Sabtu, 30 Mei 2015

Menggeser Niat


Seorang penulis miskin begitu tekun menulis. Yang dia tulis adalah skenario. Kadang skenarionya berhasil terjual, tapi banyak pula yang tidak terjual. Mungkin malah lebih banyak yang tidak terjualnya. Sehari dia bisa menulis 3 sampai 4 skenario. Di saat orang berkencan, dia menulis. Hingga larut malam. Ketika tidak terjual skenarionya maka “teman-temannya” berdatangan: frustrasi, pesimis, sedih. Galau, kata jaman anak kiwari. Kalau kata Cita-Citata: Gegana (Gelisah Galau Merana).

Namun, suatu ketika dia mendapatkan bayaran yang cukup besar, yang dia bandingkan dengan penghasilan kakek-neneknya bekerja seumur hidup. Itu adalah titik tolaknya mereguk kenikmatan hasil jerih payahnya perjuangan dalam menulis. Mulai dari situ, bukan dia lagi yang menawarkan skenarionya, melainkan ditawari. Melambunglah namanya. Bayarannya pun berlipat-lipat. Dan seiring dengan itu, banyak pula segala keinginan hidupnya. Salah satunya mempunyai rumah mewah, mobil mewah, dan apartemen mewah.

Proyek skenario yang berasal dari lubuk hatinya selalu dia kesampingkan. Dia selalu menggarap proyek pesanan. Tentu saja dia mengutamakan proyek pesanan tersebut, karena jelas bayarannya, ketimbang proyek pribadinya yang belum jelas. Pundi-pundi uangnya makin bejibun. Keinginannya untuk membeli guest house membuat dia tertekan. Ketika itu dia menulis bukan lagi yang dpikirkannya soal isi tulisannya, melainkan bayarannya. Dia sudah mulai berhitung. Tujuan hidup bukan lagi untuk menulis, tapi untuk menghasilkan uang. Hidup berubah menjadi gaya hidup. Tidak ada yang salah memang, tapi imbas atau implikasinya lain.

Gegara pergeseran “menulis untuk mencari uang” tiba-tiba saja teman-teman yang dulu pada saat dia menjadi penulis miskin datang lagi. Dia mulai takut, setres, dan frustrasi kembali. Suatu hari dia menyadari hal itu. “Sukacita dan cinta yang membuatku terus menulis pada malam hari setelah dua belas jam di belakang kemudi kini menghilang,” ujar dia menyadarinya. Akhirnya dia membuat keputusan untuk menjual rumah mewahnya, dan membeli rumah yang biasa saja. Orientasi menulis ia geser kembali. Wallhasil, dia merasakan hal yang luar biasa. Ada beban berat yang rasanya baru terangkat, ujarnya.

Setelah itu, menulis terasa menyenangkan lagi. Dia duduk di pagi hari, menulis, dengan penuh sukacita. Dia hanya memikirkan isi tulisannya. Soal laku atau tidak tulisannya, dibayar kecil atau besar, biarlah itu urusan nanti. Saking senangnya dengan perasaan ini, dia mengatakan begini: “Ya Tuhan, aku bersenang-senang!” Sebuah ungkapan rasa syukur: Alhamdulillah, Puji Tuhan. Ternyata perasaan senang itu berdampak positif pada kondisi finansialnya juga. Yup, dia menghasilkan lebih banyak uang ketimbang sebelumnya, yakni pada saat “menulis untuk uang”.

Saya akhiri kisah dia dengan ungkapannya yang ditujukan untuk penulis pemula, atau mungkin yang baru mau niat menjadi penulis:


“Jika inilah satu-satunya pekerjaan yang cocok untuk kalian, jika inilah pekerjaan yang menghidupkan jiwa kalian, maka terjun dan bekerja keraslah. Berjuang, menangis, dan gigihlah menulis. Dan jangan lupa untuk mencintainya, bahkan ketika tulisan kalian mulai menghasilkan.” []
  

Tidak ada komentar: