Ironis ya, kata itulah yang pantas untuk saya sebutkan tatkala melihat realitas umat Islam saat ini. Bagaimana tidak, kejayaan umat Islam tempo dulu hampir tidak berbekas sama sekali pada saat ini. Yang ada malah kemunduran; seperti kemiskinan di negara-negara penganut Islam, dan peperangan.
Ironis yang paling nyata adalah tidak mendayagunakan sumber daya alam yang dimilikinya yang begitu berlimpah ruah dan agamanya yang tidak bisa menghadapi realitas sosial.
Jika kita telusuri lebih dalam lagi, ternyata keironisan dalam tubuh kaum muslimin sudah ada sejak setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Di antaranya adalah perang saudara yang begitu dikenal dengan istilah al-Fitnah al-Kubra. Peperangan ini bahkan bisa dikatakan sebagai induk dari segala persoalan yang berkembang kemudian, bahkan hingga saat ini.
Di antaranya muncul berbagai mazhab, aliran, dan lain-lain. Sungguh, peristiwa tersebut sangat bertentangan dengan aturan Islam sendiri, yaitu menjunjung tinggi semangat Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam).
Sumber daya alam (SDM) yang dimiliki umat Islam kini dinikmati oleh orang-orang barat. Hal itu disebabkan umat Islam tidak bisa menguasai ilmu dan teknologi. Umat Islam menguasai sumber daya alam melimpah, tetapi tidak mampu mengelolanya. Keadaan seperti itu telah berlangsung bertahun-tahun yang entah kapan akan berakhirnya, hal itu diperparah lagi dengan tafsiran-tafsiran atas ajaran-ajaran agama yang kontra-produktif, bahkan terkesan repetitif. Seharusnya tafsiran-tafsiran tersebut mampu memberikan solusi atas keironisan tersebut, tapi justru hal tersebut malah memberikan keironisan yang baru, di antaranya adalah ketidak adilan terhadap perempuan.
Adanya ketidakadilan terhadap perempuan tersebut disebabkan hasil interpretasi dari Alquran dan Hadis, yang notabene-nya sebagai sumber ajaran Islam. Memang ada beberapa ayat Alquran dan Hadis yang secara tersurat menunjukkan ketidakadilan tersebut. Namun, masalahnya redaksi-redaksi tersebut harus hati-hati di dalam melakukan interpretasi. Karena Islam sendiri diturunkan untuk semua umat manusia sebagai rahmat. Maka alangkah ironisnya jika terdapat redaksi-redaksi yang menunjukkan pada ketidakadilan atas perempuan. Walaupun mungkin ada, tapi redaksi-redaksi tersebut tidak mungkin bermaksud demikian.
Dalam Alquran secara gamblang menyatakan perihal persamaan manusia dan kesetaraannya di hadapan Allah, di antaranya: Al-Baqarah/2:228, an-Nisa/4:124, an-Nahl/16:97, al-Isra/17:70, dan al-Hujurat/49:13, sisi lain Alquran juga melarang enam bentuk kekerasan terhadap perempuan yang biasa terjadi di lingkungan masyarakat Arab: Membunuh bayi perempuan dengan menguburkannya hidup-hidup (at-Takwir/81:8-9);memukul (an-Nisa/4:30);menceraikan istri setelah tua (al-Mujadilah/58:2); mengusir dari rumah (at-Thalaq/65:6);dan mempersulit kehidupan wanita (al-Baqarah /2:236).
Begitulah sebenarnya Islam telah membebaskan perempuan dari lingkungann tradisi negatif masyarakat Arab. Oleh karena itu, secara otomatis Nabi Muhammad SAW adalah seorang pembela perempuan yang melawan arus dari tradisi masyarakatnya sendiri pada waktu itu. Dan yang patut disayangkan adalah hal yang dilakukan Nabi Muhammad tersebut tidak terwarisi oleh para pemimpinn Islam setelahnya. Lebih-lebih setelah kepemimpinan Khulafa’ur Rasyidin; Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Inilah yang menjadi pertanyaan besar bagi kita saat ini, mengapa “kecelakaan sejarah” ini terjadi? Mengapa umat Islam tidak mengaktualisasikan sebuah sikap sebagaimana yang dilakukan Nabi atas pembelaannya terhadap perempuan dan redaksi-redaksi Alquran yang jelas-jelas juga memegang prinsip-prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan serta pembelaan perempuan atas kungkungan tradisi Arab yang begitu merugikan mereka.
Jika para pembaca membaca tafsiran-tafsiran maupun komentar-komentar atas doktrin-doktrin Islam tentang perempuan lebih banyak dilakukan secara tekstual dan letterlick. Hasilnya sudah dapat ditebak, yaitu tidak akan menangkap makna yang tersirat dalam ayat-ayat dan Hadis yang nampak seolah-olah “menyudutkan” perempuan. Misalnya adalah bunyi Hadis bahwa istri yang menolak ajakan suami ke tempat tidur dan membuatnya marah semalaman, akan dilaknat oleh malaikat sampai pagi, atau hadis lain yang menyatakan bahwa wanita adalah salah satu pembawa sial. Atau pembaca ingin tahu Hadis lain yang lebih bringas, bahwa penghuni terbanyak di neraka adalah kaum perempuan. Belum lagi dalam Alquran, sungguh masih banyak lagi. Dan parahnya adalah doktrin-doktrin Islam dari Alquran dan Hadis seperti di atas dipahami secara tekstual dan letter lick oleh para pemuka agama Islam.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita keluar dari domain penafsiran-penafsiran yang “menyudutkan” perempuan kepada penafsiran-penafsiran yang lebih toleran dan komprehensif. Tentunya, kita harus berpegang pada semangat agama Islam sendiri, yaitu sebagai agama pembebas, sebagaimana yang dipraktikkan Nabi Muhammad SAW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar