Setiap menjelang Idul Fitri, kota-kota besar di Indonesia, terutama kota Jakarta, nampak lengang. Jama’ah di masjid dan musholla mulai berkurang. Jika minggu pertama, masjid-masjid sesak dipenuhi jamaah sholat tarawih maka di penghujung bulan Ramadhan hanya tersisa sekitar satu shaf atau kurang dari itu.
Tidak terkecuali pula di masjid Safinaturrahmah, Sapen, Yogyakarta, tempat biasa saya shalat. Mulai satu minggu sebelum lebaran, jamaah mesjid tersebut sudah banyak berkurang. Maklum, biasanya, para mahasiswa, kemudian disusul para pekerja dan pengusaha mulai libur dan cuti kerja, dan mudik ke kampung halaman.
Mudik adalah kegiatan perantau untuk kembali ke kampung halaman. Mudik bisa berarti pula kembali ke akar kebudayaan kita, ke tempat dimana kita dilahirkan, di daerah yang menjadi asal muasal keluarga besar. Pada hari raya Idul Fitri, nuansa mudik sudah sangat terasa kental. Persiapan-persiapan bahkan sudah dilakukan dari jauh-jauh hari. Pemesanan tiket bahkan sudah dilakukan dari beberapa bulan sebelumnya, menghindari kenaikan harga yang berlebihan. Pembelian oleh-oleh untuk sanak kerabat di kampung halaman pun dipersiapkan dengan rapi dan apik.
Kota-kota perantauan yang dulunya tidak pernah berhenti beraktivitas, megah, selalu gemerlap siang dan malam, akan menjadi sepi dan lengang, ditinggal para penghuni yang biasa mengisi keramaiannya. Susah payah kondisi perjalanan tidak menghalangi niatan untuk pulang ke kampung halaman; letih, lelah, dan tenaga yang terkurang, direlakan; membengkaknya biaya perjalanan dan biaya yang dihabiskan, memang sudah diantisipasi jauh-jauh hari sebelumnya. Bagi sebagian orang, mereka bahkan rela mengirit pengeluaran sehari-hari, agar dapat menabung guna memenuhi biaya perjalanan beserta segala pernak-pernik perjalanan mudiknya.
Tradisi mudik di Indonesia adalah urusan yang sangat besar dan sangat menyibukkan. Tidak tanggung-tanggung pemerintah harus menyiapkan dan menjamin kelancaran arus mudik lebaran, dari tentang armada atau angkutan lebaran sampai ke urusan stabilitas sembako. Begitupun para media televisi tidak ketinggalan tiap waktu menyiarkan arus mudik ini.
Tradisi mudik pada Idul Fitri pada dasarnya mengandung nilai positif. Karena di sinilah kita bisa berkunjung dan menyambung silaturrahmi dengan orangtua, sanak saudara, kerabat dan handai taulan di kampung halaman. Mereka saling mengunjungi dan bermaaf-maafan. Bisa kita bayangkan apabila tidak ada lebaran dan tradisi mudik, berapa banyak orang yang kehilangan sanak keluarga karena tidak pernah bertemu dan saling silaturrahmi. Walau begitu, silaturrahmi dan saling memaafkan tidak harus dilakukan di Hari Raya saja, tapi di hari-hari lainpun bisa dilakukan. Yang perlu diingat ketika mudik adalah persiapan bekal. Supaya lancar sampai tujuan maka bekal tersebut perlu disiapkan sebaik-baiknya.
Para pembaca yang budiman, dapatkah kita mengambil pelajaran dari peristiwa mudik di hari raya Idul Fitri tersebut yang sebagian besar masyarakat kita melakukannya setiap tahun? Bicara tentang mudik, kita teringat dengan peristiwa mudik yang akan dialami oleh setiap orang. Setiap orang pasti akan mengalami mudik yang seperti ini bahkan banyak dari kita telah mudik mendahului kita. Mudik yang mau tak mau harus kita lakukan. Tidak peduli kita kaya atau miskin, dan baik terpaksa maupun tidak. Tak lain, mudik tersebut adalah mudik ke kampung akhirat, kampung halaman abadi.
Mudik ini adalah mudik yang tidak pernah kembali lagi ke perantauan (dunia), karena di sanalah tempat abadi kita. Untuk menuju ke sana hanya ada satu kendaraan, yaitu kematian. Kematian akan menjemput kita. Itulah mudik yang sebenarnya. Akhirat adalah kampung dengan satu pintu, sekali kita melewatinya, maka sudah pasti dan tidak akan mungkin kita bisa kembali lagi ke dunia. Hal itu sebagaimana yang difirmankan Allah, “Katakanlah sesungguhnya kematian yang kamu semua melarikan diri darinya itu, pasti akan menemui kamu, kemudian kamu semua akan dikembalikan ke Dzat yang Maha Mengetahui segala yang gaib serta yang nyata.” (QS. Al-Jumu'ah:8).
Dalam banyak firman-Nya, Allah selalu mengingatkan kita pada konteks mudik ini. Misalnya, "Kemudian, kepada-Kulah tempat kalian semua pulang" (Tsumma Ilayya Marji'ukum). Maka, tradisi mudik yang hingga kini tak pernah tersentuh dan terpengaruh sedikit pun oleh krisis macam apa pun, termasuk krisis yang tiada henti mendera bangsa ini, sebenarnya menjadi prosesi panjang perjalanan anak manusia menuju Tuhannya. Macam-macam cara ditempuh orang untuk menyiapkan kepulangannya. Pulang ke kampung halaman di dunia ini atau ke kampung halamannya di akhirat kelak. Dua tujuan tersebut, meski sama-sama memiliki perspektif yang berbeda tetapi sungguh sama-sama membutuhkan persiapan, minimal bekal untuk dibawa pulang. Bekal untuk keperluan diri sendiri, atau bekal yang akan kita persembahkan kepada saudara-saudara yang tinggal di kampung. Lantas siapa keluarga kita di akhirat? Mudik ke kampung akhirat, tentu tujuannya cuma satu, "bertemu" dengan Allah SWT (Liqaa'a Robbihi).
Mudik ke kampung halaman menjelang Idul Fitri, sesungguhnya merupakan latihan yang nyata menjelang kepulangan kita selama-selamanya ke pangkuan Ilahi. Tanpa kita sadar, selama sebelas bulan lamanya, berbagai persiapan kita lakukan dengan mengumpulkan sebanyak mungkin bekal yang akan kita bawa pulang.
Allah selalu mengingatkan kita agar jangan sampai menyesal ketika kematian datang dan kita masih belum punya bekal yang dibawa yang dapat menyelamatkan kita di alam kubur dan alam akhirat kelak. Sebagaimana orang-orang yang menyesal karena saat kematian tiba bekal yang dibawanya merasa tidak cukup dan merengek kepada Allah supaya jangan dulu dimatikan terlebih dahulu, atau kalau pun sudah dimatikan ingin dikembalikan lagi ke dunia. “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: ‘Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?’" (QS.: Al-Munafiqun [63]:10).
Untuk itu, sudah seberapa baik perbekalan yang telah kita persiapkan? Bahkan, sudah sampai seberapa siap diri kita untuk menghadapi perjalanan panjang? Imam Ali bin Abi Thalib, pernah berkata, “Sesungguhnya kita berada pada hari dimana hanya ada amal tanpa ada perhitungan, dan sesungguhnya kita menuju hari dimana hanya ada perhitungan tanpa ada amal”.
Oleh karena itu, jadikan setiap detik dalam hidup kita ini menjadi hari-hari pengumpulan bekal mudik ke kampung akhirat kita, dan tidak cukup sampai di situ, jadikan seluruh sisa usia kita, menjadi ajang persiapan mudik ke kampung akhirat, baik dengan beribadah secara vertikal maupun transendental.
Mari kita jadikan dunia ini sebagai ladang untuk mengumpulkan perbekalan mudik kita ke kampung akhirat. Semoga bekal kita mencukupi sehingga kita mendapatkan tempat yang terbaik di akhirat kelak.
3 komentar:
amiin... mudah-mudahan husnul khotimah.
Amin.Nuhun kang Hamzah.
Makna hakekat mudik sebenarnya adalah sebuah keinginan untuk mewujudkan kembali kenangan kita waktu kecil dahulu, kerinduan berkumpul dengan orang-orang yang kita cintai, kasihi, sayangi; mendengar gemerisik dedaunan, kicauan burung, kokok ayam jago yang saling bersautan, lenguhan sapi, suara jangkrik; mencium semerbak bunga-bungaan, bau aroma khas rerumputan,batang jerami yang baru diarit, asap tungku dapur; mandi di empang, sungai atau pesisir pantai, main bola kaki di lumpur sawah, bergelayutan seperti tarzan di ranting-ranting pohon dan berbagai kerinduan-kerinduan lain yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.Bisa jadi inilah kesempatan mudik terakhir kita di hari raya Idul Fitri ini, karena Yang Maha Fitri telah memanggil kita untuk mudik selama-lamanya di pangkuan Nya.Dan berharap Allah Yang Maha Pengampun menyapat kita,”Hai jiwa yang tenang,kembalilah padaKu dan masuklah ke syurgaKu…”
Posting Komentar