Selasa, 05 Agustus 2008

Perempuan Dalam Lembaran Alquran

Mengapa perempuan sering diperbincangkan tidak seperti laki-laki? Ada sejumlah dogma sekitar diri perempuan yang tetap menarik dicermati, dan bahkan diskursus tentang perempuan itu sendiri sepertinya tidak habis-hais dibicarakan. Sementara itu, laki-laki tidak begitu banyak memiliki persoalan. Amat jarang kita menemukan dogma-dogma yang diskriminatif terhadap laki-laki. Tetapi lain halnya dengan perempuan, jika kita cermati sejumlah dogma tentang mereka, yang terbanyak justru bersifat memojokkan dan merendahkan.
Salah satu contoh adalah mengenai asal usul kejadian perempuan. Dari mana perempuan berasal? Di antara jawaban yang paling populer adalah bahwa perempuan berasal dari “tulang rusuk laki-laki”, seperti yang tersurat dalam kitab-kitab suci. Berbagai literatur dalam agama-agama besar dunia—Yahudi, Kristen dan Islam—memberikan jawaban demikian.

Lebih jauh, literatur-literatur tersebut, baik secara eksplisit maupun implisit, mengatakan bahwa makna: “Inilah kodrat dari Tuhan. Kita memang telah ditakdirkan begini. Kita harus tulus menerimanya.” Kaum laki-laki menjadi bangga dengan ucapan seperti itu, dan perempuan merasa “bahagia” dengan mengatakan itu Kelompok pertama menjadi sewenang-wenang dan yang kedua menjadi kehilangan jati dirinya.

Terdapat banyak statemen yang tidak beralasan yang dibuat untuk melemahkan perempuan. Mereka digambarkan sebagai sosok makhluk dengan berbagai karakteristik negatif seperti sumber kejahatan, penggoda manusia dan sebagainya. Ada juga yang menimpakan kepada mereka berbagai label yang merendahkan atau memperlakukan mereka sebagai manusia “kelas dua” di mana laki-laki adalah standar manusia sempurna, sebagai akibat dari kesalahpahaman terhadap teks-teks ajaran agama.

Suatu hari Yusuf digoda oleh seorang perempuan cantik yang tidak lain adalah istri Tuannya sendiri, seorang pembesar negeri Mesir Zaman Fir’aun. Yusuf hampir saja tergoda, sekiranya ia bukan seorang yang jujur dan berhati tulus. Perempuan tersebut (Zulaikha) menyekap Yusuf dalam sebuah ruangan istana dan mengajaknya melakukan hal tak senonoh. Yusuf menolak dan secepatnya berlari ke pintu. Zulaikha mengejarnya, dan ketika keduanya sampai di pintu, mereka terpergok oleh suaminya. Terjadilah pertengkaran dan adu argumentasi. Perempuan itu dan Yusuf saling menuduh. Namun semuanya didiamkan oleh sebuah kesaksian yang diberikan oleh keluarga Zulaikha sendiri. Yusuf terbebaskan dari tuduhan dan perempuan itu terbukti bersalah. Sang pembesar itu berkata kepada istrinya:”Sesungguhnya hal tersebut adalah bagian dari tipu daya kalian (perempuan). Sesungguhnya tipu daya kalian sangat besar.”

Ucapan inilah, sebagaimana direkam Alquran (yusuf/12:28), yang dijadikan alasan oleh sebagian orang untuk melemparkan tuduhan atas bahayanya godaan perempuan. Perempuan dianggap sebagai “biang” kejahatan yang membawa malapetaka bagi laki-laki. Jika tidak berhati-hati, siapa saja akan dijerumuskannya.

Dalam Tafsir Al-Jawahir dikatakan bahwa sebagian ulama pernah membuat sebuah statemen, “Aku lebih takut kepada perempuan daripada setan, sebab Allah SWT. mengatakan ‘Sesungguhnya tipu daya kalian (perempuan) sangat besar’ (Yusuf/12:28), sedangkan ‘tipu daya setan itu lemah’ (an-Nisa;/4:76)”. Tidak ada komentar apa pun yang diberikan oleh Thantawi Jauhari, pengarang tafsir tersebut mengenai pernyataan ulama itu. Sehingga kesannya adalah: Bahwa perempuan memang benar-benar melebihi setan dalam wataknya yang penuh tipu daya itu. Jadi sebenarnya pandangan kebanyakan masyarakat kita mengenai eksistensi perempuan sebagai ‘agen setan’ dapat dilacak sumber-sumbernya dalam karya-karya muslim sendiri. Masdar F. Mas’udi pernah menyitir sebuah sya’ir merisihkan dirinya dan tentu saja para kaum perempuan, bunyinya, “Innan nisa’a syayatinu khuliqna lahum; na’udzu billahi min syarris syayathin” (Bahwa perempuan adalah setan yang diciptakan untuk laki-laki, maka aku berlindung kepada Allah dari seburuk-buruk setan itu).

Tanpa disadari pandangan seperti di atas memang telah melahirkan sikap arogan laki-laki atas lawan jenisnya. Sebab dengan adanya pandangan seperti itu, alasan untuk mendiskreditkan perempuan menjadi sangat jelas, karena pada dasarnya perempuan mempunyai watak yang dianggap berbahaya. Karena itu, mereka harus selalu diawasi, ditekan dan dibatasi ruang geraknya. Sebab, jika ia diberikan kelonggaran, maka dengan leluasa akan memainkan peran ‘setan’nya.

Akan tetapi, alasan untuk menopang pandangan di atas sebenarnya tidak memiliki fondasi yang kuat, dan bahkan dapat dikatakan tidak berdasar sama sekali. Apa yang dinyatakan dalam Surah Yusuf hanya berkaitan dengan sebuah kasus. Al-‘Aziz, seorang pembesar negeri mesir itu, tentu saja sangat kecewa dan marah dengan sikap istrinya itu, maka tidak mengherankan ungkapan seperti itu keluar dari mulutnya. Ungkapan dalam ayat tersebut hanyalah ucapan pribadinya, yang dikutip oleh Alquran, bukan sebuah ketetapan dari Tuhan sendiri. Dengan demikian ayat tersebut sama sekali tidak dapat digeneralisasikan, apalagi dijadikan alasan untuk menuduh kaum perempuan sebagai sumber segala kejahatan seksual. Perempuan yang tidak menjaga dan memelihara kehormatannya memang pantas dicela. Celaan tersebut juga, sebaliknya, pantas dilakukan kepada seorang laki-laki yang melakukan perbuatan yang sama. Maka dengan demikian, antara perempuan dan laki-laki ditempatkan pada tempat yang sejajar.

Pengkajian terhadap ayat-ayat Alquran tentu saja tidak dapat dilakukan secara sepintas atau sambil lalu. Mengambil satu ayat atau sepotong ayat dan mengabaikan ayat yang lainnya merupakan tindakan “sembrono” yang akan merusak pemahaman terhadap esensi makna yang terkandung dalam ayat Alquran tersebut. Kasus di atas merupakan sebuah contoh pemahaman literal terhadap sepenggal ayat saja.

Istri al-‘Aziz, Zulaikha, dalam ayat di atas bukanlah figur dominan, tetapi hanya diceritakan sambil lalu. Kisah dalam surah Yusuf itu, figur dominannya adalah Yusuf sendiri dan saudara-saudaranya. Lika-liku perjalanan hidup mereka itulah yang dipresentasikan Alquran sebagai gambaran pertarungan antara yang baik dan yang buruk. Di dalamnya terlukis dengan cermat dan indah bagaimana pertarungan antara jiwa yang bersih, tulus dan sabar dengan jiwa yang penuh arogan dan ketamakan, yang pada akhirnya dimenangkan oleh kelompok yang pertama (jiwa yang bersih, tulus dan sabar). Zulaikha adalah bagian dari pertarungan tersebut. Jiwa yang menyuruhnya melakukan perbuatan jahat pada akhirnya menyerah dan tunduk karena rahmat Tuhan (Yusuf/12:50-53).

Zulaikha bukanlah sosok teladan dalam “skenario” jahatnya, tetapi kemudian ia menjadi perempuan teladan karena kejujuran dan perbaikan dirinya. Nafsu (diri)-nya memang pernah mengajaknya untuk melakukan perbuatan tercela, namun rahmat Allah telah melepaskannya dari nafsu jahat tersebut dan menyelamatkannya dari kehancuran.

Tipu daya tidak menjadi ciri khas jenis kelamin tertentu. Tipu daya dapat dilakukan oleh siapa saja, baik perempuan maupun laki-laki. Sumber tipu daya adalah setan, bisikan jahat yang dapat merasuk pada siapa saja yang tidak waspada. Alquran juga menyebutkan saudara-saudara Yusuf sebagai orang-orang yang melakukan tipu daya terhadap saudaranya, yakni Yusuf itu sendiri. (Yusuf/12:5)

Dalam ayat 5 itu cukup jelas menunjukkan bahwa laki-laki juga makhluk yang berpotensi untuk melakukan tipu daya, sehingga istilah kayd, yakni tipu daya, tidak hanya dilekatkan pada perempuan semata, tetapi laki-laki juga terbukti mempunyai jiwa yang penuh tipu daya.

Hal yang lebih penting lagi untuk diperhatikan adalah bahwa tipu daya yang dimaksudkan dalam beberapa ayat yang dimaksud di atas adalah sebuah tindakan licik untuk memenangkan diri sendiri secara fair dan curang. Ini perlu ditegaskan di sini agar dicatat bagi sebagian orang yang sering memahami perempuan sebagai sumber tipu daya dalam pengertian bahwa perempuan adalah sumber godaan bagi laki-laki. Dengan kata lain, jika terjadi perzinaan, misalnya, perempuanlah yang disalahkan; perempuanlah yang sering dianggap sebagai penggoda laki-laki, penyebab terjadinya perbuatan lacur. Dalam hal ini, laki-laki seakan-akan dapat membebaskan diri atau—kalaupun dianggap bersalah—kesalahannya tidak sebesar kesalahan perempuan. Kata kayd (tipu daya) yang dibicarakan Alquran sebenarnya tidak ada kaitannya dengan godaan seksual, tetapi ia adalah watak atau sikap mental seseorang yang telah dirasuki setan sehingga menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu kepentingan tertentu. Perbedaan jenis kelamin sama sekali tidak ada kaitannya dengan perbedaan watak tersebut; yang membedakannya adalah pribadi setiap individu itu sendiri, baik laki-laki maupun perempuan.

Di samping itu, kita dapat mencatat bahwa tidak sedikit ayat-ayat Alquran yang menceritakan tentang perempuan-perempuan yang dimuliakan Tuhan karena kualitas spiritual yang mereka miliki, seperti istri Fir’aun dan Maryam.

Namun demikian, sebuah catatan patut dipertimbangkan di sini adalah bahwa daya tarik perempuan terhadap laki-laki dan daya tarik laki-laki terhadap perempuan tidaklah sama. Bagian-bagian tubuh perempuan barangkali jauh lebih sensitif terhadap rangsangan seksual laki-laki daripada sebaliknya. Karena itulah, mungkin, aurat perempuan dalam pandangan Islam lebih detail dari aurat laki-laki. Namun perlu juga diingat bahwa aurat dalam Islam bukan semata-mata dibicarakan dalam konteks rangsangan seksual, tetapi lebih dari itu, aurat sangat terkait dengan lambang kehormatan pribadi seseorang. Pakaian adalah bahasa kepribadian atau cerminan dari kelakuan batin pemakainya. Ketika perintah menutup aurat secara lebih detail ditujukan kepada perempuan, maka hal ini memberikan pengertian bahwa kehormatan perempuan adalah sangat penting untuk dilindungi. Tentu saja di sini muncul sebuah pertanyaan: “dilindungi dari apa?” satu-satunya jawaban yang mungkin diberikan adalah: “dilindungi dari ‘kejahatan’ laki-laki”. Artinya, kejahatan seksual ternyata dapat juga dituduh bersumber dari laki-laki.

Dalam Alquran (an-Nur/24:30-31), laki-laki dan perempuan sama-sama diperintahkan untuk menjaga pandangannya dan memelihara kehormatannya. Sebab, laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki potensi menjadi sumber kejahatan seksual, meskipun tingkat sensitivitas rangsangan antara laki-laki dan perempuan tidak sama. Jika kita mau mengatakan bahwa pada umumnya perempuan lebih “menggoda” bagi laki-laki, maka kita juga dapat mengatakan bahwa pada umumnya laki-laki “agresif” terhadap perempuan.

Ada sebuah riwayat, dari Sa’ad ibn Jubair, menyebutkan bahwa Nabi Daud suatu hari berkata kepada anaknya, Nabi Sulaiman:”Wahai anakku, boleh saja engkau berjalan di belakang seekor singa dan ular naga, namun janganlah engkau berjalan di belakang seorang perempuan!” (Muhammad ibn Umar Nawawi:t.t., hlm. 16).

Pernyataan di atas, jika dijadikan sumber norma, dapat menggambarkan besarnya bahaya perempuan bagi laki-laki. Bahaya seekor binatang buas, menurut sumber tersebut, tidak seberapa apabila dibanding dengan bahayanya seorang perempuan. Akan tetapi, yang perlu diingat adalah bahwa riwayat di atas hanya bersumber dari seorang sahabat nabi, bukan dari nabi sendiri. Oleh karena itu, ia tidak cukup otoritatif untuk dijadikan sebagai alasan dalam rangka membentuk suatu sikap keagamaan jika ternyata hal itu bertentangan dengan teks-teks Alquran dan Hadis Nabi. Atau barangkali pernyataan Nabi Daud di atas, dapat dipahami sebagai peringatan bagi anak muda (laki-laki) untuk menjaga dirinya (pandangan dan kehormatannya) dari perempuan, maka hal ini dipandang tidak menjadi masalah. Akan tetapi, hal itu dapat menjadi problem apabila dipahami dalam konteks diskriminasi gender. Ketika perempuan dilihat sebagai bahaya dan sumber kejahatan bagi laki-laki, lalu di manakah kita akan menempatkan berbagai ayat Alquran dan Hadis yang memuliakan kedudukan perempuan?

Manusia sendiri sebenarnya dapat menjadi “setan” ketika ia ikut memusuhi manusia atau fitrah kemanusiaan. Dalam surat al-An’am/6:112 dijelaskan bahwa musuh utama manusia adalah setan. Di samping itu, setan juga bisa dijadikan karakteristik yang dapat diterapkan pada perilaku manusia. Manusia yang menyandang karakter setan, bisa saja laki-laki dan bisa juga perempuan. Siapa saja yang mengikuti langkah-langkah setan atau bergabung dalam kelompok yang menyesatkan manusia atau menghalangi manusia dari kebaikan dan kebenaran, maka ia pantas disebut setan.

Munculnya perilaku atau sikap mental masyarakat yang sinis terhadap perempuan merupakan akibat dari kelemahan sebagian kaum laki-laki sendiri dalam mengendalikan dirinya, lalu melemparkan kesalahan tersebut kepada perempuan. Hal seperti ini hanya bisa terjadi dalam masyarakat dengan budaya patriarkhi, di mana laki-laki lebih dominan dalam menentukan berbagai perilaku sosial. Dalam kondisi seperti ini, cukup satu orang saja yang melecehkan perempuan dan cukup dengan satu alasan saja, pelecehan tersebut kemudian dengan sekejap akan menjadi tradisi yang dikenal luas. Suara laki-laki dianggap suara kebenaran dan suara perempuan hanyalah awal dari sebuah bencana. Karena itu, pandangan laki-laki dapat mengalahkan pandangan perempuan.

Tetapi jika dicermati dengan baik, Islam, dari sejak awal telah berupaya membersihkan umatnya dari sikap dan tindakan-tindakan diskriminatif berdasarkan asal kejadian;biologis dan natural. Allah pun telah mendengarkan suara perempuan, yaitu pada saat Nabi sendiri tidak sanggup meresponnya dengan baik karena terdesak oleh pertimbangan-pertimbangan budaya masyarakatnya pada waktu itu. Adalah Khaulah binti Tsa’labah, seorang perempuan Arab zaman itu yang telah mengadu kepada Nabi karena suaminya telah men-zihar-nya. Nabi tidak memberikan solusi apa-apa, karena zhihar merupakan tradisi Arab sebelum Islam, sampai turunnya ayat Alquran (al-Mujadilah/58:1). Pengaduan perempuan tersebut akhirnya dijawab langsung oleh Allah.

Allah sendiri memberikan solusi berkenaan dengan persoalan perempuan tersebut. Bahwa zhihar tersebut hanyalah sebuah ucapan mungkar dan dosa. Mana mungkin istrinya berubah menjadi ibunya, karena ibunya adalah orang yang telah melahirkannya. Keterlanjuitan tersebut harus dibayar dengan denda, yaitu dengan memerdekakan seorang budak. Jika ia tidak sanggup, maka dapat diganti dengan puasa dua bulan berturut-turut, dan jika ini juga tidak sanggup, maka ia dapat menggantinya dengan memberi makan kepada enam puluh orang miskin.

Khaulah kemudian menjadi legendaris dan berwibawa di mata orang-orang yang mengenalnya sebagai perempuan yang karenanya beberapa ayat Alquran diturunkan. Ketika menjabat sebagai khalifah, ketika perempuan tersebut telah tua, Umar bin Khattab pernah disuruh berhenti olehnya karena suatu keperluan, padahal Umar sedang melakukan perjalanan dengan orang banyak. Umar berhenti dan memperhatikan kata-katanya dengan serius sampai ia selesai dan pergi. Seseorang bertanya kepadanya:”Wahai Amirul Mu’minin mengapa Engkau menahan laki-laki Quraisy hanya karena perempuan tua tersebut?”

“Celaka engkau!” jawab umar, “Kamu tahu siapa dia?”

“Tidak,” jawab laki-laki tadi.

“Dialah, perempuan yang pengaduannya telah Allah jawab dari langit ketujuh. Dialah Khaulah binti Tsa’labah. Demi Allah, sekiranya ia tidak berpaling dariku sampai malam hari, aku pun tidak akan berpaling meninggalkannya sampai ia menyelesaikan urusannya, kecuali untuk mengerjakan shalat, dan setelah itu pun aku akan kembali lagi mendengarkannya”.

Hal ini merupakan sebuah fenomena yang sangat mengagumkan jika kita melihatnya dalam konteks kehidupan bangsa Arab sebelum Islam dan masa awal Islam. Sebelum Islam, perempuan—tidak jauh berbeda dengan perempuan-perempuan di berbagai masyarakat dan peradaban zaman itu—tidak dihargai layaknya seorang manusia, karena dalam pandangan mereka yang disebut manusia hanyalah mereka yang bernama laki-laki. Sisa-sisa pandangan seperti itu terasa sampai masa awal Islam, dan dengan perlahan-lahan akhirnya Islam mendobraknya. Perempuan diangkat derajatnya dan segala kualitas intelektual dan spiritualnya “dihargai” sama dengan laki-laki. Suara perempuan, meskipun kritis asal tulus, pasti didengarkan.

Perempuan bukan makhluk yang ditakuti sehingga harus ditinggalkan dalam percaturan peradaban, dan bukan pula makhluk yang dapat dilecehkan. Tidak malukah seorang laki-laki, ketika malam hari ia “berhubungan” dengan istrinya, sementara di siang hari ia memukul dan menghinanya?












Tidak ada komentar: