Andy baru saja meninggalkan rumah ketika terdengar jeritan ibunya. Dengan bergegas dia masuk kembali. Saat itulah dia melihat ayahnya sudah tertelungkup di lantai. Badannya lunglai.
Saat dia mengangkat dan memangkunya dalam pelukan, mata Ayahnya menatap Andy dalam sekali. Mulutnya berusaha mengeluarkan kata-kata, namun gagal. Tangan Andy digenggamnya kuat-kuat sebelum akhirnya melemah dan terdiam. Ayahnya menghembuskan nafas terakhirnya.
Sepuluh menit yang lalu Andy masih berdialog dengan ayahnya. Bahkan sedikit bersitegang. Gara-gara ayahnya melarang dia untuk melihat pertandingan tinju di Gelanggang Olahraga Cenderawasih, Jayapura. Ayahnya meminta dia tetap di rumah ‘untuk menjaga ibu’. Permintaan yang aneh. Selama ini Andy selalu bebas menentukan kemana pun pergi. Ayahnya termasuk orangtua yang menyenangkan, yang tidak ‘neko-neko’. Karena itu larangannya sungguh mengejutkan baginya.
Sang Ibu, yang melihat kekecewaan Andy, mencoba membantu Andy dengan membujuk ayahnya. Terjadi perdebatan sebentar sebelum akhirnya ayahnya mengalah dan mengijinkan Andy melangkah meninggalkan rumah. Ayahnya hanya berpesan agar setelah pertandingan usai dia segera pulang.
Tapi, baru beberapa langkah, terdengar jeritan ibunya. Ayahnya ambruk. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, di dalam taksi, Andy menyadari ayahnya telah tiada. Denyut nadinya datar. Jantungnya tidak lagi berdegup. Ayahnya telah pergi untuk selama-lamanya.
Ketika menguruk tanah ke liang lahat, perasaan Andy disesaki rasa penyesalan yang sangat dalam. Kalau saja jarum jam bisa diputar ulang, malam itu Andy ingin menyenangkan hati ayahnya. Andy tidak akan bersikeras pergi ke pertandingan tinju. Tiket pertandingan tinju tidak lagi punya arti berbanding permintaan ayahnya sebelum kematian menjemput. Andy ingin menghantarkan ayahnya berpulang dalam damai. Bukan dengan suasana hati yang galau. Namun apa mau dikata. Kematian datang dengan caranya sendiri. Tidak mengenal waktu dan tempat. Kematian ayahnya begitu mendadak. Andy merasa tidak siap.
Itulah kisah kematian ayah Andy F. Noya, pemandu acara Kick Andy di Metro TV. Dia merasa sedih karena tidak menyenangkan ayahnya saat ayahnya dijemput maut. Kematian ayahnya sangat tiba-tiba.
Malaikat yang bertugas mencabut nyawa memang tidak pernah ber-‘assalaamu’alaikum’ atau ber-‘kulonuwun’ (permisi) pada orang yang akan ia cabut nyawanya. Kita tidak tahu kapan ia datang, dan jika ia datang pun kita tak bisa menolaknya. Janji Allah tertulis jelas, bahwa kematian adalah sebuah kepastian yang akan datang pada tiap-tiap jiwa. Tetapi kapan waktunya, cukuplah ia menjadi rahasia-Nya, ”Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (Q.S. Luqman : 34).
Kematian datang secara tiba-tiba namun walau begitu kadang memberikan aba-aba atau isyarat terlebih dahulu. Tanpa meminta ijin kepada siapa pun kapan ia akan datang.
Dia akan datang kepada siapa saja yang dikehendaki dan sudah ditentukan hari kepastiannya. Isyarat kematian kadang kala amat sulit kita pahami, dan barangkali biasa-biasa saja, walau dalam hati kita merasa ada sesuatu yang aneh. Itulah yang dialami Andy F. Noya, yang kematian ayahnya tiba-tiba itu, tidak merasakan sesuatu, hanya saja ayahnya untuk menyarankan Andy untuk tidak kemana-mana, disuruh menjaga ibunya. Ayahnya meminta dia tetap di rumah ‘untuk menjaga ibu’. Bagi Andy, itu adalah permintaan yang aneh. Sebelumnya Andy selalu bebas menentukan ke manapun pergi dan ayahnya pun tidak pernah melarang kemana pun ia pergi. Itulah isyarat yang diberikan Tuhan untuk Andy bahwa ayahnya akan dijemput maut.
Hal ini juga dialami oleh Widyawati, istri Sophan Sophiaan. Bahwa kematian telah lama mendekati suaminya, memberi isyarat kepadanya. Isyarat itu, berupa sikap tak biasa Sophan. Selama konvoi, misalnya, Widya merasa Sophan tambah mesra, acap menatapnya dan memeluk erat. Di Rembang, isyarat itu lebih kuat terasa. Sophan memintanya mengenang saat pertama berjumpa, dalam film Pengantin Remadja. Sophan tak hanya menyanyikan soundtrack film itu, tapi juga membacakan surat cinta. “Juli sayang, suatu saat kita akan berjumpa lagi”. Itulah isyarat, dan Widya tak menyadarinya. Isyarat itu juga datang dari alam. Sepanjang Jakarta-Tuban, dalam konvoi berboncengan, Widyawati selalu melihat sepasang burung terbang di depan mereka. Hanya dia yang melihat.
Kisah di atas memberi isyarat pada kita bahwa kematian bukanlah sesuatu yang jauh. Dia dekat dan datang secara tiba-tiba. Namun kedatangannya dapat diamati, dicatat, jika kita cermat menangkap isyarat.
Allah menentukan kematian dengan cara apa pun. Salah satunya, kedatangannya sangat tiba-tiba. Jalan menuju kematian sangat banyak jalurnya, ada yang diuji dengan sakit dahulu, kecelakan atau diambil secara tiba-tiba. Bisa jadi kelak kita akan menempuh salah satu jalan di atas.
Semoga dengan banyak cerita tentang meninggalnya orang-orang di sekeliling kita, kita semakin bijak dalam mempersiapkan kematian yang akan datang pada giliran kita.
2 komentar:
selamat atas dimuatnya tulisan (resensi) mas Iqbal di SINDO, 3 Mei 2009.
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/235043/
makasih ya. Gimana nih udah ada yg dimuat resensinya? semoga saja udah. sukses ya.
Posting Komentar