(Jawa Pos, Rubrik Di Balik Buku, 29/11/2015)
RABU,
25 November 2015, kita merayakan Hari Guru Nasional. Di media sosial hari itu
begitu riuh dengan pelbagai ekspresi ucapan selamat kepada para guru. Tentu
ucapan itu adalah sebagai rasa terima kasih kita kepada para guru yang telah
mengajari kita dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak tahu menjadi tahu. Kita
berterima kasih kepada para guru karena melahirkan banyak profesi. Semua belajar
dari guru.
Namun,
apakah semua guru mempunyai peran yang sama dalam mengantarkan anak didiknya
menuju gerbang kesuksesan? Tentu itu patut diuji. Hal ini berkaitan dengan
kualitas guru itu sendiri. Tak dapat dipungkiri apabila guru-guru kita masih
banyak yang berada di bawah standar kualitasnya. Terlepas dari sebagian nasib
guru yang hidupnya masih belum layak—sehingga dapat memengaruhi peran dan
tugasnya, seorang guru punya tanggung jawab besar terhadap proses
berlangsungnya transmisi pengetahuan.
Salah
satunya adalah belum ada kecakapan menulis dalam diri seorang guru. Bisa kita
uji kepada para guru yang telah lulus sertifikasi yang notabene-nya telah
teruji keprigelan menulis karya ilmiah, apakah mereka sudah tertanam kebiasaan
menulisnya? Bagi seorang guru, menulis tidak hanya untuk menulis karya ilmiah,
tetapi juga untuk keperluan transfer knowledge-nya juga. Pada umumnya,
guru menulis karya ilmiah untuk kepentingan naik pangkat dan tunjangan. Apabila
sudah terpenuhi kepentingannya, maka berhenti pula menulisnya. Dari situ
terlihat bahwa menulis belumlah menjadi kebiasaan bagi seorang guru.
Menulis
sampai tahap kebiasaan memang membutuhkan perjuangan. Karena dituntut kesadaran
dan kebutuhan, tentu kemampuan juga. Bagi guru, menulis dan berbicara adalah
dua cara untuk berkomunikasi dengan peserta didiknya. Tapi faktanya banyak guru
yang hanya menggunakan satu cara saja, yaitu berbicara. Mereka berbicara secara
panjang lebar di dalam kelas pada saat menerangkan pelajarannya.
Sedang
menulis masih belum mendapat porsi yang setara dengan berbicara pada saat
mereka berkomunikasi dengan para siswanya. Keterampilan menulis sangatlah
dibutuhkan oleh para guru, karena akan berguna untuk kegiatan pembelajaran,
tidak hanya untuk pembuatan karya ilmiah (untuk kenaikan jenjang/pangkat),
tetapi juga hal lainnya, seperti untuk materi yang hendak disampaikan, surat
kabar, jurnal, buletin, dan lain-lain.
Guru
yang terampil menulis juga akan memperoleh tambahan pemasukan secara finansial.
Tentu hal ini tidak akan didapatkan bagi
guru yang tidak suka menulis. Tulisan-tulisan mereka juga akan dibukukan dan
diterbitkan. Buku-buku mereka akan menghiasi toko-toko buku. Dus, dengan
karya-karya mereka, baik yang tersiar di media massa maupun toko buku, mereka
akan dikenal oleh masyarakat. Dan bukan tidak mungkin mereka akan diundang ke pelbagai
lembaga pendidikan. Mereka akan diundang ke pelbagai daerah untuk sharing
gagasan-gagasan yang ditulisnya, atau pun membagikan ilmu menulisnya kepada
para guru lainnya yang seprofesi dengan dirinya.
J.
Sumardianta adalah contohnya. Pak Guru (panggilan akrabnya) adalah seorang guru
SMA De Britto Yogyakarta. Ia punya keterampilan menulis yang mumpuni.
Tulisannya telah tersebar di surat kabar nasional seperti Kompas, Koran Tempo,
Jawa Pos, dan lain-lain. Ia kerap menulis tema-tema pendidikan, namun tak jarang
pula merambah tema lain, seperti sosial, budaya, bahkan traveling, karena
hobinya jungle tracking.
Selain
artikel, ia juga menulis beberapa buku. Guru Gokil Murid Unyu (2013)
adalah salah satunya. Gaya tulisan dalam bukunya begitu khas dan asyik untuk dinikmati,
sehingga tak heran mengalami beberapa kali cetak ulang. Lewat karya-karyanya ia
dikenal para pendidik, sastrawan, budayawan, akademisi, bahkan pejabat. Ia
sering sekali diundang ke lembaga-lembaga pendidikan maupun lainnya, untuk
sharing soal pendidikan, kepenulisan, sastra, dan lainnya.
Beliau
adalah contoh nyata bahwa seorang guru yang mempunyai keterampilan menulis akan
mendapatkan kejutan-kejutan yang tak terduga. Tentu masih banyak guru-guru
lainnya seperti Pak Guru ini. Dan semua guru bisa belajar padanya. Melihat
manfaat yang begitu besar dari keterampilan menulis ini, semoga saja para guru
mau mempelajari, menggeluti, dan membiasakan menulis, sehingga menjadi tradisi
bagi dirinya.
Dari
situ kemudian mereka akan memberi inspirasi dan teladan kepada para guru
lainnya. Sungguh, dunia pendidikan kita begitu membutuhkan para guru yang
mempunyai keterampilan menulis.[]
M.
Iqbal Dawami, penulis, editor, dan trainer kepenulisan.