Senin, 11 Agustus 2008

Perjalanan Sidney Sheldon Menjadi Penulis


Tak banyak para penulis menceritakan perjalanan hidup kepenulisannya, terutama trik-trik bagaimana mereka bisa menulis. Mengapa bisa demikian? karena mereka enggan bercerita tentang dirinya di dalam proses kreatifnya. Sebagaimana dikatakan oleh Stephen King bahwa seorang penulis menulis tentang menulis adalah sesuatu yang “lucu”. Karena, setiap penulis mempunyai cara tersendiri dalam menulis. Pengalaman bagaimana cara menulisnya tidak bisa dijadikan hal yang pasti untuk menjamin para penulis lain dapat mengikuti caranya. Ada seribu satu cara dalam latihan menulis.

Namun satu hal yang jelas dan pasti bahwa setiap penulis mempunyai pengalaman menulis yang panjang dan jalannya yang berliku-liku.

Dalam tulisan ini saya hendak mengupas tentang perjalanan kepenulisan Sidney Sheldon, seorang penulis novel yang sangat luar biasa jalan yang ditempuhnya untuk meraih impiannya menjadi seorang penulis.

Sejak kecil Sheldon memang mempunyai sedikit bakat dalam menulis, hanya saja lingkungan tidak mendukungnya. Selain faktor ekonomi yang tak menentu, faktor lainnya adalah ayahnya. Pernah suatu ketika ia mengirim puisi ke sebuah majalah tapi ayahnya mengganti nama dia, lantaran ayahnya tidak ingin malu kalau tulisan anaknya ditolak oleh majalah tersebut, padahal tulisannya berhasil dimuat. Namun yang terpampang bukan namanya, melainkan nama saudaranya.

Saat usia 17 tahun, Sidney Sheldon pernah melakukan percobaan bunuh diri. Hal yang mendorong untuk melakukan itu adalah karena ia merasa hidupnya tidak bahagia. Sebenarnya saat itu ia sudah bekerja di apotik. Namun, suasana keluargalah yang membuat ia tidak betah. Mulai dari kesulitan ekonomi, di mana ayahnya sering pindah-pindah tempat bekerja, hingga pertengkaran ayah dan ibunya. Cita-citanya saat itu adalah ingin kuliah dan menjadi penulis. Tapi kedua keinginan itu seperti membentur tembok, lantaran keadaan ekonomi keluarga tidak mendukung.

Menarik untuk diceritakan percobaan bunuh diri Sheldon. Saat pulang kerja, ia sudah membawa barang yang akan merenggut nyawanya, yaitu pil tidur. Nantinya pil tersebut akan dicampur dengan wiski. kombinasi yang mematikan, begitu Sheldon sering mendengarnya. kebetulan saat itu orangtuanya hendak silaturrahmi ke saudaranya, dan adiknya menginap di rumah temannya. Ketika mereka semua sudah pergi, ia mengeluarkan kedua barang tersebut. Wiski sendiri ia dapatkan di dapur, kepunyaan ayahnya. Baru saja akan meminum pil tersebut, tiba-tiba ayahnya muncul. Keduanya sama-sama terkejut. Sheldon tak menyangka ayahnya akan balik lagi. Ayahnya pun tak menduga kalau Sheldon hendak mengakhiri hidupnya waktu itu. Ayahnya lalu bertanya mengapa ia ingin bunuh diri? Sepertinya Sheldon dalam pandangan ayahnya tidak pernah mengalami hal macam-macam dalam kehidupan sehari-harinya.

Ia lalu mengajak sheldon jalan-jalan sembari menasihatinya.

“Hidup ini seperti novel,” ujar ayahnya, “Penuh ketegangan. kau tidak tahu apa yang akan terjadi hingga kau buka halamannya…Setiap hari adalah halaman yang berbeda, Sidney, dan setiap hari bisa penuh kejutan, kau tak pernah tahu apa yang akan ada selanjutnya sebelum kau buka halaman itu.” Ujar ayahnya panjang lebar. Mulai saat itu hidup Sheldon bersemangat lagi. Kata-kata itu terus dikenangnya hingga Sheldon beranjak senja.

Pada tahun selanjutnya ia mendapatkan beasiswa kuliah. Namun baru saja ia bersemangat memasukinya, ia mengurungkan kuliahnya lagi. Hal itu disebabkan masalah klasik yang selalu up to date, yaitu kesulitan keuangan di keluarganya. Ibunya yang terpaksa menjadi pramuniaga selama 6 hari seminggu, membantu ayahnya yang sering tak dapat pekerjaan, membuat ia harus mencari uang sebanyak-banyaknya dengan bekerja sebanyak-banyaknya. Mulai dari penjaga apotik, cleaning service, penjaga toko, dan lain-lainnya, ia jalani.

Berawal dari Piano
Ibu Sheldon sangat berperan di dalam karir kepenulisannya. Hal itu ditandai dari sebuah piano yang dibelikan ibunya. Piano? ya, piano. Sepintas tidak begitu ada kaitannya. Ketika dewasa, ibunya membelikan dia piano, dan memberikan lesnya bagi Sheldon. Sheldon sangat menyukai memainkan piano, dan belajar menulis lirik-lirik lagu. Suatu ketika, saat di depan piano, sambil menciptakan melodi dan syairnya, ia kemudian mempunyai inspirasi untuk mengirim melodi dan sya’ir-sya’irnya ke hotel-hotel yang memiliki orkestra. Di sana nanti ia akan menemui pemilik orkestranya. Barangkali saja mereka berminat terhadap karya-karyanya, pikir Sheldon. Idenya itu pun ia wujudkan dengan mendatangi salah satu hotel dekat rumahnya. tepatnya ia mendatangi pemimpin orkestranya, bernama Phil Levant.

Ternyata, pemimpin orkestra tersebut menyukai karya Sheldon. Lagu tersebut ia beri judul My Silent Self. Lagu itu kemudian dibuat orkestranya oleh Phil Levant. Setelah itu karya tersebut terdengar di kota tersebut dan sering diulang-ulang.
Itulah awal mula Sheldon menapaki jejak dunia kepenulisan. Namun saat namanya akan mulai melambung, di mana ia akan diajak bekerja sama dengan seorang penulis lagu yang terkenal bernama Max Rich, Sheldon malah menciut. Ia merasa rendah diri untuk bekerja sama dengan penulis lagu tersebut. Ia khawatir penulis tersebut akan kecewa kepadanya saat penulis itu tahu bahwa dirinya bodoh dan hanya merugikan diri penulis tersebut.

Itulah awal dari dunia kepenulisan yang akan digelutinya, sekaligus akhir dari dunia penulisan lagu. Ia pun kembali ke pekerjaannya semula, yaitu penjaga apotik, penjaga hotel, dan lain sebagainya.

Namun itu tak lama. Saat kedatangan keluarga Charley Fine, di mana hendak pergi ke California, ia mendapatkan ide untuk pergi ke sana juga, tepatnya ia akan ke Hollywood. Kali saja dirinya beruntung, ucap pada orangtuanya. Mereka pun memberinya kesempatan. Keesokan harinya ia pergi bersama keluarga Charley. Di sana ia tinggal di rumah kos-kosan. Columbia Pictures adalah studio film yang didatangi paling pertama oleh Sheldon, karena berdekatan dengan kosnya. Pengalaman pertama tersebut begitu berharga baginya karena dari situ dia tahu bagaimana cara melamar sebuah pekerjaan dalam perfilman. Berikut ini adalah dialog saat pertama kali Sheldon mendatangi studi perfilman.

“Nama saya Sidney Sheldon. Saya ingin menjadi penulis. Siapa yang harus saya temui?”
“Apakah kau sudah punya janji?”
“Tidak, tapi—”
“Kalau begitu kau tak bisa bertemu siapa pun.”
“Pasti ada seseorang yang bisa saya —”
“Tanpa janji tidak bisa,”

Tolakan demi tolakan ia terima. Dan itu dilakukan kurang lebih dua mingguan. Hampir semua studio mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh penjaga studio yang pertama. Dalam pikiran Sheldon, bahwa yang berbeda itu hanya studionya saja, tapi penjaga-penjaganya semuanya sama, karena mempunyai jawaban yang sama. Di saat tidak mendatangi studio, ia berada dalam kamarnya, menulis cerita-ceritanya dengan mesin tik yang sudah tua. Selama penolakan dan berada di kamarnya, ia sudah kehabisan bekal finansialnya. Tak jarang ia kelaparan sehingga tidak bisa berpikir untuk menuangkan idenya ke dalam kertas. Maka, tak ada jalan lain selain meminta makanan ke ibu kosnya.

Suatu hari ada seorang teman kosnya bercerita bahwa adik temannya tersebut diterima sebagai pembaca naskah di studio MGM (Metro-Goldwyn-Mayer).
“Pembaca? apa artinya itu?” tanya Sheldon.
“Semua studio punya pembaca,” jelasnya. “Mereka membuat sinopsis cerita-cerita, agar para produser tidak perlu repot-repot membaca banyak sampah. Jika menyukai sinopsisnya, produser akan membaca seluruh buku atau drama itu. Beberapa studio memiliki staf pembaca. Beberapa lainnya menggunakan pembaca dari luar.”

Mendengar penjelasan dari temannya itu, Sheldon kemudian terpacu membuat sinopsis hasil bacaannya. Kebetulan baru saja ia selesai membaca karya Steinbeck, of Mice and Men. Sinopsis buku itulah yang dijadikan alat untuk menawarkan jasanya sebagai pembaca di studio film. ia kirim sinopsis tersebut ke enam studio. Apa lacur, sampai tiga hari setelah pengirimannya itu tidak ada satu pun yang membalasnya. Sampai hari kelima baru ada telepon dari studio Selznick International Studios. Mereka meminta Sheldon untuk membuatkan sinopsis sebuah novel. Novel tersebut merupakan buah karya direktur studio tersebut setebal 400 halaman.

Sebetulnya Sheldon agak sedikit ragu untuk menerimanya, lantaran sinopsis tersebut harus dibuat sekitar 30 halaman, dan harus selesai pada pukul enam petang. Tapi, karena ini kesempatan emas sebagai modal awal untuk menjadi penulis, ditambah karena memang membutuhkan uang, maka ia menerima tawaran itu. Setelah itu mereka tak memanggilnya lagi.

Berdasarkan pengalaman itu, Sheldon kemudian menyurati kembali studio-studio film dengan mencantumkan kata-kata di bawah ini:
“Atas permintaan pribadinya, saya baru saja menyelesaikan sinopsis sebuah novel untuk david O. Selznick, dan sekarang saya bebas untuk mengerjakan sinopsis lain…”
Dua hari berikutnya telepon mulai berdatangan. Mereka membutuhkan Sheldon untuk menjadi pembaca naskah freelance, karena pembaca tetap mereka sedang tak mampu menangani naskah yang membludak. Hal itu berlangsung berbulan-bulan.
Pada suatu hari Universal Studio menawarkan dirinya untuk bekerja di sana sebagai pembaca tetap. Alangkah senang Sheldon mendapatkan tawaran itu. Sejak saat itu hidupnya mulai sejahtera. Ia sudah bisa membayar kos tepat waktu dan bisa makan dengan menu yang nikmat pula. Melihat perkembangan dirinya, ia pun menelepon orangtuanya untuk mengabarkan keadaannya itu. Namun, sebulan kemudian ia di PHK karena bosnya menjual studio tersebut.

Namun selang beberapa hari ia mendapatkan tawaran untuk bekerja di Twentieth-Century Fox sebagai pembaca tetap lagi, dengan gaji 23 dolar per minggu. Saat itu mendapatkan pekerjaan dirasa sangat mudah. Cita-citanya hampir kesampaian. Namun ia belum mempunyai karya sendiri. Sembari bekerja menjadi pembaca tetap di Twentieth-Century Fox, ia dan teman barunya, Ben Roberts, penghuni kos baru, mencoba menulis novel. Karya kolaborasi mereka diberi judul Dangerous Holiday. Karya tersebut diterima oleh Paramount dengan harga seribu dolar (kurang lebih 10 juta rupiah). Selang satu hari karyanya yang lain berjudul South of Panama diterima oleh Producers Releasing Corporation seharga lima ratus dolar, namun harus dibuatkan pula skenarionya. Kolaborasi yang sangat mengagumkan, karena mereka bisa menjual dua karya sekaligus dalam waktu 24 jam.

Semenjak itu karirnya mulai naik. Pekerjaan tetapnya di Twentieth-Century Fox ia tinggalkan, dan minta diberhentikan saja. Kebanjiran orderan untuk membuat skenario membuatnya harus tidur hingga dini hari. Setiap malam. Hampir semua studio membutuhkannya. Semua skenario digarapnya, mulai dari film, sinetron-sinteron, dan acara-cara TV serta pementasan lainnya.

Dalam perjalanannya kemudian, ia juga merangkap menjadi penulis skenario, sutradara, dan produser sekaligus. Luar biasa usahanya. Semua orang studio mempercayakannya. Karena usahanya memang terbukti sukses. Semua karya dari sentuhan tangannya selalu berhasil. Tidak ada kegagalan yang berarti. Namun melihat namanya terapampang di semua bidang (penulis naskah, produser, hak cipta, dan lain-lain) ia merasa tak enak dipandang, karena terkesan begitu egois. Maka ia pun membuat nama samaran, seperti Christoper Golato, Allan Devon, dan Mark Rowane.

