Kamis, 28 Agustus 2008

Puisi Abadi


“Seorang guru yang bisa membangkitkan sebuah perasaan untuk berbuat satu kebaikan, untuk menciptakan satu puisi indah, menghasilkan lebih banyak daripada seorang guru yang memenuhi kenangan kita dengan berderet-deret benda nyata, yang digolongkan berdasarkan nama dan bentuk.”
(John Wolfgang Von Goethe)

Aduh, bagaimana ini. Aku grogi bukan main. Kenapa aku menjadi salah tingkah begini, saat pak Dawam menghampiriku. Ia hendak mengembalikan tugas kami, yaitu puisi yang kami buat. Aku tak sabar ingin melihat nilaiku. Harap-harap cemas saat aku hendak melihatnya. Jangan-jangan nilaiku jelek.

Padahal aku sudah berusaha mati-matian membuatnya. Aku bekerja ekstra keras membuat kumpulan puisiku, berbaring di ranjangku setiap malam selama satu bulan, dengan cermat mengukir kata-kataku supaya setiap puisi menyanyi, menari, dan mengalir. Seminggu yang lalu kami disuruh mengumpulkan puisi tersebut. Dan saat ini adalah pengembalian puisinya dengan disertai catatan, komentar dan nilainya.
* * *

Pak Dawam adalah seorang dosen di bidang sastra. Ia sangat cerdas dan bersemangat. Aku sedikit jatuh hati padanya. Selain kedua hal itu, ada satu lagi yang menjadikannya sempurna di mataku, yaitu cara mengajarnya yang luar biasa berwibawa dan berkesan. Aku yakin, ini bukan hanya menurutku saja, teman-temanku yang lain juga bicara seperti itu. Aku sering duduk di belakang jika pada saat jam mata kuliah pak Dawam. Aku malu, walau sebenarnya aku ingin ia memperhatikanku. Ah, aku ini memang mahasiswi yang aneh.

Aku ingin menceritakan beberapa pengalaman yang berkesan pada saat mata kuliah pak Dawam, dimana pertemuan itu adalah awal aku menyukai dunia puisi.
Pengalaman pertama, yaitu saat kami membahas puisi cinta karya Sapardi Djoko Damono. Tak disangka waktu itu tiba-tiba pak Dawam menyuruhku membaca puisi itu. Kontan saja aku kaget, mengapa ia memilihku untuk membacanya padahal aku duduk di belakang? Keringat dingin mulai bercucuran, dan tangan gemetaran. Puisi itu puisi cinta, dan aku tak bisa mengelak untuk membayangkan siapa kekasih itu. Sebelum aku membacanya ia berpesan bahwa agar puisi itu bisa dijiwai maka aku harus membayangkan untuk siapa puisi itu. Teman-teman menyorakiku. Sesaat setelah hening aku pun mulai membacanya dengan sangat memalukan. ”A...a...ku i..nginn mencin...taimu. Aduh pak, aku tak bisa” ujarku. Aku sungguh memalukan melakukan hal sekonyol itu. Semuanya menertawakanku.

Pak Dawam hanya tersenyum. Setelah kelas mulai reda, pak Dawam kemudian memberi contoh bagaimana cara menghayati sebuah puisi. Dia pun membacanya dengan sangat indah.
”Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api
Yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tidak sempat disampaikan awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada”

Ketika selesai membacanya semua mahasiswa bertepuk tangan. Luar biasa. Aku terasa di awang-awang saat pak Dawam membaca puisi itu, seolah-olah puisi itu ditujukan ke aku. Suaranya terdengar sejuk saat mengucapkan puisi tersebut. Lalu aku berandai-andai. Ah, andai saja...

Pengalaman berkesan kedua adalah saat ia menjelaskan karya Khalil Gibran, yaitu Sayap-Sayap Patah, sebuah penjelasan tentang cinta sejati. Aku terpukau dan terpesona dengan paparan pak Dawam.

”Cinta sejati adalah melakukan pengorbanan untuk membahagiakan orang yang dicintainya. Itulah yang dipraktekkan Gibran kepada Salma dalam karyanya Sayap-Sayap Patah. Dalam bab 8 bisa kita lihat, bahwa Gibran meminta kepada Salma, yang mengetahui bahwa dia telah menikah dengan keponakan seorang pendeta, untuk terbang bersamanya ke negara lain sekalipun mungkin akan mendapat dakwaan dari pendeta. Namun, Salma menolak halus tawaran Gibran. Dia mengungkapkan ketidakegoisannya:

’Cinta hanya mengajarkan kepadaku untuk melindungimu bahkan dari aku sendiri. Adalah cinta, yang bebas dari api, yang menahanku dari mengikutimu pergi ke tempat yang jauh. Cinta membunuh hasratku sehingga engkau bisa hidup bebas dan benar. Cinta yang tak terbatas mencari kepemilikan dari orang yang dicintai, namun cinta yang terbatas hanya mencari dirinya!’

Oleh karena itu, mahasiswaku semua, belajarlah dari Salma, yang mengorbankan dirinya demi sang pencinta. Salma ini sesuai dengan definisi yang diberikan Leibniz, seorang filosof abad 18, ’Amorae est gaudere felicitate alterius’ (bahwa mencintai adalah mengupayakan kebahagiaan orang yang dicintainya).”

Begitulah penjelasan pak Dawam. Dan sejak saat itu aku begitu menyukai puisi. Banyak karya-karya puisi para tokoh, terutama dari Indonesia aku baca. Lalu lama kelamaan aku sering membuat sendiri. Dan kupikir bagus juga puisi buatanku. Sejak saat itu aku selalu semangat mengikuti kuliah pak Dawam. Menyukai dosen dan mata kuliahnya adalah dua hal yang jarang sebetulnya aku alami. Jika ada tugas dari pak Dawam aku selalu senang. Dan aku adalah orang yang selalu pertama kali yang mengumpulkan tugasnya di mejanya.

Aku sering bereksperimen menulis puisi dengan susunan yang tak biasa. Karena aku rada bosan dengan gaya-gaya yang monoton yang sering kubaca. Keseringan bereksperimen aku malah keranjingan menulis dengan gaya itu. Dan hasilnya, 2 puisi yang kujadikan tugas pertengahan semester mata kuliah ini adalah hasil eksperimen aku. Aku yakin tidak bakalan ada kedua puisiku ini sama gayanya dengan teman-teman lainnya. Aku jamin itu. Aku menulis puisi ini pada tengah malam saat hatiku terasa sepi. Kuberi judul puisi itu dengan Pada Mulanya Sepi. Inilah bait-baitnya:
Tuhan
Sepi
Tuhan tak mau sepi
Adam jadi
Adam tak mau sepi
Hawa tiba

Kau sepi
Kau tak mau sepi
Aku ada

Aku sepi
Aku tak mau sepi
Kau ada

Jadi dari sepi
Tiba dari sepi
Ada dari sepi
Ada dalam sepi
Kau dan aku
Bertemu
Membagi sepi

Sepi tak bertemu
Sepi tak terbagi
Sepi tak bertepi
Sepi yang sunyi
Sepi yang asasi
Sepi yang aku
Sepi yang aku
Sepi nya kau
Sepi nya kau
K a u
K a u
A ku
Aku

Sedang puisi kedua kubuat ketika banyak persoalan hidup kuadukan pada Tuhan. Judul puisi itu Jadi .
Tidak setiap derita jadi luka
Tidak setiap sepi jadi duri
Tidak setiap tanda jadi makna
Tidak setiap tanya jadi ragu
Tidak setiap jawab jadi sebab
Tidak setiap seru jadi mau
Tidak setiap tangan jadi pegang
Tidak setiap kabar jadi tahu
Tidak setiap luka jadi kaca
Memandang kau
Pada wajahku!

Sungguh, aku merasa puas dengan karyaku itu. Saat ini karyaku yang kujadikan tugas mata kuliah hendak diserahkan kembali kepadaku. Untuk dilihat nilainya. Aku merasa sangat yakin dapat nilai bagus. Aku lihat bisikan dan tawa teman-teman ketika mereka saling memperlihatkan nilainya. Sebagaimana yang sudah kukatakan bahwa pak Dawam bukan hanya mencantumkan nilainya tapi juga menuliskan komentar di samping nilai kami. Aku tak sabar ingin tahu apa pendapatnya tentang puisiku itu.
Jantungku berdebar kencang ketika aku membuka sampul tugasku itu untuk melihat nilaiku. Dan di sanalah di bagian atas halaman—sebuah huruf C. Tidak ada kata-kata, tidak ada penjelasan, hanya huruf C, dalam tinta biru. Tubuhku disengat rasa panas. Aku hampir tak bisa bernapas. Aku harus protes. Ya, aku harus mengadu mengapa aku dapat nilai C. Nanti, setelah semuanya keluar.

Tak lama teman-teman kemudian keluar kelas. Ku hampiri pak Dawam yang sedang memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. ”Permisi pak, ada yang mau saya tanyakan. Saya mendapat nilai C, kira-kira dimana letak kejelekan kedua puisi saya itu?” tanya aku.
”Puisimu itu seperti bukan hasil karyamu. Terlalu bagus bagi penulis pemula. Selain itu, puisimu itu menyimpang dari kaidah-kaidah sastra.” jawab pak Dawam dengan dingin.

Aku tak mengatakan apa-apa lagi. Aku langsung pergi meninggalkan pak Dawam. Sungguh alasan yang tak masuk akal. Bagaimana bisa ia menuduhku bahwa puisiku itu bukan hasil pikiranku. Aku camkan dalam hati, inilah awal kebencianku pada pak Dawam. Kalau dulu aku mengaguminya, sekarang berubah 360 derajat, aku membencinya. Sejak saat itu aku sering menghindar jika aku hendak berpapasan dengannya di kampus. Dan parahnya lagi, aku sudah 2 kali pertemuan tidak masuk mata kuliahnya. Lewat teman-temanku, pak Dawam menanyakan aku, mengapa tidak pernah masuk.

Di kamar saat hendak menulis puisi, tiba-tiba ingat dosen itu. Aku pun tak jadi menulis. Sungguh betapa besar efek kejadian itu pada diriku. Aku jadi benci menulis puisi yang tadinya aku mulai suka. Bagiku, nilai C itu sangat rendah. Tak pernah ada tugas mata kuliah yang kudapatkan nilai C. Paling kecil B. Nilai C adalah istilah dari ’Celaka’, ’Celaan’, ’Cobaan’, dan ’Cacingan’ barangkali.
Tapi, sebentar... sepertinya ada yang salah denganku. Sebuah pikiran dari sudut lain melintas dalam benakku. Jika pak Dawam menganggapnya itu bukan karyaku, berarti puisi-puisiku sangat bagus. Bahkan dia sendiri mengatakan, terlalu bagus bagi penulis pemula, katanya. Wah, sungguh ajaib. Aku berarti punya bakat dalam menulis. Tiba-tiba saja aku diliputi perasaan mampu yang sangat besar.

Orangtuaku selalu mempercayai kemampuanku dan mengatakan bahwa aku bisa menjadi apapun yang kuinginkan, dan kurasa karena itu aku jadi agak mempercayai diriku sendiri. Tapi kali ini lain. Inilah pertama kalinya seseorang yang bukan anggota keluargaku memberitahuku bahwa aku berbakat. Aku yakin pak Dawam tidak bermaksud mengatakan itu. Dan sejak saat itu, nilai C itu merupakan singkatan dari ’Confidence’ (keyakinan).

Saat aku masuk ke kelasnya lagi, pak Dawam menyuruhku untuk ke mejanya setelah selesai materi. Dia ingin tahu alasan aku tidak masuk. Aku pun menceritakan seadanya. Bahwa saat aku mendapatkan nilai C untuk tugas pembuatan puisi itu, jelas aku kecewa dan benci dengannya. Benci karena alasan yang tak masuk akal. Namun aku kemudian sadar, bahwa ada hikmah di situ, ada suatu pesan tersembunyi dari alasan yang tak logis itu. Mendengar penjelasanku pak Dawam tersenyum.

”Sudah kuduga, kamu pasti akan menyadari hal itu. Ulin, aku ingin katakan padamu, bahwa kamu punya bakat dalam menulis puisi. Puisimu begitu indah dan berpotensi mempunyai aliran baru. Aku memberi nilai C agar kamu terus menulis puisi, agar kamu terus melakukan kreatifitas. Aku kuatir jika kuberi nilai A, kamu akan merasa puas, bangga, dan tidak mau lagi menulis puisi. Aku tak ingin kamu seperti penyair Prancis Sully Prudhomme, pemenang nobel sastra pertama pada tahun 1901, setelah mendapat penghargaan ia tidak banyak mencipta puisi lagi. Itulah rahasia mengapa aku memberi nilai C buatmu. Teruslah menulis, aku yakin itu akan bermanfaat buatmu, bahkan buat semua orang sepanjang hayat kamu!”

Kata-kata pak Dawam begitu menggugah. Aku seperti tersengat aliran listrik. Akan kuingat terus kata-kata pak Dawam tersebut sampai kapan pun. Apa pun profesiku kelak, aku tak akan meninggalkan dunia puisi. Akan kutulis puisi sebanyak-banyaknya. Bukan hanya karena bakat, tapi karena sebagai panggilan hidup dan juga persembahanku pada pak Dawam.

Saat aku telah diwisuda, dan dalam fase hidupku selanjutnya beberapa tahun ke depan aku sudah bekerja di sebuah Rumah Sakit. Saat bekerja di RS itu, aku masih tetap menulis puisi. Puisiku sudah sering dimuat di koran-koran dan majalah-majalah. Selain menambah pemasukan, aku pun merasakan kepuasan yang luar biasa dalam hidupku. Dan tentu saja puisi-puisi itu mengabadikan sosok pak Dawam yang begitu melekat dalam hatiku. Ia telah menjadi ilham rahasiaku, meskipun ia tidak menyadari apa yang telah ia lakukan. Pak Dawam mungkin bukan hanya sebagai dosen tetapi juga seorang inspirator dan pembawa perubahan yang besar bagiku. Ah, aku jadi malu bila mengingat saat aku naksir sama dia, ehmm...
* * *

Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Pak Dawam telah meninggal. Seorang teman memberi tahuku. Aku sedih. Air mataku bercucuran. Ini adalah kabar pertama kuketahui semenjak lulus kuliah tentang pak Dawam. Dan ini pula ternyata kabar terakhir yang hendak kuterima mengenai dirinya. Sungguh memilukan. Kabar ini benar-benar membuatku terpukul. Keinginanku untuk memberikan hadiah berupa karyaku di ultah perkawinan pak Dawam tidak kesampaian. Untuk pertama dan terakhir, aku akan ke rumahnya, ta’ziyah. Sebagai penghormatan terakhir padanya. Aku pun minta alamatnya kepada temanku. Keesokan harinya aku pergi menuju rumahnya.

Tak sulit untuk menemukan rumah keluarga pak Dawam. Rumahnya begitu sepi. Sudah tidak ada lagi yang melakukan ta’ziyah. Di rumah itu hanya ada istrinya. Kuperkenalkan diriku pada bu Dawam, dan aku mengucapkan belasungkawa atas meninggal suaminya. Ia mengucapkan terima kasih banyak sudah datang dan mohon dimaafkan jika ada kesalahan yang dilakukan mendiang suaminya saat dia masih mengajar. Mata bu Dawam berkaca-kaca, penuh dengan air mata yang hendak jatuh ke pipinya. Tak lama air mata itu tak terbendung lagi, dan mulai berjatuhan tetes demi tetes. Ah, ingin rasanya aku mengusap air mata itu. Tapi, aku tahan. Aku hanya memegang tangannya, sebagai isyarat bahwa ibu itu harus sabar dan lapang dada. Terus aku tanya sebelum pak Dawam meninggal dia mengidap penyakit apa. Dia pun menceritakan semuanya, bahwa dia mengidap penyakit tipes yang sudah akut. Dia dirawat di RS sekitar 2 minggu, lalu ketika semakin baik, dia dibawa pulang dengan rawat jalan.

”Sekitar 3 hari di rumah semenjak dari Rumah Sakit, penyakitnya seperti sudah mau sembuh. Aku mulai senang. Namun ternyata perkiraanku salah. Keesokan harinya ketika selesai shalat subuh, suamiku dijemput yang Maha Kuasa. Sungguh tak disangka. Mungkin sudah waktunya kali ya.” ucap bu Dawam sedikit bergetar suaranya.

”Begitulah bu kalau Tuhan sudah berkehendak. Dan saya yakin Tuhan menyayangi pak Dawam. Hal itu bisa kita lihat dengan cara melihat kematiannya, yaitu usai shalat subuh.”

”Aku pun berpikir seperti itu. Kematiannya begitu tenang dan ringan. Oh iya ada yang belum aku ceritakan pada nak Ulin. Ketika selesai shalat subuh, ia ingin rebahan sebentar. Saat rebahan itu ia membaca tulisan yang ada di beberapa kertas. Aku tanya apa yang sedang dibacanya, dan ternyata puisi. Kalau tak salah ada dua puisi. Ya, dua puisi yang begitu indah. Terus, ia memintaku untuk membacakan puisi itu untuknya.

Dengan suara pelan dan penuh penjiwaan ku baca puisi itu. Memang, kedua puisi itu begitu indah. Aku pun terpesona dibuatnya. Terus aku tanya Bapakkah yang membuatnya. Dia menggeleng lalu tersenyum. Hanya itu. Setelah itu matanya terpejam, dan ternyata terpejam untuk selama-lamanya.”

Mendengar cerita bu Dawam aku tercengang. Pak Dawam sungguh luar biasa. Aku sangat kagum padanya. Kekaguman yang sesungguhnya sejak dari dulu, sejak di bangku kuliah. Ia begitu mencintai puisi, sampai saat sebelum kematian menjemputnya ia masih sempat ingin dibacakan puisi.

”Kalau boleh tahu, kedua puisi itu boleh saya lihat bu?” tanyaku, karena penasaran puisi seperti apa yang membuat pak Dawam ingin membacanya sebelum ia meninggal.
”Boleh. Saya ambilkan dulu di kamar” jawab bu Dawam sembari berdiri dan melangkah menuju kamarnya. Tak lama ia datang.

”Ini kedua puisi itu. Kertasnya sudah agak buram. Sepertinya ditulis beberapa tahun yang lalu. Sampai sekarang ibu belum yakin pak Dawam sendiri yang menulis kedua puisi itu.”

Bu dawam lalu menyerahkan kedua puisi itu. Alangkah kagetnya saat aku baca kedua puisi itu. Puisi itu adalah puisiku yang dulu kuberikan sebagai tugas mata kuliah sastra. Pak Dawam ternyata masih menyimpannya dengan baik. Dan yang membuatku takjub adalah dia membacanya di saat-saat ajalnya telah tiba. Itu artinya, ia masih mengingatku.

Bu Dawam terheran-heran melihat ekspresiku saat melihat puisi itu.
”Nak Ulin, ada apa? Apa nak Ulin kenal siapa yang membuat kedua puisi itu?” tanya bu Dawam.

Aku menatap teduh bu Dawam, lalu kugelengkan kepala sambil tersenyum. Senyum yang sangat manis yang pernah kulakukan. ***

1 komentar:

Anonim mengatakan...

weih ini cerita nyata mbak? saya juga sedang mengalaminya nih...