Dua orang peneliti asal Texas, Kerry dan Chris Shook, menulis sebuah buku berjudul One Month to Live: Thirty Days to a No-Regrets Life. Buku tersebut menantang pembaca untuk mencari sebuah jawaban, ‘apa yang ingin anda benar-benar lakukan jika sisa umur anda tinggal 30 hari lagi, atau bahkan kurang dari itu?’ Sebagaimana diakui oleh keduanya, bahwa buku tersebut terinspirasi dari perhatian mereka atas kehidupan banyak orang yang menjalani hari-hari terakhir dalam hidupnya.
Dari pengalaman mereka, akhirnya mereka menyadari bahwa banyak orang mengalami perubahan yang sangat besar ketika menyadari sisa hidupnya tidak lama lagi.
Dari pengamatan keduanya, ketika saat manusia divonis hidupnya hanya tinggal beberapa bulan, atau beberapa hari, membuat manusia menjadi “kreatif”. Mereka benar-benar ingin melakukan berbagai hal yang selama ini mereka ingin tapi tidak lakukan. Mereka lebih mudah memaafkan dan meminta maaf kepada orang lain. Mereka lebih berani mengambil resiko. Mereka menjadi semakin jelas dalam membuat prioritas kehidupan mereka.
Kesimpulan di atas menampakkan beberapa pertanyaan penting bagi kita, apakah kita harus menunggu divonis mati terlebih dahulu untuk melakukan seperti yang dilakukan mereka di atas? Mengapa kita harus menunggu hingga semua telah terlambat? Mengapa kita tidak bisa hidup seperti di atas sepanjang umur kita?
Oleh karena itu, disadari atau tidak, menurut saya metode “memvonis mati” kepada diri sendiri adalah sebuah cara lain agar hidup kita bermakna. Karena dengan begitu, kita selalu disadarkan bahwa hidup kita di dunia ini cuma sebentar lagi, dan mendorong kita untuk melakukan yang terbaik. Mengingat akan kematian diri sendiri adalah salah satu cara terbaik untuk menghindari jebakan berpikir bahwa anda akan kehilangan sesuatu. Anda tidak memiliki apa-apa. Sama sekali tidak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hati anda.
Steve Job, pendiri Apple dan Pixar, pun mengakui bahwa salah satu keberhasilannya dalam karir hidupnya adalah dengan menggunakan metode di atas. Ketika dirinya berumur 17, dia membaca ungkapan yang kurang lebih
berbunyi: “Bila kamu menjalani hidup seolah-olah hari itu adalah hari terakhirmu, maka suatu hari kamu akan benar.” Ungkapan itu membekas dalam diri Job, dan semenjak saat itu, selama 33 tahun terakhir, dia selalu melihat ke cermin setiap pagi dan bertanya kepada diri sendiri: “Bila ini adalah hari terakhir saya, apakah saya tetap melakukan apa yang akan saya lakukan hari ini?” Bila jawabannya selalu “tidak” dalam beberapa hari berturut-turut, dia tahu bahwa dia harus berubah. Mengingat bahwa dia akan segera mati adalah kiat penting yang dia temukan untuk membantu membuat keputusan besar. Karena hampir segala sesuatu-semua harapan eksternal, kebanggaan, takut malu atau gagal-tidak lagi bermanfaat saat menghadapi kematian.
Dalam hidupnya, Steve Job pernah didiagnosis mengidap kanker. Dia memiliki tumor pankreas. Para dokter mengatakan kepadanya bahwa hampir pasti jenisnya adalah yang tidak dapat diobati. Harapan hidup Steve Job tidak lebih dari 3-6 bulan. Dokter menyarankan Job pulang ke rumah dan membereskan segala sesuatunya. Pernyataan dokter merupakan sinyal agar Job bersiap-siap menghadapi maut.
Pada suatu pemeriksaan, para dokter memasukkan endoskopi ke tenggorokannya, lalu ke perut dan lambung, memasukkan jarum ke pankreasnya dan mengambil beberapa sel tumor. Job dibius. Istrinya, yang ada di sana, mengatakan bahwa ketika melihat selnya di bawah mikroskop, para dokter menangis mengetahui bahwa jenisnya adalah kanker pankreas yang sangat jarang, namun bisa diatasi dengan operasi. Lalu Job dioperasi dan sehat. Itu adalah rekor terdekat dirinya dengan kematian. Namun kejadian itu, justru yang diharapkan Job, walau bukan dalam arti sebenarnya.
Setelah melalui pengalaman tersebut, dia menyimpulkan bahwa menurut konsep pikiran, kematian adalah hal yang berguna. Kematian pasti menghampiri kita. Tidak ada yang bisa mengelak. Dan, memang harus demikian, karena kematian adalah buah terbaik dari kehidupan. “Kematian membuat hidup berputar. Dengannya, maka yang tua menyingkir untuk digantikan yang muda. Maaf bila terlalu dramatis menyampaikannya, namun memang begitu. Waktu Anda terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjalani hidup orang lain…Jangan pernah puas. Selalulah merasa bodoh.” Itulah pesan Steve Job bagi siapa saja yang ingin maju dalam hidupnya.
