Minggu, 10 Mei 2009

Ketika Jepang Menginspirasi Novelis Barat

Resensi ini dimuat di Media Indonesia, Sabtu 20 Juni 2009
Judul Buku : The Dragon Scroll
Penulis : I.J. Parker
Penerbit : Penerbit Kantera
Cetakan : I, Februari 2009
Tebal : 484 hlm
-------------------------

I.J. Parker, penulis novel The Dragon Scroll ini menekuni sejarah Jepang masa pertengahan dan menulis kisah-kisah misteri. Pada 1997 cerpennya dengan tokoh Sugawara Akitada—seorang pegawai rendahan kementerian kehakiman Kyoto abad kesebelas yang melakukan penyelidikan terhadap kejahatan—membuat karyanya muncul dalam majalah misteri Alfred Hithcock. Pada tahun 2000, Parker menerima Private Eye Writer of American Shamus Award untuk kategori cerita pendek misteri terbaik. Dan dua novelnya, Rashomon Gate (2002) dan the Hell Screen (2003) mendapatkan penghargaan dari St. Martin Monotaur. Kelahiran Jerman ini amat mumpuni tentang sejarah dan budaya Jepang.

Novel The Dragon Scroll secara kronologis merupakan novel ketiga dari seri-seri karyanya dan menceritakan kembali permulaan karir tokoh utama Sugawara Akitada yang berlatar Periode Heian Jepang (794-1185). Novel ini bertutur tentang Sugawara Akitada yang diutus ke Kisarazu di propinsi Kazusa guna menyelidiki hilangnya pengiriman pajak selama tiga tahun berturut-turut.

Sejak awal, Parker menciptakan narasi yang sangat cepat dan menggairahkan, sesuatu yang menarik perhatian pembaca baik dalam aksi dan penyampaian kultur serta tradisi abad kesebelas. Aksi datang pertama kali melalui latar belakang budaya Jepang yang mengagumkan yang menambah kegairahan membaca. Dalam dua puluh halaman pertama, pembaca disuguhi tentang pembunuhan seorang wanita. Selanjutnya meloncat pada usaha perampokan terhadap Akitada, pertarungan hidup mati dengan para perampok di jalan, kemudian usaha pemerkosaan terhadap gadis tunarungu oleh beberapa oknum biksu budha, dan serangan kekerasan terhadap orang-orang Akitada oleh artis seni bela diri wanita yang memiliki kemampuan hebat.

Novel ini merupakan novel terbaru Parker, setelah The Rashomon dan The Hell Screen, yang sama-sama mempunyai kisah misteri dan detektif. Di sini, Akitada adalah seorang sarjana muda yang bertemu Tora—yang menjadi tokoh dalam kedua buku sebelumnya—untuk pertama kalinya. Kemampuan Tora dalam menggunakan tongkat dan kecepatan melompat dalam setiap aksinya, tidak diragukan lagi, telah menyelamatkan Akitada dan Seimei dari para penjahat yang kejam. Hanya saja reputasinya sebagai “Bandit Jangkung Berkaki Tujuh”, menyebabkan Seimei, sang pembantu Akitada gelisah. Seimei merasa dia bukanlah orang yang dapat dipercaya, ibaratnya ‘seekor burung Elang tidak bisa menjadi burung Bulbul.”

Ada beberapa tokoh kunci, selain Akitada, Tora dan Seimei, yang berperan dalam novel ini, yaitu, The Rat seorang pengemis yang memiliki banyak informasi; Higekuro, seorang anggota bangsawan yang merangkap menjadi pimpinan sekolah seni beladiri; dan Otomi, artis tunarungu yang sketsa-sketsanya tentang sebuah biara menjadi kunci penting dalam penyelidikan tersebut.

Dalam perjalanannya, dengan ditemani pelayannya, Seimei, Akitada diserang oleh para perampok. Namun untung saja diselamatkan oleh Tora, seorang pembelot militer yang gagah berani, di mana kemudian diangkat menjadi seorang ajudannya. Perjalanan melalui daerah pedalaman yang dingin dengan menunggang kuda, Akitada dijamin oleh keduanya kalau sewaktu-waktu ia melihat hal yang tidak menyenangkan dari protokol pegawai lainnya. Seimei sering berbicara kepada Akitada dalam aforisme adat tradisional.

Awal kedatangannya di Kazusa, Akitada berspekulasi menjadikan gubernur Motosuke sebagai tersangka utama. Namun kecurigaan Akitada terhadap sang gubernur sulit dibuktikan. Bahkan Akitada dan pelayannya, Seimei, tercengang dengan efisiensi kerja para staf dan kerapian berkas-berkasnya. Alih-alih berhasil meringkus penjahat Negara, Akitada merasa misinya hanya akan berakhir sia-sia. Karena rumor yang beredar bahwa sudah lama pemerintah ingin kasus ini dilupakan. Kegelisahan Akitada untuk tetap menegakkan hukum semakin mendorongnya berfikir keras, menemukan dalang di balik kejahatan ini. Orang-orang lain yang patut dicurigai dan mulai dijadikan modus operandinya adalah Residen Ikeda, Kapten Yukinari—sang kepala Garnisun, Lord Tachibana—mantan Gubernur—beserta Lady Tachibana (istri mudanya yang cantik mempesona) serta master Joto, sang kepala biara Empat Wajah Kebijaksanaan.
Masalah semakin pelik ketika terjadi pembunuhan berantai. Mantan gubernur Lord Tachibana ditemukan tewas di ruang kerjanya saat Akitada mengunjunginya. Lalu seorang pelacur dibunuh dengan cara mengerikan. Begitu pula pembantaian yang terjadi di rumah Higekuro, pemilik perguruan bela diri bojutsu. Dan usaha pemerkosaan terhadap putrinya—gadis tunarungu—oleh beberapa rahib pengkhianat.

Apa motif di balik pembunuhan sang mantan gubernur? Firasat Akitada mengatakan bahwa aksi tersebut ada hubungannya dengan kasus perampokan pajak. Istri mantan gubernur pun ditengarai memiliki skandal dengan Kapten Yukinari dan Residen Ikeda. Kisah ini kemudian berkembang menjadi sebuah konspirasi yang juga melibatkan kepala biara Empat Wajah Kebijaksanaan. Hal itu berdasarkan fakta pembangunan biara yang meningkat drastis. Namun pada akhirnya Akitada memperoleh titik terang setelah ditemukannya sebuah sketsa lukisan Badai Naga karya Otomi, putri Higekuro. Sketsa itulah yang menjadi kunci penting dalam penyelidikan tersebut.

Ditemani Tora dan Ayako—gadis pesumo yang membuat Akitada jatuh cinta—Akitada menyusup ke dalam Biara Empat Wajah Kebijaksanaan dan menemukan bukti kebengalan para rahib. Kala segalanya terbuka, bentrokan pun tak terelakkan. Dalam satu adegan klimaks, yang terjadi pada sebuah perayaan biara yang besar, ketegangan mencapai puncaknya. Akitada dan kelompoknya berhasil membongkar monster jahat yang terselubung di balik kedok sang rahib suci. Misteri sekeping bunga biru pun menyingkap pembunuhan wanita bangsawan, Lady Asagao, selir kesayangan Kaisar. Tapi yang lebih buruk, upaya penyelidikan dan pengungkapan yang dilakukan Akitada malah mengancam hubungan cinta dan kariernya. Sungguh, sebuah ending yang mengharukan. Akitada sangat shock karena mendapati sang menteri, atasannya, naik pitam mendengar kabar keberhasilannya. Akibatnya mimpi dan cita-cita Akitada kandas.

Dalam seluruh novel ini, Parker tetap setia dengan budaya dan sejarah Jepang abad kesebelas. Informasi yang mengagumkan tentang stratifikasi budaya dan pemisahan antara bangsawan dan orang biasa, mengenai ketegangan antara agama Budha dan Santo, dan mengenai operasi pemerintah, semuanya dimasukkan dengan sangat natural dalam misteri tersebut. Parker sangat cermat menciptakan karakter-karakter yang seakan-akan hidup dan memberikan pembacanya untuk beridentifikasi dengan mereka, meskipun ada jarak seratus tahun antara aksi tersebut dengan kehidupan dan masa dari pembacanya.

Parker seringkali menghadirkan adegan-adegan yang berisikan ironi. Dan misteri tersebut secara bertahap berkembang dari awal yang agak sederhana menjadi suatu kesimpulan liar yang secara bersama-sama mengikat tiap detail pada saat yang bersamaan, sehingga hal itu memerlukan perhatian secara cermat. Sebuah seri baru yang pantas mendapatkan banyak pembaca baru. Misteri-misteri Akitado Sugiwara amat mengagumkan dan tampil beda! Kepedulian Parker atas kedetailannya benar-benar tanpa cacat dan kemampuannya untuk melibatkan pembacanya dalam peristiwa-peristiwa yang berasal dari seratus tahun yang lalu di negara asing sungguh menarik perhatian.***

M.Iqbal Dawami
Staf Pengajar STIS Magelang, penikmat sastra

4 komentar:

Stairway to Heaven mengatakan...

bravo mas iqbal. jika penulis bisa melibatkan pembacanya dalam alur cerita yang digambarkan, betapa rangkaian kata-katanya sangat memikat...!

M.Iqbal Dawami mengatakan...

Sip.Makasih bung Fahmi.

Sidik Nugroho mengatakan...

wah, resensinya untuk buku yang 1 ini ada dua nih... :-) salut, bung. benar-benar mantap!

M.Iqbal Dawami mengatakan...

Untuk mengulas buku bagus ini rasanya tidak cukup dg satu resensi saja:)