Sabtu, 06 September 2008

Proses Dan Prosedur Penelitian Matan Hadis (Bagian I)

Tolok ukur penelitian matan (ma’ayir naqdil-matn) yang dikemukakan oleh ulama tidak seragam. Menurut al-Khatib Al-Baghdadi (wafat 463 H/1072 M), suatu matan hadis barulah dinyatakan maqbul (diterima) apabila:
1.tidak bertentangan dengan akal sehat
2.tidak bertentangan dengan hukum Alquran yang telah muhkam (ketentuan hukum yang telah tetap)
3.tidak bertentangan dengan hadis mutawatir
4.tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama salaf)
5.tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti
6.dan tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat.

Sebagai contoh, ada ulama yang mengemukakan tolok ukur dengan mengatakan bahwa salah satu tanda hadis palsu ialah suatu riwayat yang berisi peristiwa yang terjadi di depan umum, namun ternyata tidak banyak periwayat yang mengemukakannya. Tolok ukur ini sulit diterima secara mutlak sebab tidaklah setiap sahabat Nabi yang menyaksikan suatu peristiwa (hadis) yang terjadi di muka umum, lalu serta merta meriwayatkannya kepada orang lain.

Cukup banyak hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat saja, tetapi isinya memberi indikasi bahwa hadis tersebut terjadi di muka umum. Misalnya hadis tentang niat. Pernyataan dalam hadis itu memberi indikasi dikemukakan oleh Nabi di muka umum, tetapi sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis itu, dalam hal ini yang sanadnya sahih, hanya ‘Umar bin al-Khattab saja.

Dalam praktik, penelitian matan memang tidak mudah. Sebagai penyebab sulitnya penelitian matan ialah:
1.Adanya periwayatan secara makna
2.Acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu macam saja
3.Latar belakang timbulnya petunjuk hadis tidak selalu mudah dapat diketahui
4.Adanya kandungan petunjuk hadis yang berkaitan dengan hal-hal yang berdimensi “supra rasional”.
5.Dan masih langkanya kitab-kitab yang membahas secara khusus penelitian matan hadis.

Meneliti Susunan Lafal Matan Yang Semakna
Terjadinya Perbedaan Lafal
Salah satu sebab terjadinya perbedaan lafal pada matan hadis yang semakna ialah karena dalam periwayat hadis telah terjadi periwayatan secara makna (ar-riwayah bil-ma’na). Perbedaan lafal yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, asalkan sanadnya sama-sama sahih, maka hal itu tetap dapat ditoleransi.

Tetapi juga ada kemungkian karena periwayat hadis yang bersangkutan telah mengalami kesalahan. Kesalahan itu tidak hanya dialami oleh periwayat yang tidak tsiqah saja, tetapi juga dialami oleh periwayat yang tsiqah. Pernyataan yang terakhir itu memang dapat mengundang pertanyaan, mengapa periwayat yang dinyatakan sebagai bersifat tsiqah mengalami kesalahan dalam meriwayatkan hadis?

Dengan metode muqaranah (perbandingan) akan dapat diketahui kemungkinan adanya ziyadah, idraj, dan lain-lain yang dapat berpengaruh pada kedudukan matan yang bersangkutan, khususnya dalam kehujjahannya. Dalam penelitian matan hadis, apa yang disebut dengan ziyadah, idraj, dan lain-lain itu sangat penting untuk diperhatikan.

Dilihat dari pengertian istilahnya, idraj dan ziyadah memiliki kemiripan, yakni tambahan yang terdapat pada riwayat matan hadis. Bedanya, idraj berasal dari diri periwayat, sedang ziyadah (yang memenuhi syarat) merupakan bagian tak terpisahkan dari matan hadis Nabi.

Hadis yang mengandung idraj disebut sebagai hadis mudraj, sedang hadis yang mengandung ziyadah disebut sebagai hadis mazid. Selain terdapat pada matan, idraj dan ziyadah juga terdapat pada sanad.

Contoh hadis yang matan-nya mengandung idraj.
عن أبى هريرة قال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: اسيغوا الوضوء, ويل للأعقاب من النار. (رواه الخطيب)

Dari Abi Hurairah, dia berkata, Rasulullah SAW telah bersabda, “Sempurnakanlah wudhumu; neraka wail bagi tumit-tumit (orang yang tidak dibasuh dengan sempurna ketika mereka berwudhu).

Kata-kata أسيغوا الوضوء pada hadis tersebut bukanlah sabda Nabi, melainkan kata-kata Abu Hurairah. Kata-kata itu terlihat sebagai bagian dari sabda Nabi. Mukharrij hadis itu adalah al-Khatib al-Baghdadi. Dia menerima riwayat itu dari dua jalan (sanad), yakni dari jalan Abu Qatn dan jalan Syababah. Kata al-Khatib, kedua orang periwayat itu ragu-ragu, apakah kata-kata tersebut merupakan bagian dari sabda Nabi ataukah kata-kata Abu Hurairah. Dalam hal ini, al-Khatib yang berstatus sebagai mukharrij telah meneliti dan menjelaskan bahwa hadis yang diterimanya mengandung idraj.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

harap lebih disempurnakan lagi untuk kajian ilmiyah