Saya hendak kembali kepada Kerry dan Chris Shook. Dalam bukunya, mereka memberikan jawaban atas pertanyaan, "Jika sisa hidup anda tinggal 30 hari lagi, bagaimana cara anda menjalaninya supaya tidak akan pernah ada penyesalan?" Ada empat jawaban yang diberikan mereka, yaitu:
Pertama, Live Passionately. Hal ini mengajak pembaca untuk berhenti hidup dengan "Someday Syndrome" (sindrom yang selalu berkata, ‘saya akan melakukannya suatu hari nanti’) dan mulai menjalani kehidupan mereka dengan sebuah tujuan yang telah Tuhan tetapkan dalam hidup mereka. Jangan mengatakan, jika nanti kami sudah mapan kami akan lakukan ini dan itu, karena kita tidak pernah mencapai titik kemapanan. Kita harus melakukan apa yang harus kita lakukan di hari ini, bukan nanti.
Kedua, Love Completely. Hal ini meminta setiap orang fokus dalam hubungan dengan sesama. Banyak orang pada akhir hidupnya mengalami penyesalan yang terbesar dalam hal hubungan dengan sesama. Kerry menjelaskan, bahwa mengasihi dengan sepenuhnya artinya jangan sampai tidak pernah menyatakan kasih anda. Ekpresikan kasih anda hari ini. Kalau perlu tulis surat ucapan terima kasih pada seseorang hari ini. Lakukan apa yang harus anda lakukan pada orang-orang yang anda kasihi hari ini juga.
Ketiga, Learn Hubly. Di sini dibicarakan tentang karakter kerendahan hati yang merupakan kunci untuk mengalami kesembuhan dari kepahitan. Selain itu, kerendahan hati juga membawa mereka mempelajari menggunakan talenta yang Tuhan percayakan dalam hidupnya untuk dapat digunakan dengan efektif.
Keempat, Leave Boldly, Kerry menyemangati pembaca untuk menjalani kehidupan ini sebaik mungkin, sehingga ketika mereka meninggalkan kehidupan ini ada suatu warisan yang berarti bagi penerus mereka. Warisan di sini bukanlah sebuah bisnis yang besar, rumah atau materi, karena semua itu dapat hilang dengan cepat. Warisan yang ditekankan di sini adalah tentang iman, pengharapan kasih, dan semangat mereka yang akan selalu diingat oleh penerusnya.
Keempat kiat di atas sungguh bermakna universal yang dapat diamalkan oleh siapa pun. Mudah-mudahan keempat kiat itu, jika kita melakukaannya, kita tidak merugi dalam hidup kita jika tiba-tiba saja kita dijemput maut. Tiada seorangpun yang tahu pasti kapan kita akan mati. Untuk itu, sangat penting untuk membuat prioritas kehidupan ini seolah-olah itu esok hari. Sungguh, waktu kehidupan kita saat di sini sangat berharga.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip kata-kata mendiang Randy Pausch, yang mati mengidap kanker. "kearifan apa yang akan kita tanamkan kepada dunia jika kita tahu ini kesempatan terakhir kita? Jika kita harus mati besok, apa yang kita inginkan sebagai pusaka atau warisan kita?".
9 komentar:
Mantap Bung, kover bukunya gak ada ya? Ada salah ketik nih: "Ketiga, Learn Hubly." Apa gak mestinya "Learn Humbly"?
Ini resensi atau resume ya? Kalo resensi, kok di bagian atas gak ada judul, penulis, penerbit, halaman, dst.?
Good, kutipan terakhirnya manis bener... :-)
Thanks bung sudah membaca dan proof-nya.Ini hanya catatan lepas saja, bukan resensi. Sebuah tulisan yang punya ambil bagian di buku kelak :)
Hm... menyetuh sekali.Akan lebih bagus lagi kalau kutipan2nya ditambahkan dari ayat Al Qur'an hadis,perkataan ulama dll :)
( Aku kayak sudah ahli saja he..he )
Sengaja saya gak kutip dari teks2 agama, biar universal dan diterima semua orang :). Thanks.
Kalau Noura... tak hanya melihat diri Noura yang "pergi" tapi juga orang-orang yang akan "pergi". Jangan sampai menyesal... karena kurang berbuat atau bahkan tak berbuat apa-apa...
Hiks...
Lima jempol buat Noura (yg satunya pinjam):)
Iqbal gak sopan...:-(
Sorry..canda hehe..ya dah empat jempol aja :)
Jempol siapa? kalau jempolmu semua.. itu juga masih gak sopan:-(
Posting Komentar