Setelah agak jemu dengan dunia perfilman dan persinetronan, sambil tetap bekerja di bidang tersebut, ia menulis novel. Novel pertamanya ia beri judul The Naked Face. Novel tersebut ditolak 5 penerbit, dan penerbit ke 6 baru menerimanya. Ketika novel tersebut sudah di tangan para pembaca, banyak ulasan-ulasan keluar. Dan yang paling bagus menurut Sheldon adalah dari New York Times, “The Naked Face jelas-jelas merupakan kisah misteri pendatang baru terbaik tahun ini.” Namun yang sangat surprise, ia mendapat penghargaan Edgar Allan Poe Award.

Dibandingkan dengan karya-karya tulis lainnya, membuat novel mempunyai elemen yang sangat penting, pikir Sheldon, yaitu dia telah merasa mengalami kebebasan kreatif yang tidak dikenal sebelumnya. Menulis skenario, acara televisi, atau drama selalu merupakan usaha kolaboratif. Bahkan jika itu ditulis sendiri, penulis selalu bekerja dengan para para pemain, sutradara, produser, dan musisi.

Novelis adalah pemain, produser, dan sutradara. Novelis, pikir sheldon, bebas menciptakan semua kata-katanya. Bisa kembali ke masa lalu atau maju ke masa depan, memberi para tokohnya; tentara, pelayan, villa, dan lain-lain. Tak ada batas kecuali imajinasi itu sendiri yang membatasinya. Ia lalu menulis novel kedua berjudul The Other Side of Midnight yang kemudian mengubah hidupnya menjadi penulis novel penuh waktu. Novel itu bertahan di daftar Best-Seller selama 52 minggu. The Other Side Of Midnight menjadi fenomenal, best-seller internasional yang luar biasa.

Novel adalah dunia yang berbeda, yaitu dunia pikiran dan hati, pikir Sheldon. Dalam novel, orang bisa menciptakan tokoh-tokoh dan menghidupkannya. Menurut Sheldon peralihan dari penulis naskah drama dan penulis skenario menjadi novelis lebih mudah daripada yang pernah dibayangkan, dan lagi keuntungan-keuntungannya. Sheldon dapat berkelana ke seluruh dunia, melakukan riset, menemui orang-orang yang menarik, dan pergi ke tempat-tempat menarik.

Terkadang Sheldon mendapatkan surat yang sangat emosional. Hal itu lantaran mereka terpengaruh oleh novelnya. Sheldon menerima surat dari wanita yang menderita serangan jantung hebat dan dirawat di rumah sakit. Dia melarang orangtua dan pacarnya datang menemuinya. Dia menulis kepada Sheldon bahwa dia hanya ingin mati. Di kamar tempat wanita itu dirawat ada yang meninggalkan satu eksemplar The Other Side Of Midnight, di sebelah ranjangnya. Dia kemudian membacanya dan larut di dalamnya, sehingga dia melupakan masalahnya sendiri, dan siap menghadapi kehidupan lagi. itu adalah salah satu kisah yang ada dalam surat tersebut. dan masih banyak lagi cerita yang lainnya.
Novel-novel Sheldon terjual di 108 negara dan telah diterjemahkan ke dalam 51 bahasa.

Pada tahun 1997, Guinness Book Of Word Records mencantumkan namanya sebagai Most Translated Outhor In The Word—penulis yang karya-karyanya paling banyak diterjemahkan di dunia. Bukunya telah terjual lebih dari 300 juta eksemplar. Sheldon meyakini bahwa keberhasilan buku-bukunya karena tokoh-tokohnya sangat nyata baginya dan, karenanya, nyata pula bagi para pembacanya. Para pembaca luar, dari negara-negara lain mengenali buku-bukunya karena cinta, kebencian, kecemburuan adalah emosi-emosi yang dimengerti semua orang. Emosi universal.

Ada kata-kata “mutiara” dari Sheldon yang dapat dijadikan motivasi bagi kita semua yang ingin belajar darinya. “Aku cinta menulis, dan aku beruntung bisa mengerjakan hal yang kucintai. Aku yakin tidak seorang pun boleh mendapatkan pujian atas bakat apa pun yang mungkin dimiliki. Bakat adalah pemberian, apakah itu untuk melukis, musik, atau menulis, kita harus bersyukur atas bakat apa pun yang telah diberikan kepada kita dan bekerja keras dengannya.”

1 komentar:

Dian permata mengatakan...

I love all of his novels and they are my inspirstions.