Selasa, 23 Juni 2015

Lakukan dengan Cinta

Lakukanlah sesuatu dengan penuh cinta. Niscaya, engkau akan merasa bahagia pada saat melakukannya. Rasa malas, terpaksa, benci, akan hilang seketika. Dan yang ada hanyalah rasa senang dan bahagia. Dalam pikiran kita akan tertanam bahwa apa yang kita lakukan ini merupakan sebuah ibadah, karena memberikan manfaat bagi orang lain dan diri sendiri. Jadi ingatkan selalu dirimu pada saat melakukan apapun untuk diiringi perasaan cinta. Niscaya bibirmu akan tersenyum, hatimu akan tentram, pikiranmu akan damai, dan perasaan buruk apapun tak akan mendekat.

Pada saat menulis, maka menulislah dengan penuh cinta. Pada saat bicara, bicaralah dengan penuh cinta, pada saat membaca, membacalah dengan penuh cinta, begitu juga dalam aktivitas lainnya. Termasuk pada saat mengetik dan minum kopi. Mengetiklah dengan penuh cinta dan minum kopilah dengan penuh cinta. Rasakan sensasinya.

Pada saat belajar sesuatu, pelajarilah dengan penuh cinta. Maka kedamaian akan menyertaimu selalu. Karena rasa cinta akan memunculkan perasaan syukur.  

Minggu, 21 Juni 2015

Untuk RB

Aku tak dapat menyembunyikan rasa bahagia saat kamu mengatakan bahwa kamu akan kembali ke khittah, jalan yang pernah kita tekuni bersama sewaktu mahasiswa dulu. Waktu itu, lantaran orangtuamu menyuruh pulang kampung, akhirnya membuat kamu putus mata rantai dengan jalan yang kita tekuni itu. Di kampung halaman, kamu merasa jauh dari dunia yang kita geluti itu.

“Dunia buku adalah dunia yang sangat saya cintai, makanya sejak selesai kuliah saya masih sempat membeli buku sampai lebih seribu judul,” ujar kamu. Kamu pun bercerita panjang lebar mengingat masa masa-masa kuliah dulu.

“Saya rela lapar-lapar asal saya membeli buku yang saya suka di emperan-emperan jalan, rasanya setelah memiliki buku saya merasa kenyang. Waktu mahasiswa hampir semua judul buku beserta letak-letaknya saya hafal di deretan rak perpustakaan IAIN, itu karena setiap hari saya ke perpus. Makanya kalau saya kenang kembali dunia yang hilang itu rasanya ada sejumput penyesalan yang maha besar di batin saya. Saya mau kembali start dari titik nol.”

Selamat datang kembali, kawan. Seperti yang sudah kuduga, kemanapun kamu pergi dan apapun yang kamu lakukan, dunia buku adalah hidupmu. Selamat membaca dan menulis, kawan! 

Rabu, 10 Juni 2015

Dosen PTAI Harus Mampu Menulis Populer


Tidak banyak dosen Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang mampu menulis dengan ngepop alias populer. Kebanyakan mereka menulis dengan kaku dan formal. Mungkin sudah terbiasa menulis untuk jurnal, laporan penelitian, dan laporan akhir waktu kuliah seperti skripsi, tesis, dan disertasi. Oleh karena itu saya acungkan jempol apabila ada dosen yang bisa menulis buku-buku keislaman untuk masyarakat umum, karena hampir dipastikan mereka menggunakan penulisan populer.

Kemampuan menulis secara populer sangatlah penting bagi kalangan dosen PTAI. Karena, pengetahuan keislaman yang mereka punyai tentu sangatlah dalam dan komprehensif. Ilmu pengetahuan mereka sangatlah dibutuhkan oleh masyarakat. Masyarakat butuh pengetahuan keislaman yang dalam, multi-perspektif, dan bijak. Tiga hal itu saya pikir dosen PTAI sangat mumpuni. Sebagai alumnus dari PTAI, saya merasakan betul betapa mumpuninya mereka dalam kajian-kajian keislaman.

Masyarakat saat ini butuh bacaan keislaman yang mencerahkan, toleran, santun, dan kaya perspektif. Dosen PTAI yang notabene-nya akrab dengan kajian keislaman tentu harus menjadi ambil bagian dalam hal ini. Jika tidak, buku-buku keislaman tidak ada kemajuan signifikan dari segi mutu dan kualitas. Buku-buku keislaman hanya jalan di tempat, penerbit hanya akan menerbitkan buku keislaman yang ganti judul dan kover saja, dan kontennya mutakarrirah alias mengulang-ulang, tanpa ada gagasan baru.

Coba kalau para dosen PTAI yang menulis, mereka akan menyuguhkan tema-tema keislaman yang dalam, penuh gagasan, dan kaya perspektif. Tentu harus dibarengi dengan keprigelannya dalam mengolah gagasan dan menyajikannya secara populer. Saya yakin buku-buku keislaman akan bergeliat dan memengaruhi para pembaca;  tercerahkan, memahami persoalan, dan mewajarkan perbedaan. Mereka bisa menulis soal fiqih, sejarah Islam, sirah nabawiyah, tasawuf, dll.
Faktanya memang tidak banyak dosen-dosen PTAI yang mau dan mampu menulis keislaman secara populer. Mereka sudah nyaman dengan menulis di jurnal dan laporan penelitian yang dapat dipresentasikan di depan akademisi yang diselenggarakan oleh lembaga sponsornya. Tentu tidak salah, dan ini juga bukan soa benar atau salah. Mungkin soal selera saja. Soal pilihan. Saya cuma menyayangkan saja, kenapa mereka hanya  menulis untuk jurnal dan laporan penelitian saja, tidak menulis buku? Atau walaupun menulis buku mereka menulis dengan bahasa yang mengawang-awang tidak populer? Biasanya sih itu pun buku proyek, atau hasil tesis atau disertasinya.

Bukan apa-apa, kajian keislaman yang tidak ditulis secara populer itu tidak akan sampai kepada pembaca non-akademis, katakanlah pembaca umum. Mereka akan kesulitan membacanya: kalau tidak pusing ya ngantuk. Mereka tidak akan tergerak mengkhatamkannya. Untuk itu mereka harus menuliskannya secara populer. Sungguh, masyarakat membutuhkan bacaan keislaman yang mumpuni. Selama ini buku-buku keislaman populer ditulis oleh para penulis yang tidak otoritatif. Mereka hanya mengambil rujukan-rujukan sekunder yang jelas tidak memadai dalam mengkaji sebuah pembahasan. Tapi mereka menang dalam penulisannya. Ya, mereka menulis dengan gaya populer. Tak aneh kemudian mereka mendapat tempat di hati pembaca. Dan kajian keislaman yang mereka tulis akan memengaruhi pola pikir dan perilaku pembaca juga.

Jadi, tak ada jalan lain (dan tak ada waktu lagi), kini para dosen PTAI harus menulis kajian keislaman dengan gaya populer. Apabila ada dosen yang kesulitan bagaimana cara menulis buku keislaman secara populer, baiknya membaca buku saya ini, hehe... Jika dirasa masih kurang, mereka bisa mengundang saya, itu lebih baik, hehe...


Terima kasih. Wallahu a'lam bisshawab.

Senin, 08 Juni 2015

Selamat Merayakan Cinta


Waktu kuliah saya mendapat pengetahun tentang ilmu tafsir. Salah satu metode tafsir yang saya sukai adalah tafsir tematik (maudhu’i). Saya menjadi tahu sejarah, keutamaan, dan aspek teknis-metodologis tafsir tematik. Hmm, rupanya pengetahuan itu menjadi bekal saya saat sudah lulus kuliah dan menekuni dunia literasi (baca-tulis). Begini ceritanya.
Tahun lalu semenjak resign ngantor, saya banyak waktu untuk membaca, menelaah, menulis, merenung (dan menangis kenapa memutuskan resign, hikss... [jiah ketauan deh]), termasuk membaca Al-Quran (bukan sok rajin, ini ikhtiar menghilangkan rasa galau, haha).
Saat membaca Al-Quran itu kerap saya menemukan “ayat–ayat cinta”, dengan redaksi “sesungguhnya Allah mencintai orang-orang...” dan dalam ayat lain saya menemukan juga “sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang...”. Aha! Saya kemudian terbersit untuk mengkajinya secara reflektif dan populer. Maka bulan ini terbitlah buku itu diterbitkan oleh Mizania. Udah gitu aja. smile emotikon
Bagi yang pengen beli hanya Rp 40.000,- (sudah termasuk ongkir)
Terima kasih