia telah menemukan jawabannya, dan ia mengatakan:

"Teologi itu sejenis puisi yang elusif, yang memerlukan pikiran tenang dan reseptif seperti yang anda perlukan untuk mendengarkan Beethoven atau membaca Rilke. Anda mesti memberinya perhatian penuh, menunggunya dengan sabar,dan menyisakan ruang kosong untuknya .... Dan di ujung hari karya itu akan mewartakan diri Anda ke Anda-hingga menjadi bagian dari Anda."

2. Virginia Woolf
Dalam sastra Barat nama Virginia Woolf sudah tak asing lagi. Ia merupakan sastrawan Inggris yang karya-karyanya disejajarkan dengan sastrawan lainnya seperti William Shakespeare, T.S. Elliot, Charles Dickens, atau George Orwel. Namun, di telinga kita nama tersebut memang masih asing, tak sepopuler yang lainnya, seperti halnya William Shakespeare dengan Romeo and Juliet-nya. Mungkin saja dikarenakan karyanya tak lazim dengan selera pembaca Indonesia. Karya-karya Virginia masih sangat jarang untuk diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Memang, karyanya tergolong tak seperti halnya pengarang lainnya. Ia sering membuat karya dengan gaya yang berbeda dengan kebanyakan sastrawan lainnya.
Virginia mengidap penyakit kejiwaan yang amat sangat menyiksa hidupnya, seperti halnya Karen Armstrong. Namun ia masih terus menulis, dan menjadikan obat bagi penyakitnya itu. Seolah-olah derita telah tertahankan saat ia merangkai dunia imajinasinya, walau pada akhirnya ia mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Nama lengkapnya adalah Adeline Virginia Woolf, dilahirkan di London pada tahun 1882 dari pasangan Leslie dan Julia Stephen. Ayahnya adalah seorang redaktur Cornhill Magazine dan penyunting Dictionary of National Biography. Bakat menulisnya tertular dari ayahnya. Ia hanya belajar membaca dan menulis dari orangtuanya, dan tak pernah merasakan bangku sekolah. Ia banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan yang letaknya di dalam rumahnya sendiri. Bimbingan orangtuanya serta semangat belajarnya membuat bakat kepenulisannya cepat berkembang. Semakin lama semakin terasah pula insting menulisnya yang pada akhirnya ia mengabdikan hidupnya untuk menulis. Setelah menikah, ia bersama suaminya membuat penerbit Hogarth Press. Selain menerbitkan karya-karyanya ia juga menerbitkan pengarang lainnya yang terkenal seperti puisi T.S. Elliot.

Dalam penulisan karya sastranya, ia memperkenalkan corak yang tak lazim dilakukan oleh sastrawan lainnya. Ia telah mengembangkan temuannya William James dalam gaya penceritaan yaitu yang dikenal dengan istilah arus kesadaran (stream of consciosness) atau juga dikenal dengan dialog batin, dimana teknik tersebut akan menghasilkan efek yang berbeda di mata pembacanya. Efek dari teknik tersebut adalah pembaca benar-benar merasa menjadi terlibat di dalamnya, seolah-olah menjadi bagian dalam cerita tersebut, dimana pembaca merasakan sama yang dirasakan tokohnya. Efek lainnya adalah memberikan kesadaran kepada manusia bahwa mereka sering merasakan kesendiriannya, seperti saat mengalami kesedihan yang luar biasa. Untuk lebih jelasnya silakan baca tulisan Kurniasih dalam kata pengantar novel Mrs. Dalloway (Jalasutra:Yogyakarta).
Selain kegiatan menulis, ia juga pejuang hak asasi perempuan. Ia seorang feminis yang memperjuangkan hak-hak perempuan pada masa itu yang dianggap telah dirugikan kedudukannya. Kedudukannya amat berpengaruh lantaran ide-ide feminisnya yang bisa membuat merah telinga orang yang mendengarnya.

Gangguan jiwa yang dialaminya semenjak remaja semakin hari semakin parah. Mulai dari anorexia (tidak bernafsu makan), sakit kepala, depresi, hypermania (perasaan gembira berlebihan), hingga kehilangan kesadaran akan realitas membuat hidupnya semakin tak bergairah. Menurut para peneliti, badan Virginia adalah badan yang sakit. Keadaan seperti itu mendorong ia mencoba untuk melakukan bunuh diri, tapi selalu saja gagal. Untunglah ia menulis. Menulis adalah semacam cara untuk menyembuhkan penyakitnya tersebut. Segala perasaan yang dialaminya ia tuangkan ke dalam karyanya. Maka tak heran jika karya-karyanya sering menggambarkan tentang keadaan dan perasaan yang dimilikinya. Lewat karyanya, ia membuat dunia ciptaannya dimana ia bisa tinggal, sesuai dengan kehendaknya, dan ia merasa nyaman di dalamnya. Namun setelah merampungkan ceritanya sering terjadi dualisme dalam dirinya, yaitu antara rasa plong dan menderita kembali seperti ketika sebelum ia menuliskan cerita tersebut. Bagai seorang ibu, begitu Kurniasih mengibaratkan, setiap kali melahirkan tulisannya ia merasa senang sekaligus merasa kehilangan sesuatu setelah diterbitkan karyanya itu. Namun setidaknya dengan menulis ia bisa menghilangkan tekanan jiwanya itu, walau pada akhirnya ia berhasil bunuh diri, lantaran penyakitnya yang sudah akut. Tapi, seandainya tidak karena menulis boleh jadi peristiwa tersebut akan terjadi sedini mungkin. Menulis, bisa dikatakan, adalah penyelamat hidupnya, yang ikut memperlambat proses percobaan bunuh dirinya tersebut.

Virginia bukan hanya menulis novel dan cerpen saja, tetapi ia juga menulis catatan harian, biografi, dan esai-esai tentang hak asasi perempuan. Di antara karya-karyanya ialah The Voyage Out (1915) dan Night and Day (1919), Mondays or Tuesday (1921), Jacob's (1927) dan The Waves (1931), Mrs. Dalloway, dan masih banyak lagi karya yang lainnya.

3. Pipiet Senja
“Alhamdulillah, akhirnya penyakit ini bagi teteh malah merupakan berkah. Mungkin teteh gak akan jadi seorang penulis kalau gak thallassemia, ya kan?” (Pipiet Senja)
Nama Pipiet Senja sudah dikenal di seluruh pelosok Indonesia, terutama bagi anggota Forum Lingkar Pena. Namun sepertinya masih jarang yang tahu nama aslinya. Etty Hadiwati Arief ialah nama aslinya. Ia lahir di Sumedang, 16 Mei 1957 dari pasangan Hj. Siti Hadijah dan SM. Arief (alm). Ia mulai menulis sejak remaja. Semenjak kecil hingga remaja ia sudah suka baca karya sastra seperti Old Sutherhand karya Karl May, Winetou, komik-komik wayang Kosasih, cerita silat Kho Phing Ho, sajak-sajaknya Ajip Rosidi, WS.Rendra, Kuntowijoyo, Abdulhadi WM, Charles Dicksen, Emille Zola, Barbara Cartland, Sidney Sheldon, dan masih banyak lagi. Keluasan wawasannya mengenai karya sastra sangat mempengaruhi pada penulisan karyanya sendiri. Daya tampung otaknya seolah-olah tak muat lagi untuk diisi, maka jalan satu-satunya adalah menulis. Tak aneh jika aktivitas menulisnya tak pernah off. Kurang lebih 55 buah buku telah ia hasilkan sejak tahun 1975.

Dan perlu pembaca ketahui ia mengenyam pendidikan formal hanya sampai kelas dua SMU, selebihnya ia belajar dari kehidupan. Menulis pun ia belajar sendiri alias otodidak. Sebelum terjun menjadi penulis professional, ia pernah juga mencicipi berbagai pekerjaan di antaranya menjadi pramuniaga toko buku, dengan alasan ingin banyak baca buku dengan gratis, pernah pula ia jadi penyiar radio daerah, dan terakhir, menjadi reporter tabloid Mutiara, Selecta Group.

Ia tak setuju kalau pandai menulis itu karena bakat. “Kan sebenarnya bakat itu hanya sekian persen, selanjutnya tergantung motivasi penulisnya. Apakah dia memang kepingin menjadi seorang penulis, atau cuma coba-coba, motivasi. Ini sungguh modal awal!” ujar Pipiet saat ia diwawancara oleh kru Kafemuslim.com. Dan untuk membuktikannya ia melatih putrinya menulis yang masih berusia 16 tahun, Adzimatinnur Siregar. Dan ajaib, putrinya itu telah menghasilkan lebih dari 5 buku., yang salah satunya berjudul Amerika Siapa Takut!

Satu hal yang membuat saya terkesan dan terenyuh tentang cerita Pipiet Senja ini, ialah perjuangannya melawan penyakit thallasemia. Thallassemia adalah penyakit genetis, sejak lahir ia sudah membawa gen thallassemia. Kelas enam SD Pipiet sudah mulai ditransfusi setiap dua-tiga bulan sekali hingga sekarang. Penyakit ini tidak ada obatnya kecuali ditransfusi darah, dan setelah itu ia harus memakai desferal, namanya syringedriver yang ditempelkan di perut untuk mengalirkan obat desferal selama sepuluh jam. Setelah demikian ia sudah tak bisa apa-apa. Namun yang membuat saya salut adalah ketetapannya menulis walau keadaan seperti itu, bahkan lebih produktif lagi. Seolah-olah ia ingin melawan penyakitnya dengan menulis, bahkan ia mengatakan,“Alhamdulillah, akhirnya penyakit ini bagi teteh malah merupakan berkah. Mungkin teteh gak akan jadi seorang penulis kalau gak thallassemia, ya kan?”

Baginya, penyakit bukanlah halangan untuk merangkai kata, kalimat dan menjelma menjadi cerita. Dan lantaran semangatnya untuk terus menulis—walau keadaan sakit—ia mendapat julukan sebagai pengarang Prolifik. Kapan dan dimana pun ia bisa menulis, “Insya Allah, saya bisa menulis di mana saja dan kapan saja. Kalau saya lagi diopname di rumah sakit, saya suka bawa-bawa mesin ketik yang kuberi nama si denok.
Nyuri-nyuri waktu dari dokter atau suster, pas mereka meleng, teteh ngederektek aja nulis”, ujar Pipiet dengan logat sundanya yang masih kental. Ia pun sudah terbiasa bangun pukul tiga dinihari. Setelah sholat malam, ia langsung menulis hingga subuh.

Bagi Pipiet, inspirasi pun tidak perlu dicari kemana-mana. Ia akan datang sendiri. Misalnya, ketika ia jalan ke rumah sakit, bertemu pasien kanker yang divonis tinggal beberapa bulan lagi. Maka dari situ ia bisa membuat cerpen atau novel yang temanya penderitaaan seorang ibu karena mengidap kanker.

Perjalanan hidupnya telah ia tulis dalam buku yang berjudul “Cahaya di Kalbuku: Sebuah Memoar Pipiet Senja”. Baginya menulis adalah sebuah proses penyembuhan dan pencerahan yang membuat ia terus hidup dan selalu optimis menghadapi kenyataan yang penuh lika-liku. “Hidupnya memang untuk menulis bahkan suatu ketika dia pernah mengatakan kalau tidak menulis dia tidak akan hidup,” komentar Izzatul Jannah saat ia berbicara tentang Pipiet Senja.

Nama Pipiet Senja telah diabadikan di buku Pengarang Peneliti di Indonesia sebagai profil perempuan pengarang, dan Penulis Perempuan Indonesia, (ed. Korrie Layun Rampan). Di antara karya-karyanya yang terbaru ialah Namaku May Sarah, Riak Hati Garsini, Dan Senja Pun Begitu Indah (novelet bareng Mariam Arianto, Asy-Syaamil), Serpihan Hati, Menggapai Kasih-Mu, memoarnya Cahaya di Kalbuku, Lukisan Rembulan, Trilogi; Kalbu, Nurani, Cahaya (Mizan), Kidung Kembara, Tembang Lara, Rembulan Sepasi, Rumah Idaman (Gema Insani Press).

4. Hernowo
“Saya merasakan sekali bahwa kegiatan menulis dapat membantu diri kita untuk membuat peta kehidupan kita. Saya juga merasakan sekali bahwa teks atau kalimat-kalimat tertulis itu dapat menampung kekayaan kehidupan kita—baik itu kekayaan hidup yang sudah kita jalani maupun yang belum sempat kita jalani” (Hernowo)
Bagi orang yang suka membaca, menulis, dan berkunjung ke toko-toko buku hampir saya pastikan telah mengenal buku-buku Hernowo. Karena Sudah 17 buku telah ia hasilkan dari tangannya. Buku-bukunya berisi tentang motivasi, manfaat, dan bagaimana agar kita bergairah membaca dan menulis. Buku-bukunya seperti Mengikat Makna, dan Andaikan Buku itu Sepotong Pizza telah mengalami cetak ulang. Ini artinya, buku-bukunya telah mendapat sambutan yang luar biasa di masyarakat pembaca dan penulis. Lantaran buku-bukunya, ia telah melalang buana ke berbagai kota untuk mengisi acara baik sebagai promotor buku-bukunya, undangan tentang baca-tulis, atau pun untuk mempresentasikan berbagai gagasan dan penemuannya mengenai membaca dan menulis.

Hernowo lahir di Magelang pada 12 Juli 1957. TK hingga SMU-nya ia habiskan di tanah kelahirannya itu. Kemudian ia kuliah di ITB, Bandung, jurusan Teknik Industri. Hingga sekarang ia masih di sana untuk melanjutkan “sekolahnya” di penerbit Mizan yang kesekian, katanya. Semenjak kecil ia sudah rajin membaca. Semua bacaan mengenai dunia “anak-anak” telah disantapnya dengan lahap sekali, seperti majalah anak-anak, komik, cerita silat, dan masih banyak lagi. Namun ia merasa beku otaknya saat mempelajari mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, karena buku-bukunya monoton dan banyak yang “beracun”, ujarnya saat mengisi acara di Toko Buku Toga Mas Yogyakarta pada 26 Pebruari 2005.

Semenjak kuliah ada sebuah buku yang amat ia sukai yang sering sekali ia sebut di buku-bukunya dan amat berpengaruh yaitu Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam karya Muhammad Iqbal. Itulah buku pertama yang mengenalkan ia dengan filsafat. Sosok Iqbal begitu ia kagumi. Dan setelah ia bekerja di penerbit Mizan pada tahun 1984, ia mulai berkenalan dengan penulis-penulis lainnya seperti Ali Syariati dan Murtadha Muthahhari, serta Anemarie Schimmel. Itulah para penulis yang ia kagumi hingga sekarang ini. Bekerja di sebuah penerbitan maka secara otomatis kebiasaan membacanya meningkat pesat. Baginya, tiada hari tanpa membaca. Selama bekerja di Mizan itu, ia mempersepsi dirinya sedang menjalani proses pembelajaran. Haidar Bagir bercerita tentang Hernowo, “Hampir semua buku Mizan, terutama yang terbit pada 1983-1993, telah dilahapnya. Dia bukan membaca huruf, melainkan benar-benar memahaminya—dia bisa tahu secara cepat kelebihan-kelebihan sebuah buku yang dibacanya dan siapa yang tepat mengonsumsinya.”

Pekerjaan sekaligus hobi membuat kariernya melonjak naik secara cepat. Berawal dari karyawan di bagian produksi kemudian naik menjadi staf keredaksian, menjadi manajer Produksi, lalu General Manager Editorial. Setelah itu ia dipercaya memimpin penerbit Kaifa yang masih berada di bawah Mizan yang dikhususkan untuk menerbitkan buku-buku How to seperti Quantum Learning, dan Learning Revolution. Dan, saat ini ia memegang penerbit MLC (Mizan Learning Centre). Setelah ia memegang penerbit Kaifa ia sering menjadi trainer tentang pembelajaran seperti bagaimana agar bergairah membaca dan menulis, dan lain sebagainya. Kegemarannya membaca buku, dan kemudian menulis meningkat amat pesat.

Pada tahun 1998 ia dipercaya untuk mengajar matakuliah “Digesting” (mencerna buku) di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM), Bandung. Pada tahun berikutnya ia juga mengajar Bahasa Indonesia (bidang ketrampilan menulis), di SMU plus Mutahhari, Bandung.

Buku pertamanya muncul pada tahun 2001 yaitu Mengikat Makna: Kiat-Kiat Ampuh untuk Melejitkan Kemauan Plus Kemampuan Membaca dan Menulis Buku. Buku ini adalah hasil pembelajarannya setelah ia “sekolah” di penerbit Mizan bertahun-tahun. Usahanya ini mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Setelah sukses dengan buku pertamanya ia susul buku keduanya berjudul Andaikan Buku itu Sepotong Pizza, dan mengalami hal yang sama yaitu sambutan ruarr biasa. Mesin menulisnya seolah-olah tak mau berhenti sampai di situ. Ia kemudian menyusul buku ketiganya, keempatnya hingga sampai yang ketujuh belasnya.

Seiring dengan meningkat karya-karyanya, karakter serta kepribadiannya pun meningkat pesat. Wawasannya yang luas membuat ia kaya akan perspektif, atau dengan istilahnya sendiri, “mata baru”. Jika Haidar Bagir mengatakan kalau prestasi-prestasinya itu dihasilkan akibat dari aktivitas membacanya, maka saya akan menambahkan dengan aktivitas menulisnya juga ia menjadi seperti itu. Membaca akan memperkaya perspektif dan meluaskan wawasannya sedangkan menulis akan merekam serta mengekspresikan apa yang diungkapkannya. Perpaduan itu menjadikan hidupnya amat luar biasa. Dia sendiri mengakui kalau pribadinya (dulu) introvert dan kaku dalam berbicara di depan umum. Tapi berkat membaca dan menulis (untuk dirinya sendiri) sifat itu pun hilang. Dengan dua aktivitas itu ia bisa menghadapi hidup dengan sehat, karena baginya, membaca—terutama menulis—bisa menyembuhkan dan mencerahkan. Setiap ada gejolak emosi atas pengalamannya ia selalu menuliskan ke dalam buku hariannya. Dan setiap membaca buku ia selalu menuliskan apa yang menurut ia penting dan manfaat untuk dirinya sendiri.

Melalui pengalamannya, ia sangat yakin kalau dengan membaca dan menulis maka hidup kita akan bahagia, lebih terarah, dan mampu meredam segala emosi baik disebabkan peristiwa masa lalu atau yang sedang dialaminya saat ini. Jadi, selain mengasah ketrampilan menulis dan membaca ia juga sangat yakin keduanya itu bisa melejitkan potensi apa yang ada dalam diri kita. Bahkan bisa dikatakan, bagi dia, keduanya adalah kunci kebahagiaan.

Membaca buku, menurut Hernowo, sama halnya mencerna makanan. Dan makanan dari buku adalah gagasan. Jika kita memakan makanan yang banyak lemaknya otomatis itu tidak akan menyehatkan badan kita dan memberi ruang datangnya penyakit. Begitu pun dengan buku, jika kita membaca buku yang tak bermanfaat maka buku itu akan merusak otak kita. Oleh karena itu, bacalah buku yang bergizi, yang memberikan asupan pada badan kita sehingga kita menjadi sehat baik jiwa maupun raga. Sebagaimana kita makan, membaca pun tak bisa dilakukan secara sekaligus. Bacalah buku secara ngemil dan perlahan-lahan seperti halnya memakan makanan.

Kekuatan menulis, menurutnya, terletak pada kemampuannya untuk menjawab berbagai pertanyaan yang ditujukan pada diri kita sebagai orang yang menulis. Menulis, ia artikan sebagai merumuskan hal-hal yang kita simpan "di dalam" untuk kemudian dapat kita pahami "di luar". “Dan syarat menulis yang dapat menghasilkan rumusan yang baik adalah adanya kongruensi, bahwa segala sesuatu yang ada di dalam (yang kita pikir dan rasakan) harus sama persis dengan segala yang sesuatu yang ada di luar (yang kita tulis dan lakukan)” Ujar Hernowo.

Ia menyarankan, jika kita ingin tercerahkan dengan menulis kita harus mempunyai catatan harian. Dengan catatan harian itu kita akan mengekspresikan diri kita. Kita akan menuliskan segala apa yang kita pikirkan dan rasakan. Dan kita juga akan merekam segala aktivitas dan perubahan-perubahan yang ada dalam diri kita lantaran catatan harian tersebut. Sungguh, ia bukan hanya bicara thok mengenai penemuannya ini, tapi ia berdasarkan pengalaman dan penelitiannya. Inilah yang membuat kita mempercayai akan perkataannya. Maka tak heran kalau buku-bukunya sangat laris di pasaran. Ia sudah mempunyai “peta kehidupan”nya sendiri melalui teks-teks yang ia tuliskan di catatan hariannya. Selain tercerahkan lantaran menulis, ia juga memiliki keunggulan dalam menyelenggarakan kegiatan membaca dan menulis. Dan keunggulannya itu memang bersifat 'ke dalam'. “Artinya, saya merasakan memiliki keunggulan dalam hal membaca dan menulis lebih dikarenakan saya merasakan sekali bahwa diri saya tumbuh dan berkembang setiap hari gara-gara saya melakukan, secara konsisten dan kontinu, kegiatan membaca dan menulis. Manfaat yang saya raih selama saya menekuni kegiatan membaca dan menulis dapat mewujud baik berkaitan dengan manfaat fisik maupun non fisik”.

Adapun karya-karyanya di antaranya Mengikat Makna, Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza, Main-Main Dengan Teks, Quantum Reading, Quantum Writing, dan buku yang lainnya.

5. Asma Nadia
“Menulis sekarang menjadi kehidupan yang tidak bisa dipisahkan. Kalau pergi ke mana-mana, jauh dari komputer, kangen. Saya tiap hari harus menulis sehingga ada kebutuhan untuk menulis. Setelah urusan lain-lain di rumah selesai, aktivitas pertama menulis. Menutup hari juga dengan menulis” (Asma Nadia)

Asma Nadia adalah nama pena dari Asmarani Rosalba. Ia adalah adik kandung dari seorang sastrawan yang tak asing lagi di telinga kita yaitu Helvy Tiana Rosa. Asma dikenal sebagai seorang novelis dan cerpenis. Karya-karyanya mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat. Hal itu terbukti dengan beberapa karyanya yang mendapatkan penghargaan, di antaranya dua bukunya, Rembulan di Mata Ibu (Mizan, 2000) dan Dialog Dua Layar (Mizan, 2001) dinobatkan sebagai buku remaja terbaik Adikarya IKAPI 2001 dan 2002. Bahkan, “sempat cetak ulang sampai delapan kali”, ujar Asma Nadia saat ia diwawancarai wartawan Republika. Sedang bukunya yang lain, Derai Sunyi (Mizan, 2002) menjadi novel terpuji tingkat nasional versi Forum Lingkar Pena. Dalam karir kepengarangannya, ia pernah terpilih sebagai salah satu pengarang terbaik tingkat nasional selama dua tahun berturut-turut yang berbarengan dengan kedua bukunya tersebut.

Adalah sebuah proses yang begitu panjang untuk menuju hal yang disebutkan di atas itu. Banyak jalan terjal yang harus ia lewati: Sejak kecil Asma Nadia sangat suka membaca. Semua bacaan ia lahap dengan “rakus”. Mulai buku cerita, buku pelajaran, koran, bungkus cabai, bawang, dan kertas-kertas pembungkus sayur yang dibawa pulang ibunya dari pasar.

Suatu hari, pada waktu umur tujuh tahun ia terjatuh dan kepalanya terbentur benda keras. Ia kesakitan dan dibawa ke rumah sakit. Ia “divonis” gegar otak oleh sang dokter.

"Kami sangat menyesal. Lima benjolan kecil di kepalanya ternyata tumor, harus diangkat." Ujar sang dokter saat memeriksa Asma kecil.

Sesekali merasakan sakit, ia lalu dibawa ke rumah sakit lagi. Kadang menjalani rawat inap beberapa hari. Saat sakit itulah ia sering mengisi waktunya dengan menulis cerita. Kadang juga menulis lagu. Buku-buku yang telah dibacanya sudah tak terhitung lagi. Namun, sesekali ia memegangi kepalanya sambil memejamkan matanya. Akibat efek dari operasi itulah ia sering pusing dan sulit berkonsentrasi dalam waktu lama.

"Tapi apa aku bisa, Kak? Aku kan gegar otak." Ujar ia saat mengucapkan keinginannya jadi penulis. Namun kakaknya memberi semangat.

“Tentu, Dik. Tentu saja kamu bisa! Kamu bisa melakukan apa pun yang kakak kerjakan bila kamu mau!" ujar sang kakak.

Dari situ ia mulai serius belajar. Ia tak memedulikan sakit yang ada di kepalanya itu. Walau sesekali ia pusing. Di bangku sekolah ia mulai menonjol. Ia selalu menjadi rangking satu, bahkan juara umum pun pernah diraihnya.

"Aku akan melawan penyakit ini dengan berkarya, Kak. Dengan melakukan sesuatu!" kata Asma Nadia pada kakaknya saat remaja.

Begitulah, hingga beranjak dewasa ia selalu mempertahankan keinginannya menjadi pengarang. Ia melupakan sakitnya dengan berkarya. Mulailah ia menulis untuk media massa. Ia menulis artikel, cerpen, dan cerita bersambung, bahkan skenario televisi. Maka, di tahun 2000 terbitlah bukunya yang diterbitkan oleh As Syamil. Dan, hingga sekarang ia telah menulis beberapa puluh buku yang telah diterbitkan. Karir kepenulisannya pernah membawanya terbang ke negeri jiran (Malaysia) dan Mesir, dan pemateri workshop kepenulisan.

Sejak tahun 1997 hingga kini ia menjadi Direktur Yayasan Prakarsa Insan Mandiri, sebuah yayasan yang bergerak di bidang sosial, budaya, dan pendidikan. Ia juga menjadi ketua I FLP pusat, dan menjadi CEO Lingkar Pena Publishing House. Ia juga menjadi pengarang nasyid, pernah meluncurkan tiga album bersama kelompok Bestari, dan beberapa lagunya dibawakan oleh Snada.

Ia menjadi inspirator kakaknya, Helvi Tiana Rosa. “Setiap kali saya merasa lemah dalam melangkah, saya akan selalu teringat saat-saat kami masih kecil juga tekad Asma Nadia untuk melawan semua penyakitnya dengan berkarya.” Ujar Helvy. Sedangkan Helvy, bagi Asma bukan hanya sebagai kakak, tapi juga sebagai guru menulisnya.

Saat ini ia dikaruniai dua orang anak, Eva Maria Putri Salsabila dan Adam Putra Firdaus. Namun, menjadi seorang ibu dua orang anak itu, tak membuat surut karir kepenulisannya. Pada awalnya memang agak repot untuk menulis, mesti menunggu anak-anaknya tidur. Namun, setelah beradaptasi dengan keadaannya sebagai seorang ibu, ia mampu kapan saja menulis. “Penulis harus punya kemampuan adaptasi yang bagus. Bisa menulis dalam berbagai situasi: ribut atau hening. Bisa menulis tidak dalam satu waktu, tapi sambil melakukan hal-hal lain.” Ujarnya.

Ia sangat mensyukuri bisa bertahan hingga sekarang lantaran menulis.
''Allah memberikan begitu banyak tanda. Mungkin wujud syukur yang bisa saya lakukan adalah tetap menulis,'' ujarnya.

Senin, 17 November 2008

Nilai-Nilai Edukatif dalam Film Laskar Pelangi


Film Laskar Pelangi menjadi sebuah fenomenal. Kehadirannya begitu memukau di semua kalangan. Masyarakat begitu antusias menontonnya. Entah hanya sebagai hiburan, ikut-ikutan menonton, atau bahkan mengapresiasinya.

Tak terkecuali di kalangan pendidik. Mengapa bisa demikian? Film ini memang tidak hanya berkualitas dari sisi perfilman dan hiburan, tetapi juga dari sisi pesan yang hendak disampaikannya. Pesan moralnya begitu kuat. Paling tidak ada tiga hal besar pesan pentingnya: Optimisme, semangat belajar, dan semangat mengejar cita-cita.

Film Laskar Pelangi merupakan film yang diadaptasi dari novel karya Andrea Hirata dengan judul yang sama, Laskar Pelangi (Bentang Pustaka, 2005). Film ini disutradarai oleh Mira Lesmana dan Riri Reza yang menggambarkan sekelumit sisi lain (yang ironis) dari dunia pendidikan di Indonesia. Adapun setting film tersebut pada tahun 1970-an di tanah Bangka Belitung (kadang dieja ‘Belitong’) yang kaya dengan tambang timah, namun mempunyai sekolah SD yang miskin, yaitu SD Muhammadiyah Gantong. Kemiskinan tersebut otomatis disertai pula oleh para siswa yang berlatar belakang kelas bawah.

Meski demikian, para pendidiknya (Pak Harfan dan Bu Muslmah) berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan eksistensi sekolahnya. Mereka beranggapan bahwa sekolah tersebut adalah warisan luhur yang harus dilestarikan dan dikembangkan, karena sekolah ini adalah satu-satunya (di tanah Belitong) yang mengajarkan antara ilmu dan agama (baca:akhlak). Dan SD tersebut ternyata mempunyai para siswa yang penuh bakat. Sebut saja, misalnya, Lintang yang cerdas dalam matematika, dan Mahar yang pintar dalam hal seni. Keduanya mengharumkan sekolah mereka saat ada perlombaan antar sekolah SD. Hanya saja kemudian kecerdasan mereka tak bisa tersalurkan akibat himpitan hidup yang memaksa mereka untuk bekerja membantu perekonomian keluarganya.

Guru Sebagai Motivator
Tokoh Pak Harfan dan Bu Muslimah sebagai guru begitu strategis dalam film Laskar Pelangi. Keduanya menjadi inspirasi para siswanya untuk terus bersemangat dalam belajar. Kata-kata mutiara yang sering diucapkan Pak Harfan terhadap anak-anaknya adalah ‘hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya’ menjadi ruh para siswa untuk optimis mengarungi hidupnya. Pak Harfan memberi siswanya pelajaran tentang keteguhan pendirian, ketekunan, dan keinginan kuat untuk mencapai cita-cita. Dia meyakinkan mereka bahwa hidup bisa demikian bahagia jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesama. Tak jauh berbeda juga dengan peran Bu Muslimah. Dia menjadi figur ‘ibu’ di sekolah, yang selalu mengayomi para Laskar Pelangi (panggilan untuk kesepuluh siswanya itu).

Dari film tersebut—melalui tokoh kedua pendidik itu—tersirat bahwa sebagai pendidik tidak hanya sekadar mentransfer keilmuan an sich yang terdapat dalam buku-buku, melainkan juga membantu para siswanya untuk menjadi dirinya sendiri sesuai dengan bakat dan minatnya. Tidak berhenti di situ saja, seorang guru pun harus menjadi motivator para siswanya, agar para siswa bersemangat dalam belajar, mengejar cita-cita, dan berbuat baik, serta rendah hati. Dus, saya tekankan sekali lagi bahwa kedua pendidik tersebut, yaitu Pak Harfan dan Bu Mus, bukan sekadar mengajari para siswanya tentang materi pelajaran yang didapat dari buku-buku kurikulum, tapi juga mengajarkan budi pekerti dan memberi tauladan yang baik dari kehidupan nyata.

Begitulah idealnya seorang pendidik atas anak didiknya. Kehidupan abstrak yang didapat dari teori-teori pengetahuan dan kehidupan konkrit yang didapat dari kenyataan hidup harus secara beriringan pada saat ditransfer kepada para siswanya. Maka, dengan kata lain bahwa pendidikan sejatinya menghilangkan jarak antara alam materi dan alam konkrit, antara dunia teori dengan dunia nyata. Dengan begitu, diharapkan peserta didik mempunyai visi ke depan, sehingga ia dapat merencanakan hidupnya di masa depan.

Pelajar Sejati
Anggota Laskar Pelangi adalah para pelajar sejati. Betapa tidak, mereka tetap bertahan untuk melangsungkan pembelajaran di sekolah yang sesungguhnya tak layak untuk ditempati. Mereka benar-benar teruji sebagai pelajar sejati, lantaran tak kalah dengan keadaan. Maka cita rasa pendidikannya pun akan lain dengan keadaan sekolah yang serba mewah. Kearifan hidup tak terasa di sekolah yang serba memanjakan siswanya. Inilah sesungguhnya yang telah hilang dari dunia pendidikan kita baik tingkat Taman Kanak-Kanak maupun Perguruan Tinggi.

Harus diakui bahwa dunia pendidikan saat ini telah kehilangan makna dan karakternya. Dasar dan falsafah pendidikannya pun hampir tak tersentuh sama sekali. Pendidikan kita saat ini sangat berorientasi pada materialisme, rasionalisme, kapitalisme, dan standarisme (nasional maupun internasional). Para pendidik seperti Pak Harfan dan Bu Muslimah sangat jarang kita temui saat ini. Guru-guru kita telah terjebak pada rutinitas belaka sebagai “guru”, yang hanya menjalankan kewajibannya dan memikirkan pendapatannya saja. Mereka telah kehilangan ruh sebagai pendidik yang sejatinya harus memberi suri tauladan hidup bagi peserta didiknya.

Efek dari seorang pendidik yang memfungsikan dirinya sebagai suri tauladan akan sangat berpengaruh terhadap peserta didiknya. Hal itu bisa kita lihat pada tokoh Pak Harfan dan Bu Muslimah yang memberikan suri tauladan kepada Laskar Pelangi. Pak Harfan sering memberikan kisah-kisah inspiratif dan dorongan positif kepada Lintang dan kawan-kawannya itu, dan Bu Muslimah selalu memperhatikan mereka dengan sepenuh hati yang dilandasi kasih dan sayang. Efeknya adalah mereka tetap semangat belajar walau sekolah mereka minim fasilitas. Mereka juga semangat menjalankan hidupnya, lantaran terlecut kisah-kisah dan motivasi yang diberikan kedua pendidik mereka, Pak Harfan dan Bu Muslimah.

Laskar Pelangi adalah para pelajar sejati yang tak terkalahkan oleh keadaan yang serba minim. Keadaan yang serba kekurangan tidak menghalangi mereka untuk selalu belajar. Mereka tidak saja belajar dalam kelas tetapi juga belajar dari alam yang mengajarkan mereka untuk berbagi kepada sesama. ***

Sabtu, 01 November 2008

Kritik Kodifikasi Al-Qur’an dan Asbab An-Nuzul (Telaah Pemikiran Andrew Rippin)

Dalam buku “Approach To Islam In Religius Studies” Rippin menulis essay tentang metodologi yang dipakai John Wansbrough dalam memahami al-Qur'an. Metode yang digunakan Wansbrough dalam hal tersebut adalah metode sastra.

Rippin memulai pembahasannya dengan mengatakan bahwa Yahudi dan Islam adalah dua agama dalam sejarah. Karena dalam kedua agama tersebut Tuhan turut campur atau berinteraksi dalam sejarah untuk merampungkan tujuan-tujuannya.

Mengenai pernyataan ini, Fazlur Rahman berkomentar bahwa apa yang dapat dan tidak dapat dibuktikan oleh penelitian sejarah adalah apakah agama-agama ini telah membuat klaim semacam itu dan berada pada titik tertentu dalam waktu atau tidak.

Oleh karena itu, Rippin telah menggambarkan perbedaan serupa, yaitu mencampuradukan pandangan agama tentang sejarah dan pandangan sejarah tentang agama. Rippin menolak penelitian kesejarahan mengenai “apa yang sesungguhnya terjadi”. Padahal agama mengajukan klaim-klaim seperti itu dapat dan harus diteliti secara historis. Misalnya, kapan klaim-klaim tersebut dikemukakan, siapa yang mengajukannya, dan seterusnya. Bagaimana penolakan atas teologi sejarah meniadakan keniscayaan sejarah teologi itu? Hal yang patut dipertanyakan juga adalah mengapa ketika agama (Kristen, Yahudi, dan Islam) tersebut disebut agama-agama historis dan Hindu, Brahma, dan lain-lainnya tidak?[1]

Rippin mengatakan tentang posisi Islam tidak historis lantaran tidak ada dukungan berupa bukti ekstra literer dalam data arkeologis yang tersedia. Oleh karena itu, Rippin, senada dengan Wansbrough bahwa untuk menghilangkan problem teologis tentang asal usul Islam, menawarkan pendekatan sastra, karena pendekatan historis tidak dapat menyingkirkan problem teologis.[2]

Namun dalam hal ini, Fazlur Rahman mengatakan keampuhan metode historis sudah cukup membuktikan bahwa bahan-bahan historis kaum muslim pada pokoknya asli, dan pengalihan kepada suatu metode analisa sastra yang murni tidak diperlukan.[3] Fazlur Rahman secara nyata memberi contoh konsekwensi jika berhenti pada sejarah dan hanya memakai pendekatan sastra, yaitu perbedaan-perbedaan tertentu dalam al-Qur'an di lihat kronologi periode Mekkah dan Madinah, seperti kisah perselisihan Ibrahim dengan ayahnya. Surat 19:47 (makkiyah) mengatakan bahwa Ibrahim sementara bersahabat dengan ayahnya. Ia mengatakan pada ayahnya bahwa dirinya akan terus berdoa memohonkan ampun baginya. Dan periode Madinah, ketika al-Qur'an memerintahkan kaum muhajirin untuk melepaskan diri dari anggota keluarga dekatnya di Mekkah yang tetap pagan dan terus mencela dan memusuhi muslim. Maka dari itu al-Qur'an mengatakan pada mereka (surat 19:114), “Ibrahim berdoa memohonkan ampun bagi ayahnya hanya karena ia pernah berjanji” (dengan kata lain ia benar-benar telah memutuskan hubungan kekeluargaan dengannya). Hal ini menurut Fazlur Rahman masing-masing ayat ini cocok untuk lingkungan historis Nabi di Mekkah dan Madinah. Selain itu coba lihat surat 11:27-29, dimana Nuh diminta oleh para “pembesar” kaumnya agar melemparkan pengikutnya yang berkelas rendah sebelum mereka bergabung dengannya adalah sesuai dengan situasi Muhammad pada tahun-tahun terakhir di Mekkah, atau surat 7:85 Syu’aib diutus kepada kaumnya untuk menasihati mereka agar jujur dalam berdagang. Tentu saja ini juga merupakan problem yang dihadapi Muhammad dalam masyarakatnya. Semua contoh di atas memberi kesimpulan bahwa al-Qur'an berhubungan erat dengan aktivitas Nabi.[4]

Rippin membela diri atas paparan yang ditulis Fazlur Rahman bahwa kita tidak tahu dan tidak pernah dapat mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Apa yang oleh kita, lanjut Rippin, dapat diketahui adalah apa yang orang-orang kemudian dipercayai atau diyakini sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi oleh orang-orang kemudian. Ia berkomentar bahwa sumber-sumber sejarah mendukung untuk merekam pertimbangan tentang “apa yang sesungguhnya terjadi”. Keinginan untuk merekam apa yang terjadi pada masa lalu, lanjut Rippin, adalah suatu tugas yang tidak masuk akal atau secara teoritik adalah tugas yang tidak mungkin. Islam memiliki sejarah, tetapi keinginan untuk mencapai hasil positif tidak harus menyebabkan kita mengabaikan sifat-sifat sastra dari sumber-sumber yang ada.[5]

Kritik lain yang dilontarkan Rippin yaitu mengenai studi Islam yang dilakukan Patricia Crone dan Michael Cook. Kata Rippin, mereka tidak mampu mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang ada dalam sumber-sumber itu karena sumber-sumber tersebut merupakan otentisitas sejarah yang dapat dipertanyakan, dan lebih-lebih sumber-sumber itu adalah karya-karya yang dibangun atas dasar polemik.[6] Lalu dia memperkuat kata-katanya dengan kata-kata Wansbrough:

“Dapatkah sejumlah motif secara bebas dipertimbangkan atas dasar stereotip sastra yang mempunyai ciri-ciri tersendiri yang disusun oleh pengamat asing dan bermusuhan dan setelah itu digunakan untuk menjelaskan bahkan menafsirkan dimana tidak sekadar perilaku lahiriah tetapi juga perkembangan intelektual dan spiritual dari para aktor yang hampir tidak berdosa dan tidak membutuhkan pertolongan?”[7]

Kritik Kodifikasi al-Qur'an
Andrew
Rippin mengamini pendapat Wansbrough bahwa kanonisasi teks al-Qur'an terbentuk pada akhir abad ke-2 Hijriah. Oleh sebab itu, semua Hadis yang menyatakan tentang himpunan al-Qur'an harus dianggap sebagai informasi yang tidak dapat dipercaya secara historis. Semua informasi tersebut adalah fiktif yang punya maksud-maksud tertentu. Semua informasi tersebut mungkin dibuat oleh para fuqaha untuk menjelaskan doktrin-doktrin syari’ah yang tidak ditemukan di dalam teks, atau mengikuti model periwayatan teks orisinal pantekosta dan kanonisasi kitab suci Ibrani.[8]

Masih menurut keduanya, untuk menyimpulkan teks yang diterima dan selama ini diyakini oleh kaum Muslimin sebenarnya adalah fiksi yang belakangan yang direkayasa oleh kaum Muslimin. Teks al-Qur'an baru menjadi baku setelah tahun 800 M. Lebih jauh lagi Rippin mengatakan, Al-Qur'an tidak diturunkan kepada satu orang, tetapi merupakan kumpulan atau pengeditan oleh sekelompok orang selama beberapa abad.[9] Jadi, al-Qur'an yang kita baca sekarang tidak sama dengan apa yang ada pada abad ke 7M. kemungkinan merupakan hasil abad 8M dan 9M.[10]

Akibatnya tahap pembentukan Islam tidak berlangsung pada masa Muhammad, namun berkembang selama 200-300 tahun berikutnya. Sumber-sumber materi bagi periode ini, sangat sedikit. Dan di luar dugaan, semua sumber berusia jauh setelah abad 7. Sebelum 750 M tidak ada dokumen yang bisa diverifikasi yang bisa menjelaskan periode pembentukan Islam ini. Periode klasik ini menggambarkan masa lalu tetapi dari sudut pandangnya sendiri, seperti orang dewasa menulis tentang masa kecilnya yang cenderung mengingat hal-hal yang manis saja. Sehingga kesaksian ini bersifat tidak obyektif dan oleh karena itu tidak dapat diterima sebagai otentik.[11]

Menurut Rippin, muslim ortodok percaya penuh bahwa wahyu Islam adalah intervensi ilahi lewat Jibril selama periode 22 tahun, masa yang menetapkan hukum dan tradisi yang akhirnya membentuk Islam. Tetapi hal ini diragukan, kata Rippin, bahwa pada abad ke 7, Islam, sebuah agama yang terdiri dari hukum dan tradisi yang njlimet dibentuk dalam sebuah budaya nomad terbelakang dan berfungsi penuh dalam hanya 22 tahun. Wilayah Arabia sebelumnya tidak dikenal sebagai dunia beradab. Periode ini bahkan dicap sebagai periode jahiliyah. Wilayah Arabia sebelum Muhammad tidak memiliki budaya maju, apalagi infrastruktur yang diperlukan untuk menciptakan keadaan yang mendukung pembentukan Islam. Jadi, bagaimana Islam diciptakan secepat dan serapih itu? Dalam lingkungan padang pasir yang terbelakang lagi.[12]

Asbab an-Nuzul

Dalam karya John Wansbrough yang berjudul Qur’anic Studies:Sorces And Methods Of Scriptural Interpretation, sejumlah tesis dicetuskan mengenai asbab an-nuzul, atau peristiwa-peristiwa pewahyuan. Keseluruhan pandangan Wansbrough salah satunya secara kritis diambil dari as-Suyuti. Materi asbab merupakan poin rujukan utamanya dalam karya-karya yang berusaha untuk mengambil hukum dari teks al-Qur’an, yaitu, karya halakhic. Dia mengemukakan bahwa keberadaan materi asbab sebagaimana ditemukan dalam haggadic atau tafsir naratif, seperti dalam karya Muqatil adalah “kebetulan’, karena, ketika laporan-laporan naratif asbab menjadi anekdot. Mereka tidak bisa memenuhi apa yang Wansbrough pandang sebagai “fungsi esensial’, yang membentuk ‘sebuah kronologi pewahyuan’.

Berdasarkan hal di atas, Andrew Rippin mencoba melakukan investigasi khusus terhadap fungsi dari asbab dalam penafsiran, yaitu untuk mengajukan pertanyaan mengenai apa yang diselesaikan dalam cerita-cerita asbab? Apakah mereka (para penafsir) memberikan sejarah atau penafsiran? Apakah dalam karakternya hal itu merupakan haggadic atau halakhic penafsiran? Petanyaan tersebut ditujukan untuk analisis literal mengenai cerita itu sendiri dan juga dengan melihat penggunaan materi tersebut di dalam teks penafsiran. Pertanyaan yang dikemukakan dalam nada ini adalah sebagai berikut: mengapa di dalam konteks sebuah karya seperti dalam karya at-Tabari materi asbab nuzul dikemukakan? Apa tujuan penafsir mengemukakan hal itu? Apa yang dia harap untuk selesai dengan melakukannya? Apa yang dia lakukan terhadap materi tersebut setelah dia mengemukakannya?[13]

Dalam penelitiannya, Rippin memakai pendekatan yang digunakan Wansbrough, yaitu kritik sastra dan kritik histories. Andrew Rippin membuat frame work investigasinya yang dibatasi pada karya-karya penafsiran yang dihasilkan oleh pengarang Sunni di Arab mulai dari periode awal (yaitu, sebelum abad enam Hijriah), terutama ketika teknik literatur penafsiran benar-benar tidak rumit dan belum kacau. Jangkauan dari karya penafsiran yang disurvey meliputi tipe haggadik cerita periode awal, yaitu karya Muqatil (w. 150/767), Pseudo al-Kalbi (w. 146/763), Sufyan at-Tsauri (w. 161/777), Mujahid (w.104/772), Abd al-Razzaq (211/826), al-Thabari (w.310/922), dan al-Wahidi (468/1075). Adapun poin penggunaan tiga sub-genre tafsir untuk diinvestigasi adalah sangat simpel, karena mereka telah dikemukakan dalam konteks pembahasan sebelumnya mengenai peran asbab an nuzul sebagaimana ditemukan baik dalam karya terkini Wonsbrogh, yaitu Qur’anic Studies dan The Secterian Milieu, tetapi juga sebagaimana diindikasikan dalam pembahasan mengani topik tersebut oleh al-Zarkasy dan Suyuti. Dan yang menjadi fokus Rippin dalam penggunaan teks-teks yang para penafsir adalah memfokuskan pada pertanyaan literatur esensial: Kenapa asbab an-nuzul dikemukakan dalam karya-karya ini? Hasilnya akan memberikan sebuah pandangan mengenai teknik penafsiran atau metode penafsiran literal yang digunakan oleh para penafsir ini.[14]

Setelah melakukan investigasi, Rippin menyimpulkan bahwa asbab al-Nuzul mendapat perhatian karena didasari dari keinginan Umat Islam untuk men’sejarah’kan teks al-Qur’an agar dapat dikatakan bahwa Tuhan benar-benar mewahyukan kitab-Nya pada manusia di dunia ini merupakan bukti perhatian Tuhan pada makhluk-Nya. Hanya saja menurut penelitiannya, Andrew Rippin menyatakan bahwa bidang ini belum mendapat perhatian serius menjadi kajian sejarah dan kontekstual teks dari kalangan umat Islam sendiri. Asbab al-nuzul hanya dicatat dan lalu dibiarkan tanpa ada penjelasan kausalitas. Kesimpulan yang lainnya juga adalah bahwa asbab al-nuzul tidak berada pada zaman nabi, tapi hanya hasil rekonstruksi setelah masa Nabi Saw, dimana salah satunya adalah melalui sunnah maupun hadis, padahal keduanya dalam periwayatannya belum tentu benar dan jujur, ketika seseorang meriwayatkannya, apalagi jika mengingat rentang waktu yang berpuluhan tahun. Namun, Rippin tidak menyadari tentang teori periwayan yang dikenal dalam dunia islam. Bahwa proses periwayatan bukan hanya saja secara lafdzi akan tetapi juga secara maknawi[15]. Inilah saya kira salah satu yang luput dicermati oleh Rippin ketika menyimpulkan hal di atas.

Refleksi Atas Rippin
Betapapun naifnya Rippin terhadap pendekatan sejarah, namun patut juga kita renungkan secara jernih tanpa a priori padanya. Hal itu memang senada dengan pernyataan bahwa semua produk pemikiran dalam khazanah Islam tidak lebih dari produk sejarah yang tidak bisa mengelak dari ruang dan waktu. Tak pernah ada jaminan bahwa sebuah teks betul-betul murni menyuarakan secara utuh apa yang seharusnya dikatakan. Oleh karena itu, tak heran, jika kita dapatkan kritikan tajam dari para orientalis mengenai sejarah yang dipunyai umat Islam, terutama al-Qur'an wama haulahu.

Terakhir, pendekatan sejarah (dan sastra) dalam studi al-Qur'an tidak akan menghasilkan konklusi yang positif dalam pandangan Islam, karena historisme melakukan eksplanasi terhadap obyek penyelidikannya. Eksplanasi dilakukan sebagai pihak outsider (baca:non-muslim). Akibat negatifnya adalah data yang diteliti dengan mudah direduksi untuk mencocokkan dengan kategori-kategori metodologi. Karena itu, ini akan menghasilkan reduksionisme. Inilah yang penulis simpulkan dari catatan Andrew Rippin mengenai pandangannnya tentang sejarah sebagai metodologi kajian Islam, khususnya al-Qur'an.
Wallahu a’lam
----------------------------
[1] Andrew Rippin, Analisis Sastra Terhadap al-Qur'an, Tafsir, dan Sirah: Metodologi John Wansbrough. Hlm. 201. Lihat juga Fazlur Rahman, Pendekatan Terhadap Islam Dalam Studi Agama. Hlm.249. Kedua tulisan di atas ada dalam buku Richard C. Martin (ed.), Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, pen. Zakiyuddin Bhaidhawy, (Surakarta: Muhammadiyah University Press), cet.2, 2002
[2] Andrew Rippin, Ibid
[3]Fazlur Rahman, Ibid.
[4]Fazlur Rahman, Ibid., Hlm. 262
[5]Rippin., Ibid.
[6]Ibid.
[7]Ibid.
[8] http://www. Faithfreedom.org/forum/viewtopic.php?p=8619
[9]Rippin 1985:155. lihat http://www. Faithfreedom.org/forum/viewtopic.php?p=8619. Ibid.
[10]Ibid.
[11]Ibid.
[12]Ibid., Rippin, 1990:3-4
[13]Andrew Rippin, “The Function of Asbab an-Nuzul Qur’anic Exegesis”, dalam Buletin of The School of Oriental an African Studies.51, 1988, hlm. 1-20. lihat juga situs www.muhammadanism.com. Dikutip pada tanggal 1 Pebruari 2007
[14]Ibid.
[15]Ibid.