Secara keseluruhan Alquran ketika membicarakan perempuan selalu memberikan kisah tokoh-tokoh perempuan yang baik. Panggilan terhadap mereka pun disejajarkan dengan kaum laki-laki, seperti mu’minat dan muslimat. Ini menandakan bahwa di hadapan Allah baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kewajiban yang sama. Keduanya sama-sama berpotensi untuk meraih derajat taqwa.
Sungguh, hal ini merupakan pandangan yang memuliakan perempuan di jazirah Arab, yang tadinya kaum perempuan begitu tertindas. Dengan melangkah pasti, kaum perempuan pada masa Islam mempunyai beberapa hak yang tadinya sama sekali tidak dipunyainya, seperti, salah satunya, mendapatkan warisan. Namun saya tidak akan membahas masalah tersebut dalam tulisan ini.
Ada salah satu tokoh legendaris yang direkam Alquran dengan menyebutkan namanya secara langsung, bahkan telah dijadikan nama surat, yaitu tokoh perempuan bernama Maryam. Ia adalah ibunya nabi Isa. Kehamilannya—yang kemudian melahirkan Isa—tidak disebabkan oleh laki-laki yang berhubungan badan dengannya. Ia murni hamil dengan sendirinya. Oleh karena itu ia masih perawan. Dan yang menjadi saksi atas kesuciannya, tak lain adalah anak yang dikandungnya sendiri, Isa. Hal itu dapat kita lihat pada surat 19:24, 30-33. Inilah penghormatann Alquran bagi Maryam.
Perempuan lainnya yang disebutkan dalam Alquran, yang dipercaya oleh kaum muslim, sebagai perempuan pertama adalah Hawa. Ia juga dianggap lahir dari tulang rusuk Nabi Adam. Padahal Alquran tidak mengatakan demikian. Kebanyakan yang berpendapat demikian adalah mereka yang mengambil dari pernyataan Hadis. Padahal sesungguhnya Hadis tersebut tidaklah berarti seperti itu. Hal ini sudah saya jelaskann pada bagian pertama dalam buku ini. Jadi, tidak perlu saya jelaskan lagi.
Stereotip negatif lainnya adalah bahwa sebab terusirnya Nabi Adam (dan Hawa) dari surga adalah karena ulah Hawa yang tergoda setan untuk menyuruh Adam memakan buah keabadian. Padahal, tak ada satu ayat pun dalam Alquran bahwa Hawa bertanggung jawab atas terusirnya mereka dari surga. Bahkan dalam agama Kristen, Hawalah yang membawa dosa asal ke dalam dunia.
Kebalikan dari semua itu, justru Allah begitu memuliakan Hawa, dengan mengatakan bahwa Hawa adalah sebaik-baik rahmat bagi Adam. Bisa kita baca dalam Hadis Qudsi, “Belas kasihku, telah kucurahkan seluruhnya untukmu dan hambaku, Hawa, dan tidak ada rahmat lain, wahai Adam, yang lebih besar daripada seorang istri yang taqwa”.
Bilqis adalah tokoh lain lagi yang diceritakan dalam Alquran. Ia adalah Ratu Saba’ yang kemegahan kerajaan dan kekuasaan wilayahnya begitu terkenal. Dan dalam Surat 27 diceritakan bagaimana dia pertama-tama ditemukan oleh burung Hud-Hud, dan datanglah seruan dari Nabi sekaligus raja bernama Sulaiman agar dia menerima agama yang benar dan menerima pinangan untuk menjadi istrinya. Ratu Bilqis beserta rakyatnya sebelumnya adalah para penyembah matahari. Mendengar seruan dari Sulaiman, ratu Bilqis mengajukan syarat yaitu disuruh menebak tiga tebakan. Tentu saja, Sulaiman, dengan wawasan keilmuannya dapat menjawab dengan mudah tebakan tersebut. Oleh karenanya, Bilqis pun menerima seruannya tersebut. Lalu diboyonglah Bilqis ke kerajaan Sulaiman. Dan alangkah takjubnya Bilqis melihat kerajaan Sulaiman yang begitu indah memesona. Diceritakan dalam Alquran, ketika memasuki ke istana Sulaiman ia mengangkat gaunnya, karena dikira ia akan melewati air, padahal itu hanyalah pantulan dari lantai kaca (QS. 27:43). Akhirnya diketahuilah bahwa ia adalah jin, karena tidak mempunyai kaki layaknya manusia.
Dalam tradisi tasawuf, kisah antara Sulaiman dan Bilqis adalah sebuah kiasan mengenai kekuatan spiritual seorang penguasa yang mendapat ilham ilahi dan cinta seorang perempuan kafir yang menemukan agama yang benar lewat bimbingan kata-katanya. Jalaluddin Rumi lewat karyanya Matsnawi, menceritakan bagaimana Bilqis mengirimkan emas kepada Sulaiman dan bagaimana Sulaiman mengirimkan kembali pasukan sang ratu kepadanya. Bilqis lalu melakukan perjalanan panjang, dan selama perjalanan itu ia memisahkan dirinya semakin lama semakin jauh dari dunia, hingga seluruh kepribadiannya berubah menjadi kepribadian sang kekasih (Annemarie Schimmel, 1998: hlm.99):
Ini, ketika Bilqis berangkat dengan membawa hati dan jiwanya,
Dia menyesali hari-harinya yang lalu
Dia meninggalkan kekayaan dan kerajaan
Sebagaimana sepasang kekasih melupakan kehormatan dan kejayaan.
Gadis-gadisnya yang lembut dan pemuda-pemudanya yang cakap
Jadi berbau bagaikan bawang yang membusuk,
Dan taman-tamannya, istana-istana dan kolam-kolamnya
Tampak bagaikan sisa bara di mata cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar