Senin, 15 September 2008

Kiai, Pesantren, dan Pilkada


Pondok pesantren mempunyai posisi yang sangat potensial untuk digunakan kepentingan pilkada. Hal itu tak lebih karena dua faktor, yaitu lembaga pesantren yang begitu dihormati di kalangan kaum muslim dan kiai, pengasuh pesantren, yang begitu karismatik dan berpengaruh.

Oleh karena itu, pesantren melalui kiainya akan banyak diperebutkan oleh banyak kalangan pada saat pilkada ini. Maka sudah semestinya para kiai yang mempunyai pondok pesantren waspada dan arif. Daya integritasnya benar-benar diuji dalam hal ini.


Seorang ulama (baca:kiai) adalah waratsatul anbiya, ahli waris para nabi. Oleh karena itu, jika ada kiai yang hendak terjun ke dunia politik ia harus berhati-hati. Dalam sikap politiknya harus mengutamakan kepentingan umat ketimbang kepentingan pribadi atau pun golongannya. Dan jika seorang kiai dalam berpolitiknya lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan golongannya, maka akan rusaklah citra kiai sebagai pewaris para nabi itu.

Saat ini pilkada telah, sedang, dan akan berlangsung dari mulai tingkat desa hingga provinsi. Peristiwa ini merupakan ujian tersendiri bagi para kiai dan tentu saja dengan pesantren yang dimilikinya. Kiai dan pesantrennya dituntut menjadi orang-orang yang ada di tengah-tengah dan menjembatani pelbagai orang dalam kelompok-kelompok islam (Ummatan Wasathan).

Memang banyak saat ini para kiai yang sudah menjadi politikus, baik di tingkat daerah maupun pusat. Tidak hanya karena ada tawaran dari partai politik, tetapi juga atas keinginan sendiri. Dan istimewanya, mereka pun banyak yang berbakat dalam berpolitik. Namun, harus diingatkan bahwa kiai yang terjun ke dunia politik adalah betul-betul menjadi politisi. Jangan sampai kiai menjadi politisi yang hanya pandai memanipulasi simbol-simbol agama, seperti menyalahgunakan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Selain itu juga jangan sampai keahlian dan kedalaman ilmunya digunakan untuk kepentingan politik praktis.

Menjadi Poros Tengah

Para kiai sudah semestinya mengaca pada perilaku Muhammad Saw. Sebelum diangkat menjadi nabi, ia sudah menjadi penengah di antara para suku yang bertikai. Ia juga menjadi pendamai kala itu. Untuk itu, para kiai dapat menjadi penengah dan pendamai di antara umat Islam yang saat ini terkotak-kotak dalam catur perpolitikan. Idealnya, ia tidak boleh berpihak pada satu kelompok tertentu. Dengan sikap netral, tidak berpihak, dan tetap berdiri di tengah-tengah maka kiai akan dapat menjadi rekonsiliator.

Kita tak dapat menutup mata jika ada pesantren di tengah-tengah masyarakat banyak mendapatkan bantuan, entah berupa uang maupun barang. Tentunya para kiai sebagai pengasuh pesantren mewaspadainya, apakah di dalamnya ada unsur kepentingan politik atau tidak? Dan jika kiai mengetahui bahwa hal tersebut bermotif politis, namun bantuan itu tetap diterima, maka kiai dan pesantrennya telah masuk pada ‘money politics’, karena menerima bantuan tersebut tidak pada tempatnya. Dan secara tidak langsung hal itu akan mempengaruhi integritas kiai itu sendiri.

Sungguh, kiai dan pesantrennya sangat rentan terhadap ‘money politics’ semacam itu. Kondisi ekonomi yang tak menentu ini sangat memungkinkan kiai dan pesantrennya tergoda. Apalagi pesantren-pesantren yang tradisional, yang amat sangat membutuhkan bantuan untuk pembangunan infrastruktur pesantren. Secara gampangnya, karena krisis ekonomi para kiai diberi bantuan, dengan tujuan mendukung pihak tertentu dalam pilkada.

Rakyat Indonesia yang mayoritasnya memeluk agama Islam, termasuk di dalamnya lembaga-lembaga keislaman seperti pesantren-pesantren mempunyai peran yang besar dalam terlaksananya pilkada yang jujur dan adil. Bahkan di dalam pemilihan kepala daerah pun hampir dipastikan semuanya adalah orang Islam. Oleh karena itu, jangan sampai umat Islam yang terkotak-kotak ini diprovokasi oleh kelompok-kelompok tertentu yang tidak senang kepada Islam. Jika ini sampai terjadi, maka yang menjadi korban adalah orang-orang Islam juga.

Sebaliknya, jika pilkada berjalan dengan baik, yang paling mendapatkan manfaatnya adalah umat Islam sendiri. Oleh karena itu, kita jangan sampai diadu domba seperti saling mencurigai dan bahkan saling tuduh-menuduh satu sama lain. Hilangkan semua itu dengan cara mengingat hakikat kita sebagai sesama umat Islam.

Wallahu a’lam.

1 komentar:

Stairway to Heaven mengatakan...

Sulit. kita hidup di atara orang -orang yang linglung dalam mengarahkan emosi. jadi jika ada sedikit keuntungan, jarang kalkulasi untung rugi disertakan. Kiayai....! ya begitulah, mereka kadang terjebak oleh istilah-istilah silaturrahmi bupati,tablig akbar, dll., yang diset oleh calon yang incumbent. atau bukan terjebak, tapi mereka malah sangat tahu. hanya saja, karena sesuatu lain hal..., hehehe, akhirnya menjebakkan diri. bagus Iqbal. jangan lagi ngomong masalah kasta, hierarki itu ada di mata-Nya, meski dalam nyata, ya iya begitu.