Padi tumbuh dalam kesunyian, sejak hijau hingga menguning. Dia tidak banyak "bicara" dan gembar-gembor untuk mempersiapkan kematangannya. Dan saat matang dia justru merunduk. Semakin berisi semakin tunduk. [iqbal.dawami@gmail.com]
Rabu, 06 Agustus 2008
Kartini: Antara Simbol dan Spirit
21 April adalah kelahiran Kartini, seorang perempuan asal Jepara. Kelahirannya dirayakan oleh hampir semua kaum perempuan Indonesia. Sosok semasa hidupnya dianggap membawa perubahan bagi kaum hawa Indonesia. Acara-acara yang berjenis “ke-wanita-an” pun tengah digelar, seperti lomba memasak, lomba tata rias wajah, lomba dandan, dan lain-lainnya. Lomba-lomba tersebut ada lingkup RT, RW, kelurahan, hingga kabupaten. Momentum ini sangat ditunggu-tunggu, paling tidak, oleh para pengusaha salon kecantikan dan masakan, karena dapat mendatangkan rizki yang berada di luar kebiasaan itu.
Bagaimana tidak, mereka kebanjiran pesanan untuk mendandani bagi pengusaha salon dan memasak untuk pengusaha masakan di sana-sini. Kegiatan ini tidak hanya didominasi oleh kaum perempuan dewasa (ibu-ibu dan nenek-nenek) dan kelas menengah ke atas saja, tetapi juga dinikmati oleh kalangan anak-anak/remaja yang duduk di bangku TK, SD, SMP, dan SMA. Dan bagi kalangan akademis pun tidak ketinggalan, mereka mengadakan kegiatan dan kajian seperti seminar, diskusi, simposium, dan lain-lainnya yang bertemakan perempuan.
Harus diakui bahwa macam-macam kegiatan seperti yang telah disebutkan di atas kita respon dengan positif, paling tidak masyarakat perempuan Indonesia ternyata masih mengingat dan menghargai peran seorang Kartini. Hanya saja patut pula kita apresiasi dengan sebuah kritik yang bersifat membangun, di antaranya dengan sebuah pertanyaan apakah kaum perempuan saat ini merayakan Hari Kartini dengan hanya sebatas seremonial belaka ataukah dibarengi dengan upaya mengaktualisasikan spirit dan nilai-nilai yang dicita–citakan oleh Raden Ajeng Kartini itu? Penulis sedikit khawatir, jangan-jangan kita hanya terjebak pada acara rutinitas tahunan belaka, sehingga melupakan makna substansi di balik simbolisme Kartini.
Penulis memang harus menyadari, bahwa masyarakat kita yang berada di kelas ekonomi menengah ke bawah dan orang-orang yang tidak biasa dengan lingkungan akademis tak tahu menahu apa makna spirit adanya peringatan kelahiran Kartini ini. Hal itu disebabkan oleh kesalahan sejarah penguasa yang tidak pernah menekankan pada tataran spiritnya, tetapi lebih pada hal-hal simbolis saja seperti lomba tata rias, cara berpakaian, dan masak-memasak.
Sejarah Kartini
Tak bisa dielakan, mengerti akan sejarah riwayat hidup Kartini harus segera ditanamkan pada generasi perempuan Indonesia. Hal ini sangat penting karena dari sejarah riwayat hidupnya kita dapat mengetahui spirit Kartini untuk diterapkan pada masa kini. Nah, dalam tulisan ini penulis hendak memberikan beberapa spirit dari Kartini yang dapat kita ambil dari sejarahnya.
Pertama, perjuangan Kartini sesungguhnya berpusat pada keinginan wanita untuk disetarakan dengan kaum laki-laki. Dengan kata lain, kaum perempuan diharapkan maju, berdaya, dan berwawasan luas, serta mempunyai hak yang sama dengan kaum laki-laki.
Hal itu tercermin pada surat-surat yang dikirim pada para sahabatnya baik laki-laki maupun perempuan yang ada di Belanda, seperti Ny Ovink Soer, Stella, Prof dr GK Anton, Dr N Andriani, Ny HG de Booy-Boisevain, Ir HH van Kol , Ny N van Kol, Ny RM Abendanon-Mandri, Mr JH Abendanon, serta EC Abendanon. Dalam surat-suratnya begitu gamblang ia membela kaum perempuan dari segala sesuatu yang menurutnya tidak memihak dan tidak ada keadilan pada para perempuan. Di antaranya ia mempertanyakan ajaran-ajaran keagamaan yang memosisikan kaumnya di posisi kedua, dan kritik pedas atas kementrian Belanda perihal sistem pendidikan dan keadaan sosial politik di negeri jajahan Belanda untuk tidak diskriminatif terhadap perempuan.
Kedua, betapapun ia kritis atas realitas yang kurang memihak pada perempuan, namun Kartini tetap berpegang teguh pada kodratnya sebagai wanita. Hal itu kita dapatkan dari perannya sebagai seorang istri yang setia dan mengurus rumah tangga dengan baik. Ia sangat mengerti hak dan kewajibannya sebagai perempuan dan istri dalam rumah tangganya. Tidak seperti halnya ideologi feminisme yang sering kita dengar saat ini, seperti feminisme marxis, feminisme liberal hingga feminisme postmodernis, kebanyakan di antara mereka melupakan kodratnya sebagai wanita. Aliran-aliran feminisme tersebut sangat tidak sejalan dengan feminisme “ala” Kartini.
Di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya sangat nampak fenomena feminisme yang berkiblat pada barat seperti yang telah penulis sebutkan di atas. Adapun gejala-gejalanya dapat kita lihat dari beberapa hal.
Pertama, adanya keinginan besar dari kalangan aktivis perempuan untuk melepaskan diri dari dominasi kaum laki-laki, di mana salah satunya adalah keengganannya untuk menikah. Menikah bagi penganut ideologi ini dianggap sebagai perangkap laki-laki untuk mendominasi perempuan. Dalam institusi ini, bagi mereka, perempuan tak bisa berkutik untuk mengekspresikan dirinya, malahan yang ada adalah keterjebakan dalam aktivitas-aktivitas yang hanya menguntungkan pihak laki-laki. Alasan lainnya, karena mereka pun tak mau mengurus anak-anak, yang membuat mereka merasa terpenjara.
Harus dimafhumi jika mereka bersikap demikian, lantaran kiblat mereka adalah negara-negara maju yang memang fenomena seperti itu sudah lumrah dan menjadi gaya hidupnya (life style). Di samping itu, mereka pun hanya melihat pada beberapa kasus yang sarat dengan budaya patriarkhi dalam institusi perkawinan yang dilakukan oleh segelintir orang, sehingga sedikit banyak dapat mempengaruhi sikap mereka terhadap pernikahan.
Kedua, berkarir adalah salah satu jalan untuk memerdekakan diri dari “cengkraman” laki-laki. Kaum feminis perempuan menyibukkan diri pada profesinya dalam semua bidang, karena menganggap dirinya sama dan sederajat dengan kaum laki-laki. Mereka menginginkan jabatan yang tinggi agar mereka pun dapat berkuasa seperti halnya laki-laki. Dengan itu mereka pun mendapatkan apa yang diinginkan, yaitu sebuah kebebasan.
Kedua hal di atas menjadi trend yang lambat laun telah mengalami peningkatan di beberapa kota besar di Indonesia. Bagi mereka, jika menikah hanya untuk mendapatkan keturunan secara sah, maka hal itu juga dapat dilakukan dengan cara lain yang legal juga. Memang, harus diakui, bahwa ilmu kedokteran telah memberikan peluang bahwa seorang perempuan bisa mempunyai anak atau keturunan tanpa melalui proses kehamilan dan melahirkan. Yakni pembuahan sel telur oleh sperma dilakukan di luar saluran telur seperti pada umumnya, dan jika perlu mereka bisa menyewa rahim orang lain sebagai tempat benih calon anaknya tersebut. Kemajuan ini ternyata dimanfaatkan oleh kalangan feminis yang berpandangan bahwa menikah dan melahirkan bukan merupakan suatu keniscayaan.
Sungguh, femonena di atas menurut penulis adalah sebuah perilaku feminisme kebablasan, yang jauh dari kodrat wanita sesungguhnya. Terkait dengan konteks feminisme Kartini, feminisme “ala” Barat itu tidak sama dengan feminisme yang diusung Kartini. Kartini sama sekali tidak mencabut jati dirinya sebagai perempuan. Akar kewanitaannya tetap teguh meski mengusung feminisme.
Nah, tampaknya feminisme Kartini masih relevan dengan konteks kekinian. Dengan memahami sejarahnya akhirnya kita dapat mengambil spirit hidupnya untuk kita terapkan pada masa kini sesuai dengan konteks masing-masing. Di sinilah kita dapat menjembatani peringatan Hari Kartini antara antara simbolisme dan spiritisme.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Hello!
Nggak terasa udah mau Hari Kartini lagi ya?
Ini ada artikel tentang Kartini juga, "Hari Kartini, Pahlawan Pendidikan" di cantik40s.blogspot.com.
:)
Thanks,
AFM
Iya nih, dah gak terasa. Mudah-mudahan setiap merayakan Hari Kartini semakin lebih baik lagi perempuan Indonesia hehe. salam.
Posting Komentar