Sabtu, 09 Agustus 2008

IBU

Tak perlu kita mencari jawaban mengapa kita harus menghormati orangtua. Selain naluri sebagai anak, Islam pun sudah mengatur hal ini, bahwa kita—sebagai anak—harus menghormati orangtua.
Lihat, misalnya, dalam Alquran surat 17 ayat 23. dan dalam Hadis pun kurang lebih sama, bahkan lebih tegas lagi. Misalnya Hadis di bawah ini, “Berbuat baiklah kepada kedua orangtuamu, sebab hanya dengan begitulah anak-anakmu nanti akan berbuat baik kepadamu, dan jagalah kesucian dirimu, sebab hanya dengan begitulah istrimu akan terjaga kesuciannya.” (HR. Bukhari) .

Dalam Hadis lain kita diperintahkan oleh Nabi untuk menghormati ibu kita agak dominan. Mengingat jasa ibu yang begitu besar bagi perkembangan kita, sebagai anak. Paling tidak ada dua Hadis yang memperlihatkan dan memperkuat hal tersebut. Pertama, Hadis yang sudah sering kita dengar, “Surga berada ditelapak kaki ibu” (Bukhari). Kedua, Hadis yang bunyinya, “Ada seorang pemuda mendatangi Nabi dan bertanya, ‘Siapa yang paling pantas kucintai dan kuhormati?” Nabi menjawab, “Ibumu!”, “dan yang kedua?” “Ibumu!”, “dan yang ketiga?” Nabi menjawab, “Ibumu!”, “terus siapa lagi?”, “(Baru) ayahmu!” (HR. Bukhari).

Begitulah Islam menghormati kaum perempuan (baca:ibu) karena peranannya begitu besar dalam kehidupan, terutama kehidupan seorang anak. Jalaluddin Rumi berkomentar tentang seorang ibu dalam Matsnawi, “(Karena) kelembutan ibu berasal dari dari Tuhan, merupakan kewajiban suci dan tugas mulia bagi kita untuk berbakti kepadanya.”

Tak heran sesungguhnya jika kita menyadari bahwa kita dibesarkan oleh ibu kita, karena sedari kecil kita lebih interaktif dengan ibu dibanding ayah. Kita dirawat dan dijaga dengan baik oleh sang ibu. Maka secara tidak langsung watak kita akan terpengaruh oleh ibu. Kelembutan hatinya mampu mencurahkan kasih sayang kepada kita.

Dalam sejarah juga diceritakan bagaimana para tokoh besar dalam Islam berkat asuhan sang ibu. Bukhori adalah salah satu contohnya. Hampir semua kaum muslim pernah mendengar namanya. Melalui karyanya Shohih al-Bukhori ia dikenal baik, karena karyanya dianggap compatible di bawah Alquran. Dan kita semua berhutang budi padanya karena kita jadi tahu Hadis-Hadis shohih. Bukhori menjadi sukses tidak lepas dari “campur tangan” ibunya. Karena ibunyalah ia berbudi baik, dan berpendidikan tinggi. Konon, kekayaan ibunya dicurahkan untuk Bukhori dalam membiayai mencari ilmunya. Sungguh, pengorbanan ibu yang sangat luar biasa. Imam Syafi’i, kurang lebih hampir sama dengan Bukhori yang mempunyai ibu luar biasa.

Annemarie Schimmel menulis begitu dalam mengenai hal peranan perempuan, terutama dalam bidang tasawuf. Melalui bukunya Jiwaku Adalah Wanita dia mengatakan bahwa para ibu memainkan peranan menentukan dalam biografi orang-orang suci Chisyti dari India utara. Betapa para ibu orang-orang suci begitu dihormati di sana. Di Mehrauli, misalnya, para pengunjung perempuan ke pusara Quthbuddin Bakhtiyar Kaki (w. 1235) untuk meletakkan karangan bunga di atas kuburan ibunya dan anggota-anggota keluarganya yang perempuan.

Hal sama juga pada kuburan Burhanudin Gharab (w. 1338) di Khuldabad di Dekan atau pusara ibu Maulana Rumi di Karaman (Anatolia).

Masih di India, Fariduddin Ganj–i Syakar, sufi tersohor pada masanya, sebenarnya turunan dari seorang ibu yang saleh. Fariduddin mengaku bahwa seluruh keberhasilannya adalah berkat ibunya, yang diyakini memiliki mukjizat dapat membutakan seorang pencuri yang memasuki rumahnya. Setelah si pencuri bertobat atas perbuatannya yang salah, ibunya mengembalikan penglihatan si pencuri tersebut dan orang itu pun masuk Islam.

Dalam tulisan ini saya ingin menutup dengan ulasan mengenai puisi yang menceritakan seorang ibu. Puisi-puisi yang ditulis para penyair Islam begitu dalam maknanya. Di dalamnya telah diekspresikan rasa terima kasih dan kecintaan kaum muslim kepada ibu-ibu mereka. Muhammad iqbal, misalnya, seorang filsuf dan penyair India menulis puisi tentang ibunya:
Siapakah itu, yang menungguku di rumah, berdoa untukku,
Dan merasa khawatir ketika surat-surat datang terlambat?
Pada pusaramu akan kutulis pertanyaan ini:
Siapa yang ingat kepadaku dalam salat malamnya?
Hal senada juga ditulis oleh Jalaludin Rumi dalam Matsnawi-nya mengenai sang ibu:
Kemarahan para nabi itu seperti kemarahan para ibu,
Kemarahan yang dipenuhi kasih sayang bagi anaknya tercinta
Sebab tidak ada ibu yang memarahi anaknya hanya untuk mendapatkan kesenangan,
Melainkan untuk membantunya mengerti.
Akankah dia membiarkan anaknya berlumuran darah jika dia tidak tahu
Bahwa sedikit rasa sakit dapat mendatangkan kebaikan pada anak itu?

Tidak ada komentar: