Sabtu, 06 September 2008

Kontribusi Penerjemah Di Zaman Keemasan Islam


Salah satu hal yang paling signifikan dalam zaman keemasan Islam adalah ilmu pengetahuan, di mana pada waktu itu semua ilmu pengetahuan telah dikuasai dengan baik, di antaranya dalam hal sain, filsafat, kedokteran, maupun sastra.

Hal yang paling penting untuk dipertanyakan kemudian adalah mengapa sebegitu maju dan berkembangnya ilmu pengetahuan pada masa itu? Faktor-faktor apa saja yang bisa memunculkan potensi keemasan Islam pada zaman tersebut? Pertanyaan inilah yang akan saya coba menjawabnya melalui tulisan ini.

Kekhalifahan Abbasiyah
Kemunculan khalifah Abbasiyah pada masa pertengahan abad kedelapan menandai dimulainya era budaya dan ilmiah yang bukan hanya untuk Islam saja, tetapi juga untuk umat manusia, sebuah masa di mana kegiatan belajar dan kegiatan ilmiah tumbuh dengan intensif. Dengan berlangsungnya penaklukan-penaklukan teritorial, maka tersedialah sumber-sumber daya (baik SDA mapun SDM) yang memadai bagi orang-orang Arab.

Ketika akademi Plato ditutup tahun 529 M, banyak sarjana Yunani yang pergi ke Persia. Dan satu abad kemudian, pengetahuan Yunani yang tumbuh di sana menjadi bagian dari kekuasaan Islam. Arab telah membangun hubungan dengan Byzantium-Yunani. Bahkan salah seorang khalifah Abbasiyah, yaitu al-Ma’mun, membuat sebuah syarat perjanjian perdamaian dengan kaisar Byzantium bahwa beberapa naskah Yunani harus diserahkan ke Ibu kota Kerajaannya.

Mesir, yaitu sebagai pusat pengetahuan Yunani pada zaman Alexandria, juga telah berada di bawah kekuasaan muslim. Jadi, bekas pengetahuan Yunani yang masih ada disumbangkan pada aktifitas intelektual. Di samping itu, sarjana Syiria di Antiokia, Emesa, dan Damaskus maupun Edesa, pusat-pusat penyimpanan ilmu pengetahuan Yunani semua berada di bawah kekuasaan bangsa Arab. Secara keseluruhan, bangsa Arab telah mengendalikan atau memiliki akses terhadap budaya kekaisaran Byzantium, Mesir, Syiria, Persia, dan India.

Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad menjadi patron besar dalam ilmu pengetahuan dan mengundang para ahli ke istana, tanpa menghiraukan kebangsaan atau agama mereka. Karakteristik aktifitas intelektual yang unik selama periode Islam adalah pengembangan ilmu pengetahuan yang tidak hanya terbatas di kalangan para imam.

Demikian pula, ilmu pengetahuan tidak menjadi hak istimewa para raja. Pendidikan yang diperuntukkan pada pengolahan kebenaran dan pengetahuan tetap dapat dimasuki oleh semua strata yang berbeda dalam masyarakat Islam.

Dalam hal inilah penghargaan patut diberikan bagi penguasa muslim sesudah periode penaklukan, mereka bersikap terbuka terhadap seluruh masyarakat. Sekitar tahun 772 M, istana khalifah al-Mansur dikunjungi oleh seorang astronomi Hindu dari Sind yang memberinya sebuah tabel astronomi. Semenjak itulah ilmu astronomi mulai bergejolak dipelajari.

Baghdad tumbuh sebagai pusat perdagangan dan intelektual selama peradaban Islam. Dalam kurun waktu yang dimulai tahun 750 M, ilmu-ilmu pasti diolah di sekitar ibu kota dengan lebih intensif. Sehubungan dengan adanya sejumlah besar ilmuan yang bekerja, puncak kegiatan dapat tercapai, pada tingkat yang tidak pernah diraih pada masa-masa sesudahnya di abad pertengahan. Meskipun bahasa lain diizinkan, bahasa Arab yang juga bahasa al-Qur'an, menjadi lingua-franca di seluruh wilayah kekhalifahan Abbasiyah.

Pada masa pemerintahan kekhalifahan Harun al-Rasyid dibangun perpustakaan di Baghdad di mana seseorang dapat menemukan karya-karya asli dari bahasa Yunani, Sansekerta, dan Persia serta terjemahan dari masing-masing bahasa tersebut. Segera sesudah itu, aliran ilmu pengetahuan kuno mulai memasuki negeri muslim sebagai hasil aktifitas penerjemahan yang sistematis dan intensif. Sebagaimana ayahnya, al-Ma’mun juga merupakan patron ilmu pengetahuan yang handal. Ia mendirikan lembaga riset yang disebut “Baitul Hikmah”. Didukung keuangan Negara, lembaga ini menarik ilmuan dan sarjana terutama para penerjemah yang berkompeten.

Mencari Akar Peradaban Islam Dalam Ilmu Pengetahuan
Di bawah ini, setidaknya ada empat hal yang menjadi akar atau potensi munculnya peradaban Islam dalam hal ilmu pengetahuan:

Pertama, di tengah kemunduran Yunani dan munculnya Islam berkembanglah sebuah kebudayaan yang memainkan peranan penting setelah kebudayaan Yunani dan juga merupakan sebuah perpaduan dari elemen-elemen timur yaitu peradaban Helenisme yang mulai muncul di permukaan setelah 300 SM. Tempat yang menjadi pusat intelektualnya adalah Alexandria, di mana sebuah institusi penelitian yang besar, de museum telah dibangun. Dari institusi ini peradaban Helenisme berkembang ke segala penjuru dan secara signifikan memengaruhi orang-orang yang berhubungan dengannya, seperti orang-orang Mesir, Syria, Persia dan Arab.

Filsafat Yunani mengalami stagnasi sejak tahun 529 M seiring dengan penutupan akademi Athena secara resmi oleh Justianian. Banyak dari para filosof neo-Platonik yang meminta perlindungan terhadap penguasa Persia, yaitu Kisra Anushirwan. Peristiwa migrasi ini merupakan hal kedua bagi permulaan penyebaran pengetahuan Yunani ke wilayah-wilayah luar lainnya, yaitu salah satunya Arab. Ketiga, adalah akademi Jundishapur di Persia, sebuah akademi yang menjadi pusat pertukaran dan sinkretisme pengetahuan terbesar pada abad ke-7 M. Institusi ini menjadi surga bagi para Nestorian (pengikut Nestorius) yang diusir dari Edessa pada tahun 489 M dan juga bagi para Platonis yang terusir. Para Nestorian itu membawa bersama mereka ke Jundishapur terjemahan-terjemahan Syiria dari berbagai macam karya, khususnya karya-karya dalam bidang pengobatan.

Di Jundishapur pula Kisra Anushirwan memerintahkan penerjemahan karya-karya Aristoteles dan Plato ke dalam bahasa Persia. Ia mengirim para dokter ke India untuk mencari manuskrip-manuskrip dan mereka kembali tidak hanya dengan membawa berbagai macam karya pengobatan tapi juga permainan catur serta fabel-fabel.

Keempat, adalah aktifitas para Nestorian. Pada pertengahan pertama abad kelima Masehi, pendeta Syiria, Nestorius dipecat dan diusir dari kota Antioch ke wilayah Arab dan kemudian ke Mesir. Para pengikutnya dengan tulus dan penuh dedikasi mereka pindah sambil mengajarkan ilmunya ke wilayah timur, tepatnya ke kota Edessa, di mana terdapat sebuah akademi kedokteran yang sedang berkembang di sana. Akademi itu menjadi pusat bagi aktifitas Nestorian dan memperoleh dukungan dari akademi Nisbis di Mesopotamia dan juga oleh akademi Jundishapur.

Banyak karya-karya Yunani tentang Matematika dan kedokteran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Syiria oleh para Nestorian yang karena paham Polyglotisme (sebuah paham yang mewajibkan dirinya untuk bisa beragam bahasa) yang mereka anut, pekerjaan ini menjadi sangat cocok bagi mereka. Mereka memiliki peranan yang besar dalam menjadikan Islam sebagai agama yang dapat berada di barisan terdepan dalam budaya dan sains.

Sejak itulah kemudian ilmu pengetahuan muslim muncul ke permukaan dan terkemuka dalam sepanjang sejarah. Periode ini merupakan era pencerahan bagi dunia.

Selain hal-hal di atas, munculnya akar peradaban Islam boleh jadi lantaran semangat keagamaan yang tinggi dalam memajukan ilmu pengetahuan, karena ayat suci al-Qur’an sendiri telah memotivasi kaum muslimin agar mereka selalu membaca dan membaca.

Penerjemahan Karya-Karya Yunani dan Persia ke Bahasa Arab
Sebelum Islam datang telah berkembang pendidikan Sassanian yang dipelopori oleh para penguasanya sendiri. Ardeshir Papakan, misalnya, mengirimkan orang-orang terpelajar ke India dan kekaisaran Romawi untuk mendapatkan karya-karya ilmiah dan filsafat.

Selanjutnya ia memerintahkan penerjemahan karya-karya tersebut ke dalam bahasa Pahlavi, sebuah tugas yang kemudian dilanjutkan oleh anak laki-lakinya, Shapur.

Tradisi penerjemahan terus dipelihara, sehingga lambat laun menghasilkan lembaga-lembaga pendidikan baru di kota-kota penting Persia, seperti, Jundi-Shapur. Di antara sekolah-sekolah baru tersebut yang terkenal adalah Beit Ardeshir dimana terjemahan dilakukan oleh kepala sekolahnya sendiri, Maan Beit Ardeshiri.

Sekolah Maan telah berkembang menjadi pusat ilmu pengetahuan Helenistik, Syrian dan Zoroastrian. Namun yang paling berpengaruh hingga masa Islam adalah Jundi-Shapur. Dari akademi ini pula muncul beberapa terjemahan penting dari bahasa Sansekerta, Pahlavi, dan Syria.

Periodisasi penerjemahan
Periodisasi penerjemahan ini dimulai sejak masa Umayyah hingga Abbasiyah:

650 – 800 M
Severus Sebokht, pendeta biara Qen-Neshre di Upper Euphrates yang terkenal sekitar tahun 650 M adalah seorang ahli sains dan filosof. Di bawah kepemimpinannya, biara menjadi salah satu pusat utama dari pengetahuan Yunani. Banyak dari pengetahuan Yunani dan mungkin juga Hindu yang ditransmisikan kepada bangsa Arab melalui usaha-usahanya. Ia memiliki keyakinan, sebuah keyakinan yang tidak lazim pada masanya, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan haruslah berjalan di atas alas internasional.

Khalid ibn Yazid ibn Murawiya, seorang penguasa Umayyah dan filosof dianggap sebagai orang yang mendorong para sarjana Yunani di Mesir untuk menerjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Peristiwa ini merupakan proses penerjemahan pertama yang terjadi dalam dunia Islam. Ibnu Yazid hidup di Mesir dan meninggal antara tahun 704-708 M.

Muhammad ibn Ibrahim al-Fazari menerjemahkan karya astronomi Siddhanta berbahasa Sansekerta, ke dalam bahasa arab sekitar tahun 772 M. Ayahnya dianggap sebagai seorang muslim pertama yang mengkonstruksi Astrolabe (ilmu perbintangan), dan ia dipercaya sebagai salah satu sarjana yang pertama kali memiliki hubungan dengan matematika Hindu. Penerjemahan yang dilakukannya mungkin telah membawa huruf-huruf Hindu ke dalam Islam.

Abu Sahl al-Fadl ibn Naubkht, seorang kepala Pustakawan berkebangsaan Persia pada masa Harun al-Rasyid, menerjemahkan karya-karya astronomi dari bahasa Persia ke dalam bahasa arab.

Jirjis ibn Jibril ibn Bakhtyashu, seorang berkebangsaan Persia pengikut Nestorian, merupakan orang pertama yang menerjemahkan karya-karya kedokteran ke dalam bahasa arab. Ia juga merupakan orang pertama dari kelompok tabib terkenal Nestorian yang memiliki hubungn dengan beberapa khalifah Abbasiyah. Mereka semua memberikan pengaruh yang besar bagi ilmu pengobatan muslim pada abad ke-8 dan ke-9. Bakhtyashu datang ke Bagdad melalui Jundishapur dimana ia di sana bekerja sebagai kepala rumah sakit pada masa khalifah al-Mansur.

Abu Yahya ibn al-Batriq, seorang dokter yang hidup pada abad ke-8. Sebagaimana Bakhtyashu, ia bekerja pada khalifah al-Mansur. Ia menerjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa arab yaitu sebagian dari karya-karya Hippocrates dan Galen.

Abdullah ibn al-Muqaffa adalah seorang pemikir asli Persia yang terkenal di Basrah. Ia menerjemahkan beberapa karya dalam bahasa Matlawi yang berkaitan dengan logika dan medis. Akan tetapi ia lebih dikenal karena terjemahannya terhadap syair Muluk al-Ajam dan Kalila Wa Dimna.

Al-Mansur, khalifah Abbasiyah kedua (754-775 M) pendiri kota Bagdad, terkenal karena karya-karya terjemahannya dari bahasa Syiria, Persia, Yunani dan India selama masa kekuasaannya.

Harun al-Rasyid, khalifah kelima dan salah satu penguasa Abbasiyah yang terbesar, memerintah dari tahun 786 hingga 809 M. Ia mempunyai perananan aktif dalam kemajuan dunia penerjemahan.

Periode 800-900 M
Al-Makmun, penguasa Bagdad (786-833 M), khalifah ketujuh dan mungkin juga khalifah Abbasiyah terbesar (813-833), merupakan pemrakarsa pengetahuan dan karya-karya ilmiah melebihi Harun al-Rasyid serta menjadikan pencarian dan penerjemahan manuskrip-manuskrip Yunani sebagai tujuan hidupnya, bahkan ia mengirim sebuah misi kepada raja Byzantium, Leon De Armenia, demi tujuan hidupnya itu. Al-Makmun mengundang, menerjemahkan dan mendukung para sarjana Yahudi dan Kristen untuk menerjemahkan manuskrip-manuskrip Yahudi itu ke dalam bahasa arab.

Ia juga mendirikan perpustakaan Bait Al-Hikmah (house of wisdom), akademi ilmu pengetahuan, serta membangun sebuah pusat penelitian berdasarkan usulan ratu Palmyra. Selama masa kekuasaannya, beratus-ratus manuskrip telah diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab.

Abu Zakariyya Yahya Ibn Batriq, menerjemahkan ke dalam bahasa arab, yaitu buku-buku Hipocrates tentang tanda-tanda kematian, beberapa karya Aristoteles, karya-karya Galen, De Theriaca dan Pisonem.

Al-Kindi, seorang filosof lepas, menerjemahkan dan memimpin proses penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa arab. Karya-karya terjemahannya yang paling terkenal adalah sebuah karya Neoplatonik yang didasarkan pada buku-buku IV hingga VI dari buku Enneads karya Plotinus.

Jibrail Ibn Bakhtyashu, cucu dari seorang penerjemah pendahulu dengan nama yang sama, menjadi dokter ahli bagi al-Makmun dan Harun al-Rasyid dan menerjemahkan banyak manuskrip Yunani dalam bidang kedokteran.

Sahl at-Thabari, seorang ahli astronomi dan tabib yahudi adalah satu dari penerjemah-penerjemah pertama Adri Almagest karya Ptolemy ke dalam bahasa arab.
Ibnu Sahda, menerjemahkan banyak karya dalam bidang kedokteran dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Syria dan Arab. Ia terkenal dengan terjemahannya terhadap beberapa karya Hippocrates dan Galen ke dalam bahasa arab.

Al-Hajjaj ibn Yusuf ibn Matar, adalah penerjemah pertama Element karya Euclid ke dalam bahasa arab. Ia juga penerjemah pertama al-Magest ke dalam bahasa arab dari versi Syria pada tahun 830 M.

Tsabit Ibn Qurra, adalah seorang tabib, ahli matematika dan ahli astronomi, serta salah satu dari penerjemah hebat dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Syria dan bahasa arab. Ia mendirikan sebuah sekolah bagi para penerjemah yang anggotanya adalah kebanyakan dari keluarganya sendiri. Karya-karyanya yang telah diterjemahkan olehnya atau di bawah arahannya adalah buku V-VII karya Apollonius of Perga, dan beberapa karya Archimedes.

Tiga bersaudara Banu Musa, yang masing-masing memiliki keahlian dalam salah satu atau tiga bidang ilmu pengetahuan, menghabiskan sebagian besar waktu dan kekayaannya untuk memperoleh manuskrip-manuskrip Yunani serta menerjemahkannya ke dalam bahasa arab. Hunain Ibn Ishaq dan Tsabit Ibn Qurra merupakan para penerjemah paling terkenal yang mereka pekerjakan. Banyak tulisan-tulisan dalam bidang matematika, mekanik, dan astronomi serta beberapa karya dalam bidang logika diterjemahkan untuk mereka.

Abu Zakariya Yuhanna Ibn Masawaih, seorang tabib yang menerjemahkan beberapa karya Yunani tentang ilmu kedokteran ke dalam bahasa arab, adalah pemimpin pertama dari perpustakaan Bait Al-Hikmah yang didirikan al-Makmun.

Hunain ibn Ishaq (808-877 M), adalah seorang tabib Nestorian, salah satu sarjana hebat dan penerjemah handal pada masanya. Adapun jumlah karya terjemahan yang telah dihasilkannya adalah 95 karya versi bahasa Persia, lima darinya adalah edisi revisi dan 39 versi bahasa arab dari buku-buku Galen dan lainnya. Ia bekerja sebagai seorang penerjemah sekitar lebih dari 50 tahun. Jumlah dan kualitas karya terjemahan dari ilmu kedokteran yang dihasilkan oleh Hunain dan kelompoknya, menjadi pondasi dari pengetahuan muslim yang mendominasi pemikiran pertengahan hingga abad ke-17, dan kemudian dilanjutkan oleh putranya.

Barangkali Hunainlah sebagai penerjemah terbesar karya-karya klasik, terutama karya Helenistik ke dalam bahasa arab yang boleh jadi terjemahannya sama pentingnya dan sama berpengaruhnya dengan terjemahan karya-karya bahasa arab ke dalam bahasa latin oleh Gerard dari Cremona, selama paruh kedua abad kedua belas. Hunain mempunyai 90 murid penerjemah di bawah pengawasannya. Dorongan membuat karya-karya terjemahan pada masa kejayaan Islam terlihat dari pemberian bayaran kepada para penerjemah. Hunain, misalnya, ketika diangkat dan sebagai pengawas Bait al-Hikmah, diberikan emas senilai dengan berat buku yang diterjemahkan.

Qusta Ibn Luqa, adalah seorang tabib, ahli astronomi, matematika, filosof dan penerjemah. Ia banyak menerjemahkan dari karya-karya Diophantus, Theodosius, Anatolycos, dan lain-lain.

Hubaish Ibn Al-Hasan, keponakan dari Hunain Ibn Ishaq, menerjemahkan karya-karya Yunani, seperti karya Oribasius, pengarang Ensiklopedia Filsafat.

Stephanos, rekan dari Hunain Ibn Ishaq. Menurut Hunain, ia menerjemahkan sembilan buah karya-karya Galen ke dalam bahasa arab. Ia merupakan orang pertama yang menerjemahkan karya-karya Dioscrides ke dalam bahasa arab dan juga sebagai penerjemah karya Oribasius.

Penerjemahan pada 650-800 M, menunjukkan sebuah permulaan yang berharga. Pada permulaannya, aktifitas penerjemahan tersebut berjumlah sedikit dan bergerak selama lebih dari satu periode panjang. Ketertarikan dalam proses penerjemahan tidak hanya berasal dari sebagian para kaum terpelajar saja, tapi pejabat-pejabat tinggi juga secara aktif mendukung usaha ini. Misalnya, Sevrus Sebokht seorang pendeta dan Khalid Ibn Yazid Ibn Murawiya, adalah seorang penguasa dan berpengaruh dalam urusan-urusan pemerintahan yang telah memberikan dukungan besar terhadap aktifitas penerjemahan ini.

Untuk pertama kalinya di Jundi-Shapur dan kemudian di Bagdad di bawah pemerintahan al-Ma’mun, penerjemahan buku-buku ilmiah, moral, sejarah dan buku-buku terkenal lainnya dilakukan ke dalam bahasa arab. Di antara para pendukung ilmu pengetahuan Islam-Persia dan non-arab pada masa itu adalah kelompok Syu’ubiyah, yaitu suatu kelompok yang terdiri dari beberapa bangsa yang berusaha untuk membebaskan diri dari supremasi dan kultur orang-orang Arab di dunia muslim dengan cara menghidupkan kembali kebudayaan dan standar zaman kuno. Mereka menerjemahkan ke bahasa arab dari sumber-sumber Persia.

Beberapa karya bahasa Persia yang diterjemahkan ke dalam bahasa arab adalah sebagai berikut:

Javidanio Khirad, Pand-Namah, Andarz, yang diterjemahkan oleh Ibnu Mushkuya.
Kalila Wa Dimna, Khudai Namah, Ain Namah, dan al-Yatima, yang diterjemahkan oleh Ibnul Muqoffa
Khoday Namah diterjemahkan oleh Jabala Ibnu Salem
Kitab al-Mahasin diterjemahkan oleh al-Farrukhan
Dll.

Hasil nyata pertama terjadi pada separuh abad ke-8 ketika aktifitas penerjemahan ke dalam bahasa arab terhadap karya-karya bahasa Syria, Persia, Hindu, dan Yunani mulai dilakukan. Sekali lagi haruslah diingat bahwa proses penerjemahan ke dalam bahasa arab itu tidak dilakukan secara sendiri-sendiri, tetapi dilakukan berdasarkan program yang terencana dengan baik dan dengan dukungan dari pemerintah.

Dua dari khalifah besar Abbasiyah mendukung usaha para penerjemah yang sibuk untuk mengungkap harta karun pengetahuan Yunani. Al-Mansur dianggap berjasa karena telah membawa Ibn Bakhtyashu, seorang tabib yang berkecimpung dalam kegiatan penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa arab, ke kota Bagdad. Al-Mansur juga meminta bantuan kepada Ibnu Batriq, salah satu dari para penerjemah yang menjadi pionir dalam penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa arab, dan terkenal karena penerjemahannya terhadap banyak karya Galen dan Hippocrates.

Dengan demikian, pertengahan kedua abad kedelapan merupakan periode penyebaran pengetahuan dan asimilasinya dengan bangsa arab. Selaras dengan bertambahnya penerjemahan ke dalam bahasa arab, langkah-langkah Islam untuk menjadi yang terdepan dalam kebudayaan dan ilmu pengetahuan semakin maju. Hal ini menandakan bahwa aktifitas penerjemahan merupakan kekuatan penggerak (driving force) bagi Islam, ia akan terus berkembang selama aktifitas ini terus berkembang.

Masa keemasan penerjemahan dari bahasa yunani ke bahasa arab terjadi pada abad kesembilan. Kaum muslim menjadi alat ukur standar bagi peradaban, yang sebagian besar dikarenakan banyaknya karya-karya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa arab. Lihatlah metode-metode penerjemahan yang dipakai, kuantitas dan kualitas karya-karya yang diterjemahkan selama periode tersebut, dan institusi-institusi yang secara khusus didesain sebagai pusat-pusat penerjemahan.

Pada abad kesembilan Bagdad benar-benar menjadi pusat ilmu pengetahuan. Penerjemahan-penerjemahan yang telah dihasilkan selama 900 tahun menjadi anti-klimaks bagi karya-karya yang ditulis selama ratusan tahun sebelumnya. Teks-teks Yunani klasik dalam bidang matematika dan medis telah selesai diterjemahkan. Akan tetapi, antara periode 900-1000 tahun bukan berarti tidak ada aktivitas atau usaha-usaha yang terorganisir untuk mengembangkan karya-karya terjemahan. Aktivitas itu terus ada walaupun intensitasnya agak menurun.

Kontribusi yang diberikan oleh para ilmuwan arab dan kaum muslim Persia memiliki arti yang signifikan. Mereka mendapatkan dukungan yang besar dalam kegiatan penerjemahannya, dalam pendirian pusat-pusat penerjemahan dan dalam pengamanan manuskrip-manuskrip Yunani.

Masa penerjemahan (the age of translation) yang berlangsung hampir 150 tahun (750-900 M), merupakan masa bagi berlangsungnya kreatifitas murni dan pengaruh intelektual muslim.

Dan secara garis besar ada dua periode penerjemah pada masa Abbasiyah: dari penguasa I sampai pencapaian al-Ma’mun, 132-198 H.; di bawah al-Ma’mun dan para penggantinya, terpusat di sekolah tinggi yang baru didirikan di Bagdad, yaitu Baitul Hikmah. Para penerjemah kebanyakan orang Kristen, Yahudi, dan sisanya mereka yang berpindah agama kepada Islam dari berbagai kepercayaan.

Penerjemahan periode pertama, tahun 132-198 H di antaranya yang paling tersohor: Abdullah Ibnu al-Muqaffa, Ibrahim al-Fazari, Muhammad Ibnu Musa al-Khawarizmi, George Bakhtishu, Isa Ibnu Thkerbokht, dan Babriel Bakhtishu.

Penerjemahan periode kedua, setelah tahun 198 H yang paling termasyhur adalah: John Bar Maserjoye, Abu Bakr Muhammad Ibnu Zakariya ar-Razi, Yahya Ibnu Masawih (kepala Baitul Hikmah), Abu Zaid Hunain Ibnu Ishaq al-Ibadi, Ishaq Hunain, Questa Ibnu Luqa, Abu Biysr Matka Ibnu Yunus, Yahya Ibnu Adi, dan Abu Ali Isa Ibnu Zaraah.

Las but not least, sepakat atau tidak, kejayaan Islam dalam kebudayaan dan ilmu pengetahuan secara dekat berhubungan dengan aktivitas penerjemahan. Selama aktivitas itu masih terus berlangsung secara konstan, Islam tetap memiliki kesempatan untuk meraih kemajuan-kemajuan kultural yang lebih tinggi. Tetapi, ketika aktivitas-aktivitas itu semakin menurun, kepemimpinan peradaban Islam menjadi hilang dengan sendirinya. Apa yang telah direncanakan oleh Islam—untuk menyerap kebudayaan dan peradaban masyarakat lainnya melalui penerjemahan—telah mencapai titik puncaknya.
Sebagaimana proses penerjemahan telah membawa Islam ke puncak kepemimpinan budaya dan peradaban, maka proses penerjemahan itu pula yang telah membangunkan eropa dari tidur panjangnya dan membawa dunia barat meraih kemajuannya, yaitu ditandai dengan renaissance.

Penerjemahan telah terbukti menjadi sesuatu yang memainkan peranan utama. Aktivitas penerjemahan memungkinkan suatu kebudayaan dapat mempelajari kebudayaan lainnya dan hasil yang diperoleh melalui penerjemahan ini lebih menakjubkan daripada kemenangan dan penguasaan wilayah-wilayah lain.

Umat Islam sesungguhnya hari ini masih sangat bisa meraih peradabannya lagi, seperti sedia kala, karena faktor-faktor menuju ke sana masih ada, seperti di Indonesia, sudah banyak sekali buku-buku yang telah diterjemahkan dari berbagai bahasa, dan dalam semua bidang. Maka, tak menutup kemungkinan jika suatu saat nanti Indonesia akan menjadi perintis peradaban Islam di dunia. Walaupun umat Islam sudah sangat tertinggal jauh dari peradaban barat, tapi peluang Islam untuk meraih peradabannya sangat berpotensi, karena Alquran sendiri selalu memotivasi kita untuk selalu belajar dan belajar. Hal itu ditunjukkan dengan salah satu ayatnya yang berbunyi, “Bacalah! Bacalah…” (Al-‘Alaq: 1-2). Dengan ayat itu sebenarnya umat Islam selalu mempunyai ruh untuk selalu maju dan meraih peradabannya kembali.

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: