Selasa, 02 September 2008

Laki-Laki yang Menyukai Bunga


Seminggu sudah aku tinggal di sini. Kota kecil yang sejuk dan jauh dari kebisingan. Tetangga-tetanggaku semuanya ramah, jauh berbeda dengan orang-orang di kota-kota besar seperti Jakarta yang selalu mementingkan diri sendiri, cuek dan jauh dari kesan bersahabat.

Selama seminggu ini, aku berusaha untuk menjalin keakraban dengan tetangga-tetangga baruku dengan bertandang ke rumah mereka. Aku pun sudah bisa merasakan adanya ikatan kekeluargaan terbangun dari silaturrahim yang aku lakukan.

"Mampir sini dulu, dik." Sapa pak Ipung, tetangga samping rumahku. Dia melambaikan tangan ke arahku sementara tangannya yang lain menyiram bunga di pekarangannya.

"Aduh maaf, Saya lagi buru-buru, pak. Saya harus mengembalikan belanjaan saya dulu." Jawabku sambil menunjukkan tas plastik yang kupegang.

"Oh begitu. Tapi kamu bisa ke sini lagi. Kita ngobrol-ngobrol di sini sambil menikmati udara sore hari." Aku hanya mengangguk dan berlalu dari sana.

Aku melewati pekarangan rumah itu. Aneka bunga tumbuh dengan subur, menambah suasana semakin asri. Pak Ipung ternyata sangat pandai menata dan merawat bunga-bunga itu, bahkan sampai urusan rumput pun sangat diperhatikan olehnya. Hanya saja aku masih heran. Sejak pertama aku ke sini, aku hanya melihat bapak setengah umur itu hanya sendirian menempati rumah yang indah dan asri ini.

"Kok, masih bengong di situ, dik. Ayo kemari!" tegur pak Ipung yang membuat lamunanku buyar. Aku pun menghampirinya.

"Aku tadi kagum atas penataan pekarangan rumah bapak ini. Sangat bagus." Ujarku memuji.

"Adik ini terlalu melebih-lebihkan. Bapak hanya suka bertanam bunga dan tidak terlalu perduli dengan penataannya," katanya merendah. Ia kemudian bangkit masuk dan keluar membawa dua cangkir kopi hangat dengan snack. Keherananku pun semakin bertambah. Benarkah ia hidup hanya sendiri?

"Sekedarnya, dik. Maklum self service." Ujarnya sekaligus menjawab satu keherananku.

"Memangnya nyonya rumah ke mana, pak?" selidikku. Aku melihat perubahan mendadak di raut mukanya. Mata yang tadi memancarkan keceriaan berubah menjadi nanar. Aura kemarahan.

"Maafkan saya. Mungkin pertanyaan saya tadi membuat….." Aku tidak melanjutkan kata-kataku. Aku menjadi kikuk sendiri. Kami pun terdiam. Lama. Beberapa kali bapak setengah baya di depanku itu menghirup nafas sebelum kemudian menjawab pertanyaanku.

"Tidak apa-apa. Saya memang terkadang lepas kontrol bila ditanya soal tadi." Lalu ia mempersilhkan aku mencicipi hidangan kecil kami. Suasana pun mulai agak mencair.

"Maaf ya. Saya telah membuat obrolan kita jadi agak kaku," katanya sambil menghembuskan asap rokok yang tadi dibakarnya. "Bukannya aku tidak mau ditanya soal yang satu ini. Hanya saja, setiap ada yang menanyakan hal itu, aku langsung teringat pada perempuan jalang yang telah menyakiti hatiku."

"Oh! Eh, bunga mawar di samping pohon palem itu bagus sekali. Bapak dapat benihnya dari mana?" aku berusaha mengalihkan pembicaraan, karena tak ingin dia semakin larut dalam kenangan menyakitkannya.

Rupanya pak Ipung langsung mengerti dengan sleboranku. Orang tua itu pun menjelaskan padaku tentang semua bunga-bunga yang ada di pekarangannya itu. Selain pandai menata bunga, ternyata juga dia sangat memahami semua yang ada sangkut pautnya dengan bunga-bungaan. Layaknya seorang ahli tanaman, beliau pun dengan panjang lebar menerangkan tentang cara menanam dan memelihara bunga, mulai dari memilih bibit yang baik sampai kondisi tanah yang cocok untuk ditanami bunga
Aku hanya mendengarkan penjelasannya meski tidak semua aku fahami. Hanya sesekali aku menyelanya dengan pertanyaan bila ada yang kurang jelas. Pak Ipung sangat senang karena aku memiliki perhatian pada tanaman bunganya.

"Aku dulu sebenarnya tidak tertarik dengan hal-hal semacam ini. Kalau pun sekarang aku menyukainya, itu hanya berawal dari perasaan gagal membina rumah tanggaku. "

"Maksudnya?"

"Aku mulai menanam bunga setelah perempuan jalang yang pernah menemaniku membina keluarga itu pergi meninggalkan aku. Pergi dengan sopir pribadi karena mengetahui kalau aku sudah mencurigai perselingkuhan mereka. Bahkan, dia lari membawa sebagian hartaku dan buah hati kami. Sejak itu aku sangat mengutuknya dan berharap ia mati dalam keadaan yang sangat terhina."

Untuk beberapa saat pak Ipung terdiam. Sesekali tangannya memegang sekuntum mawar putih, mencium dan menghirup aroma wanginya. Ia menghirup aroma bunga itu dalam-dalam, setelah itu hembuskan pelan-pelan seolah ingin mengeluarkan semua beban yang menghimpit batin bersama hembusan nafasnya.

"Bapak tidak ingin mencari pendamping yang baru? Saya rasa untuk laki-laki seukuran bapak, masih banyak kok gadis yang bersedia," aku mencoba berhumor.

"Wanita jalang itu tidak hanya membuat aku membenci dan mengutuknya. Dia juga meninggalkan perasaan traumatik padaku. Masih beruntung aku tidak sampai fobia terhadap wanita. Aku takut mendekati perempuan, apalagi sampai menikah lagi." Kami kembali duduk-duduk di teras rumahnya. Pak Ipung tampak sangat menyesalkan kejadian yang menimpanya beberapa waktu yang lalu itu.

"Aku tidak bisa membayangkan diriku tidur dengan wanita yang mengobral tubuhnya hanya karena seks yang tak terpuaskan. Memang, bukan berarti semua wanita sama. Aku tahu, ini hanya perasaanku saja."

"Terkadang, karena sikapku yang menjaga jarak dengan wanita, aku merasa kesepian juga. Tapi rasa sepi yang menyerangku akan lenyap sendiri bila aku teringat pada peristiwa itu dan aku berusaha menyibukkan diri dengan menanam bunga. Bunga-bunga yang aku tanam lebih bisa menenangkan aku, memberi rasa damai dalam hidupku. Aku merasa mereka lebih memahami aku daripada orang-orang di sampingku. Dan karenanya aku menyukai dan menyintai mereka."

Perlahan pak Ipung mendekati mawar putih. Kelopak bunga ia sentuh dengan lembut, menciumnya, kemudian tersenyum.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Mantap ceritany..serssa tgl d rmh yg asri rindang pnuh bunga yg menawan

Unknown mengatakan...

Mantap ceritany..serssa tgl d rmh yg asri rindang pnuh bunga yg menawan