Padi tumbuh dalam kesunyian, sejak hijau hingga menguning. Dia tidak banyak "bicara" dan gembar-gembor untuk mempersiapkan kematangannya. Dan saat matang dia justru merunduk. Semakin berisi semakin tunduk. [iqbal.dawami@gmail.com]
Senin, 22 September 2008
Film Indonesia Kembali Ke Era 80-an
Sesaat saya merenung manakala memerhatikan mayoritas film-film Indonesia kini, di antaranya Mau Lagi, Anda Puas Saya Loyo, XL, Antara Aku, Kau, dan Mak Erot, Kawin Kontrak, Basahhh, dan paling anyar Suami-Suami Takut Istri, bukankah hal ini menggambarkan perfilman di era 80-an.
Jika tidak percaya, coba saja tengok era 80-an bahkan sampai 90-an, film-film berbau esek-esek begitu mendominasi seperti Bebas Bercinta, Gairah Terlarang, Gejolak Nafsu, Ranjau Nafsu, Permainan Erotik, dan lain sebagainya.
Tak dapat dipungkiri, geliat film Indonesia dari tahun ke tahun memang tampak. Para sineas tampak antusias berkarya. Tema-temanya pun beragam. Dan yang patut menggembirakan adalah ada beberapa film yang mendapat sambutan hangat dan bahkan mendapat penghargaan baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Sebut saja misalnya Petualangan Sherina, Ada Apa Dengan Cinta, Naga Bonar Jadi 2, dan Ayat-Ayat Cinta. Film-film itu telah mencetak Box Office nasional. Penjualan tiketnya di atas satu juta lembar.
Betapa pun beragamnya film-film Indonesia, tema esek-esek (dan hantu), tetap saja mendominasi di dunia perfilman Indonesia. Walau dari segi judul dan kemasan berbeda antara era 80/90-an dengan sekarang, tapi subtansinya tetap saja sama. Film yang berkisar paha, dada, dan ranjang memang mendapat tempat di semua lapisan masyarakat. Apalagi film-film seperti itu dibalut dengan unsur komedi. Klop sudah. Naluri manusia normal pasti akan tergairahkan untuk menontonnya.
Saya menduga, film yang menggabungkan unsur syur dengan komedi dimulai oleh Warkop (Warung Kopi) DKI. Film yang beranggotakan Dono, Kasino, Indro ini boleh dikatakan tidak lekang oleh zaman. Setiap tahun selalu saja diputar di pelbagai televisi swasta. Tak terkecuali di hari libur dan lebaran Idul Fitri dan Idul Adha. Hal ini berarti bahwa genre film seperti itu selalu laku di pasaran. Maka tak heran fenomena itu dimanfaatkan oleh sineas yang berotak kapitalis. Mereka tidak peduli dengan dampaknya, baik atau buruk, yang penting untung.
Dengan melihat dua hal paradoks yang telah saya gambarkan di atas, maka dapatlah kita katakan bahwa geliat film-film Indonesia yang sebetulnya sudah ada beberapa film masuk kategori Box Office nasional, terganjal dan tercemari oleh tren film esek-esek. Fenomena ini sangat memprihatinkan. Bukan saja lantaran genre tersebut, akan tetapi para aktor dan aktrisnya yang nota bene-nya telah mendapat tempat di hati masyarakat. Pemainnya adalah kebanyakan kaum muda-mudi. Maka, secara tidak langsung akan turut memengaruhi gaya hidup para fans-nya. Jika dahulu film genre seperti ini masih diberi label 17 tahun ke atas, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi. Artinya, film berjenis seperti itu boleh dikonsumsi siapa saja. Tentu saja sudah otomatis para remaja adalah penonton paling banyak dibanding 17 tahun ke atas. Karena, para lakonnya pun kaum remaja. Sebut saja misalnya film ML, DO, Kawin Kontrak, yang didominasi oleh aktor dan aktris muda idola remaja.
Harus diakui film bergenre komedi seks ini sangat laku di pasaran ketimbang drama. Animo masyarakat selalu tinggi bagi genre ini. Walau kadang pesan yang hendak disampaikannya pun sangat bias. Tentu hal itu tidak menjadi soal, karena yang hendak diniatkan adalah hiburan semata, dengan pancingannya adalah adegan-adegan vulgar.
Laskar Pelangi
Ada yang perlu diwajarkan jika masyarakat selalu berminat untuk menonton film genre esek-esek yang dibalut dengan komedi seperti di atas. Kondisi negara adalah alasannya. Kita semua dapat merasakan betapa serba susahnya rakyat Indonesia saat ini. Kesusahan tersebut ditambah dengan perilaku pejabat negara yang tertangkap dengan berbagai kasusnya, seperti suap, korupsi, selingkuh, dan lain sebagainya. Masyarakat muak melihat semua itu. Maka—boleh jadi—mereka mencari hiburan dengan—salah satunya—menonton film baik pergi ke bioskop maupun beli kepingan CD/DVD. Film-film ringan itu menjadi sarana pelepasan stres atas hidup mereka.
Namun yang patut disayangkan adalah sikap sineas Indonesia yang aji mumpung membuat film dengan tema komedi seks. Keadaan masyarakat yang jenuh dan stres itu dijadikan sebagai sasaran empuk para sineas untuk menggarap film genre tersebut. Padahal, mereka mestinya ikut “mengobati” masyarakat dengan membuat film yang sarat dengan nilai-nilai spiritual dan moral. Karena dengan itulah para sineas dapat memberi sumbangsihnya pada masyarakat.
Awal 2008 perfilman kita disemarakkan oleh Ayat-Ayat Cinta yang sarat nilai spiritual dan moral. Sungguh itu sangat membahagiakan bagi masyarakat, tapi setelah itu tidak ada lagi film yang “berbobot” seperti itu. Ada memang beberapa film yang mengkutinya tapi kehilangan ruhnya. Masyarakat bosan. Justru film-film genre 80-an dengan kemasan barulah yang bermunculan, disertai film-film hantu.
Tapi, untunglah sebentar lagi—tepatnya tanggal 25 september 2008—kita akan menyaksikan film Laskar Pelangi. Seperti halnya Ayat-Ayat Cinta, film yang diadaptasi dari novel ini diharap mampu memangkitkan kembali film-film Indonesia yang berkualitas. Para pembaca Laskar Pelangi sudah membuktikannya bahwa novel itu sangat membangkitkan spirit kehidupan dan sarat dengan nilai-nilai moral. Kita tunggu apakah film tersebut mempunyai ruh yang sama dengan novelnya? Semoga saja.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar