Selasa, 02 September 2008

Sang Suami


Wanita itu berjalan dengan tergopoh-gopoh, sendirian. Ia tengah mengejar angkot terakhir pada pukul delapan malam.

“Kali ini aku tak boleh gagal mengejarnya, aku malu, selalu menumpang pada Dawam” ujar ia sambil berjalan dengan sangat cepat sekali.

Ia adalah seorang istri yang bekerja di sebuah perusahaan sepatu, yang jarak rumah dengan tempatnya bekerja lumayan jauh sekali. Dan parahnya lagi ia ditempatkan bekerja pada waktu sore hingga malam hari, karena shift untuk pagi hingga siang hari sudah penuh. Apa boleh buat, dia sangat membutuhkan biaya untuk kehidupan keluarganya.

Ia terus berjalan tak kenal lelah menuju halte yang jarak dari tempatnya bekerja sedikit jauh kalau jalan kaki. Mestinya ada ojek di tempat ini, tapi mungkin karena jalannya sepi ojek pun enggan mangkal di situ, mungkin akan terus rugi.

“Ah, masih setengah perjalanan lagi jaraknya” keluh ia sambil terus berjalan di tengah kegelapan. Sambil berjalan perempuan itu melamun. Seandainya Shiva, suaminya selalu mengantar dan menjemputnya tentu ia takkan kesepian berjalan sendirian di malam yang gelap begini. Ia akan menikmati boncengan suaminya itu. Tapi, entah mengapa ia tak mau menjemputnya, padahal ia sangat ketakutan berjalan sendirian menuju halte ini, karena gelap, dan bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Suaminya memang tak tahu perasaannya, atau mungkin ada persoalan lain, yang menjadikan alasannya mengapa ia tak mengantar atau pun menjemputnya.

Tiba-tiba ada motor menghampirinya. Dan ketika pengendara motor itu membuka helmnya, dia menjadi gugup dan grogi. Tak salah lagi, pikirnya, pengendara itu adalah Dawam, yang selalu saja memberikan tumpangannya pada perempuan itu.

“Terima kasih, kali ini saya mau jalan saja, sebentar lagi sampai kok di halte” tolak perempuan itu.

“Kamu enggak kelelahan? Ayolah!”

Tapi perempuan itu tetap menolaknya dengan sopan. Laki-laki itu tak ingin memaksakan kehendaknya.

“Ya sudah aku tak mau memaksa. Hati-hati ya. Aku mencemaskanmu kalau kamu sendirian” ujar ia.

Lelaki itu pun menancap gas motornya lagi, lama kelamaan hilang dalam pandangan perempuan itu. Tentu bukan suatu kebetulan lelaki itu menemukan perempuan itu berjalan sendirian. Tempat mereka bekerja memang saling berdekatan, dan kebetulan mereka masih sekampung, dan kebetulannya lagi lelaki itu adalah mantan kekasihnya, dulu sewaktu mereka masih kuliah di Jogjakarta. Maka tak heran kalau perempuan tersebut sering gugup ketika menerima tawaran untuk memberi tumpangan padanya. Karena dia bukanlah yang dulu lagi, dia sudah menjadi istri Shiva.

Seandainya lelaki itu adalah Shiva tentu dia tak menunggu untuk tawarannya, bahkan ia akan meminta padanya. Tapi mengapa yang sering memberikan tumpangan itu Dawam? Mengapa Dawam selalu datang saat waktu yang tepat? Mengapa tidak Shiva, suaminya yang datang menjemput?
● ● ●

Shiva masih menunggu giliran membuka kartunya.

“Ayo cepatlah kau, Made. Lama sekali kau berpikir, paling-paling angkamu kecil” ujar Shiva sebel menunggu Made membuka kartunya.

Ia sudah merasa yakin kalau kali ini dialah yang mendapat giliran menang. Angkanya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kedua temannya itu. Dan benar saja ketika kartu Made dibuka ternyata lebih kecil darinya. Shiva girang bukan main. Dia meraup dan merapikan uang ribuan yang lecek itu. Dia menghitung-hitungnya, lalu kemudian memasukkannya pada dompet. Dompet itupun menjadi tebal diisi oleh uang ribuan.

“Wah, hari ini kamu sangat mujur sekali. Uang kami dikuras habis olehmu sendiri. Tapi ngomong-ngomong mau dipakai apa uang itu heh?” tanya Kholik dengan nada menggoda.

“Aku ingin perbaiki motorku” jawab ia dengan singkat.

“Baguslah. Kasihan kan istrimu berangkat kerja tak diantar, apalagi dijemput. Apa kamu tak cemburu istrimu sering diantar pulang oleh si Dawam, ketika kamu enggak pernah menjemputnya? Jemputlah! Walau enggak ada motor juga. Masalahnya dia kan pulangnya malam terus, dan wajarlah kalau si Dawam sering mengantar pulang karena kalau ada apa-apa di jalan, bagaimana?” Ujar Made sambil menghisap Gudang Garamnya.

Tiba-tiba darah Shiva mendidih, panas. Cemburunya memuncak. Ucapan kedua temannya itu membuat panas dadanya. Sumpah serapah lalu keluar dari mulutnya. Caci maki pada Dawam terus memenuhi mulutnya hingga berbusa-busa. Dan memutuskan untuk pulang dengan cepat. Biasanya ia pulang tengah malam, saat istrinya tengah tidur nyenyak. Namun kali ini ia pulang sekitar pukul sepuluhan, gara-gara temannya memanas-manasi. Istri sialan, ujar ia dalam hati, ternyata ia berbuat serong dengan mantan pacarnya itu. Apa dia ingin kembali lagi pada si Dawam, yang sudah bekerja di perusahaan dekat tempat bekerja istrinya. Ternyata mereka main serong di belakangnya. Pikiran-pikiran itu terus mengalir, anggapan yang belum pasti tersebut seolah menjelma dalam pikirannya, seolah mereka benar-benar melakukan serong. Begitulah kalau pikiran sedang kalang kabut. Angan-angan menjelma dalam otaknya, mempengaruhi hatinya. Emosi negatif muncul.
● ● ●

Sesampai di halaman rumahnya dia terperangah.

“Ada apa di rumahku? Apa yang terjadi? “ ia bertanya-tanya dalam hati.
Suara hiruk pikuk orang-orang di dalam rumah membuat ia semakin penasaran. Ia masuk dengan langkah sedikit mengintai. Semua orang menatapnya tatkala ia membuka pintu. Semua mata sedang menuju ke arahnya. Mereka semua adalah tetangganya.

“Mas Shiva kemana saja? Kasihan tuh istrinya Mas!” ujar Ani, tetangga sebelah yang sering main ke rumahnya, teman akrab istrinya.
Dia tak menjawab.

“Ada apa dengan istriku?” tanya ia dengan sedikit kencang.

Wajahnya sangat tegang sekali. Ia langsung masuk kamar, ingin tahu apa yang terjadi dengan istrinya. Orang-orang terus memperhatikannya, ada yang menggeleng-geleng kepala, mencibir, dan berbisik. Ia tak peduli, ia terus masuk ke ruang tengah lalu menuju kamarnya, tempat di mana istrinya berada.

Di kamar itu terdapat mertuanya sedang menunggu istrinya pingsan. Selain mertuanya ada lelaki itu, Dawam. Wajahnya merah seketika saat melihat Dawam. Darahnya mendidih saat laki-laki itu mengajak bersalaman dengannya. Terasa kontras sekali wajah Dawam dengan wajahnya. Wajah Dawam terlihat kalem memancarkan kedamaian.

“Shiv, darimana saja? Kasihan ini istrimu. Seandainya enggak ada Nak Dawam apa jadinya istrimu ini. Sewaktu pulang kerja saat menuju halte ia dicegat oleh dua orang bersenjata hendak merampas tasnya. Tapi untunglah nyawanya selamat karena ada Nak Dawam menolongnya.”

Shiva hanya menundukkan kepalanya. Hatinya hampa terasa. Kepalanya ingin pecah.

Wisma Tape, Mei 2005

Tidak ada komentar: