Jumat, 05 September 2008

Pesantren Dan Dunia Penulisan Sastra


Prolog
Pesantren dan sastra adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan sejak dulu hingga kini. Di antara keduanya ada jalinan kuat yang saling menopang dalam perjalanan sejarah. Hal itu disebabkan pesantren sebagai wadah menuntut ilmu keIslaman yang notabene-nya lekat dengan dunia teks (baca: al-Qur’an, Hadis, dan kitab-kitab kuning) dan masyarakat.

Kedua hal itu memberi inspirasi para penghuni pesantren untuk menulis, terutama menulis karya sastra. Tepatnya, karya sastra bermuatan ajaran-ajaran Islam. Karya sastra dianggap mampu mendekati masyarakat dengan aman dan efisien.

Sebut saja misalnya penyebar Islam tempo dulu, seperti wali sembilan, yang menggunakan sarana sastra. Tembang dan syair berbahasa Jawa kreasi sastra para wali itu hidup hingga kini di surau, langgar, dan masjid di berbagai pelosok indonesia.

Strategi para wali itu menjadi prestasi legendaris dalam sejarah kebudayaan Islam di negeri ini dan menjadi watak kultur dan tradisi pesantren hingga kini.

Perkembangan pesantren yang mengalami integrasi dengan ilmu-ilmu eksakta turut mempengaruhi pula dalam perkembangan sastranya. Sastra yang diciptakan di kalangan pesantren tersebut mengalami perubahan seiring perkembangan zaman. Pesan yang terdapat dalam karyanya, yakni tidak lagi mesti mengandung ajaran-ajaran Islam an sich. Banyak karya yang diciptakannya murni dari hasil dialektika dengan dunia pesantren. Para sastrawan semisal Zawawi Imron, Emha Ainun Najib, Acep Zamzam Noor, Jamal D Rahman, Kuswaidi Syafii, Mathori A Elwa, Amien Wangsitalaja, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Abidah el Khaliqy, Ulfatin Ch adalah para penyair yang dekat dengan kultur dan tradisi pesantren yang karya-karyanya berlatarkan kultur dan tradisi pesantren.

Sastra di lingkungan pesantren telah menemukan habitatnya. Berbagai apresiasi sastra selalu diadakan, seperti perlombaan menulis cerpen, pentas seni, terutama saat memperingati hari-hari besar. Belum lagi terdapat sanggar-sanggar sastra yang ada di sejumlah pesantren menambah semarak dunia sastra-pesantren. Konkritnya bisa kita lihat dari laporan penelitian Acep Zamzam Noor yang bisa di akses di situs rumahdunia.net. Pesantren-pesantren di Madura misalnya, telah melembagakan aktifitas kesenian, termasuk sastra, seperti halnya sebuah sanggar. Mereka mengadakan diskusi, pelatihan kepenulisan, penerbitan buletin dan juga kegiatan sastra dengan mendatangkan sastrawan dari luar. Untuk penerbitan misalnya, mereka juga banyak kerjasama dengan pihak lain hingga kara-karya mereka terdokumentasikan. Mereka juga aktif mengisi rubrik-rubrik sastra baik di media khusus maupun umum, lokal dan nasional.

Begitu juga di sejumlah pesantren di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur aktifitas kesusastraannya terus meningkat. Hal itu disokong oleh adanya majalah sastra khusus untuk kalangan pesantren, antologi puisi dan cerpen, serta novel yang mengangkat kehidupan pesantren. Yang membahagiakan dari itu semua adalah karya-karya para santri dibaca oleh khalayak umum. Hal ini telah secara tidak langsung memunculkan genre (baca: label) baru, yaitu “sastra pesantren”. Tentu ini sangat wajar karena mayoritas karya-karya tersebut menggambarkan dunia dan kehidupan pesantren, dan ditulis pula oleh para santri (dan “bekas” santri).

Kyai dan Santri Menulis
Para pengarang sastra yang menjadikan kehidupan pesantren sebagai bahan penciptaan adalah mereka yang memang memiliki kedekatan dengan kultur dan tradisi pesantren. Paling tidak, mereka pernah mengecap bangku pesantren. Oleh karena itu, menulis fiksi dengan latar pesantren bisa dilakukan oleh para pengasuh, staf pengajar, maupun para santrinya. KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), misalnya, seorang pengasuh pesantren Roudlatul Ulum Rembang menulis cerpen dan puisi dengan produktif. Karya cerpennya diterbitkan dalam buku Lukisan Kaligrafi (2003). Cerpen-cerpen dalam buku ini terilhami kisah-kisah yang khas dalam kultur dan tradisi pesantren. Kiai Bisri Musthofa, ayahanda Mustafa Bisri, penulis buku berjudul Kasykul, di dalamnya adalah kumpulan anekdot, sedang Kyai Abdurrahman Ar Roisi juga menerbitkan belasan jilid kumpulan cerita yang diberi judul 30 Kisah Teladan.

Dalam hal puisi, ada Kyai Ali Mansur Tuban yang menggubah Shalawat Badar yang amat populer dan menjadi shalawat wajib para santri Jawa Timur. Selain itu ada Gus Ishom, Cucu Kiai Hasyim, menggubah doa sebelum belajar dalam bentuk 12 nadzam (sajak berirama) berbahasa Arab yang wajib dibaca santri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Kyai Abdul Hamid Pasuruan juga mensyairkan Sullam At Taufiq --sebuah kitab fikih sufistik yang bercorak ghozalian dan menjadi mainstream pemahaman Islam Sunni Indonesia-- dalam 553 bait. Selain itu, ia juga menyairkan 99 nama Allah yang dikenal dengan Al Asma' Al Husna, dan masih banyak lagi.

Bagaimana dengan para santrinya yang menghasilkan karya sastra? Tentu saja lebih banyak dibandingkan dengan para kyainya. Ada yang memang penulis tersebut masih berada di lingkungan pesantren, dan ada pula para penulis yang pernah nyantri, baik dalam jangka waktu lama maupun sebentar. Namun biasanya kebanyakan para penulis itu pernah nyantri ketika duduk di bangku tingkat Tsanawiyah dan Aliyah. Sampai saat ini para santri kebanyakan belajar menulis secara otodidak, alias belajar sendiri tanpa ada wadah yang membuat mereka bisa belajar menulis. Ruang yang ada di pesantren biasanya hanya untuk qira’at al-Qur’an, kaligrafi, dan musik, tidak ada untuk belajar menulis. Melihat kenyataan tersebut, tidak menutup kemungkinan pesantren akan jadi pusat intelektual yang akan melahirkan para penulis lebih banyak lagi jika saja hal ada iklim yang kondusif, di antaranya: 1) sistem pengajaran yang harus mendukung kepada tradisi menulis, 2) suri tauladan dalam hal menulis dari pimpinan pesantren, dan 3) wadah untuk menampung tulisan para santri.

Harus diakui bahwa mayoritas sistem belajar pesantren, terutama pesantren tradisional, masih menggunakan metode “resital”, yaitu proses pembelajaran berbasis teks yang tidak dibaca, melainkan didengarkan. Para santri biasa menyebut metode resital itu dengan istilah tilawah. Jika hal ini masih saja dilestarikan tanpa dibarengi system lain, yaitu, misalnya, membuat synopsis hasil bacaan mereka atas kitab yang sedang dibahas, tentu tidak akan ada kemajuan dalam hal tulis-menulis.

Hal lain adalah tidak adanya tradisi menulis yang diwarisi oleh kyai-kyai. Fenomena ini diperparah lagi dengan para Kyai yang saat ini banyak yang bergelut di medan politik. Dus, pesantren cenderung kering dari sentuhan buku atau tulisan. Tak banyak lagi kyai yang memiliki naluri berekspresi menciptakan karya tulis. Kyai Mustofa Bisri menuturkan bahwa tradisi menulis di kalangan NU kian luntur. Hal itu disebabkan—salah satunya—munculnya teknologi speaker yang menyebabkan aktivitas para kyai lebih banyak tersita untuk berdakwah secara oral. Padahal, ilmu dan pemikiran yang dimiliki oleh para kyai dan ulama pesantren seharusnya lebih banyak didokumentasikan dalam bentuk tulisan, agar bisa dilacak oleh lintas generasi. Di sinilah pentingnya figur sentral seorang kyai yang rajin menulis.
Terakhir, wadah para santri untuk menyalurkan keinginan menulis harus diadakan.

Bahkan mereka bukan saja diberi wadah tapi juga disalurkan karya-karya mereka dengan mengirimkannya ke berbagai media. Pesantren An Nuqoyah, Guluk-guluk, Sumenep, Madura, adalah pesantren yang patut dicontoh dalam hal ini. Hampir setiap minggu, santri dan alumninya menghiasi media nasional dengan karya-karya tulisnya. Penggerak sastra dari Pesantren tersebut, M Faizi Kaelan mengatakan, kegiatan sastra di Pesantren An Nuqoyah temasuk semarak. Pendidikan tradisional dengan jumlah santri hingga 6.000 orang itu, juga memiliki banyak sanggar yang satu dengan lainnya saling berkompetisi secara positif.

Sekali lagi, penulis ingin menekankan bahwa sinergi ketiga hal itulah yang akan menjadikan tradisi menulis (termasuk menulis karya sastra) di kalangan pesantren akan tercipta secara cepat. Jangan heran jika hal itu benar-benar terjadi maka beberapa tahun ke depan Indonesia dunia tulis menulis baik perbukuan, media cetak, dan pementasan akan diramaikan oleh para santri.
Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar: