“We live in a wonderful world that is full of beauty, charm and
adventure. There is no end to the adventures we can have if only we seek
them with our eyes open” (Jawaharial Nehru)
Sewaktu di Yogyakarta semenjak kenal Pak Guru (J. Sumardianta), nyaris setiap minggu pagi saya jungle trekking. Olahraga ini boleh dikata tidak populer ketimbang olahraga lain yang biasa digeluti orang-orang. Saya melakukannya bersama teman-teman, yang jumlahnya paling banyak enam orang. Misalnya, Pak Guru, Mas Toni dan Om Jit (ketiganya hingga kini masih aktif). Kadang saya melakukannya cuma dua orang, yakni dengan Pak Guru, di sore hari di lain hari minggu, karena yang lain masih bekerja. Ada kenikmatan tersendiri pada saat olahraga jungle trekking ini yang tidak saya dapatkan dari olahraga lainnya.
Lokasi jungle trekking kami adalah daerah perbukitan yang ada di Yogyakarta, di antaranya perbukitan Prambanan, Piyungan, dan Gunung Kidul, dan Kulon Progo. Jarak tempuh jungle trekking bervariasa, tergantung jauh-dekatnya dari kota Yogyakarta. Tapi paling jauh hanya memakan waktu sekitar 2 jam. Jalanan yang kadang menanjak dan menurun membuat kaki kami terlatih.
Keseimbangan juga sangat diperlukan untuk olahraga ini. Apalagi pada saat musim hujan, tak jarang kami seringkali terpeleset. Jika tidak hati-hati, kami bisa saja masuk jurang.
Pada saat perjalanan menuju puncak bukit seringkali kami menemukan hal-hal yang menakjubkan, entah itu panorama yang indah, bertemu dengan penduduk desa yang mampu merelatifkan hidupnya, maupun melewati ladang-tanaman, seperti tomat, cabe, dan kacang, yang menggoda untuk dipetik. Dan pada saat kami sampai di puncak bukit, kami bisa melihat pemandangan yang sangat indah. Basah kuyup keringat sudah tidak kami pedulikan.
Pada saat mencapai puncak, sembari menyaksikan pemandangan yang indah, saya sering merasakan rasa syukur atas limpahan karunia Tuhan yang diberikan pada saya. Kesehatan jasmani dan rohani adalah suatu capaian anugerah Tuhan yang bisa dirasakan oleh semua orang. Namun, sering kali saya tak mampu menjaganya lantaran pelbagai dalih. Di puncak itu kami membuka perbekalan, yakni jajanan pasar yang kami beli sewaktu di perjalanan. Sembari menyeruput teh dan makan naga sari, kami mengobrol ngalor-ngidul, hal berat maupun remeh temeh. Kebersamaan dan keakraban benar-benar kami rasakan.
Banyak pelajaran yang bisa diambil dari jungle trekking, misalnya dalam melihat kehidupan saya harus mampu mempunyai banyak perspektif. Pelajaran itu saya dapatkan pada saat kami melewati jalan-jalan yang baru, yang jarang dilalui penduduk setempat. Menyusuri jalan-jalan baru tersebut membuat kami tak jarang harus merangkak untuk menaikinya. Otak dan otot benar-benar diberdayakan pada saat itu.
Kini, setelah saya hijrah ke Pati nyaris tidak pernah jungle trekking lagi, kecuali sekali, yakni pas ke
Gunung Muria via Gembong, bersama teman-teman Tadarus Buku.[]
Rabu, 22 April 2015 (sambil memandang rintik hujan pagi di jendela)
Sewaktu di Yogyakarta semenjak kenal Pak Guru (J. Sumardianta), nyaris setiap minggu pagi saya jungle trekking. Olahraga ini boleh dikata tidak populer ketimbang olahraga lain yang biasa digeluti orang-orang. Saya melakukannya bersama teman-teman, yang jumlahnya paling banyak enam orang. Misalnya, Pak Guru, Mas Toni dan Om Jit (ketiganya hingga kini masih aktif). Kadang saya melakukannya cuma dua orang, yakni dengan Pak Guru, di sore hari di lain hari minggu, karena yang lain masih bekerja. Ada kenikmatan tersendiri pada saat olahraga jungle trekking ini yang tidak saya dapatkan dari olahraga lainnya.
Lokasi jungle trekking kami adalah daerah perbukitan yang ada di Yogyakarta, di antaranya perbukitan Prambanan, Piyungan, dan Gunung Kidul, dan Kulon Progo. Jarak tempuh jungle trekking bervariasa, tergantung jauh-dekatnya dari kota Yogyakarta. Tapi paling jauh hanya memakan waktu sekitar 2 jam. Jalanan yang kadang menanjak dan menurun membuat kaki kami terlatih.
Keseimbangan juga sangat diperlukan untuk olahraga ini. Apalagi pada saat musim hujan, tak jarang kami seringkali terpeleset. Jika tidak hati-hati, kami bisa saja masuk jurang.
Pada saat perjalanan menuju puncak bukit seringkali kami menemukan hal-hal yang menakjubkan, entah itu panorama yang indah, bertemu dengan penduduk desa yang mampu merelatifkan hidupnya, maupun melewati ladang-tanaman, seperti tomat, cabe, dan kacang, yang menggoda untuk dipetik. Dan pada saat kami sampai di puncak bukit, kami bisa melihat pemandangan yang sangat indah. Basah kuyup keringat sudah tidak kami pedulikan.
Pada saat mencapai puncak, sembari menyaksikan pemandangan yang indah, saya sering merasakan rasa syukur atas limpahan karunia Tuhan yang diberikan pada saya. Kesehatan jasmani dan rohani adalah suatu capaian anugerah Tuhan yang bisa dirasakan oleh semua orang. Namun, sering kali saya tak mampu menjaganya lantaran pelbagai dalih. Di puncak itu kami membuka perbekalan, yakni jajanan pasar yang kami beli sewaktu di perjalanan. Sembari menyeruput teh dan makan naga sari, kami mengobrol ngalor-ngidul, hal berat maupun remeh temeh. Kebersamaan dan keakraban benar-benar kami rasakan.
Banyak pelajaran yang bisa diambil dari jungle trekking, misalnya dalam melihat kehidupan saya harus mampu mempunyai banyak perspektif. Pelajaran itu saya dapatkan pada saat kami melewati jalan-jalan yang baru, yang jarang dilalui penduduk setempat. Menyusuri jalan-jalan baru tersebut membuat kami tak jarang harus merangkak untuk menaikinya. Otak dan otot benar-benar diberdayakan pada saat itu.
Kini, setelah saya hijrah ke Pati nyaris tidak pernah jungle trekking lagi, kecuali sekali, yakni pas ke
Gunung Muria via Gembong, bersama teman-teman Tadarus Buku.[]
Rabu, 22 April 2015 (sambil memandang rintik hujan pagi di jendela)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar