Jika anda memperhatikan dunia perbukuan, maka anda akan menemukan banyak sekali buku-buku yang berbicara mengenai perempuan. Dari berbagai sisi dan ideologi perempuan telah disoroti, dengan sejumlah sisi positif dan negatifnya. Terutama dalam masalah perempuan dan Islam, sepertinya menempati posisi pertama. Jika kita cermati, banyak kaum feminis begitu produktif membicarakan perempuan dalam doktrin-doktrin keislaman dan yang ada di masyarakat Islam sendiri. Dan tentu saja yang saya maksud tidak hanya buku-buku dalam Bahasa Indonesia dan karangan-karangan orang Indonesia, tetapi juga bahasa asing dan yang belum diterjemahkan maupun sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Paling tidak ada dua buku yang mengesankan bagi saya pada saat-saat saya baru berkenalan dengan dunia perempuan dalam literatur keislaman , yaitu Women In Islam karya Wiebke Walther dan The Tao of Islam karya Sachiko Murata. Kedua buku itu menurutku sungguh luar biasa bagusnya. Isinya sangat berkualitas, risetnya begitu mendalam, keduanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia oleh penebit mizan, keduanya boleh dikatakan sebagai rujukan induk bagi para penulis tentang perempuan pada usia selanjutnya. Tulisan ini tidak akan membicarakan kedua buku itu, saya hanya sekadar menyinggung sepintas saja.
Saya hendak bercerita di sini bahwa perempuan dalam lintasan sejarah Islam sesungguhnya banyak berperan penting dalam kemajuan Islam sendiri. Hanya saja, sejarah tersebut begitu tersembunyi dan bahkan ‘disembunyikan’ oleh kalangan yang begitu naif terhadap perempuan. Dalam hal keilmuan, misalnya, perempuan mempunyai andil besar di sini untuk kemajuann Islam. Kita lihat saja misalnya dalam sumber ajaran Islam kedua, Hadis, begitu banyak sesungguhnya para periwayat Hadis, tapi sayang di antara kita tidak banyak yang tahu (Silakan baca pada tulisan setelah ini). Okelah tak apa, tapi paling tidak kita tahu satu saja, yaitu Aisyah. Ia adalah istri Nabi yang paling cerdas, yang begitu banyak meriwayatkann Hadis. Ia banyak meriwayatkan Hadis yang berkaitan dengan kehidupan Nabi SAW.
Dalam hal politik, perempuan juga sudah berperan aktif sejak masa-masa awal penyebaran Islam. Di antaranya adalah terdapat istri dan ibu para khalifah yang terlibat aktif dalam arena politik. Louis Massignon menceritakan hal tersebut secara gamblang. Begitu juga Ibn Batutah, Ia mendapati para perempuan berperan aktif di wilayah-wilayah Islam di daerah Afrika dan kepulauan Maladewa. Di Maladewa, misalnya, terdapat seorang ratu Islam yang memerintah di sana. Di Delhi tengah menetapkan seorang putri dari seorang raja untuk menjadi penggantinya yang bernama Razia, pada 1236. Masih di Delhi, kaum perempuan berperan aktif dalam bidang arsitektur, kaligrafi dan kesusastraan. Selain di atas, ada Mumtaz Mahal istri Syah Jahan, yang makamnya diabadikan dengan bangunan yang sangat megah yang dikenal dengan Taj Mahal. Itu menandakan betapa dihargainya seorang perempuan pada waktu itu. Peran lainnya yang tak kalah penting adalah keterlibatan politik kaum perempuan muslim dalam perang kemerdekaan India sebelum tahun 1947.
Tentu masih banyak lagi sesungguhnya peranan perempuan yang patut dicatat dan direkam oleh kita. Namun kita tidak menafikan kenyataan sejarah di samping itu, yaitu posisi perempuan telah merosot tajam saat menjelang peradaban modern. Aturan-aturan yang dulunya luwes dan fleksibel telah berubah menjadi kaku, rigid dan negatif atas peranan perempuan. Ayat-ayat Alquran dan Hadis-Hadis Nabi dijadikan alat propaganda untuk membungkam perempuan di kancah publik. Salah satu ayat Alquran yang menyatakan “bahwa kaum laki-laki lebih tinggi dari pada kaum perempuan” ditafsirkan ke arah yang merendahkan perempuan selama bertahun-tahun yang mengakibatkan banyak hak asasi kaum perempuan terpangkas. Akibat dari penafsiran tersebut, perempuan tidak mempunyai kesempatan untuk belajar layaknya laki-laki. Mereka menjadi bodoh dan sehingga mudah dibohongi, misalnya, dalam hal hak waris, perceraian dan lain sebagainya. Fatwa-fatwa yang memojokkan perempuan semakin memperparah perempuan saja. Mereka terlihat bodoh, polos dan lugu. Andai saja kita “lihat” istri Nabi, Aisyah, yang pandai dalam segala hal, tentu mereka mempertimbangkan fatwa-fatwanya dan menafsirkan dengan bijak dan adil teks-teks keislaman, yaitu Alquran dan Hadis.
Terkait dengan Hadis, salah satu Hadis menyatakan bahwa kaum perempuan akan menjadi mayoritas penghuni neraka semakin memperkuat posisi perempuan ke dalam kubangan lumpur hitam, padahal beberapa Hadis memutarbalikkann pernyataan tersebut. Di antaranya, perihal seorang perempuan tua bertubuh kecil bertanya pada Nabi apakah dirinya akan masuk surga. Nabi menjawab dengan bercanda bahwa perempuan tua seperti dirinya tidak akan masuk surga. Seketika itu juga perempuan tua itu sedih dan pilu. Nabi pun segera menjelaskan, “Karena mereka semua akan diubah menjadi perawan-perawan yang cantik.” Setelah itu perempuan itu pun tersenyum dan bahagia.
Teks-teks Islam yang seolah-olah menyudutkan perempuan juga terbantahkan oleh pernyataan lainnya yang sangat penting. Kita tahu bahwa melaksanakan pernikahan adalah sesuatu yang dirahmati oleh Allah dan Sunnah Nabi yang justru dianjurkan. Di dalamnya ada amal-amal yang begitu besar nilainya di mata Allah. Hal itu disebabkan dalam pernikahan dua orang manusia berlainan jenis (laki-laki dan perempuan) saling berkomitmen, mengikat janji untuk membina keluarga. Mereka berdua akan mendapatkan keturunan. Dari situlah kemudian, seorang laki-laki akan menjadi bapak dan seorang perempuan akan menjadi ibu. Nah, dalam ibulah terkandung beban yang tidak sedikit, karena ia harus mengandung dan membesarkan anaknya dengan sebaik-baiknya—bahkan bisa lebih dari itu. Untuk itulah Nabi bersabda bahwa pertama kali yang harus dihormati adalah ibu, ibu dan ibu hingga terulang tiga kali. Hal ini menandakan bahwa betapa besarnya seorang perempuan (baca: ibu) bagi manusia.
Tapi, saya sendiri heran banyak para pemuka agama yang justru menafikan gambaran perempuan di atas tersebut, malah justru melihat pada hadis di bawah ini, yang sebenarnya kita harus melihat Hadis tersebut secara sosiologis dan kritis. Bunyi Hadis tersebut adalah “jika seseorang diperbolehkan sujud di depan manusia lain, aku akan mengatakan bahwa para istri seharusnya bersujud di depan suami mereka.”
Hadis di atas itu secara tekstual sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip agama Islam sendiri yang begitu menghormati martabat perempuan. Jika memang Hadis di atas dipahami secara tekstual maka berarti Islam memusuhi kaum perempuan dan berpihak pada laki-laki. Hadis itu sendiri sebenarnya akan bertolak belakang dengan Hadis di bawah ini jika dipahami secara letterlick. Bunyi Hadis tersebut adalah: “Allah telah membuatku menyayangi dari duniamu kaum perempuan dan wewangian dan kebahagiaan bagi mataku adalah ketika sholat.”
Secara tersurat kaum wanita diidentikkan dengan harum dan wangi, sedang dalam Bahasa Arab ‘wangi’ itu sejalan dengan “baik’ karena akar katanya sama, baik berarti thayyib dan wangi berarti thib (selain artinya obat).
Jika kita kembalikan Hadis tersebut pada masa kemunculannya, paling tidak itu tertuju pada para perempuan yang berada di sekitar Nabi, mulai dari Khadijah hingga Fatimah. Khadijah, istri pertama Nabi, yang hidup bersamanya dalam perkawinan monogamis selama 25 tahun, mendukung dan menentramkan hatinya selama beliau mengalami kejutan spiritual yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya akibat datangnya wahyu pertama. Sedang Fatimah, putri Nabi dan ibu dari Hasan dan Husain, adalah anak kesayangan Nabi serta teladan tertinggi bagi kaum perempuan pada waktu itu.
Saya hendak kembali pada kata dan peranan ibu. Ada dua kata yang sebenarnya sangat terkait kelindan dengan peran ibu, yaitu kata ‘rahmat’ dan ‘rahim’. Dua kata itu berasal dari bahasa arab dengan akar kata yang sama. Rahmat adalah ‘belas kasih’ dan rahim yaitu ‘peranakan’. Seorang ibu menyandang dua kata itu sekaligus, bahwa seorang ibu tempat melahirkan seorang anak dengan penuh kasih sayang. Oleh karena itu, tak heran jika kemudian Nabi SAW menyuruh kita untuk menghormati seorang ibu melebihi dari ayah kita sendiri. Bahkan agaknya tak berlebihan jika Nabi pun mengatakan “surga berada di telapak kaki ibu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar