“Menurutku kebahagiaan itu identik dengan sukses dan kaya. Dan kesemuanya itu ibarat orgasme yang selalu ingin dirasakan berkali-kali, tanpa pernah lelah dan puas”(suara hati)
Pada oktober 2008 aku mendapat kiriman buku dari penerbit Kaifa (Bandung). Buku tersebut karangan Arvan Pradiansyah berjudul The 7 Laws of Happiness, dengan ketebalan mencapai 423 hlm. Tentu saja kiriman tersebut dimaksudkan agar aku dapat mengulasnya dengan baik dan dikirimkan (hasil ulasan tersebut) ke media massa, termasuk milis dan blog. Dan itu sudah kulakukan, meski media massa komersial tidak memuatnya. Tapi, aku sudah mempostingnya di blogku, khusus ulasan buku (http://resensor.blogspot.com).
Saat membaca awal-awal buku tersebut, minimal ada tiga hal yang tergurat erat dalam benakku, 1) manusia hidup pada intinya adalah mencari kebahagiaan, 2) mencari kebahagiaan sejati jangan dengan hati tapi dengan otak (pikiran), dan 3) apakah sama sukses dan bahagia?
Ketiga pernyataan tersebut sedikit demi sedikit aku temukan jawabannya dalam buku Arvan tersebut. Meski dalam beberapa hal aku tidak sependapat dengannya. Hal ini patut dianggap wajar, bukan hanya karena dua manusia yang berbeda (antara aku dan Arvan) secara historis maupun psikologis, tapi juga secara experience dan point of view, terutama de facto bahwa Arvan adalah seorang jutawan dan aku seorang “recehan”.
Hal yang menarik (bagiku) dalam buku The 7 Laws of Happiness adalah Arvan ternyata banyak sekali mengambil bahan tulisannya dari ajaran agama, baik agama samawi maupun ardhi. Walau tak dapat dipungkiri dia lebih banyak mengambil ajaran dari agama Islam: Alquran dan Hadis, terutama saat ia mengutip sebuah Hadis yang menjelaskan tentang segumpal daging, bahwa jika daging tersebut baik maka baiklah seluruh organ tubuh dan ruhnya (hidupnya). Hanya saja ia sedikit mengubah hadis tersebut, bahwa daging tersebut bukanlah hati tapi otak. Benarkah? Sepengetahuanku (bacaan yang kubaca dari SD sampai PT) adalah kebalikannya, bahwa daging yang dimaksud Nabi Saw tersebut adalah hati. Entah dari mana Arvan mendapatkan bunyi hadis tersebut? Atau jangan-jangan dia mencoba mengadaptasikan pernyataannya dari hadis tersebut? Wallahu a’lam.
Hal yang menarik lainnya dari buku ini adalah Arvan mendeskripsikan kebahagiaan seperti bangunan rumah. Rumah kebahagiaan itu harus memiliki fondasi: sabar, syukur, dan sederhana. Sedang bangunannya adalah: kasih, memberi, dan memaafkan. Adapun puncaknya ialah pasrah, kemampuan berserah diri dan percaya kepada Tuhan. Ketiga komponen tersebut (fondasi, bangunan, dan puncak) harus mencakup hubungan seorang individu dengan diri sendiri, orang lain, dan Tuhan. Sungguh sebuah idealisasi yang tak tergoyahkan dan amat mapan. Namun, yang lebih penting dari itu semua adalah apakah kita bisa menerapkannya dengan baik dalam hidup kita? Jika sudah bisa, mampukah kita melakukannya secara konsisten dan dawam?
Terakhir, Arvan mengatakan bahwa sukses itu tidak sama dengan bahagia. Buktinya, banyak orang sukses tapi tidak merasakan kebahagiaan. Pun dengan orang yang hidupnya dilimpahi dengan kekayaan, mereka tidak secara otomatis akan merasakan kebahagiaan. Benarkah?
Baiklah, aku harus percaya dengan kata-kata itu. Oleh karena itu, aku ingin berdoa, ‘Ya Tuhan beri aku kekayaan, setelah itu akan kukatakan bahwa ternyata kekayaan tidak mesti mendatangkan kebahagiaan’?
2 komentar:
Jawab Tuhan:
"Kuberi Qarun harta kekayaan, tapi apakah ia bahagia?
Lalu, setelah kau tahu, masihkah kamu berdo'a seperti itu?
Apa tak cukup pemberianKu padamu?
Apa Aku kurang baik padamu?
Apa kau TAK SUKA dengan pilihanKu untukmu?
Kalau iya, maka carilah Tuhan selain Aku..!"
Maaf mas, gak tahu... saya kok jadi pengen nulis begini, jangan dimasukkan ke hati ya...
Gak apa2,fit. Thanks udah mewakili jawaban Tuhan, gak jadi deh pengen kaya :)
Posting Komentar