(Mohon maaf tidak ada foto aku yang lagi ceramah.. jadinya kucomot aja foto Uje, gak jauh-jauh amat lah cakepnya:D)
Entah bagaimana tadinya, tiba-tiba saja bulan puasa kali ini aku banyak "orderan" mengisi ceramah di beberapa mesjid, mulai dari sebelum tarawih, setelah shubuh, dan menjelang buka puasa. Tentu saja, hal ini patut aku syukuri, paling tidak untuk dua hal: Mengasah mental bicara di depan umum, dan mendapat bayaran.
Tapi, terus terang dan harus aku akui, aku belum biasa untuk berceramah di khalayak luas (baca: jama'ah mesjid). Boleh dikata, aku enggak bakat mengkhutbahi orang, apalagi sampai berbusa-busa. Walau beberapa kali sebelum puasa ini aku juga pernah beberapa kali menceramahi para jama'ah, tepatnya puasa pada tahun lalu, mengisi ceramah shubuh dan tarawih—plus imam shalatnya, khutbah jum'at, bahkan pula pernah menjadi penceramah Idul Fitri di kampungku.
Ah, tapi tetap saja aku selalu merasa tidak biasa menceramahi orang.
Ketidakbiasaanku itu membuat aku sering berpikir materi apa yang mesti kusampaikan pada jama'ah? Dan seingatku aku tidak pernah memberi doktrin-doktrin yang menyerempet pada hitam-putih pada jama'ah. Biasanya, aku lebih banyak menyampaikan suatu kisah-kisah yang sederhana kemudian disampaikan pula beberapa pesan dan pelajaran dari kisah tersebut. Dengan cara seperti itu, aku berharap para jama'ah tidak merasa digurui olehku. Biarkanlah setiap individu mendapatkan kesannya masing-masing lewat kisah-kisah yang kusampaikan itu. Dan aku pun tak pernah berlama-lama berceramah.
Sebenarnya metodeku ini berangkat dari pengalaman saat aku menjadi salah satu jama'ah. Katakanlah jama'ah shalat jum'at. Aku sering menggerutu sendiri, kok bisa-bisanya para penceramah tidak tahu psikologi jama'ahnya. Telingaku dipaksa untuk mendengarkan ocehan-ocehan mereka tentang doktrin-doktrin islam yang cenderung pada fiqh-sentris, memojokkan hal-hal yang mereka tidak sukai, dst. Setelah itu dengan PD-nya mereka berkoar-koar dengan begitu lama. Lamaaa…banget. Padahal ceramah itu berdurasi setengah jam, tapi kayak setengah hari. Dus, untuk tidak mengatakan pembodohan dan "penyesatan", para penceramah seperti itu sebetulnya sangat tidak mendidik jama'ahnya. (lho, mengapa tulisan ini jadi mencerca begini ya, aku harus buru-buru mengucapkan istighfar agar tidak menodai puasaku. Astaghfirullah...
Ok, kembali pada jalan yang benar. Lain halnya denganku sebagai ustadz dadakan dan freelance, temanku, Munawir, yang sudah dicap ustadz sejak lama oleh teman-teman, benar-benar berprofesi ustadz, tentu selain dosen juga. Dia sudah terbiasa menceramahi orang. Dan harus kuakui dia memang pandai menyampaikan materi-materinya, baik yang sederhana maupun yang besar sekalipun. Aku bisa membayangkan, di luar Ramadhan saja dia sudah banyak undangan untuk mengisi ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian, apalagi di bulan ramadhan, seperti ini. Menariknya lagi, kalau kita lihat honornya. Haqqul yaqin, semua yang mengundang ceramah hampir dipastikan memberi amplop. Tentu saja di dalam amplop ada isinya yang berisi uang. Katakanlah paling kecil 20 ribu rupiah. Setahuku itu honor paling kecil lho, dan jarang ada yang melakukannya. Jika satu bulan ada 10 kali mengisi pengajian atau ceramah, maka penceramah dapat mengisi kantongnya 200 ribu rupiah. Aku kira temanku itu lebih dari 10 kali dalam satu bulan, apalagi di bulan puasa seperti ini. Dan, aku tidak yakin setiap satu pengajian dia mendapat 20 ribu rupiah. Pasti lebih dari itu.
Mungkin pembaca dapat membayangkan dan menduga-duga setelah aku ceritakan di bawah ini tentang temanku itu. Hari itu hari jum'at di bulan agustus, dia datang ke kostku dengan membawa 2 kotak kardus yang isinya snack. Katanya dia habis mengisi pengajian rutinnya yang lumayan sudah lama, kira-kira 2 tahunan. Ketika aku buka kotak tersebut, snack-nya luar biasa mewah. Di dalamnya ada beberapa macam kue. Mulai yang manis hingga yang asin. Ada roti, bolu, agar, kacang telor, dll. Dan, jenis semua makanan yang kuabsen itu terbilang mahal. Dan hal itu sangat pantas saat dia bercerita kalau jama'ahnya adalah kalangan menengah ke atas. Mungkin semi-executive kali ya.
Lantas, sambil makan roti dan disusul makan agar, aku berpikir, snack-nya saja sudah mewah kayak gini, bagaimana ya dengan honornya? Hmm… menarik juga ya jadi penceramah.
2 komentar:
wah ini satu lagi tukang servis akhlak orang muncul. selamat kang semoga menjadi tukang servis yang mumpuni, gak sah minder yang penting amplopnya tebal he...
Buat kang lutfi.Sebetulnya aku gak mau lho kang, tapi keadaan nyuruh aku kayak gitu...
Posting Komentar