Padi tumbuh dalam kesunyian, sejak hijau hingga menguning. Dia tidak banyak "bicara" dan gembar-gembor untuk mempersiapkan kematangannya. Dan saat matang dia justru merunduk. Semakin berisi semakin tunduk. [iqbal.dawami@gmail.com]
Kamis, 11 September 2008
Menjadi Dosen Yang Berselera Rakyat
Sedih. Sebuah kata yang patut kulontarkan saat aku hendak menggambarkan beberapa kenyataan di bawah ini, menyangkut perguruan tinggi, dosen, dan mahasiswa.
Aku sedih jika melihat sebuah perguruan tinggi yang tidak punya perpustakaan, atau punya perpustakaan tapi tidak layak dan mencukupi kebutuhan mahasiswanya. Aku sedih melihat para dosen yang tidak menulis; yang tidak mampu menyempatkan diri untuk menulis. Sedih pula melihat para mahasiswa yang tidak fokus pada studinya. Kebanyakan mereka hanya duduk manis, mendengar omongan dosen, mencuri-curi waktu untuk mengobrol dengan teman-temannya yang ada di sampingnya. Atau pula sibuk dengan lamunannya masing-masing.
Tapi, dari ketiga elemen itu, hal yang patut aku soroti adalah dosen. Alasan logisnya, hal ini lantaran menyangkut diri saya sendiri sebagai seorang pengajar. Karena dari dosenlah kedua elemen lain akan ikut kena sebabnya. Bagiku, seorang dosen haruslah menjadi teladan dan profesional. Dengan begitu pihak kampus maupun mahasiswa akan respek padanya. Saya ingin mengemukakan beberapa contoh prihal masalah ini.
Ada para dosen di salah satu kampus di Magelang yang yang menugasi mahasiswanya untuk membuat makalah. Saya tidak tahu apakah para dosen itu mengerti apa tidak tentang kondisi kampusnya dan mahasiswanya. Mestinya, seorang dosen menawarkan terlebih dahulu disepakati atau tidak untuk membuat makalah. Kalau disepakati, tentu tidak masalah. Jika tidak, tentu ini namanya memaksakan kehendak.
Saya sendiri tidak memaksa mereka untuk membuat makalah. Karena saya tahu kondisi kampus dan mahasiswanya. Boleh dikata, kampus tersebut tidak ada perpustakaannya. Katanya sih memang ada, tapi hanya satu lemari (baju) saja. Dan itu pun tidak pernah dibuka, aliasan dikunci, bahkan (mungkin) tidak dipinjamkan. Selain itu, kondisi mahasiswanya juga kurang memungkinkan, kebanyakan di antara mereka tempat tinggalnya di pelosok-pelosok Magelang, berkeluarga, dan berprofesi sebagai guru (SMA, MTs, SDS/MI). Keadaan itu tentu sangat berat untuk membuat makalah yang memerlukan pemikiran, fasilitas komputer, perpustakaan, internet, bahkan waktu juga.
Maka, alangkah bijaknya jika para dosen mengganti tugas pembuatan makalah pada mahasiswanya dengan tugas lain, yang relatif terjangkau.
Wallahu a'lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
ya itulah kang terkadang apa yang diharapkan terbentur dengan realitas di lapangan. tapi tetep semangat kang buat majuin pendidikan Indonesia
jika ada pepatah nila setitik rusak susu sebelanga...tapi pendidikan di negeri kita susunya yang setitik nilanya yang sebelanga...tulll?
Posting Komentar