Selasa, 02 September 2008

SBY dan Presidency Lecture


Di istana Presiden, Susilo Bambang Yudoyono sudah dua kali mengadakan presidency lecture atau kuliah kepresidenan. Pertama, kuliah tentang kemiskinan, dan kedua, tentang korupsi.

Masalah ini memang menjadi dua topik besar yang hadir dan melekat dalam diri bangsa Indonesia dan memiliki kausalitas mutlak. Demikian mutlaknya kausalitas itu sehingga kita seperti berada dalam lingkaran setan. Tidak jelas lagi ujung pangkalnya.

Keduanya bisa menjadi sebab dan akibat sekaligus. Dua hal ini memang saling berkelindan. Korupsi adalah salah satu sebab kemiskinan dan dari kemiskinanlah implikasinya begitu luas. Agama pun telah mengajarkan bahwa kemiskinan membawa kekufuran, kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan seterusnya, termasuk korupsi.


Data terbaru yang dilansir oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) bahwa ada kecenderungan korupsi di BUMN atau BUPD yang telah mengalami peningkatan cukup signifikan selama enam bulan pertama tahun 2006, yaitu naik sekitar 46,4 persen. Hal ini menjadi bukti bahwa korupsi ternyata masih ada seiring dengan gencarnya presiden melakukan pemberantasannya. Selain laporan dari BUMN dan BUPD di atas ternyata fenomena otonomi daerah juga membawa pergeseran modus korupsi yang semula berada di pusat menjadi merata ke tingkat daerah.

Dulu, pusatlah menjadi sumber dari distribusi baik power secara politik maupun ekonomi. Nah, begitu ekonomi digeser ke masing-masing daerah maka secara proporsional justru korupsi terjadi di lembaga tingkat daerah. Sekali lagi, peralihan dari era otonomi daerah tidak akan memperkecil permasalahan korupsi, malah justru akan memperbesar. Misalnya, untuk daerah yang lebih kaya akan lebih mudah peluang melakukan korupsi dibandingkan daerah yang lebih miskin.

Korupsi di Indonesia telah menjadi masalah luar biasa sehingga dengan cara apa pun memeranginya seperti membuang garam ke laut. Oleh karena itu, untuk memenangkan perang melawan korupsi harus dengan upaya sangat luar biasa. Kalau hanya biasa-biasa saja ibarat kita sedang mengecat langit, sia-sia dan letih.

Kita tahu bahwa persoalan korupsi merupakan salah satu tema kampanye presiden SBY ketika bertarung dalam pemilihan umum dua tahun yang lalu. Kendati kontestan lain juga mengusung tema yang sama, rakyat ternyata lebih percaya pada SBY sebagai panglima yang dibuktikan dengan mengalirnya suara mereka yang lebih banyak kepadanya. Ini berarti bahwa di tangan Pak SBY rakyat melihat ada peluang, cara, komitmen, kecerdasan, dan keberanian yang lebih menjanjikan daripada yang lain. Nah, kepercayaan yang lebih itu sekaranglah saatnya dibuktikan.

Tentu sangatlah tidak fair untuk mengatakan perang terhadap korupsi saat ini tidak mendatangkan hasil apa-apa. Sudah banyak kita melihat sejumlah konglomerat besar dan pejabat telah dijebloskan ke dalam penjara. Dan banyak pula anggota DPR, Bupati, serta Gubernur yang diperiksa kepolisian dan kejaksaan. Dulu, surat izin pemeriksaan para pejabat terasa sangat sulit, namun sekarang sebaliknya. Dus, jujur harus dikatakan bahwa perang melawan korupsi sekarang lebih bergema dan nyata.

Kehadiran dan gebrakan KPK adalah gendang yang membahanakan gema itu. Sehingga barangkali bisa dikatakan bahwa sekarang korupsi semakin sulit dilakukan. Ini bagus tentunya. Akan tetapi salah satu kelemahan mendasar yang sangat signifikan tentang perang terhadap penyakit sosial yang mematikan ini belum menjadi sebuah gerakan. Dengan kata lain belum menjadi human interest, terutama di kalangan elit dan birokrasi.

Adanya perbedaan persepsi di kalangan aparat hukum terhadap kejahatan korupsi masih sangat kentara. Seseorang yang oleh polisi dan jaksa diseret ke pengadilan karena dianggap memiliki bukti kuat melakukan kejahatan korupsi dibebaskan oleh hakim karena dianggap tidak memiliki bukti. Bila ini terjadi terus menerus bukan tidak mungkin polisi dan jaksa akan menyelesaikan kasus-kasus korupsi di tingkat wewenangnya. Dan kita bisa menduga penyelesaian model apa yang mereka tempuh, karena di mata mereka daripada capek-capek menyelidik dan menyidik hanya untuk kemudian dibebaskan hakim di ujung sana lebih baik diselesaikan sendiri di belakang meja. Ini berarti perang terhadap korupsi telah melahirkan korupsi baru yang lebih dahsyat.

Alangkah baiknya presidency lecture atau kuliah kepresidenan sebaiknya difokuskan pada penyamaan persepsi serta komitmen di kalangan aparatur penegak hukum, bahwa korupsi adalah kejahatan yang sangat mematikan peluang bangsa untuk meraih kemakmuran dan kesejahteraan. Lantas siapakah komandan tertinggi yang memiliki legitimasi untuk menggerakan dan memaksakan komitmen dan persamaan persepsi? Komandan tertinggi dan paling berkuasa sekarang ini ada di tangan Presiden. Saya sepakat dengan jargon pak Presiden bahwa bersama kita bisa, tetapi ‘bersama kita bisa’ atau dengan kata lain yaitu kemampuan kolektif harus dipelopori dan keberanian yang teguh dari presiden. Dan saya sepakat juga bahwa presidency lecture yang diadakan presiden tersebut adalah salah satu dari sekian banyak opsi keberanian yang ada di tangan SBY.

Dalam melakukan pemberantasan korupsi setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan lagi, yaitu dalam sistem dan aktor. Presiden SBY harus bisa lebih tegas lagi dalam menegakkan sistem dan menghukum koruptor. Sebaik apa pun sistem kalau aktor-aktor yang mengendalikan sistem atau man behind-nya buruk percuma saja. Begitu juga sebaliknya, sehebat apa pun orang mau melakukan sesuatu kalau secara sistem memang sudah salah, maka tentu saja akan susah pula menangkap sang koruptor.

Mari kita dukung pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu, dan siapa pun pemerintahnya. Bahwa korupsi sudah seharusnya menjadi kesadaran kita semua untuk diberantas mulai dari hal yang terkecil, termasuk dari rumah tangga kita sendiri. Korupsi juga telah menjadi ekonomi dengan biaya tinggi sehingga investasi juga terlihat di Indonesia tidak menarik bagi kalangan investor.

Tidak ada komentar: