Senin, 15 September 2008

Kritik atas Film Ayat-Ayat Cinta


Meski basi untuk menelaahnya, tapi tak apalah.
--------------------------------------
Melihat ‘Ayat-Ayat Cinta’ (disingkat AAC) di dalam film jangan samakan dengan melihatnya di dalam versi novelnya. Mengapa demikian? Karena ternyata ada perbedaan-perbedaan yang cukup mengganggu bagi orang yang sebelumnya telah membaca versi novelnya. Paling tidak itu berlaku bagi penulis sendiri.

Mengangkat film yang bahan mentahnya dari novel pada dasarnya sangat sulit, karena sang sutradara akan bersikeras untuk menyamakan karyanya dengan novel karya orang lain. Dan hampir dipastikan usaha itu akan gagal. Resikonya adalah mampukah film tersebut ‘identik’ dengan cerita yang ada dalam versi novelnya? Oleh karena itu penulis menyadari bahwa dua hal itu, yaitu film dan novel, adalah sebuah karya yang berbeda walau film tersebut menyadur dari sebuah novel. Terkait dengan film AAC, film tersebut adalah karya Hanung Bramantyo, sang sutradaranya.

Dengan begitu amanlah film tersebut untuk tidak ‘diidentikkan’ dengan versi novelnya. Masing-masing adalah karya yang berdiri sendiri, tak perlu dikaitkan antara satu dan lainnya.

Namun, sebagai orang yang sudah membaca dan menonton AAC, penulis terlanjur, bahkan terjebak membandingkan antara keduanya. Meski demikian pembaca yang baik sesungguhnya adalah pembaca yang memberikan apresiasi atas sebuah karya, entah mengkritik atau pun memujinya. Dalam hal ini ada beberapa perbedaan yang sedikit mengganggu dalam film tersebut baik dalam ide maupun alur ceritanya. Pertama, penulis tidak mendapatkan gambaran yang memberikan spirit (keislaman) di dalam diri tokoh Fahri. Padahal dalam novelnya, spirit (keislaman) tokoh tersebut begitu terasa dan kentara. Hal itu dapat kita lihat, misalnya, semangat menuntut ilmunya (baca: kuliah) di Universitas Al-Azhar yang begitu tinggi, menjalin erat persahabatan dan silaturahmi baik dengan teman-temannya maupun dengan tetangganya (Maria dan kedua orangtuanya), disiplin dalam membagi waktu, dan masih banyak lagi.

Hal seperti itu sangat minim kita dapatkan dalam versi filmnya. Spiritnya tidak begitu mengena di dalam hati penulis. Malahan justru ada yang ironis, saat penulis melihat adegan di mana Fahri berdiri berduaan dengan Maria di balkon apartemen dan di tepi sungai nil. Tentu saja itu ironis, karena dalam batasan syar’i hal itu tidak diperbolehkan dan yang lebih ironisnya lagi adalah setting di Mesir dan kapasitasnya sebagai mahasiswa S-2 Universitas Al-Azhar. Sungguh hal itu cukup mengganggu. Kesan yang timbul dalam sosok Fahri di dalam versi filmnya bukan spirit keislamannya, tapi spirit bercintanya dengan beberapa wanita sekaligus. Kita dapat melihatnya bagaimana sosok Fahri yang dikejar-kejar wanita.

Kedua, penulis tidak mendapatkan kesan romantis antara tokoh Fahri dan Aisha. Romantis yang penulis maksudkan adalah layaknya dua manusia yang saling mencintai. Dalam film AAC, sang sutradara menerjemahkan romantis hanya dalam ‘ranjang’ saja. Selebihnya malah kesan saling tertutup, saling curiga, dan saling cemburu di antara keduanya.

Ketiga, terdapat adegan-adegan baru yang tidak ada dalam versi novelnya. Paling tidak ada tiga adegan yang lumayan mengganggu, yaitu Maria yang ditabrak oleh anak buah Bahadur, Fahri yang berduaan dengan Maria di tepi sungai Nil, dan poligami Fahri-Aisha-Maria. Sepintas memang tidak ada persoalan, tapi kalau kita cermati lebih dalam ketiga adegan itu mempengaruhi kelogisan sebuah jalinan ceritanya sendiri. Dalam versi novel, Maria sakit karena patah hati atas pernikahan Fahri dengan Aisha, bukan karena ditabrak oleh anak buah Bahadur. Dalam benak sang sutradara Bahadur melakukan kejahatan tersebut karena dendam atas Maria yang menyelamatkan Noura, padahal kalau menurut penulis yang lebih logis untuk dijadikan sasasran dendam itu adalah pada Fahri bukan Maria. Dus, lebih tepat jika Maria sakit lantaran patah hati pada Fahri, sebagaimana yang digambarkan dalam versi novelnya.

Adapun adegan Fahri berduaan dengan Maria di tepi sungai nil adalah sangat jelas bertentangan dengan prinsip yang dipegang Fahri sendiri dalam menjalankan keberislamannya dan juga sebagai mahasiswa Al-Azhar. Saya tak perlu menjelaskannya lagi. Terakhir, poligami yang dilakukan Fahri kepada Aisha dan Maria. Menurut penulis, adegan kehidupan poligami semestinya tidak perlu ada, karena hal itu sama sekali tidak substantif. Bahkan hal itu memperuncing perbedaan dengan versi novelnya. Hal ini sangat ironis, satu sisi film ini hendak mengangkat cerita yang ada dalam novel AAC, namun sisi lain justru film itu sendiri yang memperlebar perbedaan cerita dengan versi novelnya.

Selain hal di atas, di dalam film tersebut banyak yang hilang beberapa tokoh dalam versi novelnya yang menurut penulis mestinya ditampilkan juga dalam versi filmnya. Tokoh-tokoh tersebut karena mempunyai ‘kekhasan’ yang dapat mewarnai jalinan ceritanya, dan bahkan memperkental spirit keagamaannya. Di antara tokoh tersebut adalah Prof. Abdul Rauf, Guru Besar Ekonomi yang dipenjara satu sel dengan Fahri beserta temen-temannya; Ismail (Aktivis Ikhwanul Muslimin), Hamada, Haj Rashed, dan Marwan. Semua nama-nama di atas adalah teman satu sel Fahri (dalam Novel) dan sama-sama korban kezaliman pemerintah Mesir waktu itu. Tapi dalam versi filmnya, mengapa Fahri satu sel dengan orang gila yang tidak jelas identitasnya.

Selain itu tidak ada juga tokoh Amru, seorang pengacara Fahri dalam pengadilan. Tokoh tersebut terlihat tegas dan pandai. Dan ia dalam filmnya, diganti oleh tokoh lain, pengacara dari Indonesia yang sangat tidak masuk akal, karena di lingkungan negara orang lain. Masih banyak sesungguhnya adegan-adegan yang muncul dalam film AAC yang tidak kita temukan dalam versi novelnya.

Sebagaimana telah dikatakan di atas bahwa memang sebuah film yang diangkat dari novel tak akan bisa seratus persen sama persis dengan novelnya. Penulis pun harus memaklumi hal itu. Hanya saja yang patut kita perhatikan adalah adegan-adegan yang tidak ada dalam versi novelnya, sehingga secara tidak langsung alur yang diceritakannya pun berbeda dengan novelnya. Dan bahkan melenceng dari substansi antara film dengan novelnya. Adegan poligami, misalnya, adalah adegan yang tidak ada dalam novelnya, yang mengurangi cita-rasa keromantisan antara Fahri dan Aisha. Dalam filmnya, terlihat hubungan keduanya terkesan ‘retak’ lantaran ada pihak ketiga dalam rumah tangga mereka, yaitu istri kedua Fahri, Maria.

Terlepas dari “ruh”, makna, dan pesan yang hilang dalam versi filmnya, namun mesti diakui bahwa film AAC ini berhasil menyuguhkan sebuah drama yang memukau, lantaran akting yang bagus dan teknik yang baik, sehingga hasilnya dapat kita lihat di lapangan. Dalam waktu kurang satu bulan sejak diluncurkan film tersebut, yaitu pada 28 Februari, penontonnya sudah mencapai 2 juta orang di mana hampir semuanya mempunyai komentar yang sama: film yang bagus dalam akting maupun pesan. Sungguh, hal itu merupakan sebuah rekor baru dalam dunia perfilman kita. Dan itu membuktikan bahwa film AAC ini berkualitas. Bravo ‘Ayat-Ayat Cinta’!

Tidak ada komentar: